Rigel menyusuri jalanan menuju Eastwood Lighthouse dengan berjalan kaki. Memtuskan untuk menunggu di sini lebih dulu, karena pada akhirnya Pedrick Cullen tetap akan berakhir di tempat ini, sesuai takdir.
Pierre tetap tidak bisa turut campur meski dia turun ke bumi untuk mengacau. Yang dia butuhkan raga, dan memusnahkan jiwa Pedrick sebelum sempat dibawa oleh Rigel.
Jadi si Iblis itu juga pasti menantikan saat-saat ini segera terjadi tanpa kendala.
Bersandar di pagar tembok tinggi tua yang terlihat mulai ditumbuhi lumut, Rigel tidak peduli dan lebih memilih untuk meneliti mercusuar dengan matanya.
Sementara itu, Sia tengah berlari di sepanjang trotoar untuk menyusul Becky. Hatinya berulang kali berteriak memperingati, “Jangan ikut campur, Sia. Pergi makan, isi perutmu.”
Sia semakin mengabaikan itu. Tidak peduli apa keinginan Minerva yang menentang kemauan kerasnya.
“Jangan ikut campur. Sekarang ini, hidup ini milikku. Kau di
Merasakan dingin lebih dari sebelumnya, Sia memeluk dirinya sendiri tanpa mempedulikan Pierre di sisinya yang tengah tersenyum menatapnya.“Pakai ini,” katanya sembari melepas mantel hitam dari tubuhnya, menutup kedua pundak Sia kemudian.“Tidak usah—”“Meski aku Iblis, bukan berarti aku tidak bisa berbuat baik.”Sia mencibir Pierre di dalam hatinya, tapi tidak mengatakan apa pun dan memilih menerima mantelnya. Sungguh, udara malam di pantai benar-benar membuatnya hampir mati beku.“Sekarang, bisakah kita berpisah sebentar?” Pierre tersenyum, begitu lembut. Ini bentuk merayu untuk manusia keras hati dan pendirian seperti Sia.Dengan sekali anggukkan Sia menjawab. “Pergilah. Aku juga tidak akan menunggumu di sini.”Pierre menyembunyikan kekesalannya. “Dasar wanita sombong.” Dia bergumam, dan jangan harap Sia mendengarnya.Pierre berjalan menuju jalanan
Suara keras Becky mengejutkan Sia. Wanita itu menatap bingung pada keduanya yang kini saling berhadapan dalam pandangan membenci satu sama lain.“Aku tidak bersandiwara, sungguh.” Pedrick benar-benar kehabisan akal, dia mendekat untuk memeluk Becky, tapi wanita itu menendang tepat di tulang kering kaki kanannya.“Jangan berpura-pura lagi, Pedrick Cullen. Aku tahu maksud dan tujuanmu.” Becky sudah berbalik, dia ingin pulang. Memeluk, dan meminta maaf pada Adik serta Ibunya karena telah memiliki keinginan untuk bunuh diri.Apa jadinya sang Adik yang masih kecil itu dia tinggalkan begitu saja bersama Ibunya yang lumpuh? Membayangkannya saja sudah membuat hatinya hancur, remuk redam.Sia menjerit memberitahu bahwa Pedrick dari arah belakang berniat buruk pada Becky. Sayangnya, peringatan itu tidak berguna, Sia transparan. Lagipula, Becky sudah lebih dulu dicekik oleh Pedrick.Menjerit tanpa suara yang bisa keluar, Becky ny
Rigel menatap tajam pada roh Pedrick Cullen yang tidak mau beranjak dari sana.“Cepat bangun dan ikut aku,” perintah Rigel pelan. Dia melihat Becky sudah berjalan sejauh lima belas meter dari tempat mereka saat ini.Wanita itu tertatih, menangis tiada henti. Dia butuh banyak bantuan untuk memulihkan fisik dan mentalnya setelah ini.“Harusnya aku tidak mati—”“Tutup mulutmu dan ikuti saja perintahku. Dosa-dosamu sudah terlalu banyak. Jangan harap kau bisa lari.” Rigel menghadang roh Pedrick yang bersiap melesat pergi dari pengawasan Rigel.“Harusnya wanita itu yang mati. Kenapa harus aku?”Rigel menghela napas berat. Dia sudah menunggu sejak tadi untuk melihat aksi si manusia bajingan ini, dan sekarang harus mendengar drama setelah kematiannya? Yang benar saja!“Sudah takdirmu. Terima saja. Kau akan mempertanggungjawabkan kesalahanmu. Itu sudah kewajibanmu. Berani melakukan, i
Vanth menutup kedua telinga menggunakan earphone yang dibawanya dari bumi. Jika sudah berada di negeri atas awan, maka telinga dan apa pun anggota tubuh lain miliknya pasti akan setajam posisinya sebagai seorang Pemimpin.Dia tahu, bukan salah siapa pun. Rigel mencintai Sia mengalahkan hal apa pun yang menjadi obsesinya selama hidup abadi. Vanth menyadari keduanya kini tengah bercinta dengan erangan dan rintihan yang mampu tertangkap telinganya, dan berputar-putar di benaknya.Dia tidak akan cemburu. Wanitanya memang bisa kembali bereinkarnasi dengan baik berkat Rigel, jadi dia tidak akan protes, mengeluh, apalagi cemburu. Tidak, itu tidak perlu.“Aku pernah menggunakan ini saat malamku selalu dihantui mimpi buruk,” kata seorang wanita cantik berambut keperakan yang helaian lembut tiap rambutnya melewati punggungnya. Rambut panjang yang mempesona.Vanth tahu sejak lama, bahwa sesama makhluk negeri atas awan yang memiliki kesetaraan kekuatan, a
“Aku tahu,” jawab Aura begitu cepat, tanpa pikir panjang. Itu karena dia mengerti. Tahu siapa wanita yang tidak tergantikan di hati sang Pemimpin negeri atas awan. Wanita itu, Minerva.Saat Aura dibawa untuk pertama kalinya ke sini, ke negeri atas awan, oleh Tranmier, pria tua itu menjelaskan semua hal terkait dengan negeri yang akan ditinggali Aura, hingga pada kehidupan pribadi sang Pemimpin saat ini.Secara langsung, Aura belum pernah bertamu Minerva. Tapi dia tahu, wanita itu sangat biasa, namun luar biasa tangguh dan dicintai semua penduduk negeri atas awan. Sekilas, tidak tampak seorang Minerva pantas mendampingi Ares Vanth Dier.“Itu artinya kau mengerti?” Vanth memastikan. Tidak ingin bertindak gegabah. Dia memang sedang berhasrat, tapi tidak ingin menjadi tolol dengan mengambil sikap sembarangan.“Aku mengerti. Apa kau butuh bukti?” Aura paham, karena dia juga tidak ingin gegabah.“Jika ada, apa ya
Sia tiba di rumah bersama Rigel yang bahkan tidak diizinkan menjauh darinya walau sekejap. Rigel memang terbiasa dengan sikap agresif Sia sejak mereka bertemu di kafe pinggir pantai milik teman Yoan waktu itu. Tapi rasanya ini sedikit lebih aneh.Rigel berusaha untuk tidak memikirkan kemungkinan itu, karena selama ini, setelah sekian lamanya mereka bercinta dari waktu ke waktu, tidak ada hasil yang terlihat di tubuh Sia.“Di mana Ares?” tanya Rigel. Dia mencari jejak Vanth disekeliling kamar Sia. Namun tidak ada, selain bantal yang terasa bukan hawa dari seorang wanita. Seketika wajah Rigel berubah masam. “Bisakah kupindahkan bantal ini?”“Silakan,” jawab Sia sambil memijat keningnya. Dia berbaring dengan perasaan mual yang masih menghantui ujung tenggorokannya.Selesai melempar bantal yang ternyata memang memiliki aroma Vanth itu ke sofa seberang ranjang, Rigel kembali ke sisi Sia dalam posisi duduk. “Biar kupija
“H-hei ...” Yoan tergagap, sekaligus terperangah, “sedang apa kau?”“Menyembuhkan lukamu sebelum bertambah parah.” Wanita itu berkata santai, terus menyedot darah dari luka Yoan hingga benar-benar kering.Berjengit pelan, Yoan keheranan mengapa ada seseorang—terlebih ia wanita—yang tidak jijik melakukan hal seperti ini pada orang asing.“Sudah,” kata wanita itu. Dia menurunkan lengan Yoan dengan hati-hati, “lukamu sudah sembuh.”Memutar lengannya dan mengamati setiap inci kulitnya, Yoan tanpa sadar berdecak kagum akan hal yang terjadi, bukan merasa takut.“Waah ... luar biasa. Kau bisa menjadi tabib hebat di negeri ini.” Yoan takjub, memandangi wajah wanita itu sembari tersenyum lebar.Menanggapi hal itu, si wanita hanya tersenyum sembari bergumam untuk dirinya sendiri. “Kau melupakanku, benar-benar lupa. Tapi aku menemukanmu. Akan kubuat kau tidak akan
Yoan menikmati, sungguh sangat menikmati setiap sentuhan berbakat dari tangan Ivorry di sepanjang wajahnya, terutama dagu dan sekitarannya.Kedua tangan Yoan yang awalnya hanya mencengkeram tepian wastafel, kini sudah melingkar sempurna di sekeliling pinggang Ivory.Takjub, Ivory merasa ini akan mendatangkan angin surga kepadanya. Selesai bercukur, sudah membersihkan seluruh wajah Yoan dari sisa busa krim untuk bercukur, Ivory mengusap wajah pria itu dengan gaunnya, mengakibatkan semua bagian bawah pakaiannya itu terangkat ke atas.Yoan membuka kedua mata saat gaun sehalus sutera milik Ivory menyapu lembut wajahnya. Sepasang matanya turun dan menangkap kedua paha wanita nakal ini terbuka untuknya.Bentuk dan warna yang indah. Yoan mengaguminya.Ivory mengerti, dia menuntun tangan Yoan untuk menyelinap masuk ke balik gaunnya.Yoan menegang, menahan lengannya agar tidak bergerak ke mana-mana. Itu berbahaya.“Kenapa?” Ivory m