Beranda / Romansa / Hostage Rasa Honeymoon / Bab 4 : Permintaan Gila

Share

Bab 4 : Permintaan Gila

Penulis: vebigusriyeni
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-15 06:41:17

Selama empat jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di apotik pusat kota yaitu Apotheek Van De Lan yang terletak dekat dengan tempat wisata.

Luca keluar dari mobilnya sambil membawa resep obat milik Brielle, dia sama sekali tidak mengerti dengan obat apa yang dikonsumsi oleh Brielle saat ini.

"Obat ini jangan dikonsumsi terus ya, minum saja ketika sakit dan lebih baik diperiksa lagi ke dokter. Karena obat ini bukan untuk menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasien, melainkan hanya untuk menghilangkan rasa sakit saja." Luca mengangguk lalu membayar dan mengambil obat tersebut.

Dia kembali ke mobil dan memberikan obat itu pada Brielle.

"Dia bilang, obat ini tidak untuk dikonsumsi terus menerus, minum setiap kali merasa sakit saja," terang Luca.

"Iya, aku tahu." Brielle meminum obat itu lalu memejamkan matanya, sisa air mata itu kembali meluncur dan cepat dia hapus.

"Kita cari tempat makan dulu, aku lapar." Brielle menatap Luca lalu tersenyum.

"Oke, aku tahu tempatnya."

"Di mana?"

"Café de Klos."

Mereka menuju ke cafe yang disebutkan oleh Brielle, Luca tersenyum karena selera Brielle tidaklah buruk.

Café de Klos bukan restoran besar dengan lampu kristal atau pelayan bersarung putih. Tempatnya sempit, hangat, dan penuh aroma asap daging panggang yang meresap ke dinding kayu tua.

Lampu temaram menggantung rendah, menciptakan bayangan hangat di antara wajah-wajah pengunjung yang tertawa pelan atau tenggelam dalam percakapan berat. Suara dentingan gelas bercampur dengan suara desisan daging yang dipanggang di dapur terbuka.

Luca menarik kursi kayu yang sedikit berderit, lalu duduk di seberang Brielle yang sibuk membuka kertas menu berminyak.

Matanya berkilat saat membaca deskripsi daging iga yang terkenal itu dan untuk pertama kalinya, penculikan ini terasa seperti perjalanan kuliner.

Di sini, tak ada yang peduli siapa mereka, tak ada yang tahu bahwa mereka baru saja membeli obat setelah malam panjang yang penuh ketegangan.

Pelayan datang dengan piring besar berisi iga sapi yang mengeluarkan aroma asap dan rempah yang kuat. Dagingnya empuk, nyaris lepas dari tulang. Brielle menyuap potongan pertamanya dengan mata tertutup, dan senyum kecil muncul di sudut bibirnya.

“Aku tidak menyangka, diculik rasanya bisa seenak ini,” gumamnya pelan.

Luca hanya mengangkat alis, pura-pura fokus memotong dagingnya, tapi sudut bibirnya juga sedikit terangkat.

“Terima kasih karena sudah memudahkan pekerjaanku,” ucap Luca dingin tanpa ekspresi apapun pada Brielle.

“Bisa tidak, kau itu tersenyum ramah sedikit? Ya paling tidak, padaku.”

“Kenapa aku harus tersenyum ramah padamu? Ingat ya, kau itu seorang sandera yang aku culik, bukan istri yang sedang aku ajak honeymoon.” Brielle tertawa lepas.

“Kalau kau anggap aku ini istri yang sedang kau ajak honeymoon, aku tidak keberatan.”

“Cis, aku tidak mau.” Luca menampakkan ekspresi jijik namun Brielle hanya tersenyum.

Mereka melanjutkan makan, Brielle sangat menikmati makanan tersebut. Sejenak mereka duduk berdua, Luca mengedarkan pandangan menelisik sekeliling yang terasa hangat dan nyaman.

Brielle tiba-tiba mencolek dagu Luca, membuat pria itu kaget lalu menatap marah pada Brielle.

“Itu mobil kau sewa atau bagaimana?” tanya Brielle mengabaikan ekpresi Luca.

“Aku sewa, malam ini kita akan menginap di hotel dekat sini saja karena mobil ini akan segera aku kembalikan.”

“Oke, kau pulangkan saja mobilnya dan kita menginap di hotel La Bohème saja, tempatnya bagus dan nyaman, suasananya juga tenang.”

“Baiklah, aku akan hubungi orang yang punya mobil ini.” Luca menghubungi si pemilik mobil untuk menjemput mobil itu di cafe de Klos.

Luca juga sudah mengirimkan pesan pada Nico bahwa dia berhasil membawa Brielle dan memberitahu posisi mereka saat ini.

Nico : [Jangan sampai dia kabur, kau harus pastikan dia tetap bersama denganmu]

Luca : [Aku pikir dia tidak akan kabur.]

Nico : [Jangan terkecoh, dia itu licik.]

Luca tak membalas lagi, dia menunggu kedatangan si pemilik mobil, setelah itu mereka berjalan kaki menuju Hotel La Bohème.

Hotel itu terletak di jalan kecil yang sepi beberapa langkah dari hingar-bingar Leidseplein.

Dari luar, bangunannya tampak sederhana, fasad bergaya rumah kanal Belanda dengan jendela besar dan pot bunga kecil di ambangnya. Tapi begitu Luca membuka pintu kayu tuanya, kehangatan langsung menyambut mereka.

Aroma kopi dan kayu tua memenuhi udara. Lobi kecilnya penuh dengan poster teater tua dan kursi empuk bergaya retro.

Brielle sempat berhenti sejenak di dekat rak buku mini yang tersusun rapi. Ia menyentuh sampul salah satu novel tua, senyumnya tipis, entah karena buku itu, atau karena akhirnya bisa meregangkan kaki setelah perjalanan panjang.

Resepsionis menyambut mereka dengan ramah, tidak curiga, seolah dua orang asing yang datang malam-malam itu hanyalah turis lelah yang mencari istirahat.

Siapa yang menyangka kalau mereka adalah korban dan pelaku penculikan.

Kamar mereka tidak besar, tapi bersih dan nyaman. Langit-langitnya miring sedikit, dan dari jendela mungil di sisi ranjang, tampak bayangan kanal gelap berkilau oleh pantulan lampu jalan.

Tempat tidur berlapis selimut putih tebal dan di pojok ada teko kecil untuk menyeduh teh.

“Akhirnya kasur,” kata Brielle sambil menjatuhkan diri ke atas ranjang.

Luca duduk di kursi dekat jendela, memandangi kota yang perlahan mulai tenang. Untuk sesaat, penculikan ini bukan soal lari, tapi tentang menemukan tempat bernafas.

“Kenapa kau memesan satu kamar saja?” tanya Brielle.

“Aku tidak ingin kau kabur.”

“Kau ini aneh, kan aku yang ingin ikut denganmu, lagian aku tidak punya uang. Mau kabur ke mana coba?”

“Ya mana aku tahu, gadis licin sepertimu bisa saja memikirkan hal di luar nalar. Siapa yang tahu apa isi dalam otak di kepala mungilmu itu.” Brielle merungut lalu memegang kepalanya.

“Kau jangan macam-macam padaku ya,” ingat Brielle yang membuat Luca mendengus kecil.

“Aku tidak selera melihatmu.”

“Kau gay ya?” Luca membulatkan matanya menatap Brielle.

“Iya, jadi kau tenang saja.”

“Oke, bagus.”

Brielle berjalan ke kamar mandi lalu mengganti pakaian sedangkan Luca asyik memainkan ponselnya.

Brielle duduk di samping Luca dengan tatapan serius.

“Ada apa?” tanya Luca sedikit menjauh dari Brielle.

“Sebenarnya apa tujuanmu menculikku?”

“Aku diminta oleh Nico untuk membawamu.”

“Oh kau orang suruhan Nico, pasti dia kesal karena aku menolaknya kan.”

“Mana aku tahu. Aku tidak peduli dengan urusan kalian, yang jelas sekarang, aku sedang menjalankan tugasku saja.”

“Kau tidak ingin aku kabur dan menyulitkan pekerjaanmu kan?”

“Ya, tentu.”

“Aku punya permintaan.”

“Apa?” tanya Luca sembari menaikkan satu alisnya.

“Aku ingin kita pergi ke Chicago menggunakan sepeda motor, bilang pada Nico. Kalau tidak, aku akan kabur lagi dan kalian akan sulit untuk menemukan aku.” Luca menjatuhkan rahangnya dan membelalakkan mata karena shock akan permintaan Brielle.

“Kau sudah gila ya, dari Amsterdam ke Chicago, kau pikir dekat?” Luca begitu kaget dengan permintaan Brielle.

“Ya terserah, kalau kalian tidak memenuhi keinginanku. Aku akan kabur atau bunuh diri,” ancam Brielle.

“Dasar gadis gila,” gerutu Luca sambil memegang kepalanya.

Luca menghubungi Nico dan menyampaikan keinginan Brielle yang menurutnya gila itu.

“Turuti saja, aku akan memberikan fasilitas perjalanan untuk kalian.”

“Ini gila Nic, aku menculik dia, bukan mengajak dia travelling.” Terdengar suara tawa Nico di seberang sana.

“Kau turuti saja, daripada nanti dia membuat ulah dan membuatkan kau lebih gila lagi.”

“Aku ingin bicara dengannya.” Brielle mengambil alih panggilan Luca dan bicara dengan Nico.

“Dengar pria brengsek, selama kami di perjalanan nanti, kau tidak boleh menghubungi kami sama sekali. Ponsel kami akan di nonaktifkan selama di perjalanan. Jadi, kau tunggu saja kedatanganku di sana, bagaimana?”

“Oke. Aku setuju.”

Brielle memutus panggilan tersebut dan memberikan ponsel itu pada Luca.

“Apa yang sedang kau pikirkan hah?” bentak Luca.

“Aku hanya ingin melepas jenuh dan mengganti suasana.”

“Ini sangat gila, aku tidak pernah membayangkan berkendara dengan motor dari sini ke Chicago.”

“Tak perlu kau bayangkan, kita jalani saja. Besok kita akan beli motor yang bagus untuk berkeliling duniaaaa.” Brielle merentangkan tangannya dengan semangat.

“Heh, kau ini diculik bukan sedang healing.”

“Siapa juga yang healing, anggap saja kita honeymoon.” Brielle mencolek dagu Luca dan menghempaskan dirinya di atas kasur.

“Gadis gila.” Luca terus menggerutu kesal.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hostage Rasa Honeymoon   Bab 8 : Senyum Semanis Cokelat

    Dua hari setelahnya, motor yang Luca inginkan datang dan mereka siap untuk berangkat hari ini. Memulai perjalanan dari Amsterdam menuju Chicago dengan sepeda motor kesayangan Luca Vaughan. Brielle tampil dengan pakaian terbaiknya, dibalut dengan jaket kulit yang membuat penampilannya sangat sempurna, begitu pula dengan Luca yang terlihat begitu tampan. Brielle terkagum ketika melihat motor milik Luca. “Ini motormu atau motor Nico?” tanya Brielle dengan riang. “Motorku, duduk baik-baik dan jangan sampai motor ini lecet olehmu. Mengerti.” Brielle memberikan hormat pada Luca. “Siap komandan.” Motor itu berdiri angkuh. Ducati Diavel V4, hitam pekat seperti malam yang menyimpan rahasia. Bukan motor biasa. Bentuknya gabungan antara keindahan pahatan dan kekejaman mesin. Rangka aluminiumnya ramping namun kokoh, dengan lekukan aerodinamis yang mengalir mulus dari tangki ke ekor. Knalpot ganda di sisi kanan memancarkan aura predator yang siap menyergap kapan saja. Mesinnya—V4

  • Hostage Rasa Honeymoon   Bab 7 : Hidangan Malam

    Kaki itu terus mengayuh sepeda, melewati jalan yang tadi mereka tempuh untuk kembali ke hotel. Luca memberikan kembali sepeda yang mereka sewa lalu berjalan menuju hotel. “Aku bahagia sekali, akhirnya bisa jalan-jalan menikmati hidup sendiri,” ujar Brielle dengan tawa lepasnya. “Baguslah.” Brielle membawa pandangannya pada Luca. Pria dingin, kaku, pemarah dan misterius. “Kau ini sebenarnya punya gairah hidup atau tidak? Kau seperti orang yang tidak memiliki ekspresi lain, kau terlalu kaku, Luca.” Brielle mengungkapkannya dengan lantang. “Lalu aku ini harus apa? Teriak-teriak tidak jelas? Tertawa terbahak-bahak, atau menangis sejadi-jadinya?” balas Luca ketika mendapat pertanyaan dari Brielle tadi. “Ya bukan begitu juga. Maksudku, kau ceria sedikit lah, jangan terlalu kaku.” “Aku ceria.” “Jadi begini tampang ceria versi dirimu?” “Yap. Kenapa?” “Tidak. Aku akan ubah tampang ini dengan versiku sendiri.” “Oh ya, apa kau bisa?” “Of course, kita lihat saja nanti.”

  • Hostage Rasa Honeymoon   Bab 6 : Anne Frank House

    “Terbayang ya,” gumam Brielle pelan, “dulu Anne Frank cuma bisa mengintip dunia dari jendela kecil. Sekarang kita ada di sini, bebas melihat semuanya.” Sekarang mereka masih berada di luaran saja, belum masuk ke dalam. “Kita kadang lupa ya, seberapa mewahnya kebebasan,” lanjutnya pelan. Mereka tepat di depan Anne Frank House. Gedung tua itu tampak sederhana, tapi memancarkan rasa sunyi yang khidmat. “Aku baca bukunya pas umur lima belas tahun,” kata Brielle lagi, suaranya nyaris berbisik. “Aku pikir aku mengerti tapi ternyata tidak. Baru sekarang aku merasakan bagaimana rasanya kehilangan, terkurung tapi juga punya harapan.” Luca memegang erat tangan Brielle lalu menepuknya pelan. “Kita tidak kehilangan harapan kan sekarang?” tanyanya menatap ke dalam mata Brielle. “Harapan apa?” “Harapan kalau aku harus menyelesaikan tugasku ini dengan baik,” balas Luca yang membuat tawa riang di wajah Brielle. “Kau tenang saja, aku sudah janji untuk tidak akan kabur.” “Ok

  • Hostage Rasa Honeymoon   Bab 5 : Mulai Dari Negara Sendiri

    Luca duduk di kamar sambil memainkan ponsel ditemani secangkir kopi panas, asapnya masih mengepul dan aromanya begitu kuat hingga Brielle terbangun. Mereka tidak tidur satu kasur, Luca membebaskan gadis itu dengan dirinya sendiri, dari semalam Brielle terus dihubungi oleh ayah dan ibunya namun Nico sudah memberitahu kalau gadis itu dia yang culik dan suruh Luca untuk membawa. Luca meminta anak buahnya untuk mengirimkan motornya ke Belanda, ia hanya mau memakai motornya sendiri jika akan melakukan perjalanan jauh begini—BMW R Nine T Motorcycle. Dia juga menyiapkan beberapa berkas yang akan dia dan Brielle perlukan jika memasuki berbagai negara yang akan mereka lalui nantinya. “Aroma kopimu mengganggu tidurku, minta ya,” ujar Brielle lalu menyeruput kopi panas milik Luca. Brrusshh! Luca langsung berdiri ketika Brielle menyemburkan kopi itu ke tubuhnya. “Kau gila ya, jelas kopi itu masih panas,” bentak Luca sambil mengusap tubuhnya. “Ya mana aku tahu, lidahku terba

  • Hostage Rasa Honeymoon   Bab 4 : Permintaan Gila

    Selama empat jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di apotik pusat kota yaitu Apotheek Van De Lan yang terletak dekat dengan tempat wisata. Luca keluar dari mobilnya sambil membawa resep obat milik Brielle, dia sama sekali tidak mengerti dengan obat apa yang dikonsumsi oleh Brielle saat ini. "Obat ini jangan dikonsumsi terus ya, minum saja ketika sakit dan lebih baik diperiksa lagi ke dokter. Karena obat ini bukan untuk menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasien, melainkan hanya untuk menghilangkan rasa sakit saja." Luca mengangguk lalu membayar dan mengambil obat tersebut. Dia kembali ke mobil dan memberikan obat itu pada Brielle. "Dia bilang, obat ini tidak untuk dikonsumsi terus menerus, minum setiap kali merasa sakit saja," terang Luca. "Iya, aku tahu." Brielle meminum obat itu lalu memejamkan matanya, sisa air mata itu kembali meluncur dan cepat dia hapus. "Kita cari tempat makan dulu, aku lapar." Brielle menatap Luca lalu tersenyum. "Oke, aku tahu tempa

  • Hostage Rasa Honeymoon   Bab 3 : Penculikan Termudah

    Brielle berhasil turun dari kamarnya, dia berpikir sejenak bagaimana cara kabur dari penjaga di mansion itu. Brielle bersembunyi di balik tiang dan tersenyum karena menemukan sebuah ide cemerlang. Brielle berlari ke arah halaman depan dan berteriak histeris. “Tolong, Nico diserang musuhnya di dalam kamar, mereka sangat ramai dan masuk melalui rooftop, cepat kalian semua tolong dia.” Para penjaga langsung bergegas dengan senjata masing-masing ke lantai atas untuk menyelamatkan Nico, dengan cepat Brielle kabur dari sana. Dia berjalan pelan, ketika sampai di sebuah taman yang cukup jauh dari mansion Nico, kakinya terasa sakit karena berlari tadi. “Perutku lapar, haus juga dan aku tidak bawa uang.” Brielle menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan lalu mengusap kasar wajah itu. Pandangannya tertuju pada Luca yang duduk tak jauh dari tempatnya sekarang. “Dia lagi, apa dia itu sosok seorang dewa yang dikirim untuk menyelamatkan aku?” Brielle dengan langkah ceria men

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status