Selamat! Membaca 🤗
🍁🍁🍁 Dua jam berlalu, tapi Mas Fandi dan Mama masih belum keluar dari kamar. Membuat hatiku semakin gelisah, apakah Mas Fandi ketiduran di sana? "Naya! Apa yang kamu lakukan di sini?"tanya Mbak Wina yang melihatku tengah mondar-mandir di depan kamar Mama. "Mbak, bisa tolong aku untuk memanggil Mas Fandi? Jika Mbak Wina yang mengetuk pintu kamar Mama, beliau pasti tidak akan marah,"pinta ku. "Aku tidak berani, sudah kamu tidak usah memperdulikannya. Lebih baik kau tidur saja di kamarmu." Apa! Bisa-bisanya Mbak Wina memintaku untuk tidak memperdulikan ini, bagaimana bisa aku abay pada suamiku yang sudah lebih dari 4 jam berada di kamar mertuaku. Aku mengkhawatirkan mereka berdua. "Mbak, apa Mbak Wina tidak merasa khawatir? aku takut terjadi sesuatu pada Mama, tadi sore Mama marah padaku, aku takut jika karena ini tensi darah Mama jadi naik." "Tidak Naya, mereka berdua sudah biasa seperti ini. Sudah, lebih baik kamu tidur saja ini sudah malam,"sahut Mbak Wina dan langsung pergi dari hadapanku yang masih cemas dan kebingungan. Sambil mencoba untuk tenang dan menghilangkan rasa khawatir di hati, aku memutuskan untuk mengikuti saran dari Mbak Wina, masuk ke dalam kamar dan membaringkan tubuhku di atas ranjang, berharap Mas Fandi segera masuk ke dalam kamar kami. *** Perlahan aku membuka mata karena telingaku menangkap suara bisik-bisik di depan kamar. Aku yang sadar jika sedang menunggu Mas Fandi langsung beranjak dari baringku dan melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 01: 00 dini hari. Astaghfirullah, aku ketiduran. Di mana Mas Fandi? tidak ada Mas Fandi di ranjang kami. Apa mungkin Mas Fandi sedang keluar untuk mengambil minum. Telinga ku yang masih mendengar suara-suara di depan kamar membuat jiwa keingi tahunku bangkit. Perlahan aku berjalan mendekati pintu, dan refleks aku menempelkan telingaku di pintu. Mama, Mas Fandi! aku sungguh terkejut karena suara bisik-bisik yang aku dengar suara Mama dan Mas Fandi, tapi apa yang sedang mereka bicarakan di depan kamarku dan kenapa harus di jam seperti ini? Aku semakin mempertajam pendengaranku, namun sayangnya aku tidak bisa mendengar kata-kata yang keluar dari suara bisik-bisik itu, yang aku yakini orang yang ada di luar kamarku adalah Mas Fandi dan Mama. Setelah beberapa detik aku menguping, aku kehilangan suara bisik-bisik mereka hingga membuatku terpaksa membuka pintu kamar. "Naya!"Mas Fandi teramat terkejut saat melihatku, tapi aku tidak melihat kehadiran Mama di sana. "Anaya, kamu belum tidur?"tanyanya yang masih memasang wajah kaget. Belum tidur! pertanyaan Mas Fandi ini membuatku menyadari jika Mas Fandi belum kembali ke kamar kami sejak sore tadi, jika dia sudah kembali ke kamar tentu dia tahu jika aku sudah tidur. "Iya Mas, aku tidak bisa tidur karena kamu belum kembali ke kamar sejak tadi,"jawabku berbohong karena aku ingin meyakinkan jika Mas Fandi belum kembali sejak sore tadi. Benar saja, Mas Fandi langsung meminta maaf untuk itu. "Maafkan aku Naya, tadi aku ketiduran di dalam kamar Mama, sampai aku lupa jika ini sudah tengah malam." Meskipun seperti itu, tapi aku cukup lega karena ternyata Mas Fandi benar-benar ketiduran di sana, aku khawatir jika terjadi sesuatu kepadanya. "Ya sudah kalau begitu, ayo kita masuk."Mas Fandi menyentuh pundak ku dan mendorongku kembali ke kamar. ** "Aku mandi dulu ya,"kata Mas Fandi dan dia langsung masuk kedalam kamar mandi. Mengingat kejadian beberapa saat tadi, membuat hatiku tiba-tiba cemas. Ada rasa ingin tau yang sangat besar di hatiku ini. Apa yang sedang Mas Fandi dan Mama bicarakan tadi? Aah, sudahlah! aku tidak mau berburuk sangka, Mama mertua ku sangat baik mungkin dia masih kesal denganku hingga dia meminta Mas Fandi untuk menasehati ku. 🍁🍁 Ke esokan harinya. Aku sudah tidak lagi melihat wajah kesal dan marah dari Mama, itu membuatku sangat lega dan senang. Usai menghabiskan sarapannya, Mas Fandi bersiap-siap untuk pergi ke Pabrik. Ya, Mas Fandi adalah buruh Pabrik yang bergerak di bidang makanan Instan. "Naya, aku berangkat dulu ya. Jika kamu ingin ke Rumah Ibu, jangan pulang terlalu sore,"kata Mas Fandi, dan aku langsung mengangguk patuh "Anaya, kau ingin pulang ke rumah ibumu?"tanya Mama padaku "Iya, Ma. Aku kangen dengan Ibu."Jawabku jujur. "Baru beberapa hari saja masa sudah kangen, kamu harus membiasakan diri untuk jarang bertemu dengan Ibumu. Karena kamu harus lebih mendahulukan suamimu,"kata Mama ketus. Aku yang merasa Mama akhir-akhir ini aneh, hanya bisa mengangguk. Mungkin Mama ingin membimbingku agar menjadi istri yang baik untuk Mas Fandi. "Tidak apa-apa Ma, sejak kecil Anaya selalu bersama Ibunya. Dia tidak pernah tidak bertemu dengan Ibunya lebih dari dua hari. Pasti Anaya kangen."Sahut Mas Fandi, yang lagi-lagi membela ku. "Terserah kamu saja Fan,"sahut Mama semakin ketus dan berlalu dari hadapan kami. "Anaya, jangan di ambil hati kata-kata Mama tadi ya. Mama hanya sedang kesal karena ada beberapa hal yang menggangu pikirannya, sehingga beliau jadi mudah marah. Tapi seperti yang sering aku katakan padamu, Mama sangat baik."Kata Mas Fandi sambil membelai rambutku. * "Hati-hati di jalan ya Mas,"ucapkan dan langsung meraih tangan Mas Fandi untuk mencium punggung tangan suami ku ini. "Iya, kamu juga hati-hati ya."Timpal Mas Fandi sambil mengusap pipiku dengan sangat lembut. Momen seperti inilah yang sering aku impikan sejak dulu, mengantar suami yang akan berangkat kerja sampai depan pintu, mencium punggung tangannya dan aku mendapatkan kecupan sayang di kening, dan Alhamdulillah aku bisa mewujudkan impiannya ku ini. Aku berharap semoga akan terus seperti ini selalu dan selamanya. Bersambung..Maida mengangkat wajahnya, menatap Naya dengan sangat serius. Garis wajah wanita ini memegang, sangat menyeramkan. Siapapun yang menatap pasti akan ketakutan.“Kamu, melarikan diri, dari sana?” Melarikan diri! Tentu Anaya paham arah pembicaraan ini.“Tidak, mereka tau kalau aku pergi dari sana,” sahut Anaya dengan tenang. “Lalu, apa kamu berniat melaporkan ini pada, Fandi?” Naya langsung menggeleng, “Tidak,” jawabnya, yakin.Maida tertawa, “Tidak! Sungguh saya tidak percaya.”Masih dengan ekspresi tenang, Anaya menimpali Maida, “Terserah jika Mama tidak percaya, tidak masalah untukku. Lagi pula, bukankah percuma aku mengadu pada Mas Fandi, dia tidak akan bertindak apa-apa.” Prok! Prok! Prok….!Maida bertepuk tangan, “Semakin hari kamu semakin pandai, Naya! Saya suka itu. Setidaknya saya punya lawan yang seimbang.” Lawan! Ternyata benar, selama ini wanita itu menganggap Menantunya, lawan. “Apa masih ada yang ingin Mama bicarakan?”Jika mertuanya menganggap Lawan, untuk ap
Maida yang terlanjur kesal, langsung mematikan panggilan, "Putar balik, pak!" pintanya pada sopir taksi. Kening wanita ini berkerut, saat ponselnya kembali berdenging dan itu panggilan dari orang yang sebelumnya ia telpon, Maida kesal ia meremas kuat-kuat gadget yang ada di tangannya, "Kamu pikir aku bisa di permainankan, tidak semudah itu, sayang!" Sopir taksi yang tidak sengaja melihat Maida dari kaca spion bergidik ngeri, melihat wajah dan tatapan mata penumpangnya penuh dengan amarah menggelegar. Sadar di perhatikan, Maida menatap semakin tajam pada sopir taksi, "Fokus saja ke depan, jangan kepo pada urusan orang jika ingin selamat!" Sopir langsung mengalihkan pandanganya, ia pura-pura tidak mendengar ucapan Maida. ** "Aku pulang dulu, ya!" kata Fandi dengan tergesa-gesa, sambil meraih jaketnya yang tergantung. "Mau kemana?" tanya temanya heran. "Pulang." "Apa! pulang, tumben, ada apa?" "Sudah jangan banyak tanya, hari ini aku kerja setengah hari ya, aku sudah
“Katakan padaku, di mana Mama membawamu? Apa benar kamu bertemu teman arisan Mama? Lalu apa yang mereka lakukan padamu?” “Wina, pelan-pelan. Sebaiknya kita biarkan Naya tenang dulu, jangan di teror dengan pertanyaan yang banyak,” tegur Hanan, dan ia langsung menyodorkan segelas air putih pada Adik Iparnya. “Terima kasih, Mas,” Naya menerima air itu, dan karena ia memang sedang kehausan Naya menghabiskan air itu dalam satu kali tegukan. Wina dan Hanan saling pandang, dalam benak mereka hanya ada satu pertanyaan! Apa yang terjadi pada Anaya? “Apa kamu mau minum lagi?” Tanya Hanan. “Tidak Mas, sudah cukup.” Naya langsung meletakkan gelas di atas meja. “Naya, apa yang terjadi?” Wina yang tidak sabar langsung bertanya intinya. Naya terdiam sejenak, ia tidak mau gegabah dengan menceritakan semuanya pada Wina dan Hanan, mengingat dua orang ini sangat teramat patuh pada Maida, tidak menutup kemungkinan mereka akan mengadu. Naya memutuskan untuk merahasiakan ini dari Hanan dan Win
Mama pergi dengan Naya? kenapa ga bilang. Fandi mematung, ia sama sekali tidak memperdulikan Gading yang masih menunggu jawaban. Pikiran Fandi tiba-tiba kalut, biar bagaimanapun juga Anaya adalah istrinya, wanita yang ia cintai. "Fandi!" panggil Gading, dengan membentak. Lelaki itu tersadar, namun masih tidak bicara apapun lagi. Dengan wajah yang linglung Fandi pergi ke sebuah ruangan sambil merogoh saku celananya. "Hei! mau kemana Lo? gue belum selesai bicara!" Gading kembali membentak saat ia di acuhkan begitu saja, "Sial! berani sekali dia bertindak tidak sopan, apa dia lupa kalau aku ini Kakak Iparnya," kesal Gading. Kakinya sudah melangkah, ingin menyusul adik Ipar yang ia anggap tidak sopan itu. Tapi.... "Maaf Pak, Anda tidak diizinkan masuk, itu ruangan khusus karyawan pabrik," cegah seorang lelaki tua yang bertugas sebagai keamanan. "Saya belum selesai bicara dengannya," kata Gading yang tidak peduli dan melanjutkan langkah kakinya. "Pak! mohon kerjasamanya
37 Saat menantu lelakinya menanyakan keberadaan menantu perempuannya, Maida memicingkan mata. Tidak ada yang bisa menebak apa yang ada dipikiran wanita itu hanya dia dan tuhan yang tahu. "Ma, dimana Anaya?" kini Wina yang berani bertanya, ia sudah tidak peduli lagi jika Ibunya itu akan marah, karena Wina tidak mau mengulangi kesalahan untuk yang kedua kali. Kejadian 4 tahun silam sudah membuatnya merasa bersalah sampai saat ini, bahkan mungkin, sampai ia matipun akan tetap merasa bersalah. "Wina, apa kamu sudah benar-benar sehat?!" tanya Maida, namun pertanyaan ini tidak terdengar seperti pertanyaan. Wina yang mengerti, langsung menunduk takut, melihat mata Maida yang menatapnya tajam Wina seperti tersihir hingga membuatnya membeku. "Hanan!" panggilannya pada lelaki yang masih berdiri di sana, Hanan juga seperti orang yang linglung, dengan menatap Maida lekat namun kosong, Hanan menyahut, "Iya, Ma!" "Kamu seorang ayah, sudah seharusnya kamu menjaga anak dan istrimu denga
Pada detik itu juga Naya merasakan hawa yang berbeda, dari wajah-wajah para orang tua di sana semakin membuat Naya, waspada. "Rileks cantik, jika kamu tegangan seperti ini, pasti akan terasa kaku." Naya tersentak, saat suara itu terdengar di telinganya, bukan cuma suaranya saja yang membuat Anaya kaget, tapi gerakan lembut dari jari tangan mengelus pipi kirinya. Naya menepis tangan-tangan yang mengerubungi nya, ia bangkit dari duduk, semua menatap Anaya tidak percaya, mata Naya kini fokus pada Ibu Mertuanya, "Ma, apa kita masih lama disini? tidak tidak aku ingin segera pulang." Hahaha.. Hahaha... Ucapan Naya yang ingin pulang, sekita di sambut tawa menggema dari para wanita sepuh di sana, entah apa yang mereka tertawakan, tapi melihat dari wajahnya mereka mengejek Naya. Satu orang berjalan mendekat Maida, "Jeng, apa sebelum datang kesini kamu tidak memberi tahu Menantumu ini?" tanya Wanita itu. Maida hanya menggeleng tanpa mengatakan apapun. "Oh, pantas saja. Tapi tidak