Se connecterSeperti biasa, kedatangan Geral disambut beberapa staf di pintu lobi. Satu-satunya yang berbeda pagi itu hanyalah ketiadaan sosok Yunda di antara mereka, sang sekretaris. Geral menahan diri untuk tidak mengerutkan dahi.Yunda memang belum resmi keluar dari perusahaan, tapi jarak di antara mereka sudah terasa begitu jauh.“Hari ini, Bapak ada rapat dengan jajaran direksi, lalu setelah itu ada pertemuan dengan pihak manajemen La Viera Boutique. Siang nanti Bapak dijadwalkan makan siang dengan calon investor dari Singapura di Elysion Palace. Dan sorenya, Bapak ada tinjauan proyek renovasi di lantai delapan,” ujar seorang staf wanita yang untuk sementara menggantikan posisi Yunda.Geral hanya mengangguk tanpa ekspresi. Begitu sampai di lantai eksekutif, matanya langsung tertuju ke meja resepsionis di depan ruangannya.Kosong.“Apa Yunda belum datang?” tanyanya datar.“Sepertinya belum, Pak,” jawab staf itu hati-hati.Geral melirik jam di pergelangan tangannya. Yunda seharusnya sudah berad
Langit berwarna jingga pucat ketika taksi yang ditumpangi Yunda dari stasiun berhenti di depan rumah ibunya. Begitu menjejak tanah, langkahnya terasa goyah. Tidak pernah terbayangkan olehnya bahwa ia akan pulang dalam keadaan sehancur ini.Sambil menyeret koper, ia melintasi halaman rumah yang sunyi. Begitu sampai di depan pintu, aroma masakan segera menyapa penciumannya.“Ibu, aku datang…” ucapnya lirih.Tak berselang lama, ibunya muncul dari balik gorden krem yang menjadi pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah.“Yunda? Tumben kamu pulang tidak mengabari dulu, Nak,” sambut sang ibu keheranan meski senyum penuh kehangatan tetap menghias wajahnya.Melihat wajahnya ibunya, pertahanan Yunda seketika runtuh. Dia berlari kecil, langsung menghambur ke pelukan yang selalu menjadi tempatnya pulang.“Ibu…” rintihnya.Sang ibu sontak memeluk erat tubuh Yunda yang gemetar.“Astaga, Yunda… ada apa, Nak?”Tapi Yunda hanya menangis. Tangisnya pecah seperti anak kecil. Untuk pertama kalinya set
Yunda menarik napas panjang, menahan debaran jantungnya yang tak beraturan. Jemarinya meremas amplop dalam dekapan, seolah mencari keberanian yang hampir luruh. Setelah beberapa detik terdiam, ia akhirnya menerjang segala keraguan yang membelenggu.Diketuknya pintu kayu mahoni yang menjulang tinggi di hadapannya. Tak lama, pintu itu terbuka, menampilkan seorang lelaki berseragam hitam dengan tubuh tinggi tegap.“Apakah saya boleh menemui Tuan Komisaris?” tanyanya sopan.“Silakan, beliau sudah menunggu Anda.”Yunda melangkah masuk, mengikuti lelaki itu menyusuri ruangan yang dikelilingi rak-rak buku tinggi hingga akhirnya berhenti di depan meja besar. Di balik meja, duduk seorang lelaki paruh baya yang tengah membaca sebuah buku.Begitu menyadari kehadirannya, lelaki itu mengangkat pandangan, menatap Yunda di balik kacamatanya sambil tersenyum tipis. Dengan agak kesusahan, ia bangkit dan mempersilakan Yunda duduk di sofa.Lelaki berseragam tadi membantu sang komisaris berjalan ke sofa,
“Terima kasih sudah menemaniku.”Rosa memecah keheningan yang menyelimuti mobil sejak tadi.“Aku tidak akan memaksamu untuk hal lain setelah ini,” tambahnya pelan.Geral hanya mengangguk tanpa menoleh. Pandangannya terpaku pada jalan.Detik demi detik berlalu. Udara dalam kabin kian terasa berat bagi Rosa. Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang ibu selain mendengar detak jantung bayinya dan tahu bahwa janin di dalam kandungannya tumbuh dengan baik. Namun, kenyataan bahwa ia akan segera berpisah dengan Geral—ayah dari bayinya, lelaki yang ia cintai—terus menyayat hatinya.“Soal perceraian kita,” ujarnya lirih, “kau saja yang urus semuanya di pengadilan. Aku akan mengutus pengacaraku. Sekarang, aku hanya ingin fokus dengan kehamilanku.”Lagi-lagi, Geral hanya mengangguk.“Aku juga sudah mengemas barang-barangku,” lanjut Rosa. “Besok, aku berencana kembali ke apartemen.”Geral menoleh sejenak sebelum kembali fokus pada kemudi, “Soal itu, biar aku yang putuskan. Aku akan bicara d
“Yunda, bisa bicara sebentar?”Suara itu membuat Yunda tersentak. Malam itu, ia duduk sendirian di lorong rumah sakit yang sepi, jauh dari tempat keluarga Geral menunggu. Udara dingin menempel di kulit, sementara pikirannya penuh dengan kecemasan akan kondisi kekasihnya.Yunda menoleh, mendapati Stevie berdiri di sana. Yunda segera bangkit, buru-buru menyeka air mata. Jantungnya berdegup tidak karuan, antara kaget dan gugup.“Bu Stevie, maafkan saya diam-diam menunggu di sini,” ucapnya panik. “Saya datang bersama Wira dan—”“Saya sudah tahu tentang hubunganmu dengan Geral,” sela Stevie tiba-tiba.Sekujur tubuh Yunda menegang. Kata-kata itu menampar lebih keras daripada apa pun yang pernah ia bayangkan. Bagaimana Stevie bisa tahu? Apa Geral yang memberitahunya?Tapi pertanyaan itu tak sempat keluar. Ada sesuatu dalam sorot mata Stevie yang membuatnya memilih diam. Tanpa banyak bicara, Yunda mengikuti langkah wanita itu menuju area parkir.Sesampainya di dalam mobil, Stevie menatapnya s
Setelah beberapa hari dirawat, dokter akhirnya mengizinkan Geral untuk pulang. Namun, alih-alih pulang ke rumah, pria itu sudah tampil rapi dengan setelan hitam dan pantofel mengilap.“Sebaiknya kau beristirahat dulu di rumah, setidaknya satu atau dua hari barang satu-dua hari,” kata Rosa sambil merapikan barang-barang Geral.“Aku sudah terlalu lama meninggalkan pekerjaanku. Lagi pula, kondisiku sudah jauh lebih baik,” sahutnya, sibuk mengetik pesan di ponselnya.Aku akan tiba di kantor beberapa menit lagi. Kumpulkan semua kepala bagian dan siapkan laporan selama aku tidak masuk kantor.Pesan itu dikirimkannya kepada Yunda. Tak butuh waktu lama, balasan datang.Baik, Pak, akan saya sampaikan.Geral meringis. Hampir seminggu ia terbaring di rumah sakit, dan Yunda sama sekali tidak menampakkan diri. Semua teleponnya diabaikan, pesan-pesannya pun hanya dijawab singkat jika menyangkut urusan pekerjaan.Geral tahu dirinya salah, tapi sikap Yunda yang terlalu dingin perlahan membuatnya jeng







