MasukKlak
Pintu kamarku kini telah terkunci sempurna. samar - samar, aku bisa mendengar suara ringikan kuda tengah menungguku diluar sana. Mataku berpendar kekanan kekiri, memastikan bahwa jas coklat yang kukenakan terpasang rapih ditubuhku. kugenggam koper berwarna coklat tua yang sebagian besar hanya berisi pakaian beserta peralatan yang akan kubutuhkan ditangan kiriku. Aku menghembuskan nafas panjang. Entah mengapa langkah kaki yang kuambil menuju pintu keluar terasa begitu berat. mataku kini berpendar melihat sekeliling ruangan yang hanya dipenuhi oleh beberapa lukisan kuno beserta lilin - Lilin yang tertata rapi diatas kabinet antik disudut ruangan. Beberapa pelayan nampak mengantarku hingga kedepan halaman seraya memberi kalimat semangat atau sekedar pelukan hangat yang terasa seperti perpisahan yang nyata. Musim gugur membuat hembusan angin nampak terasa dingin. Beberapa daun kering nampak bertebaran di atas rumput dan beberapa lainnya masih melayang tanpa arah. Sebelum tubuhku sepenuhnya masuk kedalam kereta kuda, sorot mata seseorang dari kejauhan nampak mengamatiku dengan raut wajah yang samar. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas karna cahaya matahari yang hampir menusuk mataku. Tapi yang pasti, seseorang itu mengenaliku lebih jauh. Ngikkk Kereta kini mulai bergerak. Meninggalkan mansion sebesar lima hektare itu jauh dibelakang. Pemandangan yang tersisa hanyalah hutan dan perbukitan kecil disekitarnya. Karna memang kediaman keluarga Dominique sendiri tidak berada dipusat ibukota. Melainkan jauh didalam hutan yang lebat dengan berbagai pepohonan, bukit, serta danau alami yang tercipta. Dari yang kudengar juga. tetua dari keluarga dominique sendiri memang lebih suka dengan suasana sunyi yang hanya ditemani oleh suara burung atau hewan liar yang tak sengaja berkeliaran disekitar sana. Itulah mengapa ia mendirikan kediamannya jauh didalam kedalaman hutan. Meski tidak sedikit juga yang mengatakan bahwa alasannya tentu karna jiwa berburu mengalir disetiap darah keluarga Dominique. Akan jadi menyenangkan jika berburu bisa dilakukan ditempat yang dekat dengan rumah. Butuh setengah jam untuk mendengar suara keramaian di ibukota yang mulai terasa hidup setelah melewati kedalaman hutan yang sunyi. Perjalananku untuk sampai di kediaman keluarga Winston membutuhkan sekitar satu hari untuk sampai kesana. Mengingat, kediaman mereka sendiri berada dekat dengan perbatasan. Tidak ada banyak hal yang bisa aku lakukan didalam kereta kuda selain membaca beberapa buku yang belum sempat aku selesaikan karna banyaknya pekerjaan menumpuk yang menungguku. Sesekali aku turun dari kereta kuda hanya untuk membeli beberapa cemilan atau makanan khas yang mungkin bisa memberikanku pengalaman baru sekaligus mengganjal perut yang yang keroncongan ini. Dikala melanjutkan perjalanan, suara gemuruh petir tiba - tiba terdengar yang samar - samar mengirimkan bau tanah basah yang dengan segera mengundang hujan lebat turun setelahnya. Tapi untungnya. sebelum hujan semakin lebat, kami akhirnya bisa sampai ke kediaman keluarga Winston yang tak terlalu jauh dari pusat kota. Kediamannya memang tidak sebesar milik keluarga Dominique, namun kediamannya juga tidak sekecil rumah penduduk biasa. Terdapat halaman yang luas, kereta kuda milik keluarga, serta air mancur yang nampak nya sudah lama tidak berfungsi. Beberapa sisi rumah ditanami berbagai tanaman bunga yang entah mengapa sedikit menarik perhatianku. Begitu aku turun dari kereta kuda, salah seorang pelayan dengan segera menyuruhku untuk bergegas masuk, mengingat tetesan hujan mulai turun semakin lebat. Beberapa lainnya membawa barang - barang yang tersisa didalam bagasi kereta. Pintu berbahan kayu yang terlihat lapuk itu mulai terbuka, diiringi salah seorang wanita paruh baya yang berdiri tepat ditengah ruangan sambil menyambutku dengan wajah riang. Aku bisa melihat kerutannya yang terbentuk karna senyum lebar diwajahnya. "Selamat datang tuan.. Wanita paruh baya itu nampak menjeda kata - katanya sebelum aku secara sadar memperkenalkan diri terlebih dahulu. "maaf, biar aku memperkenalkan diri terlebih dahulu" "Perkenalkan, aku Harrie Smith. seorang guru yang dikirim langsung oleh Duke Eric Dominique yang bertugas untuk membimbing nona clairence Winston sebelum masa pertunangan" Wanita paruh baya itu nampak bingung sebelum akhirnya mulai tersenyum canggung kearahku "aku sudah mendengar informasi kedatanganmu dari surat yang Duke Dominique kirimkan padaku lusa lalu" "Maaf membuatmu harus memperkenalkan diri untuk kedua kalinya. Semakin bertambah usia, ingatanku juga semakin memburuk" tukas wanita paruh baya itu sambil tersenyum canggung. "Namaku Liana Winston. Aku pemilik rumah ini sekaligus ibu dari claire" "Senang bertemu denganmu countess Winston. Suatu kehormatan bisa mendapatkan sambutan hangat darimu" Aku menaruh salah satu tanganku kedepan dada sambil menunduk. Memberikan salam formal sebagai bentuk kehormatan pada para bangsawan. "Yaampun, padahal ini jauh dari kata mewah untuk sebuah sambutan pada guru berbakat sepertimu" Countess Winston nampak memanggil salah seorang pelayan untuk membawakan koper coklat yang masih tergenggam ditanganku. walau awalnya aku sedikit merasa enggan, tapi koper itu telah berpindah tangan. Countess Winston kini mulai memanduku mengelilingi kediamannya. Tak ada banyak hal yang bisa ku lihat selain, lukisan - lukisan tua yang nampak lapuk masih terpasang disisi dinding. Kabinet - kabinet tua yang entah mengapa mengingatkanku pada kediaman keluarga Dominique. Suasananya juga terasa lebih sunyi dan senyap. Meninggalkan kesan lenggang disetiap langkah perjalanan. Couuntess Winston juga sedikit bercerita bahwa kondisi finansial keluarga tengah memburuk. Bisnis yang count Winston dirikan sejak lama, mulai menemui jalan buntu. Count Winston sendiri kini mulai terlilit banyak hutang. Banyak para pekerja yang mengaku tidak mendapatkan upah setelah bekerja lebih dari setahun. Pengurangan pelayan juga didasari atas kondisi finansial yang semakin buruk. Banyak properti milik keluarga Winston telah di jual atau dilelang untuk menutupi hutang yang terus menumpuk. Aku bisa melihat raut countess Winston yang seketika berubah pucat ketika membahas tentang masalah internal yang selalu ia sembunyikan dari bangsawan lainnya. Tentu, aku paham perasaan countess Winston yang pasti mendapat tekanan stress yang begitu besar. Mengingat kini, count Winston lebih sering menghabiskan waktunya untuk mabuk - mabukan atau berjudi yang alih - alih membantu mengurangi beban hutang keluarga. Malah justru menambah atau lebih tepatnya, membuat hutang keluarga kian memburuk. Tak terasa, kami sudah berdiri tepat diambang pintu kamar Clairence Winston. "Sebentar yaa" Tok Tok Tok "Claire" "Tuan Harrie ingin datang berkunjung ke kamarmu" "Bisakah kau membuka pintu untuknya?" Hening tidak ada jawaban atau suara dari dalam kamarnya. Countess Winston nampak mengatur nafasnya dan kembali mengetuk pintu dengan nada yang sedikit lebih keras "Claire" "Ibu sedang tidak ingin bermain - main" "Tuan Harrie jauh - jauh datang dari daerah barat hanya untuk dirimu" "Sekarang buka pintunya!" TOK TOK TOK "Claire" Tak lama, suara pintu kini mulai terbuka. Menunjukan wajah seorang gadis yang terlihat seperti remaja dewasa dengan mata berwarna kuning keemasan menatapku dengan tatapan kebencian. "Ada apa?"Mataku spontan terbelalak ketika melihat Claire sudah terduduk rapih diatas sofa dengan beberapa buku, kertas dan juga pena diatas meja. Aku sempat mengucek mataku yang membawa gelak tawa pada Claire yang masih duduk manis diatas sofa. "Ada apa tuan Harrie?" Tukasnya sambil tersenyum ramah kearahku. "Ada sesuatu yang aneh? Atau, tuan Harrie merasa bersalah karna terlambat 15 menit dari perjanjian awal?" Bibirnya kembali terkekeh sambil menepuk salah satu buku diatas mejanya "a-aku- "Aku bercanda tuan. Aku memang sengaja datang lebih awal agar tidak terlambat" "Jadi, apa yang tuan Harrie lakukan didepan pintu? Masuklah" Mendengar ajakan itu sontak aku berjalan ragu kedalam ruangan seraya menutup pintu kayu tersebut dengan rapat. Tentu, ada banyak hal yang kupikirkan. Tentang bagaimana perubahan sikapnya yang terasa palsu dan tidak menyakinkan. Dan jujur, duduk dimeja kerja dengan bola mata ambernya yang terus mengamati setiap pergerakan tubuhku dengan lekat, sedikit mengan
Suara gesekan garpu beserta pisau diatas piring kaca mengisi ruang makan yang terasa kosong tanpa pembicaraan hangat didalamnya. Aku melirik kearah Claire sesekali sambil mengunyah potongan ayam panggang yang terasa nikmat disetiap gigitan. Rautnya yang muram membuat makanan yang tersaji semakin nikmat di lidahku. Namun berselang kala itu, countess Winston tiba - tiba membuka suara dengan nada penyesalan. "Tuan Harrie, izinkan saya meminta maaf sekali lagi atas tindakan lancang yang putri saya lakukan pada anda" "Saya berjanji akan segera mengurusnya setelah makan siang. Saya benar - benar minta maaf" Mendengar permintaan maaf itu, aku segera menelan potongan ayam panggang kedalam tenggorokanku bersiap untuk membuka suara "Tidak apa - apa, countess Winston. Saya mengerti sekali dengan keadaan nona clairence" "Saya juga seorang mantan guru di akademi saat saya berusia 20 tahun. Banyak sekali anak - anak yang memiliki kecenderungan memberontak atau sekedar enggan bertemu de
Aku menyesap secangkir teh hangat yang baru saja disajikan. Membiarkan aroma daun teh hitam menyeruak hingga ke tenggorokanku. Tidak ada banyak hal yang kami lakukan diruang penerima tamu. Selain aku menyadari bahwa dari proporsi tubuh hingga wajahnya. nampaknya ia masih belum genap berusia 17 tahun. Tentu aku tidak masalah dengan pertunangan dibawah umur. Para bangsawan sering melakukannya dengan gadis berusia 16 hingga 17 tahun. Hingga Terkadang aku bertanya - tanya bagaimana nasib mereka yang kehilangan kebebasan bahkan di umur mereka yang belia. Apakah mereka bahagia? Atau justru merasa sengsara? Entahlah. aku bukan wanita dan aku memiliki latar belakang yang berbeda dengan mereka. Tak "Jadi, anda nona clairence Winston?" Gadis itu mengangguk pelan sambil memutar bola matanya seakan enggan berbicara denganku.Tentu aku memahami bahwa tidak semua orang harus menyukaiku. Bahkan remaja sekalipun. "Maaf yaa tuan. anak ini memang sedikit agak pemalu dengan orang baru" tukas
Klak Pintu kamarku kini telah terkunci sempurna. samar - samar, aku bisa mendengar suara ringikan kuda tengah menungguku diluar sana. Mataku berpendar kekanan kekiri, memastikan bahwa jas coklat yang kukenakan terpasang rapih ditubuhku.kugenggam koper berwarna coklat tua yang sebagian besar hanya berisi pakaian beserta peralatan yang akan kubutuhkan ditangan kiriku. Aku menghembuskan nafas panjang. Entah mengapa langkah kaki yang kuambil menuju pintu keluar terasa begitu berat. mataku kini berpendar melihat sekeliling ruangan yang hanya dipenuhi oleh beberapa lukisan kuno beserta lilin - Lilin yang tertata rapi diatas kabinet antik disudut ruangan. Beberapa pelayan nampak mengantarku hingga kedepan halaman seraya memberi kalimat semangat atau sekedar pelukan hangat yang terasa seperti perpisahan yang nyata. Musim gugur membuat hembusan angin nampak terasa dingin. Beberapa daun kering nampak bertebaran di atas rumput dan beberapa lainnya masih melayang tanpa arah. Sebelum tu
Srak Sunyinya ruangan perpustakaan menyisakan suara pergerakan kertas yang terus berbunyi, setiap mataku selesai membaca setiap kalimat dalam buku yang ku baca. Tok Tokk Tokkk Pintu berbahan kayu tebal dengan ukiran tangan di lambang pintu mulai terbuka. Meninggalkan suara engsel pintu yang sedikit berdecit, diiringi dengan langkah sepatu yang bergema setiap kakinya melangkah maju. Duk Duk Pria itu mengetuk meja kerjaku dengan ketukan terburu - buru. Begitu aku mengangkat kepala, tangannya menaruh sebuah amplop berwarna coklat usang beserta cap lilin berlambang keluarga dominique diatas meja kerjaku. Aku menghela nafas pendek sambil menutup buku yang aku pegang dan beralih pada surat yang ia berikan. "Ini apa?" Tanyaku sambil mengangkat amplop berwarna coklat itu sedikit lebih tinggi. Alih - alih menjawab pertanyaanku, pria itu justru malah menjawab hal yang tidak berhubungan dengan apa yang kutanyakan. "Mungkin, kau bisa bertanya langsung pada pembuat su







