Share

Bab 7 Pembunuhan

“Kita tinggal di Mansion malam ini.”

Tangan Callista yang sedang memakai jaket dan bersiap-siap untuk pergi, terhenti sesaat, “Kenapa?”

Mengingat kinerja Callista hari ini lumayan bagus, Edbert terpaksa menjelaskan padanya.

“Kakek memberikan kita hadiah yang begitu besar. Ayah dan ibu menyuruhku untuk menginap dua hari bersama kakek, agar kita bisa lebih akrab dengannya. Pasti tidak ada ruginya.”

Kebetulan Edbert sedang mengirim pesan, matanya menatap layar ponsel dengan penuh rasa sayang. Akan tetapi saat dia mengangkat kembali kepalanya, wajahnya tampak begitu tidak sabaran.

“Sudahlah, aku masih ada urusan. Kamu pergi ke Paviliun Gandaria dulu saja.”

Di kediaman keluarga Davis, selain Paviliun Utama milik Kakek Eko Davis, masih ada Paviliun Gandaria, Paviliun Lily, Paviliun Burgundy dan Paviliun Krisan yang terletak di sebelah utara dan selatan.

Keempat Paviliun ini letaknya paling dekat dengan Pavilium Utama milik Kakek Eko. Saat ini, hanya anggota keluarga dari si sulung, Vincent Davis yang tinggal di Paviliun sebelah Selatan.

Sedangkan anggota keluarga putra kelima keluarga Davis, yakni Edbert Davis sekeluarga, mereka tinggal di Paviliun Gandaria.

Saat Callista diantar pelayan ke Paviliun Gandaria, dia melihat Paviliun Burgundi yang hanya dipisahkan sebuah taman bunga kecil. Ada orang yang berlalu-lalang di Paviliun Burgundi. Callista pun bertanya, “Bukankah tidak ada orang yang tinggal di Paviliun Burgundi?”

“Malam ini Tuan Jason Davis akan menginap di Mansion, beliau akan tinggal di sana, Non.”

Callista tertegun, setelah ditakut-takuti beberapa kali oleh Jason, agak membuatnya merasa sedikit cemas begitu dia mendengar nama Jason disebut.

“Nona Callista?”

Callista terhentak, “Tak apa, kembalilah pada pekerjaanmu.”

“Baik.”

Setelah pelayan pergi, Callista kembali melihat ke arah Paviliun Burgundi.

Hanya satu malam saja, asalkan Callista tidak keluar dari Paviliun Gandaria, seharusnya tidak akan bermasalah.

...

“Apa? Satpamnya berhenti bekerja?"

Jessica sangat kebingungan saat menerima panggilan, “Apakah dia ada mengatakan alasannya?”

“Kalau ini aku kurang tahu, dia hanya mengatakan ingin pulang kampung saja, dia bahkan tidak mengambil gajinya dan langsung pergi begitu saja.”

Jessica sangat kebingungan, padahal tidak terjadi apapun, kenapa satpam itu tiba-tiba berhenti kerja?

Dia lalu melihat ke tas tentengannya, di dalamnya berisi setelan jaket semalam.

Dia kemarin memeriksa merek yang tertera pada jaket itu, harganya membuat Jessica tercengang. Model setelan jasnya juga tidak seperti jaket yang di jual di pasaran pada umumnya, itu adalah jaket pesanan khusus yang dibuat untuk kalangan kelas atas.

Ditambah dengan satpam yang tiba-tiba mengundurkan diri, membuat Jessica makin yakin dengan dugaannya. Setelan jaket ini tidak seperti yang dikatakan oleh Callista, bukan Callista sendiri yang sengaja meninggalkan jaket itu, melainkan pria misterius yang sengaja meninggalkannya.

Jessica segera menelepon sahabatnya yang bekerja di konveksi pakaian bermerek terkenal, memintanya untuk melacak siapa orang yang membeli baju ini. Sahabatnya menjanjikan akan memberikan jawaban dalam tiga hari ke depan.

Jessica semakin bersemangat, jika Callista benar-benar ada pria lain di luar, maka ke depannya Callista akan berada di bawah kendali Jessica.

“Apa yang kamu pikirkan?”

Jessica tenggelam dalam pikirannya, dia bahkan tidak menyadari kedatangan Edbert Davis di sampingnya.

“Kakak, kamu mengagetkanku saja!”

“Jangan takut. Ayo, sini.”

Edbert memangkunya dan tangannya mulai meraba masuk ke dalam baju Jessica.

Jessica menghindar sambil tertawa kecil, “Kakak ipar masih menunggumu di kamar, kamu malah datang ke sini diam-diam menemuiku, apa kamu tidak takut ketahuan?”

“Memangnya kenapa kalau ketahuan, mana mungkin seorang pria hanya punya satu perempuan. Dia bagian dari keluarga Gracia, seharusnya sudah paham tentang hal ini.”

Jessica menggerutu, “Kalau begitu, ada aku di sisi kakak, juga belum cukup puas?”

Tangan Edbert mulai meraba, “Kalau kamu bisa melayaniku dengan baik, aku hanya ingin bersamamu saja.”

“Kak, kamu sangat nakal.”

Jessica sangat hebat di ranjang, Edbert bisa bermain dengannya sepanjang malam. Saat Edbert kembali ke kamar, dia masih memikirkan Jessica.

Setelah selesai mandi dan keluar, Callista menyadari ada Edbert di dalam kamar, dia buru-buru membalikkan badannya.

Setiap kali melihat Callista, Edbert selalu menemukan bekas milik pria lain di tubuhnya.

Ironisnya, Edbert sedang menggoda adik sepupu perempuan kesayangannya yang hanya terpisah oleh sebuah tembok melalui ponselnya, pria itu sama sekali tidak memedulikan Callista.

Callista membalikkan badan sambil memegang erat kerah untuk menutupi lehernya, dengan nada yang dingin, “Kenapa kamu bisa masuk.”

Edbert mengangkat kepalanya dengan tidak senang, melihat wajah Callista yang cemas, dia menjadi kesal.

Kenapa masih berpura-pura, bukankah kemarin masih memohon untuk menidurinya? Kenapa sekarang malah berpura-pura seperti gadis suci.

“Ini rumahku. Apa aku masih harus melapor padamu ke mana tujuanku? Kamu pikir, aku mau tidur satu kamar denganmu? Jika bukan karena takut dicemooh yang lain, aku sama sekali tidak ingin melihatmu!”

Edbert sendiri pun tidak menyadari, di dalam dirinya selain kebencian, juga masih ada rasa kekesalan pada sikap Callista yang dingin.

Hanya karena Callista mengetahui perselingkuhannya dengan Jessica, lantas bersikap dingin padanya?

Benar-benar tidak masuk akal.

Dia saja tidak mempermasalahkan Callista membuntuti dirinya!

Lagipula, laki-laki mana yang tidak suka main. Apalagi Jessica itu 'kan adik sepupunya, bagian dari keluarganya. Kenapa tidak bisa menerima keadaan?

Beginilah isi hatinya, begitu pula yang dia ungkapkan pada Callista.

Setelah mendengar alasan Edbert yang tidak masuk akal itu, Callista tersenyum kaku, “Jadi, kalau keluarga maka harus menerimanya?”

“Tentu saja!”

Edbert menegaskan, “Jessica itu bagian dari keluarga!”

Callista menjawab dengan nada yang tajam, “Oh begitu. Camkan ucapanmu hari ini.”

Keduanya bertengkar hebat, Edbert keluar sambil membanting pintu.

Tak perlu ditanya lagi, pasti pergi ke kamar adik sepupu perempuannya itu.

Callista akhirnya merasa sedikit lebih tenang.

Setelah mengeringkan rambut, saat baru berbaring di atas ranjang, punggungnya terasa nyeri.

Dia melihat ke cermin, punggungnya terkena air dan mulai berdarah lagi. Jika tidak segera diobati, besok pasti akan bernanah.

Callista mengenakan jaketnya dan turun ke bawah untuk mencari kotak obat.

Dia sebenarnya tidak familier dengan Paviliun Gandaria. Setelah mencoba mencari di ruang tamu dan masih belum menemukannya, dia berniat untuk keluar dan bertanya pada pelayan.

Angin malam sangat dingin, baru melangkahkan kaki keluar saja, dia langsung menggigil kedinginan.

Sandalnya menginjak batu-batu di jalanan, batu kerikil yang kecil mulai masuk ke celah sandalnya.

Keheningan malam membuatnya bisa mendengar suara angin mengembus, seketika dia mulai merasa panik.

Saat dia baru tiba siang tadi, ada banyak orang yang berlalu-lalang di Kediaman Keluarga Davis, penjagaannya juga sangat ketat, kenapa sekarang malah menjadi sepi sekali.

Saat sedang bergumam, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang mendekat.

Tubuhnya bereaksi lebih cepat daripada pikirannya, dia segera bersembunyi di belakang pintu. Di sini ada sebuah patung pahatan yang bisa dipakai untuk bersembunyi.

Tak lama setelah Callista bersembunyi, muncul empat sampai lima pria asing.

Di bawah cahaya malam, mereka berbincang dengan suara kecil.

“Kenapa menghilang?”

“Tadi jelas-jelas melihat dia pergi ke arah Paviliun Gandaria.”

Bersembunyi di kegelapan, Callista bisa melihat senjata yang ada di tangan mereka. Dia segera menutup mulut dengan tangannya sendiri.

Karena di Paviliun Gandaria masih ada yang tinggal dan takut mengganggu penghuni di sana, mereka hanya melihat-lihat sekilas dan langsung pergi.

Saat Paviliun Gandaria sudah kembali tenang, tubuh Callista sudah melemah.

Setelah menyadari tubuhnya melemah, Callista mulai berkeringat dingin. Sekujur punggungnya basah karena berkeringat, membuat Callista merasa kesakitan dan perih.

Setelah itu, dia tidak mencari obat lagi, dia merasa bisa selamat saja sudah cukup.

Saat baru akan berjalan kembali, muncul suara dari belakang Callista.

Bulu kuduknya langsung berdiri, dia menoleh ke belakang secara perlahan. Dengan perasaan wanti-wanti kalau suara itu adalah rekan dari kelompok pria bersenjata tadi.

Di sudut yang gelap, seorang pria duduk di lantai sambil memegangi perutnya. Tatapan mata yang hitam pekat dan tajam seperti seekor cheetah itu melototi Callista.

Begitu melihat pria itu adalah Jason, Callista tidak mengatakan apapun, dia langsung membalikkan badan dan bergegas hendak pergi.

“Walaupun aku terluka, aku tetap bisa membunuhmu.”

Nada bicara pria itu kejam, seperti sudah bertekad untuk membunuh.

Callista berbalik badan sambil tersenyum paksa, “Tuan Jason, ada perintah apa?”

Jason melihat Callista seperti pengecut, dia tertawa ringan dan bertanya “Tidak jadi pergi?”

“Aduh ucapanmu ini, mana mungkin aku meninggalkanmu, aku hanya mau pergi mencari kotak obat saja kok.”

Melihat sikap wanita ini begitu cepat berubah, Jason semakin girang.

Padahal tadi dia jelas-jelas ingin kabur, sekarang dia masih mencari alasan untuk membela diri.

Kemunafikan Callista membuat semuanya terasa semakin menarik.

“Cepat bantu memapahku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status