Sesi tanya jawab bersama Tora terpaksa dihentikan, karena mendadak depresinya kumat lagi. Maka Dev dan Eve pun menarik diri untuk bergegas pergi, meninggalkan Tora bersama para dokter yang menangani penyakitnya.
"Makanya sudah kubilang jangan melontarkan pertanyaan yang memicu depresinya kumat! Dasar!"TUK!Mudah sekali Eve menjitak kepala Dev, karena sekarang Dev duduk di kursi roda sehingga posisi pria itu jauh lebih rendah."Nggak pakai jitak kepala juga lah! Jangan mentang-mentang aku masih sakit, kamu malah manfaatin kesempatan buat berlaku seenaknya sama aku!" ucap Dev bersungut-sungut kesal sembari mengelus bekas rasa sakit di puncak kepalanya akibat jitakan Eve.Eve tergelak. Puas sekali sepertinya setelah membully Dev. Ini kali pertama Eve bisa melihat Dev kesal tapi tak bisa berkutik apalagi melawan.Begitu sampai di kamar inap Dev, Eve lantas membantu Dev untuk kembali ke ranjang. Kemudian menyelimuti Dev dengan lembut.Kalau saja bukan karena fisiknya sedang sakit, Dev mungkin sudah dari tadi menyusul Eve dan menghentikan perempuan itu. Kalaupun ingin memaksa menyusul, luka-luka di tubuhnya tidak bisa diajak kompromi. Ledakan bazooka yang ia terima telak gara-gara para agen pengkhianat itu masih menyisakan rasa sakit yang luar biasa untuk Dev. Maka terpaksa, Dev harus menyerahkan pengawasan Eve kepada Budiman. Walau sebenarnya Dev juga tidak begitu yakin Budiman bisa menahan Eve, tapi setidaknya gadis itu bakal kuwalahan untuk mengalahkan seseorang yang sudah lama menjadi tangan kanan Dev itu. Bukan. Dev bukannya tidak yakin dengan kekuatan Budiman. Tapi yang justru Dev khawatirkan adalah ... kelicikan Eve. Dev sangat tahu bagaimana wanita itu. Eve mungkin bakal kalah kalau soal teknik dan kekuatan dibanding Budiman, tapi di otak perempuan itu pasti punya beribu trik agar Budiman bisa tumbang. Entah dengan jurus godaannya itu, atau trik tipu daya khas wanita lai
"Kau yakin akan pergi sekarang? Tubuhmu masih belum pulih, Bram ..." Dev menghentikan sejenak pergerakannya saat ia baru saja hendak memasukkan satu lengan ke kameja hitam yang akan dipakainya. Lalu menatap datar kepada Eve seraya memberikan satu anggukan yakin. "Lebih baik aku bergerak sekarang. Kalau menungguku sampai benar-benar pulih, entah harus berapa lama lagi. Dan kalau tetap menjalani perawatan disini pun, tidak akan menjamin kesembuhanku ..." Dahi Eve berkerut, tidak mengerti. Tapi setelah Dev tiba-tiba dengan mudahnya melepas infus yang menempal di pergelangan tangan kirinya, Eve langsung terhenyak. "Bram! Apa yang kamu lakukan--" "Tidak apa. Beberapa waktu lalu aku sudah melepasnya secara manual." Eve melongo. "Tapi ... kenapa?" Dev tidak langsung menjawab. Tapi dia kemudian mengarahkan telunjuknya agar Eve mengambil stok obat infus berbotol kaca yang ada didekat situ. Dan Eve pun menurut, walau sebenarnya dia kuran
Dev tidak mengerti. Kalau biasanya dia tidak akan membiarkan seorang wanita manapun berlaku sesuka hati kepadanya, namun tidak bila dia dengan Eve. Tidak. Dev serasa seperti terhipnotis oleh gadis itu. Ini kedua kalinya mereka melakukan hal intens. Yang pertama saat Dev marah, karena dulu Eve terus memberontak dan terus berteriak. Entah bagaimana Dev dengan spontan mencium bibir Eve. Kesal karena perempuan itu tidak bisa diam. Dev tahu kalau tidak seharusnya Dev mencium bibir Eve kala itu, tapi tubuhnya seperti memiliki pikirannya sendiri. Apalagi saat itu posisi Eve sedang bersedih, setelah dikhianati oleh Dion, mantan pacarnya sendiri. Yang kedua, kali ini berbeda. Eve yang gantian menciumnya. Dan Dev sungguh tidak mengerti mengapa perempuan itu tiba-tiba melakukan itu. Tapi entah mengapa dalam hatinya justru menghangat--tanpa ia sadari. Sekujur tubuhnya langsung melemah. Pun tulang-tulangnya pun seperti lunglai. Dev juga bingung ing
Selesai mengobati ruam di kulit pipinya, Dev memutuskan untuk beranjak ke ruang fitness yang merupakan salah satu fasilitas yang tersedia kapal. Walau tidak begitu besar, tapi ruangan tersebut sudah dilengkapi dengan treadmill dan sarung tinju, juga beberapa alat fitness yang lainnya. "Kau sudah betul-betul mengkaliberasi alat-alat ini, kan? Aku tidak mau alat ini tiba-tiba error karena jarang ada yang menggunakan," ujar Dev seraya menyentuhkan jemarinya ke pegangan tangan pada treadmill yang agak sedikit berdebu itu. "S-sudah, Pak ..." Pria yang berdiri di sebelah Dev itu merupakan penanggungjawab ruangan fitness. Dia baru saja selesai melakukan pengecekan. "Silahkan digunakan dan selamat berolahraga ..." Dev mengangguk singkat. Lalu menelengkan kepalanya untuk memberi kode kepada pria itu agar segera pergi dan meninggalkannya sendiri di ruangan ini. Setelah berminggu-minggu, Dev merasa kalau dia sudah lama tidak melakukan latihan keb
Kali ini Dev sudah tidak peduli dengan yang namanya kecepatan. Laju speedboatnya sudah berada di batas maksimum, dimana rem mungkin tidak akan berfungsi optimal untuk menghentikannya. Dev bergerak tanpa arah, mengelilingi kapal sekutu pemberontak itu. Seperti umpan yang bergerak untuk menarik perhatian sang pembidik. Dan tampaknya itu berhasil. DOR! DOR! Satu tembakan. Dua tembakan. Dev masih bisa menghindarinya. BYURR! Debur ombak laut beriak kencang saat Dev menghindari tembakan dengan menukik cepat dan tajam. Dev juga tak ketinggalan melepaskan beberapa tembakan bazooka sambil menyetir speedboat. Untuk memberi serangan balasan. Tak ayal, beberapa awak kapal musuh pun tumbang karena tembakan bazooka Dev. "Walau Dev kesulitan menembak saat menyetir, rupanya dia masih bisa membidik dengan baik. Padahal katanya Dev tidak begitu jago mengendarai speetboat kan? Dia benar-benar belajar dengan cepat! Aku
Beberapa tahun lalu, saat Dev masih berlatih dengan Pak Marco. Bertempat di salah satu pulau tak berpenghuni, CB. Pulau dengan segala hewan buas yang tumpah ruah disana. "Apa kau pernah mendengar para penjahat yang kebal dengan benda tajam dan tubuhnya keras seperti baja?" Dev yang pada saat itu sedang memakan daging kijang bakar hasil buruannya itu pun langsung menghentikan kunyahan di mulutnya. Menatap bingung kepada pria usia kepala lima yang duduk berseberangan dengannya, Pak Marco. "Saya ... pernah dengar beberapa kali. Katanya mereka punya semacam ilmu kekebalan gitu. Tapi saya tidak mengerti bagaimana mereka dapat melakukannya ..." Pak Marco terkekeh pelan. Lalu bangkit dari duduknya hanya untuk mengambil buah ranting yang tergeletak di tanah. Beliau pun selanjutnya bergerak mengambil beberapa langkah mendekat kepada Dev dari belakang. Dan tanpa aba-aba, beliau tiba-tiba menepuk punggung Dev dari belakang. Hingga Dev pun sampai berjengkit kaget
"Rudi! Sedang apa kamu? Ayo cepat, kita harus segera kembali mengangkut ikan-ikan ini!!" "Ah, sebentar! Jalanya tersangkut nih! Bantuin dulu sini lah! Berat nih!" Pria muda yang memakai topi itu tadinya hendak memindahkan ikan-ikan di ember ke tempat box besar. Tapi seketika ia terhenti, karena penasaran dengan temannya yang sedang kesusahan menarik jala ikan. Dan melihat temannya itu benar-benar kewalahan menarik jala, dia malah berpikir kalau jangan-jangan jala itu berhasil menangkap ikan yang banyak dan berat. Jadi dia pun langsung semangat. "Ugh! Berat amat dah! Udah pasti gedhe nih tangkapannya! Hahaha!" Kedua orang itu masih berusaha menarik jaring itu. Tapi saat melihat bayangan hitam besar, mereka pun jadi makin semangat. "Satu dua!" "Hiyaaa!!" BRUK! Hasil tangkapan mereka pun berhasil terangkut ke atas kapal layar mereka. Senang rasanya mereka. Hingga tak sabar untuk memisahkan j
"Sial! Kau bawa kemana jam tanganku, hah?!" "Aaarrrgh! Sakit! Lepaskan aku! Apa begini kelakuan penegak keadilan?" Dev tidak menghiraukan ucapan pria bertopi itu. Tangannya yang semula mencengkram kuat pergelangan tangan pria bertopi itu kini berpindah cepat mengenggam kerah kameja lusuh pria itu. "Aku berhak memberi pelajaran pada pencuri busuk seperti kamu! Beraninya kamu mengambil apa yang bukan milikmu!" geram Dev. "Sekarang katakan, kau bawa kemana jamku?!" "Hei! Berhenti!" DRAP DRAP DRAP! Dari arah belakang, muncul beberapa orang baru yang berpakaian serba hitam dan mengenakan masker. Persis seperti para perampok, hanya saja mereka tidak memakai pakaian seragam. Kesemuanya rata-rata adalah laki-laki. Mereka berbondong-bondong masuk melalui pintu. Membawa beberapa senjata api di punggung dan genggaman tangan mereka. Pria bertopi itu ikut menoleh ke belakang, melihat orang-orang yang baru tiba itu. Lalu tersenyum menyeringa