Beranda / Romansa / Hostage Rasa Honeymoon / Bab 6 : Anne Frank House

Share

Bab 6 : Anne Frank House

Penulis: vebigusriyeni
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-30 04:53:33

“Terbayang ya,” gumam Brielle pelan, “dulu Anne Frank cuma bisa mengintip dunia dari jendela kecil. Sekarang kita ada di sini, bebas melihat semuanya.”

Sekarang mereka masih berada di luaran saja, belum masuk ke dalam.

“Kita kadang lupa ya, seberapa mewahnya kebebasan,” lanjutnya pelan.

Mereka tepat di depan Anne Frank House. Gedung tua itu tampak sederhana, tapi memancarkan rasa sunyi yang khidmat.

“Aku baca bukunya pas umur lima belas tahun,” kata Brielle lagi, suaranya nyaris berbisik.

“Aku pikir aku mengerti tapi ternyata tidak. Baru sekarang aku merasakan bagaimana rasanya kehilangan, terkurung tapi juga punya harapan.”

Luca memegang erat tangan Brielle lalu menepuknya pelan.

“Kita tidak kehilangan harapan kan sekarang?” tanyanya menatap ke dalam mata Brielle.

“Harapan apa?”

“Harapan kalau aku harus menyelesaikan tugasku ini dengan baik,” balas Luca yang membuat tawa riang di wajah Brielle.

“Kau tenang saja, aku sudah janji untuk tidak akan kabur.”

“Oke, aku sudah menuruti keinginanmu dan kau juga harus menuruti keinginanku.” Brielle menatap Luca dengan dahi yang berkerut.

“Memang keinginanmu apa?”

“Pekerjaanku mudah.”

“Siap komandan.” Brielle menyusun lima jarinya dengan rapat lalu membawa ke kening.

Suara langkah mereka nyaris tak terdengar di dalam museum. Setiap ruangan seperti menahan napas, seakan tak ingin mengusik kenangan yang menempel di dinding-dinding tua itu.

Tak ada yang bicara. Hanya suara audio guide yang sesekali terdengar dari earphone para pengunjung lain.

Brielle menggenggam tangan Luca lebih erat saat mereka menaiki tangga curam ke ruang tersembunyi di belakang rak buku.

Langkah-langkah kecil Anne pernah melewati tangga yang sama.

“Tempat ini,” bisik Brielle, suaranya nyaris patah. “Kecil sekali, tapi penuh cerita.”

Luca mengangguk pelan, matanya menyapu jendela kecil yang ditutupi tirai. Ia membayangkan gadis muda menulis diam-diam, berharap dunia di luar akan berubah.

“Kau tidak pernah ke sini?” tanya Luca penasaran karena reaksi Brielle seakan baru ke tempat itu.

“Sangat jarang, lebih tepatnya tidak pernah.”

“Huft. Bilang tidak pernah apa sulitnya?” Brielle kembali mencolek dagu Luca dengan satu jarinya.

Brielle kembali fokus melihat tempat itu.

“Kalau kamu yang menulis buku harian,” bisik Luca mendekat ke telinganya, “isi halamannya apa?”

Brielle menoleh, matanya berkaca. Tapi ia tertawa pelan. “Mungkin halaman pertama akan berisi kamu dan sepeda kita”

Luca tersenyum. “Dan halaman terakhir?”

Brielle menatap dinding tempat potret keluarga Anne tergantung.

“Halaman terakhir, aku harap isinya tetap kamu. Tapi bukan lagi di tempat seperti ini. Di ruang yang lebih luas, dengan jendela-jendela terbuka.”

“Haha kau ini sangat pandai ya, tapi sayangnya aku bukan pria yang mudah kau goda.”

“Tapi kau tergoda kan?”

“Tidak.”

“Buktinya, kau tertawa.”

“Aku manusia dan tertawa adalah hal yang manusiawi.”

“Ya ya, terserah kau saja.”

Mereka berdiri lama di sana, di tengah ruang kecil yang penuh kenangan dan keberanian. Di tengah kisah lama yang tragis, menyimpan kisah kecil mereka sendiri, pelan, tenang, dan penuh harap.

Di dalam rumah sempit yang dulunya menjadi tempat persembunyian, langkah mereka terhenti di depan panel berisi potret hitam-putih.

Anne Frank tersenyum di sana, seorang gadis dengan mata tajam yang tampak tahu lebih banyak dari usianya. Brielle membaca pelan-pelan keterangan di bawahnya, suaranya hanya bergema di kepalanya sendiri.

Anne lahir tahun 1929. Pada usia tiga belas tahun, ia mulai menulis buku harian setelah keluarganya bersembunyi dari kejaran Nazi.

Dua tahun mereka hidup dalam diam, tersembunyi di balik rak buku yang kini dibuka untuk publik. Dua tahun yang dipenuhi ketakutan, tapi juga harapan, karena Anne tak pernah berhenti menulis, seakan dunia di luar masih pantas untuk diperjuangkan.

Brielle membayangkan gadis itu duduk di dekat jendela yang kini tertutup, pena di tangan, membayangkan pesta ulang tahun dan taman bunga. Ia menulis tentang cinta, tentang pertumbuhan, tentang masa depan, semua dari dalam ruangan seluas ruang tamu.

Anne ditangkap pada 1944. Ia meninggal beberapa bulan kemudian di kamp konsentrasi Bergen-Belsen. Ia baru berumur lima belas.

Tapi tulisannya bertahan.

Buku hariannya diterjemahkan ke puluhan bahasa, dibaca oleh jutaan orang, kata-kata yang lahir dari ketakutan justru menjadi simbol harapan.

Brielle berdiri diam di sana, dinding-dinding sempit di sekelilingnya seperti berbisik. Di sampingnya, Luca tak berkata apa-apa, tapi kehadirannya terasa hangat dan nyata.

Dalam kesunyian museum itu, mereka tidak hanya mengenang seseorang yang pernah hidup.

Mereka juga sedang belajar hidup lebih jujur, lebih penuh makna.

Ketika mereka melangkah ke ruang berikutnya, Brielle berhenti sejenak di depan sebuah rak buku tua yang terbuka. Di sana terpasang sebuah replika buku harian Anne, dengan tulisan tangan yang terlihat rapi dan penuh perasaan. Ada sesuatu tentang tulisan tangan itu, terlihat begitu hidup, seakan Anne baru saja menulisnya.

“Anne menulis hampir setiap hari,” Brielle berkata pelan, membaca penjelasan yang tertera di dekat rak.

Dari saat dia bersembunyi, di ruang kecil, hanya ada ruang tamu sempit dan loteng ini. Semua yang dia alami, semua perasaan dan mimpinya, dicurahkan lewat tulisan.

Luca mengamati rak tersebut, ada buku-buku yang ditulis Anne dan berbagai surat yang dipertahankan hingga kini.

Di salah satu pojok ruangan, sebuah foto hitam-putih menunjukkan Anne berdiri bersama keluarganya. Mereka tersenyum, seolah tak ada yang tahu hari-hari mereka yang penuh ketegangan.

“Ruang ini juga penuh dengan simbol. Gambar-gambar keluarga Frank, tulisan tangan Anne yang dipajang di sini, semuanya mengingatkan kita akan keberanian mereka. Keluarganya bersembunyi di sini, menunggu dengan harapan, bisa keluar dan hidup kembali," kata Brielle, menyentuh pelan dinding yang penuh foto.

Luca melihat ke sekeliling, perlahan mengerti.

“Dan meski mereka terkurung di ruang sempit, Anne tak pernah kehilangan harapan. Bahkan di tempat yang gelap sekalipun, dia terus menulis tentang masa depan yang lebih baik.” Perkataan Luca seakan memberikan dorongan semangat untuknya.

Brielle tersenyum tipis. “Iya. Anne menulis tentang kebebasan, tentang impian untuk melangkah keluar dan menikmati dunia yang luas, sesuatu yang seharusnya bisa dia nikmati di masa mudanya.”

Luca menatap sebuah replika jendela kecil di sudut ruangan, jendela yang dulu Anne lihat setiap hari, dengan tirai yang selalu ditutup rapat agar tidak terlihat dari luar.

“Meski terkurung, dia selalu mencari cara untuk merasakan kebebasan,” lanjut Brielle seakan Anne adalah dirinya dan Luca bisa merasakan hal itu dari setiap kata yang Brielle ucapkan.

Di bagian lain museum, ada juga kutipan yang terkenal dari Anne Frank, yang dipasang di dinding:

Ik voel me sterker en levendiger, zelfs in deze onzekerheid (Tapi saya merasa lebih kuat dan lebih hidup, bahkan dalam ketidakpastian ini.)

Kata-kata itu mengiringi mereka, seperti pesan dari Anne yang menyampaikan bahwa meski segala sesuatu tampak suram, selalu ada ruang untuk harapan.

“Kau bisa merasakan kebebasan setelah menikah nanti dengan Nico. Dia pria yang baik walau caranya sedikit keras,” ujar Luca.

“Kenapa kau yakin sekali? Kau sangat mengenal dia?”

“Tentu. Aku sudah lama bersama dia.”

“Lama dengannya belum tentu kau kenal dia.”

“Opini kau saja.”

“Aku berpikiran lain.”

“Apa?”

“Kebebasan itu sepertinya akan aku dapatkan darimu.” Luca membawa pandangannya pada Brielle, gadis yang beberapa kali dia temui dan gadis yang dia culik saat ini.

“Akan aku berikan, tapi kau harus berjanji untuk meringankan pekerjaanku.”

“Oke... namamu siapa?”

Luca tertawa, bahkan tawanya kali ini sangat lepas dan riang.

“Tak perlu juga kau tahu, kau bebas memanggil aku apa saja.”

“Oke my husband.” Luca membulatkan matanya.

“Relax. Kita akan bersama dalam beberapa waktu ke depan dan pastinya orang-orang akan berpikir kalau kita suami istri. Jadi aku akan memanggilmu my husband or darling or honey or....”

“Luca, namaku Luca Vaughan. Jangan aneh-aneh. Sudah aku katakan kalau kita bukan sedang honeymoon.” Brielle terkekeh, dia suka melihat kekesalan di wajah Luca.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hostage Rasa Honeymoon   Bab 8 : Senyum Semanis Cokelat

    Dua hari setelahnya, motor yang Luca inginkan datang dan mereka siap untuk berangkat hari ini. Memulai perjalanan dari Amsterdam menuju Chicago dengan sepeda motor kesayangan Luca Vaughan. Brielle tampil dengan pakaian terbaiknya, dibalut dengan jaket kulit yang membuat penampilannya sangat sempurna, begitu pula dengan Luca yang terlihat begitu tampan. Brielle terkagum ketika melihat motor milik Luca. “Ini motormu atau motor Nico?” tanya Brielle dengan riang. “Motorku, duduk baik-baik dan jangan sampai motor ini lecet olehmu. Mengerti.” Brielle memberikan hormat pada Luca. “Siap komandan.” Motor itu berdiri angkuh. Ducati Diavel V4, hitam pekat seperti malam yang menyimpan rahasia. Bukan motor biasa. Bentuknya gabungan antara keindahan pahatan dan kekejaman mesin. Rangka aluminiumnya ramping namun kokoh, dengan lekukan aerodinamis yang mengalir mulus dari tangki ke ekor. Knalpot ganda di sisi kanan memancarkan aura predator yang siap menyergap kapan saja. Mesinnya—V4

  • Hostage Rasa Honeymoon   Bab 7 : Hidangan Malam

    Kaki itu terus mengayuh sepeda, melewati jalan yang tadi mereka tempuh untuk kembali ke hotel. Luca memberikan kembali sepeda yang mereka sewa lalu berjalan menuju hotel. “Aku bahagia sekali, akhirnya bisa jalan-jalan menikmati hidup sendiri,” ujar Brielle dengan tawa lepasnya. “Baguslah.” Brielle membawa pandangannya pada Luca. Pria dingin, kaku, pemarah dan misterius. “Kau ini sebenarnya punya gairah hidup atau tidak? Kau seperti orang yang tidak memiliki ekspresi lain, kau terlalu kaku, Luca.” Brielle mengungkapkannya dengan lantang. “Lalu aku ini harus apa? Teriak-teriak tidak jelas? Tertawa terbahak-bahak, atau menangis sejadi-jadinya?” balas Luca ketika mendapat pertanyaan dari Brielle tadi. “Ya bukan begitu juga. Maksudku, kau ceria sedikit lah, jangan terlalu kaku.” “Aku ceria.” “Jadi begini tampang ceria versi dirimu?” “Yap. Kenapa?” “Tidak. Aku akan ubah tampang ini dengan versiku sendiri.” “Oh ya, apa kau bisa?” “Of course, kita lihat saja nanti.”

  • Hostage Rasa Honeymoon   Bab 6 : Anne Frank House

    “Terbayang ya,” gumam Brielle pelan, “dulu Anne Frank cuma bisa mengintip dunia dari jendela kecil. Sekarang kita ada di sini, bebas melihat semuanya.” Sekarang mereka masih berada di luaran saja, belum masuk ke dalam. “Kita kadang lupa ya, seberapa mewahnya kebebasan,” lanjutnya pelan. Mereka tepat di depan Anne Frank House. Gedung tua itu tampak sederhana, tapi memancarkan rasa sunyi yang khidmat. “Aku baca bukunya pas umur lima belas tahun,” kata Brielle lagi, suaranya nyaris berbisik. “Aku pikir aku mengerti tapi ternyata tidak. Baru sekarang aku merasakan bagaimana rasanya kehilangan, terkurung tapi juga punya harapan.” Luca memegang erat tangan Brielle lalu menepuknya pelan. “Kita tidak kehilangan harapan kan sekarang?” tanyanya menatap ke dalam mata Brielle. “Harapan apa?” “Harapan kalau aku harus menyelesaikan tugasku ini dengan baik,” balas Luca yang membuat tawa riang di wajah Brielle. “Kau tenang saja, aku sudah janji untuk tidak akan kabur.” “Ok

  • Hostage Rasa Honeymoon   Bab 5 : Mulai Dari Negara Sendiri

    Luca duduk di kamar sambil memainkan ponsel ditemani secangkir kopi panas, asapnya masih mengepul dan aromanya begitu kuat hingga Brielle terbangun. Mereka tidak tidur satu kasur, Luca membebaskan gadis itu dengan dirinya sendiri, dari semalam Brielle terus dihubungi oleh ayah dan ibunya namun Nico sudah memberitahu kalau gadis itu dia yang culik dan suruh Luca untuk membawa. Luca meminta anak buahnya untuk mengirimkan motornya ke Belanda, ia hanya mau memakai motornya sendiri jika akan melakukan perjalanan jauh begini—BMW R Nine T Motorcycle. Dia juga menyiapkan beberapa berkas yang akan dia dan Brielle perlukan jika memasuki berbagai negara yang akan mereka lalui nantinya. “Aroma kopimu mengganggu tidurku, minta ya,” ujar Brielle lalu menyeruput kopi panas milik Luca. Brrusshh! Luca langsung berdiri ketika Brielle menyemburkan kopi itu ke tubuhnya. “Kau gila ya, jelas kopi itu masih panas,” bentak Luca sambil mengusap tubuhnya. “Ya mana aku tahu, lidahku terba

  • Hostage Rasa Honeymoon   Bab 4 : Permintaan Gila

    Selama empat jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di apotik pusat kota yaitu Apotheek Van De Lan yang terletak dekat dengan tempat wisata. Luca keluar dari mobilnya sambil membawa resep obat milik Brielle, dia sama sekali tidak mengerti dengan obat apa yang dikonsumsi oleh Brielle saat ini. "Obat ini jangan dikonsumsi terus ya, minum saja ketika sakit dan lebih baik diperiksa lagi ke dokter. Karena obat ini bukan untuk menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasien, melainkan hanya untuk menghilangkan rasa sakit saja." Luca mengangguk lalu membayar dan mengambil obat tersebut. Dia kembali ke mobil dan memberikan obat itu pada Brielle. "Dia bilang, obat ini tidak untuk dikonsumsi terus menerus, minum setiap kali merasa sakit saja," terang Luca. "Iya, aku tahu." Brielle meminum obat itu lalu memejamkan matanya, sisa air mata itu kembali meluncur dan cepat dia hapus. "Kita cari tempat makan dulu, aku lapar." Brielle menatap Luca lalu tersenyum. "Oke, aku tahu tempa

  • Hostage Rasa Honeymoon   Bab 3 : Penculikan Termudah

    Brielle berhasil turun dari kamarnya, dia berpikir sejenak bagaimana cara kabur dari penjaga di mansion itu. Brielle bersembunyi di balik tiang dan tersenyum karena menemukan sebuah ide cemerlang. Brielle berlari ke arah halaman depan dan berteriak histeris. “Tolong, Nico diserang musuhnya di dalam kamar, mereka sangat ramai dan masuk melalui rooftop, cepat kalian semua tolong dia.” Para penjaga langsung bergegas dengan senjata masing-masing ke lantai atas untuk menyelamatkan Nico, dengan cepat Brielle kabur dari sana. Dia berjalan pelan, ketika sampai di sebuah taman yang cukup jauh dari mansion Nico, kakinya terasa sakit karena berlari tadi. “Perutku lapar, haus juga dan aku tidak bawa uang.” Brielle menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan lalu mengusap kasar wajah itu. Pandangannya tertuju pada Luca yang duduk tak jauh dari tempatnya sekarang. “Dia lagi, apa dia itu sosok seorang dewa yang dikirim untuk menyelamatkan aku?” Brielle dengan langkah ceria men

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status