Share

Bab 7 Pertengkaran

Sesampainya di rumah berukiran kayu, Ilona bergegas keluar mobil. Dia melupakan belanjaan dan keberadaan Erlangga. Gadis itu membuka pintu dengan kunci yang diberikan sang majikan sebelumnya, lalu menuju dapur untuk mengambil segelas air dingin. Dia ingin menghilangkan haus yang sedari tadi menyerang tenggorokan sekaligus mendinginkan hati agar tidak meluapkan emosi.

"Kenapa meninggalkanku begitu saja?" protes Erlangga dengan membawa barang belanjaan.

"Aku haus, Mas."

"Masih marah sama aku?"

Erlangga meletakkan barang belanjaan. Sementara itu, Ilona masih enggan menjawab. Gadis itu malah mengambil barang belanjaan untuk disimpan. Erlangga yang berdiri tidak jauh darinya hanya memperhatikan wajah cemberut gadis tersebut dengan bersandar pada dinding.

"Aku janji akan membantu mencari pacarmu itu. Tenang saja, sedikit banyak aku memiliki teman di sini. Berikan saja fotonya," ujar Erlangga.

Mendengar ucapan laki-laki itu, mata Ilona berbinar. Dia bagai anak kecil yang tengah merajuk dan tersenyum bahagia setelah mendapat iming-iming permen. Gadis tersebut cepat-cepat meletakkan barang belanjaan yang belum selesai disimpan, lalu bergelayut manja di lengan Erlangga.

Sesaat, Erlangga tersentak oleh sikap Ilona. Dia memandang wajah manis dari gadis bertubuh mungil itu. Tidak ingin semakin terhanyut, Erlangga pun berdeham. Menyadari sikapnya, Ilona pun melepaskan genggaman.

"Benarkah kamu akan membantuku, Mas?" Ilona kembali bertanya.

"Pernahkah aku berbohong? Berikan saja fotonya, lalu apa yang kamu ketahui tentang dia di Yogya ini," jawab Erlangga.

Senyum manis semakin mengembang di bibir Ilona. Sesuatu yang indah dan menimbulkan debaran bahagia di dalam hati Erlangga. Namun, laki-laki itu segera mengalihkan wajah agar tidak terbawa suasana.

"Oke. Aku akan mengambil fotonya. Sebentar!"

Ilona segera berlari menuju kamar, mengambil selembar foto Arsenio yang tersimpan rapi di dompet. Dia begitu girang, berharap akan segera berjumpa dengan sang kekasih.

Sementara itu, Erlangga masih menunggu di ruang makan. Dia tidak mengira bahwa sebuah bantuan akan membuat gadis itu begitu bahagia. Tidak beberapa lama, Ilona datang kembali dan menyerahkan selembar foto.

Sebelum menerimanya, Erlangga terlebih dahulu menatap wajah gadis itu. Raut wajah yang semula terlihat sendu, berubah menjadi bahagia. Sorot matanya pun menyiratkan harapan begitu besar. Laki-laki itu sedikit menarik ujung bibirnya.

Erlangga mengambil selembar foto dari tangan Ilona, lalu memperhatikan dengan saksama. Tampak seorang laki-laki berambut gondrong tengah duduk di atas motor sport. Wajahnya begitu familier. Erlangga pun mengerutkan kening.

"Kenapa? Mas Erlang pernah lihat dia?" tanya Ilona antusias.

Erlangga menggeleng pelan. "Enggak."

"Lalu?"

"Cuma demi laki-laki seperti ini kamu rela kabur dari rumah dan membangkang sama orang tua?"

Ilona mendelik kesal dengan bibir mengerucut. Ucapan Erlangga seakan merendahkan Arsenio. 

Sementara itu, Erlangga mengibas-ngibaskan selembar foto di tangannya. Dia menatap heran pada gadis yang tengah merajuk. Erlangga merasa heran dengan cara pikir Ilona.

"Maksud Mas Erlangga apa? Laki-laki seperti ini? Meskipun terlihat urakan, Arsenio itu baik. Dia sangat sayang padaku."

"Yakin?"

"Iya."

"Lalu, apa sampai saat ini kamu sudah bisa menghubunginya?"

Ilona menggigit bibir bawah, wajahnya pun menunjukkan gelisah. Beberapa hari mencoba menghubungi Arsenio tidak ada hasilnya. Nomor laki-laki itu tidak aktif. Akan tetapi, gadis itu tidak ingin berpikir negatif. Dia percaya jika Arsenio sedang sibuk bekerja.

"Kenapa diam saja? Kamu aja ragu dengan pacarmu yang tidak ada kabarnya itu, 'kan?"

"Enggak! Aku percaya dia!"

"Ilona, Ilona ... pendidikan terakhir kamu apa, sih? Kenapa enggak ada pandai-pandainya sedikit?" ledek Erlangga.

"Jangan menghina, ya, Mas! Gini-gini aku Sarjana Ekonomi. Satu lagi, masalah kepercayaan tidak ada hubungannya dengan pendidikan!"

Ilona bersedekap, tatapannya pun berubah garang. Sementara itu, Erlangga terkekeh. Dia gemas melihat wajah gadis yang tengah merajuk itu.

"Sadar, Ilona. Kamu itu sedang dibohongi sama dia. Di sini, Arsenio pasti sudah memiliki kekasih baru."

"Jangan memberi harapan kalau tidak ingin membantu, Mas! Aku bisa cari Arsenio sendiri tanpa bantuanmu."

Ilona meraih selembar foto dari tangan Erlangga. Dia pun segera berlalu meninggalkan laki-laki itu, kembali ke kamar dan menutup pintu dengan sangat kencang. Erlangga sempat terkejut sebab suara keras yang ditimbulkan.

"Eh, Lona! Awas kalau pintu rumahku rusak, ya! Gaji sebulan kamu tidak akan cukup untuk membayarnya!" teriak Erlangga.

Mendengar suara lantang Erlangga, Ilona hanya menggerutu. Dia pun menghempaskan tubuh ke kasur, lalu menatap langit-langit kamar. Angannya melayang pada Arsenio. Sedikit banyak, ucapan Erlangga menggoyahkan hatinya.

Ilona kembali bangkit, lalu mengambil ponsel yang tergeletak di nakas. Dia harus memastikan kembali keberadaan Arsenio. Tidak mungkin laki-laki itu mematikan ponsel selama berhari-hari.

Gadis berhidung minimalis itu kembali menekan tombol panggil di kontak nomor milik Arsenio. Akan tetapi, lagi-lagi suara operator yang menyatakan panggilan teralihkan. Ilona pun beralih ke aplikasi hijau untuk mengirim sebuah pesan, tetapi sama saja, hanya centang satu yang menandakan nomor tidak aktif. Pesan-pesan yang dia kirim sebelumnya pun sama, belum ada.yang berhasil terkirim.

"Ih, ke mana dia, sih? Aku udah sampai sini, tetapi nomor Arsen tidak aktif. Aku harus bagaimana setelah ini?" gerutu Ilona.

Ilona pun kembali duduk di ranjang dengan memeluk lutut. Tanpa terasa bulir bening menetes melalui sudut matanya. Bohong jika Ilona tidak memiliki rasa takut. Dia jauh dari keluarga, berada di kota orang yang belum pernah dijelajahi, lalu pacar yang ingin ditemui tidak ada kabar, hati gadis itu begitu gelisah. Tidak mungkin dia kembali pulang ke rumah untuk menerima perjodohan. Ilona sangat mencintai Arsenio.

"Apa yang harus aku lakukan?" Ilona kembali menunduk, hanya tangis yang bisa dia lakukan untuk menenangkan hati.

Sementara itu, Erlangga kembali ke kamar. Dia pun mengambil ponsel yang tersimpan di saku. Ucapan pada Ilona membuat dirinya menyadarkan akan suatu hal. Erlangga bergegas menekan tombol panggil pada sebuah nama kontak. Namun, beberapa saat menunggu, tidak ada yang menjawab teleponnya. Laki-laki itu tidak menyerah, mencoba berkali-kali, tetapi hasilnya tetap sama. 

Menyerah, hanya itu yang bisa Erlangga lakukan. Dia menunduk lesu. Bahkan, rindu yang selalu bergelayut di hati tidak bisa tersampaikan. Nasibnya dan Ilona tidak jauh beda, diabaikan oleh seseorang yang menurut mereka berharga.

Tidak ingin berlarut pada perasaannya, Erlangga pun melangkah menuju jendela besar di tepi ranjangnya. Dia memandangi ke luar dengan perasaan bimbang. Haruskah dirinya meninggalkan Kota Yogyakarta demi menjemput cinta? Akan tetapi, dia telah begitu mencintai kota itu. Seluruh kenangan bersama keluarga berada di sana. Di kota itu pun dia pertama berjumpa dengan pengisi relung hati. Erlangga tidak sanggup untuk pergi.

Ketika angannya melayang jauh, sebuah notifikasi pesan masuk ke aplikasi hijau milik Erlangga. Mata laki-laki itu membelalak ketika membaca kata demi kata yang tertera di layar.

[Gue mau berangkat ke Yogya. Bolehkan menginap di rumah lu?]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status