INICIAR SESIÓNSudah satu jam aku terduduk di meja kerja sambil mengamati selembar kertas kosong yang masih polos tanpa coretan pena didalamnya.
jujur, aku merasa bingung harus menuliskan tentang apa disurat informasi mingguan yang sudah menjadi salah satu kesepakatan antara aku dan Eric. Eric memintaku untuk mengirimkan setiap kemajuan. mulai dari sikap, bahkan kepribadian gadis itu setiap seminggu sekali. Dan sekarang, hanya tersisa tiga hari lagi sebelum pengiriman surat. Dan aku bahkan telah mengacaukan pengajaranku di hari kedua dan kehabisan ide untuk membuat satu kalimat. "Hahhhh" aku kembali menghela nafas panjang seraya mengacak rambut frustasi. Pandanganku kini beralih kearah langit - langit kamar yang mulai usang dan lapuk. Aku bisa melihat retakan kayu yang menjalar panjang hingga kearah pintu. Pikiranku kini teralih kembali pada hari kemarin. Aku tidak akan mungkin melupakan pupil mata ambernya yang bergetar menatapku dengan tatapan ragu. Sungguh, aku juga tidak menyangka bahwa kesabaranku meledak kala itu. Tidak pernah sekalipun terlintas di pikiranku tentang gadis bangsawan yang memiliki pemahaman buruk atau bahkan tidak mengerti sesuatu yang sederhana seperti saudara atau silsilah keluarga. Entahlah, apa karna aku terlalu sering mengajar seseorang yang memang memiliki kecerdasan atau intuisi yang cepat dalam menangkap pelajaran, atau memang kesabaranku ternyata tidak sebesar yang aku dan orang lain pikirkan sejak lama. pikiran itu terus berputar - putar hingga malam semakin larut. Lilin yang semula panjang kini perlahan mulai meleleh dan pendek seiring waktu. Aku meniup lilin tersebut hingga padam. Merebahkan seluruh tubuhku diatas ranjang seraya melapisi tubuhku dengan selimut tebal yang hangat. mataku memang masih belum terpejam bahkan dalam pemandangan gelap gulita. entah mengapa kesunyian malam mengingatkanku pada kamar lama yang selalu meninggalkan suara burung hantu yang bergema disetiap malam. ... Aku meremas jemariku, menyembunyikan rasa gugup yang sudah kusimpan sejak pengajaran pertama. Mataku kini melirik kearah Claire yang tengah sibuk membaca buku yang ku rekomendasikan beberapa jam yang lalu. Aku kini menghela nafasku "Nona clairence" panggilku kepadanya yang langsung spontan membuat kepalanya menoleh kearahku. Aku menelan salivaku dengan sulit sambil terus memainkan jemariku diatas meja kerja mencari kalimat yang pas untuk mengatakannya. "Bisa, minta waktunya sebentar?" Claire kini menutup buku itu sambil matanya sesekali berusaha berkontak mata denganku. walau pandangannya dengan segera ia alihkan kesesuatu lainnya. "Mungkin ini memang terdengar sedikit terlambat. tapi.. izinkan saya meminta maaf atas peristiwa kemarin. yang mungkin, sedikit membuat nona clairence merasa takut dan kurang nyaman dengan keberadaan saya" "Saya secara sadar mengakui bahwa tingkat kesabaran saya tidak sebagus yang saya kira. dan nona clairence seharusnya tidak berhak mendapatkan perlakuan seperti itu" Aku kembali mengusap wajahku "Intinya, saya benar - benar minta maaf dan berjanji. Kedepannya, saya akan berusaha lebih baik kedepannya. dan menjadikan peristiwa kemarin sebagai pembelajaran berharga" jelasku sambil menggigit sudut bibir dengan sengaja. Mataku yang terus berpendar ketika menjelaskan setiap kesalahanku padanya, kini mulai beralih menatap wajahnya. Dan.. entah perasaanku saja atau memang aku melihat senyuman tipis yang sempat Claire tunjukan beberapa detik sebelum ia kembali merubah rautnya menjadi datar kembali. "Tentu, ini bukan sepenuhnya kesalahan tuan Harrie" Claire kini memperbaiki posisinya yang semula sedikit membungkuk menjadi sedikit tegap diatas sofa. "Secara, aku berfikir bahwa tuan Harrie adalah orang penyabar yang lebih penyabar dari seorang bangsawan yang kehilangan harta berharganya karna, orang tuanya adalah seorang pecandu alkohol yang berat. dan sekarang, harus menanggung setiap utang yang bahkan tidak ada sangkut pautnya dengannya" Entah perasaanku atau memang ia tengah menghina sikapku perlahan - lahan. "Tapi ternyata, tuan Harrie hanyalah manusia biasa yang tidak memiliki kesabaran sebesar itu. Apalagi menangani perbedaan murid dari kelas akademi dengan kelas pemula yang bahkan tidak mengerti bagaimana silsilah keluarga bekerja" "Aku paham bahwa perbedaan sebesar itu, dapat mempengaruhi kesabaran seseorang yang dikenal manusia berlapang dada, menjadi meledak tak terkendali" Claire kini meneguk secangkir teh yang sudah dingin karna terlalu lama ditinggalkan disuhu ruangan. Tentu aku menyadari bahwa secara tidak langsung claire tengah mengolok - olok sikapku dengan membandingkan kesabaran diriku dengan kesabaran dirinya yang bahkan tidak sebanding menurutnya. Ia bahkan menekankan kata penyabar disetiap kalimat yang ia buat Hingga membuatku muak mendengarnya. Perasaan gugup yang semula menguasaiku kini tergantikan dengan mudah oleh perasaan kesal yang mulai menggebu - gebu dibenakku. Tapi rasanya, melakukannya kembali setelah ucapan maaf yang dilontarkan beberapa detik lalu akan terasa tidak etis. maka dari itu, alih - alih aku kembali terpancing emosi oleh kalimatnya. Sebaiknya aku menahan diri terlebih dahulu. Kita lihat, apa yang ia rencanakan selanjutnya.Tak "Maaf. aku tidak bermaksud merendahkan tuan Harrie atau kesabaran yang tuan Harrie miliki" "Aku hanya.. ingin mengungkapkan apa yang ingin aku sampaikan Saja" "Maaf jika kalimatku sedikit membuat tuan Harrie merasa tidak nyaman dibuatnya" Lagi - lagi, ucapannya terdengar tidak tulus. "Tidak apa - apa. saya justru merasa senang karna seseorang telah mengingatkan saya akan kesalahan yang saya perbuat" "Maka dari itu kedepannya, saya berjanji untuk lebih baik dalam mengelola emosi yang sama miliki. dan mampu membimbing nona clairence dalam menghadapi setiap pelajaran yang dibutuhkan" Aku tersenyum lebar kearahnya sambil menuangkan teh kedalam cangkir kosong miliku. Tentu, aku berharap bahwa kalimat yang ku lontarkan bisa dimengerti dengan baik olehnya. Setidaknya, senyum masamnya akan menjadi bukti bahwa ia mengerti maksud kalimatku sebenarnya. Hingga, "Kedepannya?" "Tapi.. tuan Harrie, aku belum sepenuhnya memaafkan perbuatan tuan Harrie" Mataku spontan membelalak begitu Claire melontarkan kata - katanya. "Maksud nona?" "Aku mungkin akan mengirim surat ke tuan Eric untuk menggantikan guru persiapanku dengan seseorang yang lebih baik dari tuan Harrie- Claire menjeda kalimatnya sebelum melanjutkan pernyataannya kembali. "dan.. tuan harrie tidak perlu mengkhawatirkan tentang reputasi yang tuan Harrie miliki" "Aku berjanji akan mengganti alasan pemulangan tuan Harrie dengan alasan yang lebih baik. tentu, aku tidak ingin reputasi tuan Harrie hancur karna diriku" Aku terdiam seketika mendengar pernyataan yang keluar dari bibir gadis berusia 16 tahun itu. Sungguh, digantikan? apa pengajaranku seburuk itu hingga aku bisa digantikan dengan mudah?Tidak. Ini bukan tentang pengajaran, namun tentang peristiwa kemarin yang menjadi inti penyebabnya. Tapi, aku juga tidak menyangka akan meledak kala itu. Kenapa aku harus digantikan karna sebuah ledakan emosi dalam diriku? Lagipun, aku tidak akan marah jika ia bisa mengerti penjelasan yang ku jabarkan dengan baik. Lantas, siapa yang bisa kusalahkan karna hal ini? Suara itu terus menggema dipikiranku terus menerus tanpa henti. hingga suara panggilan Claire membawaku kembali kedalam dunia nyata"Tuan?" "Tuan Harrie!" Aku tersentak begitu namaku dipanggil dengan nada yang sedikit meninggi. Mataku kini Lamat - Lamat memperhatikan wajah Claire sebelum, "Aku akan mengabulkan apapun permintaan nona. asal, nona tidak mengirim saya kembali kesana" .kembali aku terduduk disisi ranjang sembari meratapi surat yang Eric kirimkan padaku sore hari tadi. .. Untukmu Harrie Smith Sebelumnya, aku ingin meminta maaf karna tidak memberitahu bagian terpenting dari rencanaku padamu. aku sungguh - sungguh ingin mengatakannya tapi, aku pikir akan lebih baik jika memberitahukannya tepat setelah makan malam. namun, berhubung kau sudah tau. mungkin aku akan menjelaskannya tepat setelah perjamuan makan malam yang akan kalian hadiri nanti. karna rasanya, ada banyak pertanyaan dan penjelasan yang mungkin tidak akan muat jika ditulis disatu lembar surat ini. Dan, aku sudah mengirimkan surat undangan resmi pada countess Winston untuk mengundangnya dan calon tunanganku "clairence" ke perjamuan makan malam Minggu depan. Jadi, kau tidak perlu memberitahukannya lagi karna aku sudah mengirimkan undangannya langsung kepadanya. dan.. Aku memang tidak mengatakannya didalam surat undangan yang kukirimkan pada countess. Tapi, biar kuberi tahu
kuhela nafasku sambil merogoh sebuah kotak kecil berwarna hitam dengan pita merah diatasnya. Aku tersenyum memandangi kotak itu hingga, "itu untuk siapa?" suara claire yang kini berbisik ditelingaku seketika membuatku tersentak terkejut bahkan hampir lompat dari posisiku. "n-nona?"mendengar suaraku yang mungkin terdengar lucu karna sedikit terbata - bata, claire kini tertawa renyah hingga beberapa kali tawanya membawa pusat mata kearahku dan claire sebelum akhirnya mereka kembali menoleh kearah lainnya.aku sendiri hanya bisa menghela nafasku sambil memperhatikan tawa manisnya yang entah mengapa terasa candu dikedua mataku. Claire kini mulai menghentikan tawanya sambil menghela nafasnya lega. mata ambernya kini berbinar terang kearahku dengan senyum tipis yang terukir diwajahnya. "Jadi, itu untuk siapa?" tanyanya sambil menunjuk kotak kecil berwarna hitam disalah genggamanku. awalnya aku ingin memberikan hadiah ini nanti. setelah sampai dikediaman atau mungkin, setelah ia menunta
ia menyentuh tuts tersebut dengan sedikit ragu sebelum akhirnya ia menghela nafasnya kembali dan membulatkan tekad. piano itu kini mulai berbunyi seperti nada yang selalu kudengar beberapa waktu yang lalu. nada yang diawali dengan dua nada sederhana kini berpadu bersamaan dengan suasana senja yang terasa begitu hangat dan juga magis. dan kini, nada itu mulai masuk menuju bait lirik pertama."Cinta itu berjalan - jalan ditaman" "Itulah yang saya rasakan pada awalnya, cantik sampai hari gelap" Claire menyanyikan dengan nada yang lebih melankolis dan terdengar lembut mirip seperti malaikat yang tengah bernyanyi. aku hanya bisa melipat kedua tanganku menatapnya bangga dari kejauhan bahwa jiwanya telah sepenuhnya menyatu dengan nada piano yang ia mainkan. "Cinta itu berjalan - jalan ditaman" "Sampai kamu digigit anjing, aku tidak pernah tau kamu bisa menggonggong" Tempo nada yang sama yang awalnya terdengar seperti melompat dan juga singkat kini mulai terdengar melankolis dan juga
Claire sempat melirik kearahku sebelum tubuhnya kini berbalik arah dan melahap sup itu sembari bersembunyi dariku. tentu aku tidak Masalah dengan sikapnya yang seperti ini. Tentu itu menunjukan bahwa claire mulai membaik. aku tersenyum tipis sambil menyesap teh chamomile yang terasa begitu menenangkan meski hanya mencium aromanya sekalipun. Pandanganku kini terarah pada jam saku didalam genggamanku. tersisa 30 pulih menit untuk membawanya pergi ke pusat kota. tentu aku tidak bisa berlama - lama di kamar ini karna ada kejutan yang sudah kusiapkan untuknya. Tak Kutaruh cangkir itu keatas meja dan mulai memberanikan diri membuka suara "nona Claire" meski claire masih belum sepenuhnya menoleh kearahku, aku tau bahwa diam - diam ia melirikku sesekali. aku tersenyum simpul "Bagaimana? apa rasanya begitu lezat?" "Pasti nona begitu lapar yaa? apalagi nona tidak makan seharian kemarin" tubuhnya masih enggan untuk berbalik. aku menghela nafasku sambil memperbaiki posisi dudukku
aku berjalan menuju pintu utama hanya untuk menemukan Rei yang tengah berjalan mondar - mandiri di ruang tamu sambil menggigit kuku jarinya merasa cemas hingga suara pintu terbuka "tuan Harrie?" panggilnya yang langsung bergegas menghampiriku dengan raut wajah yang pucat. yang bisa kutebak, bahwa Claire masih belum bersedia untuk membuka pintu kamarnya hingga sore ini. "Nona.. nona.. masih belum mau membuka pintunya" Rei kini berbicara dengan nada bergetar "s-saya t-takut, ada yang terjadi dengan nona" kuhela nafasku sambil berusaha menenangkan Rei yang dibuat kalut dengan pemikiran yang semakin liar seiring ia berusaha memikirkan kemungkinan yang terjadi. "Tenanglah Rei. nona akan baik - baik saja" "t-tapi- "Percayalah. biar saya yang urus nona setelah ini" meski wajah Rei masih terlihat pucat, setidaknya nafasnya mulai teratur dan nada bicaranya mulai terdengar lebih jelas dan tenang. "Omong - omong bagaimana persiapannya? jangan bilang padaku kalau kalian membatalkann
pria itu menghela nafasnya sambil menyodorkan celemek berwarna cream dengan bekas tepung dan juga bubuk coklat yang masih menempel disana "Layani para pelanggan didepan. dan segera ambil jika pesanan yang mereka inginkan tersedia di meja makanan" "Dan kamu Ellie, tetaplah disini dan jangan kemana - mana oke?" Gadis kecil itu mengangguk pelan bersamaan dengan suara pelanggan yang kembali mulai ricuh. pria itu menyuruhku untuk segera pergi ke depan sedangkan ia akan bersiap menyiapkan pesanan roti yang stoknya mulai menipis dan harus memanggang yang baru. aku berjalan keluar dari dapur hanya untuk mendapati banyaknya pelanggan yang mulai merasa jenuh karna berdiri terlalu lama tanpa dilayani sedikitpun. dengan helaan nafas panjang aku mulai berjalan maju dan melayani para pelanggan satu persatu. Kakiku bergerak cepat kesana kemari melayani serta menyiapkan setiap pesanan pelanggan dengan tangan amatir yang mulai terlatih. suara ricuh kian menipis digantikan senyuman dari para







