Share

Bab 8 Kalau Aku Mati, Aku Akan Membawamu Bersamaku

Jason tidak merasa sungkan sama sekali, dia menyandarkan tubuhnya yang berat di badan Callista.

Tangan Jason mencengkeram bahu Callista dengan erat, seolah ingin meremukkan tulang-tulangnya.

Callista tahu kalau ini adalah hukuman dari Jason karena dia mencoba untuk kabur tadi. Jadi, dia hanya bisa menggertakkan giginya dan menahannya.

“Haruskah aku mengantarmu kembali ke Pavilliun Burgundi?”

Jason berbalik bertanya, “Apakah kamu ingin aku mati?”

Dia mendekatkan diri ke telinga Callista seperti sepasang kekasih dan berbisik, “Tenang saja, kalau sampai aku mati hari ini, aku pasti akan membawamu bersamaku.”

Mendengar perkataannya, Callista pun dengan gemetar berkata, “Di sini adalah kediaman Keluarga Davis, bagaimana mungkin mereka berani bertindak di tempat ini.”

Di malam yang gelap, dia tidak bisa melihat sorot mata Jason dengan jelas, tapi suaranya terdengar sangat dingin.

“Apa kamu pikir kalau kediaman Keluarga Davis sangat bersih, tempat ini jauh lebih kotor dari pada di luar.”

Callista tidak berani mencari tahu makna mendalam di balik perkataan Jason, dia lalu dengan hati-hati membawa Jason masuk ke dalam bangunan kecil tersebut.

Awalnya, Callista ingin menempatkannya di ruang tamu, tapi jika sampai ada orang yang melihatnya, maka masalah ini akan semakin rumit. Karena itu, dia pun membawanya masuk ke dalam kamar.

Jason tanpa sungkan bersandar di tempat tidur yang baru saja dirapikan oleh Callista, dia lalu mengangkat tangannya dan meminta Callista untuk membantunya melepaskan jaket.

Setelah jaket Jason dilepas, Callista baru bisa melihat dengan jelas gumpalan darah di bagian perut Jason yang telah membasahi jaketnya.

“Kamu!”

Jason menyingkap bajunya dengan satu tangan, lalu menatap luka mengerikan yang ada di perutnya sambil tertawa dengan sinis dan berkata, “Kejam sekali.”

Kulit tipis yang melapisi ototnya dan berwarna coklat bercampur noda darah, membuatnya orang merasa tidak nyaman.

Callista segera mengambil handuk bersih dan membersihkan darah yang ada di sekitar luka. Luka tersebut tampak seperti tersayat pisau tajam, meskipun darahnya sangat banyak, lukanya tidak begitu dalam.

Callista tampak khawatir dan berkata, “Lukamu harus diperban, aku akan pergi mencari kotak obat.”

Saat Callista keluar, ada ketakutan yang merayap di hatinya, dia khawatir kalau dia akan bertemu dengan orang-orang itu lagi.

Namun anehnya, Paviliun yang tadinya sunyi senyap tiba-tiba kembali normal.

Para satpam tampak berpatroli di luar taman, para pelayan juga tampak sedang menyapu pekarangan.

Jika bukan karena darah Jason yang menempel di jarinya, dia mungkin akan mengira kalau momen krisis tadi hanyalah sebuah ilusi.

Kondisi yang normal seperti ini bahkan lebih menakutkan dari pada momen mendebarkan tadi pagi.

Seluruh tubuh Callista terasa sangat dingin, dia tidak bisa berhenti memikirkan, peran apa yang dimainkan oleh Keluarga Davis dalam rencana pembunuhan kali ini.

“Nyonya Callista, apakah ada yang bisa saya bantu?”

Callista menatap pelayan yang berbicara dengannya, detak jatungnya semakin cepat. Wajah pelayan yang terlihat lembut dan ramah pagi tadi, sekarang jadi terlihat seperti iblis.

Namun dia tetap bersikap tenang dan berkata, “Bantu aku mencari kotak obat.”

Pelayan tersebut ragu-ragu sejenak, lalu berkata, “Apakah Anda terluka? Perlukah aku memanggil dokter keluarga untuk Anda?”

Callista meliriknya dengan dingin dan berkata, “Aku hanya butuh kamu mengambilkan kotak obat untukku.”

Sikap Callista ini membuat pelayan itu tidak berani bertanya lagi.

Tidak peduli siapa pun yang ingin membunuh Jason, karena mereka sudah gagal, mereka pasti tidak berani untuk bertindak sembarangan. Jadi, walaupun mereka menaruh curiga, mereka tetap tidak berani melakukan apa- apa lagi.

...

“Ssh.”

Callista menggunakan kapas dan alkohol untuk menekan luka, saat melihat Jason mengerutkan keningnya, dia pun kembali melepaskannya. Namun, Jason segera menahan tangan Callista, dengan senyuman yang kecut berkata, “Apakah kamu sedang membalas dendam padaku?”

Callista pun dengan canggung menjawab, “Aku tidak punya pengalaman.”

Mendengar jawabannya, Jason pun tertawa dan berkata, “Pertama kali lagi?”

Dia lalu melepaskan tangan Callista dan kembali berbaring, “Baiklah, aku akan memberimu kesempatan untuk berlatih.”

Kata-katanya memang sangat serius, tetapi karena ucapan itu keluar dari mulut Jason, jadi Callista merasa ada yang aneh dengan kata-kata itu.

Kebetulan, bagian tubuh Jason yang terluka adalah bagian pinggang dan perut, jadi saat membersihkan luka, ujung jari Callista mau tidak mau menyentuh kulitnya.

Mereka memang sudah pernah berhubungan intim sebelumnya, tetapi waktu itu, mereka melakukannya di atas mobil dan mereka juga diselimuti oleh kegelapan dan suara hujan deras. Berbeda dengan sekarang, di bawah cahaya lampu yang terang, dia dapat melihat nafsu pria itu dengan jelas.

Callista tidak berani melihat perubahan pada bagian tubuh Jason yang tiba-tiba menegang itu. Dia pun segera membersihkan luka di tubuh jason dan menempelkan plester medis di bagian lukanya.

Kemudian duduk di tepi tempat tidur dan membereskan kotak obatnya sambil berkata, “Lukamu sudah diobati, beristirahatlah lebih awal.”

Saat dia baru saja mau bangkit berdiri, sebuah tubuh yang hangat memeluknya dari belakang, pria itu menggigit bagian belakang leher Callista dan bernapas di telinganya yang sensitif sambil berkata, “Masih ada satu tempat yang belum ditangani.”

Pipi Callista langsung memerah, dia ingin berontak, tetapi dia takut menyentuh luka di tubuh Jason.

Karena itu, dia hanya berkata, “Kamu sedang terluka.”

Jason dengan perlahan membuka kancing baju Callista, “Karena itu, kamu harus mengeluarkan sedikit tenaga nantinya.”

Callista menahan tangan Jason, lalu dengan suara bergetar berkata, “Tuan Jason, waktu itu, anggap saja kamu telah membantuku, kali ini aku juga membantumu sekali, jadi kita berdua impas.”

“Cukup adil.”

Callista mengira kalau dia sudah berhasil membujuknya, dia pun merasa sangat lega dan berkata, “Kelak, kita tidak boleh memiliki hubungan seperti ini, ke depannya, kita harus menjaga ….”

“Tuan Jason!”

“Ya, aku di sini.” Jason menanggapinya dengan singkat.

“Bukankah kamu mengatakan kalau ini cukup adil!”

Jason mencengkeram tangan Callista yang memberontak dan menekannya, “Memang adil, tapi kenapa aku harus bersikap adil padamu? Siapa yang bilang kalau dunia ini adil?”

“Tidak tahu malu!”

“Jika kamu memakiku lagi, aku akan membawamu ke hadapan Edbert dan membiarkannya melihatku menidurimu.”

Ucapan Jason yang kejam tadi membuat Callista pasrah dan tidak bisa berkata apa-apa.

Pria itu menggunakan punggung tangannya untuk menepuk-nepuk wajah Callista, lalu berkata dengan nakal, “Bersikaplah dengan patuh.”

Callista yang tidak berdaya pun kembali ditarik Jason ke dalam jurang nafsu.

Awalnya Callista masih bisa bersikap rasional dan masih ingat untuk tidak menyentuh luka di tubuh Jason, tetapi kemudian, karena otaknya menjadi kacau dan tubuhnya semakin bergejolak, dia pun jadi melupakan hal ini.

Sebaliknya, saat Jason melihat luka di punggung Callista, sorot matanya langsung menjadi semakin suram.

Meskipun Jason tidak melepaskannya, dia juga tidak menekan punggung Callista.

Callista tidak pernah merasakan malam yang begitu panjang, dia sudah tidak ingat berapa kali dia merintih dan kapan dia tertidur.

Dia hanya ingat saat Jason membalikkan tubuhnya dan mengobati luka di punggungnya.

...

Paginya, Callista dibangunkan oleh suara dering telepon.

Dia yang masih mengantuk pun mengangkat telepon tersebut dan berkata dengan suara serak, “Halo.”

“Kamu masih belum bangun? Kamu sengaja bersikap seperti ini bukan! Cepat ke sini!”

Suara kemarahan Edbert terdengar sangat keras, Callista seolah seperti sedang menyalakan pengeras suara pada ponselnya.

Begitu melihat jam, ternyata sudah pukul setengah Sembilan.

Callista ingat, pelayan di sana pernah memberitahunya kalau upacara akan dimulai pukul sembilan.

Karena itu dia pun langsung menyeret tubuhnya yang sakit dari tempat tidur dan segera merapikan diri lalu mengganti baju yang berkerah tinggi.

Saat dia menoleh ke arah tempat tidur, dia melihat ada banyak noda darah di sana seolah seperti baru saja terjadi pembunuhan. Dia tidak tahu lagi apakah itu adalah darahnya atau darah Jason. Belum lagi berbagai jejak kusut yang bisa membuat wajah orang yang melihatnya menjadi panas.

Saat dia berpikir bagaimana caranya dia membereskan tempat ini, tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintunya.

“Nona Callista, apakah Anda sudah bangun?”

“…” Seketika itu, dia tidak tahu harus menjawab apa.

Dia tidak berani menjawabnya, dia takut, begitu dia menjawabnya, pelayan tersebut akan langsung masuk ke dalam kamar.

Namun, dia juga tidak bisa terus diam saja, waktu sudah menunjukkan hampir jam sembilan, dia tidak bisa menunda waktu lagi.

Seketika itu, Callista merasa sangat dilema.

Sementara itu, pelayan yang ada di luar seolah tahu apa yang dipikirkannya, dia merendahkan suaranya dan berkata, “Nona Callista, Tuan Jason yang menyuruhku untuk datang ke sini.”

Pada saat yang sama, dia juga menerima sebuah pesan dari Jason yang berbunyi: “Layanan kamar, tidak perlu berterima kasih.”

Saat melihat pesan tersebut, Callista merasa sangat tercengang, dia tidak tahu sejak kapan dia menyimpan nomor telepon Jason.

Dalam hatinya berpikir, pasti Jason yang melakukannya saat dia sedang tidur. Kalau memang begitu, berarti pelayan tersebut tidak berbohong.

Karena waktunya yang sudah mepet, Callista pun mengabaikan rasa malunya dan membukakan pintu untuk pelayan tersebut.

Pelayan tersebut bekerja dengan sangat gesit, dia bersikap seolah-olah tidak melihat apa-apa, lalu dengan cepat mengganti seprai baru dan memasukkan seprai lama ke keranjang sehingga tidak ada jejak yang tertinggal.

Rasa malu yang ada di dalam hati Callista pun jadi berkurang, “Terima kasih.”

Saat dia hendak beranjak pergi, pelayan tersebut tiba-tiba memanggilnya.

“Nona Callista, Tuan Jason memintaku untuk memberikan ini padamu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status