Share

Bab 4 Pembantu Cantik

Mobil putih kesayangan Erlangga sudah melesat di jalanan, membelah gelap malam. Kantuk dan lelah yang semula dirasakan laki-laki tersebut, hilang entah di mana. Demi Ilona yang kelaparan, dia mau berkeliling hanya sekadar mencari tempat makan di sepertiga malam.

Gadis manis bertubuh langsing itu pun dengan tenang duduk sampingnya. Dia mengamati jalanan Kota Yogyakarta di malam hari. Geliat manusia masih begitu ketara di malam yang hampir menjelang pagi.

"Kamu mau makan apa? Tidak banyak makanan yang bisa kita cari pada jam-jam seperti sekarang ini," ujar Erlangga.

"Apa saja yang terpenting nasi," sahut Ilona santai.

Erlangga mendengkus, lalu melirik gadis yang duduk di sampingnya. Dia pun merasakan hal yang sama, rasa lapar yang menyiksa perut. Laki-laki itu teringat, belum mengisi lambung dengan nasi seusai pulang dari proyek bangunan. Erlangga mencari makanan di waktu malam bukan semata-mata mengabulkan keinginan Ilona, tetapi juga kebutuhan dirinya juga. Apel jatah makan malamnya telah dilahap habis oleh si pemilik mata jernih. Oleh sebab itu, dia membutuhkan makanan lain untuk mengganjal perut.

Melihat ada angkringan yang masih buka, Erlangga segera menepikan kendaraan. Dia pun meminta Ilona turun dan mengikuti langkahnya. Laki-laki itu memesan nasi kucing dan dua gelas susu jahe. Minuman penghangat tubuh di tengah udara yang semakin dingin.

Melihat pesanan datang, mata Ilona berbinar. Dia terlihat seperti gadis yang telah lama tidak menyantap makanan. Nasi dalam bungkusan tersebut segera dilahap olehnya. Erlangga hanya menggeleng heran.

Tidak ada percakapan apa pun, mereka menikmati makanannya masing-masing. Sesekali, tangan mereka mengambil berbagai jenis sate atau gorengan yang diinginkan hingga nasi di dalam bungkusan benar-benar habis.

"Mau tambah lagi?" tawar Erlangga.

"Tidak usah, Mas. Aku sudah kenyang, terima kasih. Oh, ya, biar aku yang traktir makanannya."

Ilona mengeluarkan dompet kecil dari saku celana, tetapi gerak tangannya segera di hentikan Erlangga. Di bawah penerangan remang-remang, dia menatap wajah rupawan laki-laki itu.

"Tidak usah. Simpan saja uangmu untuk keperluan lainnya."

Sudut bibir Ilona tertarik ke atas, lalu mengucapkan terima kasih pada laki-laki tersebut. Gadis berambut sepunggung itu pun kembali meraih gelas yang masih terisi minuman hangat dan mencecap perlahan.

"Oh, ya, aku belum tahu nama kamu, Mas," ujar Ilona sembari menoleh.

"Erlangga."

"Oh."

Ilona mengangguk. Malaikat penolongnya ternyata memiliki nama yang bagus. Cocok dengan penampilan laki-laki itu. Dia dapat memperkirakan bahwa Erlangga laki-laki dewasa yang memiliki usia terpaut cukup jauh dari dirinya, tetapi belum memiliki pendamping hidup. Terlihat dari rumah yang hanya ada dirinya seorang diri dan juga kondisi dapur bersih tanpa bahan makanan.

"Habiskan minumanmu, lalu kita pulang!" perintah Erlangga.

Gadis itu manut, lantas menghabiskan sisa minuman di dalam gelas. Setelah Erlangga membayar, dirinya pun mengikuti hingga kembali ke dalam mobil. Hanya lima belas menit berkendara, mereka sudah sampai di rumah mewah yang didominasi ukiran kayu jati.

"Aku mau tidur. Jangan coba-coba berani membangunkan aku!"

"Kamu besok enggak kerja, Mas?"

"Enggak. Oh, ya, ini uang buat belanja sayuran. Biasanya di depan ada tukang sayur lewat, kamu tinggal belanja di situ."

Ilona mengangguk, lalu mengambil uang merah yang diulurkan Erlangga. Tanpa banyak bicara, dia pun membiarkan laki-laki tersebut berlalu dari hadapannya. Gadis pemilik manik mata cokelat itu tahu, Erlangga sudah sangat lelah.

Setelah pemilik rumah tidak terlihat lagi, Ilona kembali ke kamar. Merebahkan tubuh di ranjang yang tidak sebesar milik Erlangga. Namun, itu tidak masalah karena yang terpenting dirinya memiliki tempat untuk berteduh.

Ilona kembali meraih ponsel, mencoba menghubungi kekasih hati untuk kesekian kali. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil, panggilan teleponnya teralihkan. Gadis itu mencoba menelusuri seluruh sosial media milik Arsenio, tetapi tidak ada jejak apa pun.

"Ih, ke mana, sih, Arsen? Aku udah sampai Yogja, kenapa nomornya tidak pernah aktif?" geram Ilona.

Gadis itu pun meletakkan ponsel kembali, lalu berbaring sembari menatap langit-langit kamar. Jauh dari rumah membuatnya begitu rindu pada Amara, wanita yang telah melahirkan Ilona. Terbayang dalam benak Ilona wajah sedih sang ibu. Di rumah miliknya, mungkin hanya Amara yang merasa kehilangan.

"Ibu, maafkan aku. Kalau saja kalian mengerti perasaanku, tidak mungkin aku pergi dari rumah," gumam Ilona.

Mata jernihnya mulai berkabut, disusul cairan bening yang meleleh melalui sudut mata. Menjadi anak semata mayang, tidak membuatnya dimanja oleh Janu maupun Amara. Ilona dididik disiplin sejak dini. Orang tua gadis pemilik manik mata cokelat itu begitu menjaga anak gadisnya. Bahkan, untuk masalah jodoh pun Janu yang memilihkan. Hal itu membuat Ilona memberontak. Pasalnya, secara diam-diam dia telah menjalin asmara dengan teman satu kampus.

Azan Subuh berkumandang, terdengar begitu merdu dan menyejukkan hati. Ilona segera menghapus air mata, lalu memilih melaksanakan ibadah dua rakaat. Semenjak kecil, Amara telah mengajari dirinya untuk taat kepada agama. Meskipun gadis itu sering melalaikan nasihat dari sang ibu.

Ilona menengadah, memohon ampun karena telah membangkang pada orang tua. Selama menjadi anak Janu dan Amara, dia selalu manut. Hanya saja perihal pendamping hidup, gadis itu ingin memilih seseorang yang begitu dicintai.

Setelah menyelesaikan doa, Ilona bersiap untuk memulai hari pertamanya bekerja di rumah Erlangga. Dia keluar dari kamar, lalu mencari peralatan untuk membersihkan rumah. Kediaman Erlangga tidaklah terlalu kotor, sebab hanya ditinggali seorang diri. Meskipun tanpa asisten rumah tangga, tampaknya laki-laki itu cara merawat rumahnya.

Setelah semua bersih, Ilona beralih ke beranda rumah. Dia sedikit berolahraga sembari menanti penjual sayur seperti petunjuk Erlangga. Cukup lama menunggu, hingga laki-laki bertopi yang mendorong gerobak itu lewat. Ilona berlari, menghentikan penjual sayur-mayur tersebut.

"Mbak, istrinya Mas Erlangga, ya?" tanya penjual sayur bernama Paiman itu penasaran.

"Ih, bapaknya suka bercanda, deh. Mana mungkin aku istrinya," jawab Ilona tanpa mengalihkan pandangan dari sayuran yang terlihat segar.

"Lalu, saudaranya?"

"Bukan. Aku pembantunya, Pak."

"Enggak pantes kamu jadi pembantunya, Mbak."

"Lalu, pantasnya jadi apa, Pak? Emang aku pembantunya, kok. Baru hari ini mulai bekerja," sahut Ilona.

"Pantasnya jadi istrinya. Mbak ini cantik, loh. Cocok sama Mas Erlangga."

"Ih, Bapak makin ngawur, deh!"

Ilona menghentikan obrolan, lalu menyerahkan beberapa sayur serta lauk yang telah dipilih. Pak Paiman pun menghitung belanjaan si pemilik manik mata cokelat tersebut. Usai membayar, Ilona pun mengucapkan terima kasih dan bergegas masuk ke rumah.

Gadis berambut sepunggung itu meletakkan barang belanjaan, lalu menyimpan beberapa di lemari pendingin. Sisanya, dia akan oleh menjadi menu sarapan. Entah kapan Erlangga akan bangun dari tidur, tetapi yang terpenting makanan telah tersaji di meja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status