Share

Bab 6 Mengejar Arsenio

"Kenapa kita belanja di pasar tradisional, sih, Mas?" tanya Ilona penasaran.

Laki-laki bertubuh tegap yang berada di sampingnya tidak langsung menjawab, terlihat berpikir sembari berjalan. Ilona pun mengikuti gerak langkah Erlangga. Sesekali dia melirik, menanti jawaban di pemilik rumah mewah.

"Emang ada yang salah?" tanya Erlangga.

Ilona mengembuskan napas kasar, malas pertanyaan dijawab dengan sebuah pertanyaan.

"Enggak, sih. Namun, biasanya orang kaya itu belanjanya di swalayan. Kenapa ini di pasar?"

"Untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Kalau semua belanja di swalayan, lalu kasihan pedagang di pasar tradisional, dong. Dagangan mereka enggak laku," kilah Erlangga.

Gadis bermanik mata cokelat itu terdiam, meresapi ucapan Erlangga. Memang benar, jika semua orang belanja di pasar modern, lantas apa kabar penjual di pasar tradisional? Bukankah hidup itu harus ada keseimbangan?

"Aku akan mengantar kamu belanja ke sini beberapa kali, ingat-ingat jalannya. Kalau aku mulai sibuk, nanti tidak ada waktu buat mengantarmu. Kalau belanja sayuran, cukup di Kang Paiman saja," jelas Erlangga.

Ilona manggut-manggut sembari mengikuti langkah Erlangga dari satu los ke los lainnya. Gadis berparas ayu itu merasa takjub sebab laki-laki gagah seperti Erlangga mampu menghapal seluk-beluk pasar. Bisa dipastikan bahwa hal itu bukan pertama kalinya.

"Pakdhe, nyuwon tulung betakaken belanjaan niki teng parkiran (Pakdhe, minta tolong bawakan belanjaan ini ke parkiran)," ucap Erlangga sopan dengan logat Jawa pada seorang kuli panggul.

"Nggih, Mas. Dangu mboten kepanggih, kasunyatanipun sampun emah-emah, nggih (Iya, Mas. Lama tidak ketemu, ternyata sudah menikah, ya?)" jawab kuli tersebut ramah.

Erlangga menyunggingkan senyuman. "Sanes, Pakdhe. Niki karyawan enggal damel rencang-rencang wonten griyo (Bukan, Pakdhe. Ini karyawan baru untuk bantu-bantu di rumah)."

"Oalah, karyawan ayu ngeten kedahipun dados gawane sampeyan, Mas (Oalah, karyawan cantik seperti itu harusnya jadi istrinya kamu, Mas)."

Laki-laki bertubuh kekar itu kembali terkekeh. Sementara, Ilona dibuat heran dengan percakapan dua laki-laki tersebut. Dia paham sedang menjadi bahan pembicaraan. Namun, gadis itu tidak ingin sok ikut campur obrolan mereka.

Setelah kuli panggul berpamitan untuk membawakan barang belanjaan, Erlangga beralih menatap Ilona. Gadis itu tampak lucu dengan bibir mengerucut kesal. Sontak saja, laki-laki berlesung pipi tersebut semakin melebarkan senyuman.

"Enggak lucu, Mas! Aku heran, kenapa orang-orang menyangka aku ini istrimu? Menyebalkan!" geram Ilona.

"Harusnya kamu itu bangga, bukan malah kesal."

"Idih, buat apa bangga? Enggak ada yang bisa dibanggakan menjadi istrimu, Mas."

Ilona berjalan mendahului Erlangga. Gadis berhidung minimalis itu merasa kesal. Memiliki majikan yang memiliki kepercayaan diri tinggi kadang membuatnya keki sendiri. Namun, Erlangga pun segera menyejajarkan langkah dengan Ilona. Dia takut asisten rumah tangga barunya tersesat di kota orang.

"Jangan marah, aku cuma bercanda," ucap Erlangga lirih.

"Enggak, kok, Mas. Aku hanya ingin menyusul kuli itu, dia tahu mobil milik kamu apa tidak."

"Santai saja, dia udah paham, kok."

"Kamu sering ke pasar, ya, Mas? Bapak tadi sepertinya akrab sekali denganmu," tanya Ilona.

"Bisa dibilang begitu. Dulu aku sering mengantar asisten sebelum kamu ke pasar dan Bapak tadi yang membawakan barang."

"Oh, apa karena asistennya cantik juga seperti aku?" Ilona menoleh, lalu tersenyum menggoda pada Erlangga.

Erlangga menautkan alis dan ikut tersenyum melihat wajah Ilona yang menggemaskan.

"Dia memang cantik, wanita yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Aku menghormati dia layaknya ibu sendiri."

"Ibu? Berarti dia udah tua, dong?" Gadis berambut sepunggung itu mendelik kesal.

"Mau tua atau muda yang namanya perempuan pasti cantiklah."

Erlangga semakin terkekeh melihat raut wajah Ilona. Entah mengapa ada rasa berbeda di sudut hati. Sejak pertama berjumpa, dia merasa Ilona itu menyenangkan hingga membuat dirinya nyaman. Namun, Erlangga tetap waspada sebab bagaimanapun gadis itu merupakan orang baru dalam kehidupannya.

Sampai di tempat parkir, barang belanjaan mereka telah tergeletak di samping mobil. Kuli panggul tersebut pun membantu untuk memasukkan ke mobil sebelum Erlangga memberikan sejumlah uang sebagai imbalan.

"Matur suwun, Mas Erlang. Mugi-mugi rezekine tansaya katah (Terima kasih, Mas Erlang. Semoga rezekinya tambah banyak)," ucap laki-laki paruh baya itu semringah.

"Nggih, sami-sami, Pakdhe (Iya, sama-sama, Pakdhe)."

Laki-laki bertubuh kekar itu menyunggingkan senyuman seiring kuli tersebut pergi. Erlangga pun mengajak Ilona masuk mobil. Namun, pandangan gadis tersebut tiba-tiba tertuju pada seseorang yang tak asing di belakang Erlangga.

Ilona tiba-tiba berlari, mengejar orang tersebut. Sesekali dia berteriak, memanggil namanya. Namun sayang, pengendara motor itu tidak mendengar. Erlangga yang merasa heran pun ikut mengejar gadis tersebut. Takut bila Ilona tersesat atau bahkan terjadi sesuatu padanya.

"Awas!" Erlangga memekik, lalu meraih tubuh Ilona yang hampir terserempet motor.

Gadis berambut sepunggung itu tergemap ketika Erlangga menariknya dengan paksa. Pada detik berikutnya, dia bergeming dalam dekapan laki-laki berlesung pipi tersebut. Tanpa sadar, pandangan mereka berada satu garis lurus hingga menimbulkan desir aneh pada hati masing-masing.

"Kalau jalan hati-hati! Hampir saja terserempet motor, 'kan? Emang kamu lihat siapa?" Menyadari ada yang salah dengan hatinya, Erlangga melepas dekapan. Dia pun mencecar Ilona dengan berbagai macam pertanyaan untuk mengalihkan perhatian.

"Itu, Mas. Aku lihat Arsen tadi," jawab Ilona dengan nada bicara senormal mungkin. Padahal, dirinya merasa gugup setelah kejadian tak terduga itu.

"Arsen? Siapa dia?"

"Dia pacar aku, Mas. Orang yang aku ceritakan waktu itu. Aku yakin tadi itu dia, pakai motor yang melaju ke sana. Ayo, kita kejar dia, Mas!"

Erlangga mengikuti telunjuk Ilona. "Dikejar pun percuma, dia pasti udah jauh. Ayo, pulang!"

"Tapi, Mas ...."

Laki-laki berahang tegas itu berlenggang begitu saja, meninggalkan Ilona yang masih terpaku. Melihat sikap sang majikan, bibir mungil Ilona mengerucut. Kesempatan bertemu Arsenio telah di depan mata, tetapi Erlangga tidak mau membantunya untuk mengejar.

Ilona duduk di samping Erlangga dengan bersedekap, sorot matanya mengarah ke luar jendela. Selain kesal dengan Erlangga, dia pun berharap dapat melihat Arsenio. Jika berjumpa dengan kekasih hatinya, Ilona tidak usah bersusah payah bekerja di rumah Erlangga. Arsenio pernah berucap bahwa dia akan menanggung semua kebutuhan Ilona selama tinggal bersama di Yogyakarta. Bahkan, laki-laki pecinta otomotif itu berjanji akan menghalalkan dirinya.

"Kenapa cemberut? Jelek tahu!" tanya Erlangga untuk membuka keheningan.

"Tadi itu kesempatan buat aku bertemu Arsen. Kenapa Mas Erlangga tidak mau membantu mengejar?" geram Ilona.

Erlangga mengembuskan napas kasar. Dia pun tidak mengerti mengapa tidak mau membantu gadis itu untuk berjumpa sang kekasih. Dalam hati, Erlangga tidak rela jika Ilona tinggal bersama laki-laki yang belum jelas asal-usulnya. Padahal, dia dan Ilona tidak terikat hubungan apa pun. Pastinya, gadis bermanik mata cokelat itu pasti lebih mengenal Arsen daripada dirinya. Namun, mengapa dia masih tidak rela berpisah dari gadis asing yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya?

"Kamu tahu, dia pergi ke arah jalan raya. Bagaimana kita bisa mengejar dengan berlari? Memakai mobil pun percuma, jarak waktunya terlalu lama. Pasti tidak akan terkejar." Erlangga berkilah sembari melirik Ilona sesaat, melihat ekspresi gadis itu setelah mendengar jawabannya.

Gadis bertubuh mungil itu mengerucutkan bibir. Dia membenarkan penjelasan Erlangga. Namun, sudut hatinya menyesal tidak dapat berjumpa Arsenio pada detik itu juga. Kejadian di pasar semakin meyakinkan dirinya bahwa sang kekasih berada begitu dekat. Ilona berharap bisa segera berjumpa dan bersama Arsenio kembali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status