Entah sudah berapa jam Eve tidak sadarkan diri. Karena di detik saat ia membuka mata, Eve merasakan sinar matahari menerpa wajahnya. Mungkin saja Eve pingsan semalaman, atau bahkan sudah terlewat beberapa hari. Siapa yang tahu? Karena bisa saja obat bius yang disuntikkan padanya itu memiliki efek yang cukup lama.
Dan benar saja. Ketika Eve menoleh kesamping, dia melihat jam digital berkedip yang terletak diatas nakas. Ada tanggal yang tertera disana. Tanggal tiga belas. Itu artinya Eve sudah pingsan hampir dua hari.Di waktu itu pula, Eve baru menyadari ada satu keanehan. Bukankah dua hari lalu Eve dibawa oleh Dev, disekap dan didudukkan di ruangan serba putih? Tapi sekarang ... Eve malah berada dalam posisi tidur di atas ranjang. Tapi tetap, ruangan disini serba putih. Dan hanya ada dia sendiri, ranjang, dan nakas. Itu saja.Hendak turun dari ranjang itu, mendadak satu ingatan muncul di benak Eve. Itu bayangan tentang mimpinya semalam.Mimpi itu cukup abstrak, namun beberapa adegan di mimpi itu masih berkaitan dengan kejadian yang sebenarnya. Dan itu tentang Dion, kekasihnya. Ah, ralat. Kekasih yang kini sudah menjadi mantan.Eve ingat, di mimpi itu dia sedang kebingungan dan terjebak di kebakaran yang membumihanguskan seisi pasar. Kejadiannya sekitar 3 tahun yang lalu. Dan dari situlah, untuk pertama kalinya Eve bertemu dengan Dion.= Flashback =DRAP DRAP DRAP!"Kebakaran! Kebakaran! Ayo semuanya cepat keluar dari pasar sekarang!"Sambil berlari menyelamatkan diri, para pedagang itu terus-menerus menggaungkan teriakan peringatan itu. Tidak peduli barang dagangan yang sudah berserakan kacau dan terinjak-injak, mereka lebih memilih memprioritaskan nyawa masing-masing. Beberapa orang mungkin masih menolong orang-orang yang terjebak di api, namun ada juga yang memilih untuk kabur--karena mereka lebih memikirkan diri sendiri.Sementara Eve yang pada saat itu sedang apes mengantarkan jajanan ke pedagang pasar bersama neneknya pun juga terjebak. Dan Dion juga kebetulan ada disana. Entahlah, apa dia memang berada disana karena kebetulan atau mungkin sengaja pergi kesana, Eve tidak tahu."Ayo, Nek!"Eve berusaha keras untuk menggiring neneknya ke tempat berkumpul yang aman. Neneknya berhasil kesana, tapi Eve mengalami kesulitan dan terjebak oleh reruntuhan pasar yang dilingkupi api.WHOSSSHH! WHOOOSHH!"Astaga! Apinya semakin besar! Bagaimana caranya aku bisa keluar?" panik Eve.Kobaran apinya semakin meluas dan juga membesar. Panasnya juga kian membakar, nyaris melepuhkan kulit Eve yang sensitif. Bahkan kini, kepulan asap sudah mendominasi di hampir seluruh atmosfer sini. Dan itu membuat saluran pernapasan Eve seperti tercekik."Uhuk! Uhuk!" Eve sampai terbatuk-batuk.Karena kandungan oksigen sudah kian menipis, dan Eve juga sudah tidak sanggup untuk menahan semua rasa yang menyakitkan itu, perempuan itu pun ambruk dengan posisi tertelungkup. Nyaris pingsan, tapi dia mencoba bertahan.Tapi Eve adalah gadis yang sangat beruntung. Pria yang bernama Dion itu pun kemudian menemukannya pada saat ia mencari jalan keluar dari lingkaran api."Hoi! Bertahanlah! Hoi!" teriak Dion seraya mengguncang-guncangkan lengan Eve sambil memposisikan badan Eve agar terlentang.Pada saat itu, Eve masih setengah sadar. Katup matanya masih terbuka sedikit, dan Eve sempat melihat wajah Dion, sebelum akhirnya dia benar-benar jatuh pingsan.Dion, dengan penuh perjuangan membuat jalan untuk mereka keluar. Beruntung tanah di pasar itu masih agak basah karena hujan pagi tadi. Jadi Dion mengambil inisiatif untuk mengeruk tanah basah itu untuk mematikan api di sekeliling mereka. Dion melakukan itu tanpa kenal lelah. Tidak peduli tangannya terluka parah karena banyak menggali tanah, dia tetap berusaha keras untuk memadamkan api, hingga ia berhasil membuat jalan keluar.Dan tepat waktu, pemadam kebakaran sudah datang dan kebetulan mereka menyemprotkan air tepat di jalan keluar yang Dion buat. Dion dan Eve pun akhirnya berhasil diselamatkan, meskipun di tubuh mereka terdapat banyak luka. Yang terparah Dion, karena Dion yang membawa Eve keluar dan menerobos api. Sedangkan Eve di gendong di punggung, jadi tidak terlalu mengalami luka serius.Kejadian itulah yang kemudian membuka jalan untuk Dion dan Eve untuk lebih dekat. Eve yang ingin membalas budi baik Dion pun berinisiatif untuk menemani dan menjaga Dion saat masih dirawat di rumah sakit, sampai Dion sembuh dan bisa beraktivitas lagi.Bahkan sampai Dion sudah sembuh pun, keduanya menjadi makin akrab. Kebersamaan mereka pun terbentuk karena kebiasaan. Dion yang seorang pengamen itu senang mangkal di pasar, menunggui Eve yang setiap harinya menitipkan jualan ke pedagang di pasar. Kadang Dion dan teman-teman ngamennya juga ikut membantu mengangkut jualan Eve dan Neneknya itu.Eve dan Neneknya, juga anak-anak panti sehari-harinya bekerja di rumah, memproduksi jajanan dan lauk-pauk untuk dijual ke pedagang-pedagang di pasar dan juga di warung-warung makan. Dan semenjak ada Dion, Eve merasa sangat terbantu.Dan siapa sangka, Eve yang mulanya bersikap baik atas hutang budi itu terjerat asmara dengan Dion. Laki-laki itu ternyata juga mengaku mencintai Eve, dan mereka pun memutuskan untuk berpacaran.= flashback off =Eve bisa selamat dan masih hidup hingga sekarang berkat Dion. Eve secara tidak langsung menjadi saksi kebaikan Dion. Rasanya sulit bagi Eve untuk percaya kalau kenyataannya Dion adalah salah satu anggota perampok. Namun bukti yang Dev berikan sudah jelas dan Eve tidak bisa mengelak.Tapi yang membuat Eve tidak habis pikir adalah ... mengapa Dion bergabung dengan mereka? Eve perlu menyelidikinya lebih lanjut."Dion ..." Eve menggeram seraya mengepalkan tangannya. "Apa mungkin sejak awal dia memang anggota perampok?"Terdorong rasa penasarannya yang kian memuncak, Eve pun berusaha bangkit dari tempat tidur, ingin keluar dari ruang kamar itu. Beberapa kali tubuhnya limbung, nyaris terjatuh. Mungkin karena efek obat bius yang diberikan Dev."Nggak ... aku nggak boleh menyerah! Aku harus keluar dari sini! Aku harus kembali pulang ke panti! Nenek dan anak-anak bisa saja dalam bahaya!"Eve tidak mau mempercayakan panti pada Dev. Walau kemampuan bela diri Dev mungkin lebih unggul dibanding Eve, tapi para perampok itu juga tak kalah jago, juga sangat licik. Eve tidak yakin kalau Dev bisa menjaga panti dengan baik.Eve melihat pintu ruangan itu terkunci dari luar. Kunci kamar itu bukan seperti kunci sandi yang ada di ruangan tempat Eve dibawa pertama kali. Melainkan kunci lubang biasa.Itu cukup melegakan, tapi Eve butuh suatu alat untuk membuka kunci itu. Dan ia pun mencoba untuk mencari-cari alat yang berkemungkinan bisa digunakan untuk merusak lubang kunci pintu itu.Hingga dia sampai pada laci nakas, Eve menemukan sebuah garpu. Alat yang sangat berguna. Dengan kemampuannya, Eve mampu membuka kunci pintu hanya dengan garpu tersebut.Namun meskipun Eve merasa beruntung, disisi lain dia merasa curiga dengan adanya garpu itu. Entah mengapa Eve merasa kalau keberadaan garpu itu seperti dengan sengaja diletakkan disini."Aneh. Kenapa garpu ada disini?" gumam Eve merasa aneh. "Apa Bram sengaja meletakkan garpu ini disini?"Eve mengangkat garpu itu dengan gamang. "Tapi itu tidak mungkin ... Bram tidak mungkin seceroboh itu meletakkan benda seperti ini disini ..."Tidak mau ambil pusing, Eve segera membuka kunci pintu itu. Hanya butuh waktu sekitar lima menit, pintu itu pun berhasil dia buka.Mengabaikan kamera CCTV, Eve menerobos keluar. Melewati lorong-lorong redup yang dia yakini lorong ini mirip sebuah lorong gedung bertingkat tinggi. Mirip gedung kantor, tapi seperti labirin yang membingungkan. Dan anehnya, lorong itu sangat sepi. Tapi Eve bisa merasakan keberadaan orang-orang di dalam ruangan di sepanjang lorong."Sial! Dimana pintu keluarnya? Dan dimana tangganya?" umpat Eve sembari terus berlari. Dia kesal karena merasa dipermainkan. Dari tadi Eve seperti dibuat berputar-putar.Namun tak terduga, disaat Eve hendak menyerah, dia mendengar suara langkah kaki mendekat. Makin paniklah Eve.Melihat ada satu pintu di lorong ujung yang Eve tahu itu adalah pintu toilet, dia pun masuk kesana untuk menyembunyikan diri.Dan tidak terduga, Eve ternyata masuk ke toilet pria. Ada dua orang pria disana sedang menggunakan urinoir yang bersebelahan. Dan mereka tampak mengobrolkan sesuatu.Sebelum mereka menyadari kedatangan Eve, buru-buru gadis itu menyembunyikan diri. Beruntung ada bilik WC juga disana, jadi Eve masuk ke salah satu bilik itu."Gimana? Udah beres?" tanya salah seorang pria itu.Dan pria satunya pun menjawab. "Beres, dong! Kalau cewek itu pinter, bentar lagi dia bakal kabur kok! Dan Dev yang pastinya bakal disalahin dan dianggap lalai sama Pimpinan!""Hahaha! Iya! Rasain! Biar turun jabatan tuh anak! Sok belagu sih! Mentang-mentang dia berhasil nangkep tuh cewek sendirian!""Anak-anak udah sepakat ngendorin pengawasan. Mudah-mudahan tuh cewek cepet kabur dari sini! Biar Dev kebingungan nyari tuh cewek lagi! Hahaha!"DEG!Eve terhenyak. Mendengar percakapan itu membuatnya yakin kalau perempuan yang dimaksud dalam percakapan itu adalah dirinya. Dan Dev ... adalah orang yang menangkap perempuan itu. Apa jangan-jangan ..."Jangan-jangan ... Dev itu Bram?"**To be continued.Ternyata memang benar yang dikatakan mereka. Penjagaan di gedung itu sedang diperlemah. Eve merasakan kalau CCTV di sepanjang lorong di lantai tempat ruangan Eve berada itu tidak aktif. Karena kalau memang aktif, sudah dari tadi para penjaga memergoki Eve. Atau mungkin bisa saja para penjaga CCTV juga bersekongkol dengan para agen untuk mengabaikan penjagaan. Eve masih belum bisa memastikan itu, dan memilih untuk tidak peduli. Dari pada memikirkan semua itu, Eve lebih baik mencari cara agar bisa keluar dari sini. Sambil menunggu dua pria itu keluar dari toilet. "Eh bentar deh. Kayaknya tadi pintu ini nggak nutup deh! Apa ada orang? Tapi kok aku nggak denger langkah orang masuk, ya?" heran salah seorang pria itu seraya mengetuk-ngetuk pelan bilik yang ditempati Eve bersembunyi. "Hallo???" 'Cklek cklek!' Satu pria lainnya kemudian mencoba membuka pintu bilik itu. "Dikunci dari dalam. Berarti memang ada orang. Tapi kok sepi ya?" Merasa curiga, du
Mustahil bagi Eve untuk kabur saat ini. Tapi dia pantang menyerah. Sebisa mungkin Eve menyeret satu kakinya yang terluka itu, berjalan lambat dan terseok-seok. Mencoba peruntungannya, Eve mencoba untuk nekat. Berencana kabur dengan menjatuhkan dirinya pada tenda atap yang kebetulan berada di bawah gedung yang dipijaknya. Mungkin agak beresiko, tapi itu adalah cara yang paling cepat untuk menghindar dari Dev saat ini, mengingat kondisi kakinya tidak begitu memungkinkan untuk turun melalui tangga atau melompat. Tapi Eve kalah cepat. Dev sudah lebih dahulu menarik bagian belakang pakaian Eve. Dan menghempaskan kembali tubuh perempuan itu hingga kembali ke posisi semula. "Berhentilah melawan dan menyusahkanku, Eve! Atau aku tidak akan segan lagi padamu!" hardik Dev. Bola mata Eve seketika mengabur. Masih dalam posisi tengkurapnya. Menangis, antara menahan rasa sakit dari kaki, dan marah karena ucapan Dev barusan. "Kalau kamu tidak ingin susah, leb
Tanpa mengucap sepatah kata pamit pun, Eve bergegas pergi, tepat setelah Dev membukakan jalan untuknya. Tapi tentunya Eve tidak bisa lari cepat, karena kakinya yang terluka. Kalau boleh jujur, Eve sebenarnya tidak tega meninggalkan Dev bertarung sendirian. Apalagi teman-teman Dion itu banyak dan bersenjata. Sementara Dev hanya menggunakan satu pisau kecil saja, sisanya dia harus pakai tangan kosong dengan bela dirinya. Dilihat dari manapun, pertarungan ini sangat tidak seimbang. Walaupun Eve tahu kalau Dev itu kuat, tapi kalau menghadapi orang sebanyak itu rasanya ... akan mustahil jika Dev mengalahkan semua sekaligus. Karena jika ada satu orang musuh yang jatuh, maka yang lainnya akan berbondong-bondong menyerang membela temannya. Dan jika teman musuh itu sudah ditumbangkan Dev, pasti teman yang tumbang tadi sudah agak pulih dan melanjutkan untuk melawan Dev. Begitu seterusnya. Sudah dipastikan kalau pertarungan tidak akan ada habisnya."Ohok!!" D
"Ini bukan jalan menuju panti. Kau tidak sedang berusaha membawaku pergi lagi kan?" Eve dan Dev sudah sampai di kota M beberapa menit lalu. Dan kini mereka mengendarai mobil pribadi Dev yang tadinya terparkir manis di dekat kawasan bandara. Dan Eve terkejut, kalau Dev membawa mobilnya ke jalan yang bukan seharusnya. Wajar kalau sekarang Eve merasa sangat khawatir dan curiga kalau Dev membawanya pergi lagi. "BRAM!" Eve kesal sekali diabaikan begini. Dev tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Malah fokus terus menyetir. Hingga ... CKIIITTT! Dev mendadak memberhentikan mobil di pinggir jalan. Lalu terdiam. Mengambil dua tiga lembar tissue dan mengusapkan ke mulutnya yang ternyata kembali mengeluarkan darah. Ah, ya. Eve ingat kalau Dev sempat mendapatkan tendangan yang cukup keras tadi di bagian perutnya. Dev pasti sangat kesakitan sekarang. Dan pantas saja Dev tidak banyak bicara. Mungkin dia sedang menahan sakitnya. "B-Bram ... ka
Untuk sementara waktu, Dev akan tetap berada di kota M. Memastikan panti dan juga seluruh wilayah disini aman dari para perampok yang meresahkan warga. Dev mengambil tempat kamar sewa yang dekat dengan panti tempat tinggal Eve, tepat di depan panti. Sementara para agen pengaman mengambil mess di perbatasan kota sebagai tempat berkumpul mereka. Dev sendiri lah yang memimpin mereka secara langsung untuk upaya penjagaan wilayah, dan tentunya sudah mendapatkan izin penuh dari Pak Marco. Apalagi mengingat para perampok itu bukan sembarang penjahat tanpa keahlian. Sudah pasti Pak Marco akan menugaskan Dev dalam misi ini. Tapi tetap saja, Pak Marco menugaskan pendamping bagi Dev. Dan lagi-lagi Budiman yang dikirim oleh beliau. Dev pun tidak begitu mempermasalahkan partnernya siapa, asalkan dia cekatan dan cukup kuat untuk mengimbanginya. Dan sepengetahuan Dev, Budiman cukup memenuhi standarnya. Walau kadang Budiman itu agak ... playboy. Itulah sikap Budiman yang cuk
Dev seharian ini banyak menghabiskan waktu dengan menelusuri wilayah perbatasan dan lahan pembangunan. Namun sayangnya dia sama sekali tidak mendapatkan kejanggalan apapun. Semuanya tampak normal, biasa saja. Tidak ada tanda-tanda perampok maupun pergerakan warga pendemo yang muncul. Tentu mengherankan, mengingat para perampok itu kerap melawan para penegak hukum hingga babak belur. Tapi entah mengapa sekarang ini mereka sama sekali tidak muncul dan melakukan gerakan perlawanan. Padahal Dev sengaja mengirim pasukan pengaman yang kuat untuk berjaga disini dan bertempur jika sewaktu-waktu mereka akan datang menganggu warga dan berusaha merampok lagi. Malah sekarang mereka menghilang. Bahkan para pengamen alias teman-teman Dion yang kadang mangkal di tempat mereka pun sama sekali tidak nampak batang hidungnya. Benar-benar seperti lenyap entah kemana. Dan tentunya itu makin memperkuat dugaan kalau para perampok itu adalah orang-orang yang sama dengan kelompok pengebom.
"Saya tidak tahu menahu soal itu. Karena yang terpenting, saya sudah bekerja sesuai prosedur," ungkap Pak Direktur yang kemudian memasang wajah dibuat polos, seolah meyakinkan Dev kalau dia memang tidak tahu apa-apa. "Lagipula, mengapa Pak Bram malah membahas para penduduk itu? Bukankah itu urusan mereka mau pindah kemana?" Dev terkekeh. "Memang benar kalau mustinya saya tidak perlu khawatir dengan para penduduk yang digusur itu, karena mereka sudah mendapat uang ganti rugi. Saya hanya terganggu dengan para penduduk yang awalnya berontak dan berdemo menyuarakan kalau tanah mereka diambil paksa, lalu mereka menghilang begitu saja."Pak Direktur itu menggeleng, dengan sorot mata yang perlahan mulai berubah serius. "Kami tidak pernah mengambil paksa, Pak. Mereka tidak punya surat tanah sebagai bukti kepemilikan tanah tempat mereka tinggal, jadi tidak heran kalau mereka harus dipindahkan. Jadi tolong Pak Bram jangan berasumsi macam-macam," tegasnya kemudian. "Bera
Berita menggemparkan tentang Pak Direktur dari perusahaan XYZ yang hampir mati itu seketika menjadi headline di berbagai media dan menyebar begitu cepat. Namun berita pelaku terduganya masih belum sampai ke telinga awak media. Jadi tidak heran jika mereka menyerbu ke beberapa tempat yang berkemungkinan bisa mendapatkan informasi lebih lanjut. Tidak hanya memblok pintu masuk perusahaan XYZ, tapi para pencari berita itu juga mengerumuni area rumah sakit tempat Pak Direktur itu dirawat. "Bagaimana keadaan Pak Anthony? Apa sekarang kondisinya sudah mendingan?" "Bagaimana bisa Pak Direktur sampai keracunan? Apa Anda memiliki dugaan siapa yang meracuni beliau?" Saat itu, dua seorang polisi yang kebetulan baru saja keluar dari rumah sakit itu pun langsung diserang oleh bombardir pertanyaan para wartawan. Tapi perempuan tersebut memilih untuk bungkam dan tetap berjalan. Sedangkan polisi yang bersamanya itu memberi kode berupa bahasa tubuh, aga