"Gak mungkin. Ayah sangat kenal dengan calon suami kamu, Nak." Ayah masih juga membela calon menantu yang menurutnya lelaki baik.
"Kenal bukan berarti Ayah tau segalanya tentang dia, 'kan? Banyak lelaki baik, tau-tau berselingkuh dibelakang istrinya? Kalau sempat dia ninggalin Mayra bagaimana?" tanyaku penuh penekanan. Menikah itu bukan seperti memakai baju. Bisa gonta ganti sesuka hati. Dan diri ini berjanji dalam hati, menikah cukup sekali saja. Makanya tidak sembarangan dalam mengambil keputusan. "Tenang saja! Kalau dia selingkuh, bilang sama ibu. Nanti ibu potong punya dia, kita iris-iris terus kita tauco, baru suapin ke mulutnya," Sadis sekali ibuku. Aku melihat mulut beliau mengeras seakan sedang mengiris anunya calon suamiku. "Ibu ngomong apa sih? Kalau mengajarin anak itu yang benar. Jangan asal bicara," nasehat ayah. "Habisnya Ibu geram, Yah." jawab ibu seraya memilin bajunya dengan mata dikedip-kedipkan seperti orang cacingan. "Parcaya sama Ayah. Calon suami kamu menantu pilihan Ayah, dia lelaki terbaik. Luar dalam tentang dia Ayah sudah tau, Nak. Ayah sering bermalam di rumahnya begitu juga sebaliknya!" jawab ayah membuat pikiranku traveling kemana-mana. "Apa maksud Ayah? Jangan bilang Ayah suka sama lelaki itu ya? Atau jangan-jangan ada hubungan terlarang Ayah sama dia sehingga untuk menutupi kedok Ayah menjodohkan dengan Mayra, kan?" tanyaku penasaran menatap intens kedua bola mata lelaki paruh baya itu. "Astagfirullah, May. Kamu ngomong apa sih?" Ayah bolak balik mengucapkan istighfar mendengar penuturanku. "Bisa jadi kan dia sama ayah kaum pelangi ..." Pletak. Belum pun selesai aku berbicara tau-tau ibu menabok kepalaku. "Kamu sudah terlalu, May!" ujar ibu. Kok kedengarannya kayak bang Haji Rhoma Irama ngomong ya. Ter ... la ... lu. "Kalau ayahmu kaum pelangi, gak mungkin ada kamu." ucap ibu membela pendamping hidupnya. "Jadi kenapa coba Ayah ngebet sekali menjodohkan Mayra kalau bukan karena itu?" tanyaku lagi dan disambut dengan tatapan penuh intimidasi oleh kedua orang tuaku. Diri ini bagaikan tersangka yang sedang menunggu keputusan saja. "Karena dia itu lelaki baik." "Emang jumpa dimana sih dengan makhluk astral itu, Yah?" "Makhluk astral? Ada-ada saja kamu, May." Lagi-lagi ibu keplak kepalaku. Kalau bukan karena orang tua yang sudah melahirkan dan membesarkanku, sudah kubalas juga dengan keplakan yang lebih kuat. Enak saja main keplak-keplak segala. Kepalaku ini juga berharga buktinya setiap tahun dibayar fitrah. Eh apa hubungannya ya. Tidak ada pastinya. "Ayah sering mengobrol dengan dia di mesjid dekat kantor. Setiap sore dia juga yang mengajar anak-anak mengaji. Anaknya penyabar. Penyayang. Ayah suka," Allahu Rabbi. Jodohku ternyata guru ngaji. Duh ... tidak dapat kubayangkan lelaki yang menjadi pendamping hidupku kalau mau kemana-mana hanya memakai sarung, baju batik lengan panjang dan memakai kopiah beludru. Tidak banyak bicara berbanding tebalik dengan aku. Duh mimpi apa aku semalam. "Ayah sudah mantap menjodohkan Mayra sama guru ngaji itu, Yah? Apa dia sanggup menafkahi Mayra? Apa Ayah gak takut anak Ayah gak makan?" tanyaku takut-takut. Apalagi ada ibu disebelah ayah, kalau salah-salah bicara beliau tidak segan-segan mengeplak anaknya yang cantik ini. "Tidak akan kelaparan kamu, Nak. Udahlah. Jangan banyak alasan. Pokoknya kamu ubah sifat dan perilaku buruk kamu itu. Sebentar lagi kamu sudah punya suami dan anak. Jadilah panutan untuk anakmu kelak." Lagi-lagi nasehat ayah membuat aku bergidik ngeri. Ya Tuhan. Aku tidak sanggup membayangkan memiliki anak. Hari-hari kuhabiskan hanya mengurus anak. Tugas setiap hari hanya didapur, dikasur dan disumur. Duh ... Kenapa begini amat nasibku. "Tapi Mayra belum mau nikah. Mayra belum siap mengurus tetek bengek rumah tangga. Lagian Mayra masih terlalu kecil untuk menjadi seorang ibu rumah tangga. Baru saja setahun lulus kuliah, sudah disuruh menikah. Usia pun masih 23 tahun, Mayra masih mau berkarir, Yah!" Aku terus saja berusaha membujuk ayah. Ibu sih tidak bisa dibujuk lagi. Wanita itu malah suka melihat aku menikah, bila perlu sekarang juga. Kurasa mereka berdua mau menikmati kehidupan berdua saja. Makanya aku disuruh cepat-cepat kawin eh nikah maksudnya. "Udah terima sajalah. Jarang ada lelaki baik jaman sekarang, May. Sudah baik, taat, penyayang, tampan lagi. Duh ... dia itu suami idaman banget, deh. Kalau dia melamar ibu pasti tidak akan ibu tolak. Namun, apa daya ibu sudah menjadi istri ayahmu!" ujar ibu genit seraya mengedipkan sebelah mata menatap ayah. Udah tua masih genit juga. Ya Tuhan ... kenapa gini amat ibu aku sih. Di depan suaminya saja ganjennya nauzubillah. Apalagi dibelakang. "Buk ..." Tangan ibu dikeplak ayah. Syukurin. Kena keplak kan? Kenapa bukan kepala aja yang dikeplak mana tau hilang olengnya. "Habisnya anakmu itu, Yah. Dikasih kebahagiaan kok menolak!" "Bahagia? Siapa yang bahagia? Ibu? Ayah? Kalau Mayra tidak akan bahagia selain menikah dengan mas Arkan." ucapku penuh penekanan. "Arkan lagi ... Arkan lagi. Sampai kiamat pun dia tidak akan melamar kamu, May. Dia sudah menikah dengan wanita lain! Udah terima saja lamaran ini," ujar ibu mengintimidasi. "Kalau Mayra gak terima, bagaimana?" Entah darimana keberanianku menantang kedua orang tua yang selama ini sangat aku sayangi. "Kalau kamu tidak terima, lamaran itu tetap berjalan. Pernikahan kamu juga tetap diadakan walaupun kamu tidak setuju!" Ibu malah mengancam jika aku tidak menerima pinangan itu akan dicoret namanya dalam kartu keluarga. Kejam sekali punya ibu kandung macam ibu tiri saja. "Mayra merasakan ibu sama ayah seperti menjual Mayra kepada lelaki itu," ujarku seraya menghempaskan tubuh ini di atas ranjang dan menutup wajah dengan bantal barbie pemberian mas Arkan. "Menjual? Kami tidak pernah menjual kamu, May. Lagi pula, apa laku gadis kayak kamu dijual? Udah jelek, malas, jorok, bawel lagi. Ah ... ibu aja heran kenapa lelaki itu ingin menjadikan kamu istrinya. Mungkin dia khilaf kali ya!" Astaghfirullah, Ibu! Tuhan ... Dosa apa yang telah aku buat. Kenapa begini amat hidupku. "Ish ... ibu jahat banget sih. Anaknya sendiri dihina!" Aku hanya bisa mendumel mendengar hinaan beliau. Kesal juga lama-lama sama wanita berhidung mancung itu. Mau melawan, takut durhaka. "Habisnya kamu gak sadar diri amat sih. Sok kecakepan!" sindirnya lagi. Allahu Rabbi. "Hust!" Ayah menyuruh ibu diam. Entah mengapa ayahku bisa mencintai wanita bar bar seperti dia. Entah apa istimewanya ibuku dihati ayah, wanita yang bawelnya minta ampun. Langgeng pula tuh, mereka baru saja merayakan pernikahan peraknya. Maafkan aku Tuhan. Aku sudah berdosa mengata-ngatain ibu. Sebenarnya aku sangat menyayangi beliau begitu juga sebaliknya. Hanya hari saja wanita berhidung mancung itu seperti kena sambet. Mungkin juga ibuku disantet sama calon menantunya sehingga membenci anaknya sendiri. Bisa jadi juga kan? "Mayra, jangan diambil kehati kata-kata ibumu, dia hanya bercanda. Kamu itu jantung hati untuk ayah dan ibumu, Nak. Kamu harus tau bagaimana sayangnya kami berdua terhadap kamu!" ucap ayah menenangkan hati ini. Sekilas aku melirik ibu yang sedang cengar-cengir sendiri melihatku. "Iya, Yah!" jawabku malas. "Kamu mau tau wajah calon suami kamu, May?" Aku mengangguk lemas. "Sini Ayah tunjukkan!" ujar ayah seraya merogoh dompet dikantung celananya dan mengambil selembar foto, kemudian memberikannya kepadaku. "Ini, Yah orangnya? Astaghfirullah!""Maafkan Mayra tidak bisa melayani Mas seperti seorang istri pada umumnya!" ujarku tergugu tatkala melihat mas Sidik mencuci baju sendiri.Biasanya selain ada ibuku dan ibu mertua, dirumah kami juga juga membayar tukang cuci.. Tapi hari ini izin libur karena ada urusan keluarga yang tidak bisa ditinggal. Sementara ibuku dan ibu mertua sudah pulang."Gak apa-apa, Sayang!" Mas Sidik masuk ke kamar dan merebahkan diri disisiku dan meraih tangan ini kemudian diletakkan dipipinya."Kasian Mas. Gara-gara Mayra jadi begini!" Aku berbalik arah tidur menatap kearah suamiku."Menurut Mas, tidak ada yang perlu dikasihani, sudah biasa dalam berumah tangga kita saling membantu, May. Kalau Mas sakit siapa yang bantu? Pasti istri kan?" tanyanya dengan suara lemah lembut seraya mengelus pucuk kepalaku. Mas Satria meraih pundak ini dan meletakkan didadanya."Sayang, Mas tidak pernah merasa Kamu repotkan. Jadi jangan pernah merasa bersalah, ya?" Mas Satria mengecup pucuk kepalaku, lama. Tuhan ... terim
"Mas, Mayra pendarahan!" aduku pada mas Siddik yang sedang berbaring ditempat tidur. Tadi aku juga ikut berbaring disebelahnya, tapi aku bangun hendak ke kamar mandi. Tiba-tiba dikejutkan tatkala melihat darah banyak bercecetan di lantai."Apa?" Mas Siddik tersentak dan langsung bangun dari pembaringannya. "May, jangan banyak gerak dulu!" ujar mas Siddiq panik seraya membawa tubuh ini ke ranjang untuk tidur. Walaupun aku berjalan pelan tapi darah masih menetes juga."Tidur aja ya? Begini saja, nyamankan?" Aku hanya mengangguk sebagai respon atas pertanyaan Mas Siddik. Lelakiku mengambil bantal dan menyangga kaki ini. Mungkin untuk menghentikan pendarahan.Pandangan mata sudah mulai kabur, aku sudah mulai hoyong. Tatapanku juga berkunang-kunang dan mutar. Tuhan ... selamatkan aku dan bayiku."Mas kerumah dan-ki dulu!" pamitnya seraya berlari keluar rumah. "Bu, tolong lihat istri saya sebentar. Istri Saya pendarahan!" teriak mas Siddik terdengar sampai ke telingaku."Iya, ya, Om. Saya
"Dek, sini!" Mas Siddik menepuk sofa disebelahnya untuk aku duduki.Aku melangkahkan kaki menuju sofa dimana mas Siddik duduk saat ini. Kulihat suamiku tidak seperti biasanya. Entah apa gerangan yang membuat suamiku bersedih hati."Mas kenapa agak lain hari ini? Mas sedang ada masalah?" tanyaku ragu-ragu. Biasanya kalau pulang dinas mas Siddik selalu tersenyum bahkan sering bercanda. Ada saja bahan yang sehingga membuat aku tertawa. Dia juga suka sekali meledek perutku yang semakin membuncit ini. Katanya kayak badut. "Nampaknya Mas sedang bersedih?" Aku kembali bertanya."Hmmm ... Adek ingat Nasir?" Mas Siddik mengusap sudut matanya. Aku tahu dia hendak menangis tetapi mungkin dia malu jika dihadapanku."Nasir yang mana? Yang membantu Mas keluar dari markas kelompok bersenjata itu, ya?" tanyaku dan mas Siddik mengangguk lemah."Kenapa dengan om Nasir, Mas?" Aku membaca ada sesuatu yang tidak mengenakkan telah terjadi pada pria berdarah Aceh tersebut."Tadi malam dia ditembak oleh ora
"Loh siapa ini ndusel-ndusel kayak anak kucing?" kelakarku saat melihat Mayra bangun tidur langsung memeluk tubuh ini. Dia kelihatan sangat manja. Semakin hari tingkah Mayra semakin membingungkan. Tadi malam katanya aku ini bau sehingga membuat dia muntah-muntah. Sekarang malah kayak anak kangguru menempel sama induknya. Tidak bisa dilepas. Entah apa maunya."Mas wangi banget. Adek jadi kepingin ciumin terus!" ujarnya seraya mengendus-endus leher dan ketiakku. Betul-betul membuat aku tidak mengerti tingkah ibu hamil yang satu ini."Wangi dari mana? Mandi aja belum apalagi sikat gigi. Nafas Mas masih bau naga!" ujarku hendak beranjak dari tidur tetapi ditahan oleh Mayra."Jangan pergi. Adek masih kangen, candu mencium aroma tubuh Mas. Peluk!" ujarnya dengan nada manja. Aku yang masih kaget melihatnya terpaksa juga memeluknya."Gak mual dekat-dekat dengan Mas? Katanya Mas bau?" tanyaku keheranan."Gak bau kok. Tadi malam bau banget, sekarang malah wangi!" ujarnya dan Mayra masih ndusel-
"Mas Siddik!" Aku berteriak histeris tatkala melihat pria yang selama ini aku nanti-nantikan sudah berada dihadapanku."Mayra, Mas pulang, Sayang!" ujar mas Siddik dengan suara gemetar.Kenapa mataku melihat sosok mas Siddik sedang mendekati diri ini? Apakah itu betukan suamiku atau hanya ilusiku saja?Nampaknya aku sangat merindukan pria itu sehingga bayangan dia terus saja menghantui pikiranku."Mas?"Aku merasa semua ini hanya mimpi atau hanya halusinasiku saja? Tidak mungkin mas Siddik yang telah gugur hidup kembali. Disini saja, kami sedang mengirim doa untuknya, masak tiba-tiba dia hadir diacara tahlilan dia sendiri? Sangat tidak lucu."Hai, aku suami kamu!" Pria itu mengibaskan tangannya didepan kedua mataku."Kamu suamiku? Mas, Adek tidak sedang bermimpi, kan?" Aku mendekatinya. Pria itu memakai baju compang camping bagaikan seorang pengemis."Kamu sedang tidak bermimpi, Sayang! Nih pegang!" Mas Siddik meraih tanganmu untuk menyentuh pipinya. Aku masih ragu juga, bisa jadi ka
"Banyak-banyak berdoa, May. Siapa tau mas Siddik masih hidup tapi tidak tau jalan pulang. Bisa jadi dia tersesat dalam hutan, kan?" Jenny berusaha menghiburku selama ini tidak ada satupun di rumah ini ataupun semua pihak yang mengerti isi hatiku kecuali Kak Jeni."Aku juga berpikir begitu kak bisa jadi 'kan, mas Siddik di itu masih hidup dan dia tidak tahu jalan pulang!"Perasaanku sebagai istrinya, mengatakan jika imamku itu masih hidup."Kita berdoa saja May. Nanti malam kita baca Yasin bersama, memohon kepada Allah semoga suami kamu ditemukan dalam keadaan hidup atau mati." Kak Jenny tidak bosan-bosannya memberikan aku semangat. Sehingga dengan kehadirannya sedikit membuatku terhibur. Walau kadang disaat sedang sendirian aku kembali menangis mengingat suamiku yang baru beberapa bulan kami hidup bersama dan sudah direnggut kebahagiaan oleh takdir.***Sementara itu, sersan Siddik dan praka Nasir akhirnya sampai juga di tepi jalan. Mereka mengendap-ngendap karena banyaknya lalu lala