Terdengar suara alarm dari ponsel Alana membuat gadis yang memiliki manik-manik indah berwarna coklat tersebut terpaksa untuk bangun. Dengan mata yang masih tertutup rapat ia meraba-raba di meja samping tempat tidurnya untuk mencari ponselnya.
“Mana sih nih ponsel kok susah amat,” ucapnya kesal.
Semakin lama suara alarm ponselnya terdengar semakin kencang membuatnya semakin kesal.
“Apa sih mau nya nih alarm,” ujarnya langsung bangun dari tidur menoleh ke arah nakas.
Dengan kesal Alana mengambil ponselnya sambil mematikan alarm yang mengganggu dan terus berbunyi tanpa henti.
“Kalau aku ga butuh nih ponsel udah aku lempar aja ke dinding.”
Walaupun, Alana marah-marah tapi tetap harus bangun pagi sebab harus kuliah. Dengan melangkahkan kakinya tak bersemangat ia menuju kamar mandi. Gemericik air mengalir menerpa wajah membasahi tubuhnya. Ia mengambil sabun dan mengusap secara lembut keseluruh tubuhnya. Tidak lupa membasuh rambutnya dengan shampo dan kondisioner agar wangi dan mudah diatur.
Setelah selesai mandi, Alana mengoleskan bedak tipis di wajahnya dan memulaskan lipstik berwarna coklat muda di bibirnya agar terlihat tidak pucat. Ia menarik garis senyuman di wajahnya membuat penampilannya tampak begitu sempurna.
“Hai, iya itu kamu, gadis cantik dengan rambut panjang yang indah. Kenapa bisa sih kamu begitu cantik,” ujar Alana berkata pada dirinya sendiri di depan cermin.
“Wahai cermin ajaib katakan siapa wanita tercantik di dunia ini,” ujar Alana berpura-pura meniru adegan film Snow White.
“Tentu saja yang paling cantik itu Putri Alana,” ucap Alana bersuara cempreng.
“Terima kasih cermin ajaib, nanti aku kirim saldo sopi buat kamu.” Alana tertawa sendiri dengan tingkah lakunya yang absurd.
Setelah kegiatannya untuk mendandani dirinya sendiri sekarang ia harus berangkat ke kampus. Mahasiswa semester 7 sepertinya memang tidak memiliki jadwal kuliah yang padat. Tinggal selangkah lagi ia akan semester akhir dan akan menanggalkan gelar mahasiswa nya.
Alana berjalan keluar kamarnya merasakan ada sesuatu yang hilang dari rumahnya. Tak ada lagi Sinta yang menunggunya untuk berangkat kuliah dan mereka bersama-sama menuju kampus sambil bercanda. Ia merogoh ponsel untuk menghubungi sahabatnya tersebut.
Sudah berkali-kali Alana mencoba menghubungi nomor ponsel Sinta, tapi hanya suara operator seluler yang menjawabnya pertanda ponsel Sinta sedang tidak aktif. Ia jadi khawatir keadaan sahabatnya tersebut.
“Sinta, ke mana ya? Apa mungkin susah sinyal kali ya di daerah rumahnya?” Alana mencoba berpikiran positif.
“Apa mungkin ponselnya kehabisan batre? Yaa sudahlah, nanti juga dia hubungi aku lagi. Mending sekarang segera ke kampus ketemu Mas Isa yang cakep.” Alana tersenyum sendiri mengingat laki-laki yang tengah dekat dengannya.
Alana mengendarai city car kesayangannya yang berwarna putih tersebut dengan santai. Jalanan menuju kampusnya belum terlihat begitu padat jadinya ia bisa membawa mobilnya dengan santai. Rumah kontrakannya juga tidak begitu jauh dari kampusnya, Universitas Indonesia.
Setelah selesai kuliah, Alan janjian bertemu dengan Isa di salah satu kafe dekat kampusnya. Isa, laki-laki yang sudah 3 bulan ini dekat dengannya. Mereka sering pergi makan bersama dan saling bertukar cerita tentang kegiatan sehari-hari. Ia berharap Isa bisa menjadi kekasihnya.
Lelaki yang disukainya melambaikan tangan ke arahnya saat ia tiba di kafe Green. Ia pun bergegas mendekati Isa.
“Maaf ya, aku terlambat,” ucap Alana.
“Aku juga baru nyampe kok,” ujar Isa.
“Tadi si Pak Kumis kasih kuis dadakan. Bener-bener deh Pak Kumis ga ada akhlak.”
“Pak Kumis maksudmu Prof. Salim?”
“Iya. Kan anak-anak manggil Prof. Salim dengan sebutan Pak Kumis. Lihat aja tuh kumisnya tebal banget.”
“Hahaha, memang begitu sih Prof. Salim suka kasih kuis dadakan.”
“Sudah pesan makanan?”
“Belum. Aku sengaja nunggu kamu, Lan.”
“Yaa ampun, Mas ga usah kayak gitu deh. Kalau Mas lapar pesan aja dulu.”
“Ga enak kalau makan, tanpa kamu.”
“Idiih, Mas sukanya gitu deh.”
Alana dan Isa makan siang bersama sambil mereka bersenda gurau. Tiba-tiba Isa memegang tangan Alana dengan lembut. Alana menatap tangannya yang dipegang Isa. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang, ia yakin kalau Isa akan mengatakan cinta padanya.
“Lan, kita sudah dekat selama 3 bulan dan aku merasakan kita banyak kecocokan,” ucap Isa dengan suara lembut.
Jantung Alana kembali berdegup kencang dengan wajah memerah.
“Kamu mau ga jadi pacarku?” tanya Isa menatap Alana.
Alana mengejapkan matanya dua kali. Ia tak menyangka akan ditembak oleh Isa.
“Kalau kamu masih ragu untuk menjawab pernyataan cintaku, kamu masih bisa memikirkannya lagi,” ucap Isa.
Walaupun, Alana juga menyukai Isa, tapi ia harus berpura-pura untuk tetap tenang. Jangan sampai kelihatan kalau perasaannya sama seperti Isa.
“Bisa aku minta waktu beberapa hari untuk menjawabnya?” tanya Alana.
“Tentu saja bisa. Kapanpun kamu mau menjawabnya, aku akan menunggumu.”
“Terima kasih, Mas Isa.”
“Tapi jangan lama-lama yaa, nanti aku keburu tua loh.”
“Akh, Mas Isa bisa aja sih.”
Setelah makan siang bersama dengan Isa, Alana memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Baru saja ia tiba terdengar suara ketukan pintu di rumahnya. Ia berpikir siapa yang datang siang-siang begini mengganggu dirinya yang ingin kembali tidur. Dengan wajah cemberut ia membuka pintu rumahnya.
Alana tampak bingung saat melihat ada empat orang yang memakai jaket kulit berwarna hitam dan dua orang memakai seragam polisi. Tapi ia juga bingung ini polisi atau satpam. Warna pakaian satpam sekarang mirip dengan warna pakaian polisi, tapi ada yang membedakannya. Kalau di polisi ada pangkat di bahunya dan tertera nama polisi di sana.
“Selamat siang, apakah benar ini rumah Ibu Alana Handoko?” ujar salah satu pria dengan suara tegas yang memakai jaket kulit hitam.
“Iya.” Jawab Alana bingung.
"Kami dari Unit Laka Lalu Lintas Polda Metro Jaya ingin bertemu dengan Bu Alana.”
“Saya, Alana Handoko.”
“Bisa kami masuk dan berbicara dengan Ibu Alana Handoko?"
“Ooh silahkan, Pak,” ujar Alana bingung dan mempersilahkan ke enam pria tersebut masuk ke dalam rumahnya.
“Ada apa ya Pak?"
"Apa benar mobil Brio putih dengan plat B 711 NDA milik Pak Budi Handoko?"
"Iya di stnk atas nama Ayah saya dan saya yang mengendarai mobil tersebut. Ada apa ya Pak?”
“Saya, Andi Wicaksono dari Laka Lalu Lintas Polda Metro Jaya.” Andi memberikan tanda pengenalnya pada Alana.
“Iya Pak. Ada yang bisa saya bantu?”
“Dengan kebijakan hukum melaksanakan tugas untuk membawa Ibu Alana Handoko atas dugaan pelaku tabrak lari yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pasal 310 ayat 4 UU LLAJ 22/2009 akan dengan hukuman penjara paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp.12.000.000 di jalan Simatupang dan ini surat penangkapannya.” Andi menyerahkan surat penangkapan pada Alana.
Alana membulatkan matanya, ia sangat terkejut mendengar perkataan Pak Andi. Tangannya bergetar saat menerima surat penangkapan tersebut.
"A–aku me–nabrak orang?" ujar Alana tergagap dengan wajahnya pucat pasih, matanya menerawang kepalanya terasa pusing mendadak, dunia seakan berputar, ia terduduk lemas di sofa ruang tamunya.
“Ibu Alana, Anda berhak diam dan apa pun yang Anda katakan bisa digunakan sebagai bukti di pengadilan. Anda juga bisa menjadi mendapatkan bantuan hukum dan didampingi oleh pengacara."
“Aku tidak melakukan hal tersebut.”
“Maaf, Bu Alana bukti mengatakan sebaliknya. Di depan mobil Anda pun dilihat sepintas ada bekas bercak darah dan akan segera di tes forensik untuk menganalisa darah siapa yang berada di sana."
“Aku benar-benar tidak melakukannya. Apa aku akan di penjara?"
"Bu Alana sebaiknya Anda tidak berkata apapun sampai Anda didampingi oleh pengacara Anda dan pengadilanlah yang menentukan hal tersebut.”
Alana tak sanggup berkata-kata lagi, ia sudah tidak dapat berpikir apapun lagi. Pihak kepolisian membawanya ke Polda Metro Jaya untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Alana dibawa ke Laka Lalu Lintas Polda Metro Jaya, tapi setibanya di sana mereka dikejutkan banyaknya wartawan yang sudah berada di depan gedung Lalu Lintas membuat mereka saling berpandangan. “Siapa yang membocorkan kalau pelaku tabrakan cucu Adiwangsa sudah ditangkap?” tanya Andi pada salah satu rekannya. “Saya kurang tau juga Pak. Pak Dirlantas dan Kasat Lantas meminta untuk dirahasiakan penangkapan ini,” ucap Arman salah satu polisi Lalu Lintas. “Saya curiga kalau ada orang dalam yang membocorkannya ke media.“Pak Andi, kekuasaan keluarga Adiwangsa tidak bisa dipandang sebelah mata. Mudah bagi keluarga tersebut untuk mengetahui semua permasalahan yang ada.” Andi melihat Alana yang menunduk ketakutan. Air matanya terus mengalir di pipinya. “Jer, buka jaketmu.” Andi berkata pada salah satu anak buahnya. “Aduh Pak. Jangan main buka-bukaan di sini dong. Saya malu Pak,” ucap Jerry terkejut. “Dasar kamu polisi somplak. Saya menyuruh membuka jaketmu bukan buat mesum. Itu jaketmu b
Baskoro menghela napasnya. Ia kasihan melihat Alana yang mengalami masalah yang telah terjadi dalam hidupnya. Pasti sangat sulit menghadapi semua permasalahan yang tak pernah dihadapinya. Pasti gadis tersebut tengah gusar, panik, sedih, dan resah. “Kamu harus tenang dulu yaa Alana. Saya di sini akan membela kamu,” ucap Baskoro. “Iya Pak Baskoro. Saya sangat takut, saya benar-benar tidak melakukannya Pak,” ujar Alana dengan yakin menatap Baskoro. Dari sorot mata Alana terlihat sebuah kejujuran. “Kamu harus tau situasi yang terjadi. Apa kamu sudah tahu apa dengan situasi yang terjadikan? Saya dengar bukti-bukti pihak kepolisian sudah bisa menjadikanmu sebagai tersangka pelaku kejahatan. Sekarang kamu harus mengatakan semuanya dengan sejujur-jujurnya.” “Iya Pak. Saya sudah mengatakan yang sejujurnya kalau bukan saya yang menabrak gadis kecil itu. Saya tidak melakukan kejahatan seperti yang dituduhkan. Saya tidak melakukannya.” “Apa kamu yakin?” “Saya sangat yakin Pak.” “Ta
Lelah, letih, stress dirasakan Alana. Ia tidak tahan lagi dengan semua pertanyaan yang dilontarkan kedua polisi yang ada di hadapannya. Ingin rasanya, ia berteriak dan mencaci maki mereka agar sadar kalau bukan dirinya lah yang melakukan tabrak lari tersebut. “Saya sudah mengatakan yang sebenarnya Pak kalau bukan saya pelakunya. Mau ditanya sampai kiamat pun tetap bukan saya!” pekik Alana emosi. “Bu Alana, saya minta Anda berbicara dengan sopan. Kami di sini melakukan tugas kami sebagai penyidik bukan teman Anda,” tukas Yudi terpancing emosinya. “Saya ga bohong Pak polisi.” Suara Alana terdengar parau, “saya tidak melakukan seperti yang dituduhkan, bu–bukan saya pelakunya. Saya mohon tolong dengarkan saya Pak.” Air mata terjatuh di pipi Alana. Menahan rasa sesak di dalam dada. Baskoro juga sudah menjelaskan tentang adanya orang lain bersama Alana malam itu di salah satu klub malam di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Namun, sulit sekali membuktikan keberadaan Sinta. “Pak, saya su
Di dalam perjalanan kehidupan pasti mengalami momen-momen dalam masalah. Pengalaman baik, buruk, dan tidak mengenakan bisa datang kapan saja. Hampir semua orang pernah mengalami berbagai macam cobaan dalam hidup. Hanya yang membedakan bagaimana cara menghadapinya. Budi merasakan permasalahan hidupnya terasa begitu berat dan sangat sulit dihadapinya. Jika ia yang mengalami masalah mungkin akan siap dan kuat menghadapinya, tetapi jika menyangkut putrinya akan berbeda. Ia paling tidak bisa melihat jika air mata menetes di pipi Alana. Terlihat jelas di raut wajah Alana begitu kelelahan, sedih, ketakutan, dan kecewa. Hal tersebut membuat hati Budi begitu sakit. Putri yang selalu dijaganya, dirawatnya, dibesarkannya sekarang harus mengalami masalah yang begitu berat. Alana melihat kedatangan Papanya, ia berharap bisa pulang ke rumahnya. “Papa bagaimana? Apa aku bisa pulang?” tanya Alana. Budi mendekati putrinya membelai lembut surai hitam panjang. Matanya terlihat sendu membuat Alana me
Tiga hari kemudianBudi menunggu dengan gelisah kabar tentang keberadaan Sinta di rumah kontrakan Alana. Ingin sekali ia sendiri pulang ke Semarang dan pergi ke Klaten untuk mencari di mana keberadaan sahabat anaknya tersebut. Namun, ia juga tidak bisa melakukannya, Alana dan Anita, istrinya membutuhkan support darinya. Ia tidak tega meninggalkan mereka sendirian di Jakarta. Telepon genggam Budi berdering. Ia sangat bersemangat saat mengetahui kalau Randy yang meneleponnya. Berita yang ditunggu-tunggunya akhirnya datang juga. Budi mengangkat telepon dan mendengar kabar dari Randy. Namun, kabar dari Randy membuat wajahnya berubah jadi pucat saat mendapatkan kabar tentang di mana keberadaan Sinta di Klaten. “Pakde, pangapunten. Aku sudah berusaha mencari keberadaan Sinta selama 3 hari ini di Klaten, tapi keluarganya di sana sama sekali tidak mengetahui di mana Sinta,” ucap Randy dibalik telepon. -Pakde, maaf.-Budi terdiam. Lidahnya terasa begitu kelu untuk mengucapkan satu patah kat
Seorang pria di kegelapan malam menghembuskan asap rokok dengan santai. Ia menatap keluar jendela lantai 18 melihat lampu-lampu tampak gemerlap. Perasaannya begitu dendam ingin segera menghancurkan hidup wanita yang telah membuat kehidupannya tidak lagi sama seperti dulu. Suara ketukan pintu terdengar membuatnya melirik ke samping saat asistennya, Wildan masuk ke dalam ruangannya. “Ada apa?” tanya Reynar dengan suara datar. “Pak, saya sudah menjalankan perintah anda untuk membuat perusahaan yang bekerjasama dengan percetakan Budi Utama memutuskan kontrak mereka dan harus membayar biaya kompensasi yang cukup besar.” Reynar tersenyum licik saat asistennya, Wildan memberitahukan kalau percetakan orang tua Alana mengalami kebangkrutan bahkan harus membayar kompensasi yang cukup besar. “Jadi sekarang si Budi itu memiliki banyak hutang,” ucap Reynar menyeringai. “Iya Pak Reynar. Tanah dan mobilnya sudah dijual untuk menutupi semua pembayaran dan untuk gaji karyawan,” ucap Wildan. “Ba
3 bulan kemudianTanpa terasa waktu terus berjalan, hari pun berganti, sudah 3 bulan pemeriksaan kasus Alana semua berkas-berkas sudah lengkap dan ia mengalami berbagai macam tekanan baik psikis dan fisik. Ia tak sanggup lagi menahan semua masalah yang ada, walau sudah mengatakan hal yang sebenarnya, tapi tidak ada seorang pun yang mempercayainya ucapannya.Sudah seminggu Budi kembali ke Semarang. Usaha percetakannya mengalami gulung tikar. Akibat berita yang meliput kehidupan pribadi anaknya membuat orang-orang ikut menghujat dan tidak ada yang mau menggunakan jasa percetakan Budi. Budi terpaksa menjual tanahnya untuk membayar gaji karyawan, biaya hidup, dan bia
2 bulan kemudianTanpa terasa persidangan sudah 2 bulan berlalu dan hari ini memasuki putusan. Sekarang saatnya, Alana harus menerima keputusan majelis Hakim, hari yang menentukan berapa tahun ia akan dihukum. Ia kembali duduk di kursi pesakitan, ia melirik ke arah kursi pengunjung sidang mencari keberadaan Anita, Mamanya. Sudah 2 bulan Anita tak terlihat lagi datang di Pengadilan.Saat melihat ke arah pengunjung sidang ia menjadi gugup. Merasa tidak nyaman dengan banyak mata yang menatapnya dengan berbagai pandangan. Tak bisa ia pastikan satu persatu tatapan mereka hanya bisa menundukan kepalanya tidak berani membalas tatapan mereka.