Share

2. (Bukan) Pedofil

POV Logan

Aku memperhatikan seluruh reaksi Amanda yang cenderung spontan, tetapi sedikit canggung itu. Sepasang matanya yang teduh seketika melebar sewaktu aku mengucapkan penawaranku padanya. Aku bertaruh dia akan marah, mungkin menamparku atau bisa jadi menyiram wajahku dengan sisa kopinya, dan mengata-ngataiku sebagai seorang pedofiliak berengsek yang akan menjebaknya.

“A-apa maksudmu?” tanya Amanda dengan terbata-bata, mengerjap-ngerjap dengan sorot mata yang gelisah, dan melirik kikuk ke sekitar.

“Hubungan cinta satu malam, Amanda. Kau dan aku akan berada di atas ranjang yang sama—”

“Tung-tunggu, Logan. Maaf, ada yang harus kuluruskan padamu. Aku bukan wanita seperti itu,” selanya dengan napas yang mulai memburu dan kedua pipi yang merona terang seperti buah ceri.

Buah ceri-ku yang menggoda. Aku lagi-lagi menyaksikan rasa gugup yang menyerang Amanda datang, lantas membiarkannya bergulat dalam kepanikan yang justru kunikmati. Sesuatu yang belum pernah terjadi padaku sebelumnya, sesuatu yang mendorong semua pengendalian diriku keluar untuk dihabisi di hadapan wanita itu, dan membuatku kehilangan kontrol.

Setelah aku melihat Amanda menggertakkan gigi berulang kali dan tampak putus asa saat menerima panggilan dari seseorang tadi, aku langsung sadar bahwa dia sedang terperangkap dalam suatu kesulitan, itu tentang kakaknya. Aku sama sekali tidak menyesali tindakanku yang kurang terpuji karena telah menguping pembicaraan orang lain tanpa sengaja. Takdir selalu mengatur di waktu yang tepat, bukan?

“Hanya untuk bersenang-senang dengan cara yang tidak biasa, Amanda. Jika kau memang ingin menolak tawarannya, maka katakan saja padaku. Aku akan sangat kecewa, tetapi apa boleh buat? Hidup memang tidak selalu berjalan sesuai ekspektasi kita.”

Amanda kembali menjilat bibirnya dan menciptakan pergolakan hebat dalam kepalaku. Mengapa dia harus melakukannya? Membasahi permukaan bibirnya yang kecil itu, membuatku mendamba rasa dirinya di lidahku, dan mempertanyakan seberapa lembut sensasinya di bawah pagutanku.

Amanda merespons kalimat terakhirku dengan baik. Dia mengedikkan kedua bahunya, menyelipkan rambutnya yang panjang seperti warna api itu ke salah satu daun telinganya lagi, kemudian menggaruk ujung hidungnya. Aku membaca raut wajahnya yang begitu ekspresif, menontonnya dilanda oleh dilema, dan merasa puas selepasnya.

Sejak pertama kali Amanda tiba di depan pintu restoran Prancis yang hanya sesekali kukunjungi sekarang, penampilannya mendadak menarik segenap perhatianku, sederhana dengan blus renda berpotongan longgar dan celana pendek yang begitu pas melapisi pinggul seksinya. Dia terlihat muda, penuh antusias yang terlukis di balik sepasang iris abu-abunya yang menawan, mengingatkanku pada seseorang dari masa laluku.

“Bagaimana aku percaya padamu?”

Aku menyunggingkan senyum tipis sebelum menjawab dan mengeluarkan bukti koneksi yang mampu meyakinkan Amanda untuk memercayaiku. Teman-teman dekatku separuhnya merupakan pengacara yang reputasinya tersohor di Philadelphia. Persentase mereka memenangkan kasus-kasus sangat tinggi.

“Kau punya relasi yang bagus,” komentarnya sambil menatapku dengan pandangan curiga.

Kini Amanda menggigit bibirnya dan itu membuatku sontak mengetatkan rahang. Mencegah naluri primitifku mengambil alih kewarasan yang masih tersisa atau pengendalian diriku yang kelewat rendah justru akan menghancurkan setiap momen. Mengacaukan seluruh usahaku untuk membujuknya menyepakati janji yang kutawarkan.

Aku tahu Amanda tengah berperang mengatasi sejumlah konfrontasi yang mengguncang dirinya sekarang. Namun, aku terlalu egois untuk mencapai ambisiku. Aku membiarkan wanita itu merana dalam ketidakberdayaan yang menjeratnya, lantas mengiyakan tanpa berniat untuk melepaskannya lagi.

Pesona Amanda terasa familier bagiku, tetapi kepribadiannya juga sesuatu yang baru. Sama sekali berbeda dari yang kubayangkan. Aku bersusah payah menyingkirkan sikap dinginku yang biasa kurang peduli pada hal-hal yang ada di sekeliling demi dirinya, melancarkan satu langkah cepat untuk membawanya ke dalam hidupku yang kosong sejak Brielle—istriku, meninggal enam tahun yang lalu.

Brielle punya nuansa rambut yang sama dengan Amanda, merah yang cantik dan lurus, menjuntai halus di sepanjang punggungnya. Untuk sedetik yang terasa menyiksa, aku sempat bertanya-tanya pada diriku sendiri mengenai semua pemikiran Amanda tentang seorang Logan Caldwell melalui sudut pandangnya. Apa dia menganggapku sebagai pria tua yang menjijikkan dan tidak tahu malu?

“Jadi, kita hanya akan—uh, well, um, tidur bersama dan kau akan menolong Andrew untuk dibebaskan? Mengapa aku seperti sedang mendengar sebuah manuskrip untuk film eksploitasi?” tuding Amanda yang serta-merta menyoroti wajahku dengan penuh antisipasi.

“Tentu saja, Amanda. Aku pria yang tidak pernah mengingkari janji. Lagi pula, kau juga sudah mengantongi kartu namaku. Alamat, nomor yang bisa kau hubungi, dan lainnya tertera dengan jelas di sana,” balasku kemudian.

“Kupikir itu bukan ide yang aman. Aku akan mencari jalan lain yang lebih pantas untuk mengeluarkan kakakku dari sana. Aku memang tidak memahami seluk-beluk hukum, tetapi aku akan mencoba dengan segala upaya yang mampu kulakukan,” tolaknya mantap.

Aku belum pernah menerima kegagalan dalam apa pun sebab aku percaya bahwa aku dilahirkan sebagai pendominasi. Jika aku menginginkan sesuatu, maka aku akan mendapatkannya. Begitu juga dengan Amanda, aku sangat menginginkannya, mencicipi setiap jengkal tubuhnya yang ramping dan melampiaskan rasa penasaranku pada sesuatu yang terlindung di balik bahan pakaiannya yang transparan.

Amanda punya daya tarik yang mengundang sekaligus mengagumkan bagiku. Setiap kali pandangan kami bersinggungan, rasanya seperti menemukan sekotak hadiah yang disiapkan oleh Sinterklas yang pernah kupercaya ada semasa kecil dahulu, sesuatu yang belum pernah kujumpai pada orang lain bahkan pada Brielle sekalipun. Aku berharap dia tidak pernah mengetahui isi kepalaku yang berkaitan dengan dirinya karena bisa kupastikan bahwa dia akan mengutuk pikiran kotorku.

“Itukah keputusanmu, Amanda?”

Amanda. Amanda. Amanda. Aku suka menyebut namanya dengan logat Skotlandia-ku, mengulanginya sampai menimbulkan kesan akrab yang kuharap tidak lagi menciptakan jarak di antara kami, tetapi aku akan berhati-hati. Aku tidak ingin membuat wanita itu takut dan lolos dari genggaman atau membuatnya berpikir bahwa aku pria sinting yang hanya peduli pada selangkanganku saja.

“Jika memang begitu menurutmu, maka aku akan menghargainya. Mudah-mudahan kau berhasil sebab seperti yang kita tahu lingkungan di dalam penjara cukup keras. Aku yakin kau juga pernah mendengarnya di suatu tempat,” sambungku dengan seringai yang sengaja kutinggikan pada sudut bibirku.

Kepanikan lagi-lagi mengendap di dalam mata Amanda. Aku tahu perkataanku tadi sedikit banyak mulai menularkan pengaruh pada hatinya sekarang dan itulah yang kuinginkan, memanfaatkan kondisinya yang goyah, memikatnya dengan pelan dan pasti. Bukankah kita harus bersabar untuk hasil yang paling baik dari yang terbaik?

“Baiklah, Amanda. Aku harus pergi. Ada sesuatu yang akan kuurus. Kuharap kau beruntung dengan masalah kakakmu,” ucapku dengan menegaskan nada pada sebaris klausa yang terakhir.

Aku beranjak dari kursi, menggantungkan kemujuran agar berpihak padaku, lantas melirik wanita yang sukses memukauku dengan karakternya yang atraktif itu sekali lagi. Dia masih sama luar biasanya seperti sewaktu pertama kali masuk kemari dan memancing minatku di detik kelima kala aku menangkap siluetnya. Si buah ceri yang memprovokasi kedisiplinanku.

“Tung-tunggu sebentar, Tuan Caldwell. Aku berubah pikiran.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status