Bab 6
Dua Kejutan
Selepas salat Zuhur dan makan, aku menghabiskan waktu di kamar bersama Arkan. Aku sibuk dengan ponsel di tangan. Arkan? Ia lebih dulu bermesraan dengan benda pipih berkamera itu. Entah apa yang ia lihat pada layar ponselnya. Jemarinya tampak sibuk mengetik, sesekali seulas senyum terbit di bibirnya yang seksi. Ya, bagiku bibir itu seksi, apalagi kalau tersenyum sangat manis, membuat hatiku meleleh seketika.
"Ehem." Sengaja, aku berdeham sambil melirik ke layar ponsel Arkan.
Arkan bergeming, matanya fokus menatap layar tanpa berkedip. Apa sih yang ia baca? Sampai tidak mendengarkan aku. Atau memang sengaja mengabaikan. Aku berdeham sekali lagi, kali ini lebih keras.
Arkan menoleh, ia menatapku lumayan lama, lalu berkata, "Kenapa? Minta cium?" Ia menaikkan sebelah alisnya.
Ish, dasar mesum! Rutukku, tentu hanya dalam hati. Aku harus bisa bersabar menghadapi sifatnya yang ... masih sulit kutebak. Ini baru permulaan, masih dalam tahap mengenali masing-masing karakter.
Allah menakdirkan aku bejodoh dengannya, pasti ini adalah pilihan terbaik untukku. Meskipun belum ada rasa cinta di antara kami, aku yakin cepat atau lambat seiring kebersamaan dan berjalannya waktu, rasa itu akan tumbuh dengan sendirinya.
Pendar cahaya pada layar ponsel yang tergeletak di kasur, membuat mataku melirik ke arahnya. Memang sengaja, ponsel kusilent agar deringnya tidak mengganggu. Kuambil benda pipih itu, membuka pesan dan membacanya.
Pak Bos? Ia mengatakan telah mengirimkan email, dan aku harus mengeceknya segera. Tega sekali dirimu, Pak! Pengantin baru masih diberikan tugas kantor? Sungguh terlalu ....Aku lemparkan ponsel ke sembarang arah. Melihat ulahku barusan, Arkan menghentikan kesibukannya. Ya, sibuk dengan dunianya sendiri. Aku memasang wajah sejudes mungkin, biar Arkan lebih peka.
"Kamu kenapa?" Arkan meletakkan ponselnya di nakas.
"Tau!"
Arkan menghela napas, lalu membenarkan posisi duduknya. Kini, ia berada persis di sisiku. Bersandar pada sandaran ranjang. Lengan kirinya merangkul pinggang, kepalanya ia sandarkan di bahuku.
"Marah sama saya?"
"Aku kesel! Kamu asik sendirian aja, ditambah lagi dapet tugas dari bos."
Arkan mengangkat kepala, lengan kirinya beralih menggenggam jemari tangan kananku, lalu meremasnya pelan.
"Maaf, ya, Sayang," ucapnya lembut, lalu mengecup tanganku mesra.
Wanita mana yang tidak luluh, diperlakukan seperti ini? Seketika wajahku memanas dan bibir ini tersenyum dengan sendirinya.
"Tadi itu, saya membalas beberapa pesan yang masuk sejak kemarin."
Aku hanya diam mendengarkan penjelasannya. Arkan mengatakan banyak nomor baru yang tidak ia kenal dan ternyata mereka itu muridnya di sekolah. Mereka memberi ucapan selamat atas pernikahan kami. Setelah mendapatkan balasan dari gurunya, beberapa murid terus saja berbalas pesan dengannya.
"Pasti cewek deh, aku yakin, kamu tuh banyak fans di sekolah." Aku melepas genggaman jarinya.
Arkan tersenyum menahan tawa. "Cemburu?" Wajahnya mendekat, ia memainkan kedua alisnya.
"Ish, aku? Ngapain cemburu sama anak kecil!" sungutku.
"Kamu makin ngegemesin kalau lagi cemburu." Arkan mencubit pipiku pelan.
"Arkaaan ....!" Aku balas mencubit pinggangnya berkali-kali. Biar tau rasa kau.
Arkan berteriak minta ampun. "Ampun, ampun, udah, yaa." Aku hentikan aksiku, bertepatan dengan bunyi ponsel yang sudah kuganti setelannya menjadi dering dan bergetar.
Bos? Pasti mau menanyakan email yang ia kirim. Ish, menyebalkan.
"Kenapa nggak diangkat?"
"Males."
"Angkatlah, siapa tahu ada yang penting."
Akhirnya aku jawab panggilan bos yang tiba-tiba sikapnya jadi menyebalkan itu. Padahal, selama bekerja dengannya, aku tidak pernah diberikan tugas ketika sedang libur."Ya, ada apa, Bos?" Sebisa mungkin aku harus terdengar ramah.
Pak Heru--bosku--menanyakan, apa aku sudah mengecek email yang ia kirim. Aku jawab sejujurnya, lalu ia terdengar agak sedikit marah. Dan langsung memutuskan sambungan.
Buru-buru aku membuka email lewat ponsel. Malas kalau harus menyalakan laptop, kelamaan. Arkan hanya memperhatikan detail yang aku kerjakan. Ia merapatkan tubuhnya, bersandar pada bahuku. Saat aku menoleh, ia tampak sedang menatap layar ponselku.
"Bosmu kirim email apa?"
Tanpa menjawabnya, aku perlihatkan isi email yang ternyata membuat mataku terbelalak. Pak Heru memberikan voucher honeymoon trip to Jogja selama tiga hari dua malam.
"Ini beneran, 'kan? Nggak lagi nge-prank?" Aku bertanya pada diri sendiri, memastikan bahwa apa yang kulihat ini benar.
Aku menatap Arkan, masih tidak percaya dengan apa yang kubaca barusan. Aku tak pernah membayangkan bulan madu gratis full akomodasi mulai dari tiket pesawat pulang pergi, penginapan, destinasi wisata ke berbagai tempat, dan masih banyak lagi fasilitas yang didapat.
"Coba telpon bos kamu."
Tanpa menjawab, aku langsung menghubungi Pak Heru. Ternyata benar, anggap saja itu merupakan hadiah dari kantor atas kinerja dan loyalitasku selama hampir dua tahun bekerja. Ya, aku pernah hampir resign karena tawaran di tempat lain yang lebih menggiurkan. Namun, pada akhirnya aku tetap bertahan karena sudah terlanjur nyaman.
"Benar, ya?" Arkan memastikan lagi.
"Iya, alhamdulillah. Aku senaaang banget." Tanpa sadar aku memeluk Arkan, saking bahagianya. Arkan membalas pelukanku. Begitu tersadar, langsung kulepas. Aku berpaling membelakangi Arkan, pasti wajahku sudah memerah seperti tomat.
"Makanya, jangan suuzon dulu."
Duh, kena deh aku! Maafkan anak buahmu ini, Pak Bos.
*
Rencana sore ini ke rumah Arkan ditunda sampai nanti malam. Kami akan berangkat selepas salat Isya. Aku sedang berkemas mempersiapkan apa saja yang akan dibawa ke Jogja, esok lusa. Terdengar suara ponsel Arkan berdering. Ia sedang berada di kamar mandi.
Segera kuintip siapa yang menelepon, sebab deringnya tak kunjung berhenti. Nindi? Baiklah akan aku jawab. Setelah kuucapkan salam, Nindi membalasnya. Sepertinya ia kecewa, terdengar dari nada suaranya.
"Bilangin ke Abang, suruh cepetan ke sini," ketus Nindi.
"Nanti malam, ya, Nin. Soalnya, ada yang harus dikerjakan dulu di sini." Sebisa mungkin aku berucap lembut padanya.
Terdengar Nindi berdecak kesal dan langsung memutuskan sambungan. Aku hanya bisa mengelus dada, menghadapi sikap adik iparku itu.
*
Aku dan Arkan disambut hangat oleh Ibu. Baru beberapa langkah memasuki ruang tamu, tiba-tiba saja Nindi datang berlari menghampiri Arkan. Ia memeluknya dengan begitu manja.
"Abang kenapa lama banget sih datangnya?" Nindi masih mendekap erat abangnya itu.
"Yang penting, Abang udah di sini sekarang." Arkan mengusap lembut kepala Nindi.
Adegan di depanku ini benar-benar berlebihan. Mereka seperti tidak bertemu berbulan-bulan. Terlebih Nindi, aku tak bisa berkata-kata lagi. Yang ada, hanya perasaan kesal bercokol di dada. Entah, menurutku mereka itu bukan seperti selayaknya adik kakak. Inilah yang masih belum kuketahui. Untuk saat ini, aku harus bersabar. Aku tak ingin kebahagiaanku terusik.
Aku diajak Ibu ke kamar Arkan. Sementara Arkan ditarik paksa ke kamar Nindi. Ibu sudah merapikan kamar sedemikian rupa agar aku kerasan, begitu katanya saat aku memasuki kamar yang cukup luas ini.
Ibu menyuruhku untuk istirahat, kemudian ia keluar kamar. Aku masih mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamar. Terdapat meja kerja yang di atasnya bertumpuk banyak buku. Berdiri bingkai foto di sisi meja yang menempel pada dinding.
Aku meraih bingkai, tampak foto seorang lelaki yang sedang menggendong balita. Pasti ini foto Arkan dan Nindi kecil. Lucu. Kenapa sudah besar malah jadi nyebelin?
Pintu kamar terbuka saat aku meletakkan kembali bingkai foto pada meja. Arkan membawa beberapa kado, lalu meletakkannya di meja.
"Kado dari mana?"
"Dari sepupu jauh, kemarin telat datang, jadi nggak ikut ngebesan."
Aku hanya manggut-manggut. Sebelum mengajakku keluar kamar, Arkan mengatakan kalau Nindi ingin bicara padaku. Nindi ingin mengenalku lebih dekat, Arkan yang memaksa.
Aku diajak Arkan ke kamar Nindi. Kamar yang pernah aku masuki untuk menunaikan salat. Arkan lalu meninggalkan kami berdua. Awalnya, aku agak canggung, apalagi tatapan Nindi sama seperti awal aku ke sini. Sinis.
Aku menghela napas, baiklah, sepertinya harus aku yang memulai. Aku bertanya tentang sekolahnya, Nindi hanya menjawab seperlunya. Tidak seperti ocehannya pada Arkan yang begitu panjang dan ... manja.
"Jadi, tahun depan kamu sudah kelas tiga, ya?"
Nindi hanya mengangguk. Ia seperti tak tertarik sama sekali bicara denganku. Apa aku harus membuatnya kesal? Eh, kenapa aku berpikir seperti ini, sih?!
"Nindi, kakak boleh tanya satu hal?"
"Apa?"
"Apa kamu nggak suka sama kakak?" Aku bertanya selembut mungkin.
Nindi bergeming, ia menggigit bibir bawahnya. Ia tampak bingung mau menjawab apa. Aku tak ingin memaksanya. Khawatir nanti malah berdampak buruk buatku.
"Aku nggak mau Abang pergi dari sini." Nindi berdiri, lalu berjalan menjauh. Dengan posisi membelakangiku, ia berkata, "Aku nggak mau dipisahin dari Abang."
What? Sebenarnya apa yang ada di benak anak SMP ini? Apa Ibu dan Arkan tidak bisa memberikan pengertian padanya?
"Aku tau, Kak Riri mau pergi ke Jogja, kan? Kenapa nggak ngajak aku? Pokoknya aku harus ikut!" Nindi sedikit berteriak, ia berbalik dan menatapku tajam. Bukannya waktu pernikahan kemarin, ia sudah meminta maaf padaku? Kejutan apa lagi yang akan aku dapatkan darimu, adik iparku yang unik?
Bersambung
Bab 21“Maasss ....”Mas Arkan tersenyum menggoda. Pipiku menghangat mendengar ucapannya barusan. Sempat-sempatnya mesum tidak mengenal tempat. Tatapan matanya masih terus menguliti tiap inci wajahku. Sontak kulayangkan telapak tangan pada wajahnya.“Ets.” Ia berhasil menghindar.“Nih, rasain!” Aku cubit kencang lengannya.“Ampun, ampuuun, Sayaang. Aww! sakiit tauu.”“Biarin. Biar tau rasa!” Aku pura-pura marah, lalu berpaling darinya.Terdengar derit brankar. Sepertinya Mas Arkan tengah bergerak. Mungkin ia ingin duduk. Aku ingin membantunya, tapi ... aku kan masih marah. Biar saja ia berusaha sendiri. Siapa suruh pikirannya mesum begitu.“Sayang, kamu nggak mau bantu Mas? Tolong, dong.” Suaranya memelas.Tidak tega, akhirnya aku memutar kursi. Lantas bangkit, membantunya duduk. Mas Arkan masih tampak meringis saat pantatnya bergeser.“Lukanya masih sakit?”“Sedikit.”“Mas mau minum?”Ia menggeleng, raut wajahnya kini t
Bab 20Kata HatiTanpa membuang waktu, aku segera bersiap-siap. Booking mobil travel ke Jakarta. Alhamdulillah masih ada seat untuk perjalanan jam sepuluh. Aku harus meminta izin pada Pak Rendi.Pukul 07.45 aku sudah sampai di kantor. Seperti biasa, aku akan menjadi karyawan teladan karena datang paling awal. Dalam keadaan panik, aku hanya bisa berdoa untuk kesembuhan Mas Arkan.Sebenarnya ada kecelakaan apa? Pantas saja nomor ponsel Mas Arkan tidak aktif. Ya Allah, tolong sembuhkan ia. Semoga mobil travelku nanti tidak ada hambatan, lindungi hamba ya Allah.Pukul 08.10 Pak Rendi datang, aku segera ke ruangannya. Pak Rendi mengizinkanku untuk kembali ke Jakarta dengan syarat harus izin juga pada Pak Heru. Aku sudah izin sejak tadi pagi."Baiklah, kamu hati-hati. Jangan terlalu panik, kamu banyak berdoa saja, ya.""Baik, Pak. Saya pamit, ya. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumussalam."Aku meninggalkan ruangan Pak Rendi,
Bab 19Melepas RinduAku tengah menunggu kedatangan Mas Arkan. Ia mengatakan sekitar setengah jam lagi sampai. Aku nggak sabar ingin bertemu dengannya. Ingin memberikan kejutan yang pasti akan membuatnya bahagia.Aku merebahkan badan, sambil memainkan ponsel. Bosan membaca artikel seputar kehamilan, mataku mulai mengantuk. Lama-lama aku terpejam.Bunyi ponsel membuatku terjaga. Nama Mas Arkan terpampang di layar, segera kujawab."Iya, Mas. Aku ketiduran.""Mas udah di depan pintu.""Ok, aku buka." Aku bangkit, lalu segera beranjak membuka pintu."Sayang, Mas kangen." Mas Arkan memelukku."Aku juga, Mas." Aku eratkan pelukan, Mas Arkan mencium puncak kepalaku berkali-kali.Mas Arkan mengurai pelukannya, lalu kuajak duduk di lantai. Mas Arkan membawa banyak makanan. Ia memang tahu kebutuhan istrinya. Ibu hamil kan memang butuh asupan lebih."Gimana perjalanannya? Mobil travelnya nyaman, nggak?""Alhamdulillah nyaman, Mas mala
Bab 18Long Distance MarriedLangsung kubalas pesan Mas Arkan.[Iya, Mas. Aku juga ada yang mau diomongin. Mas udah makan?][Belum, Sayang. Sebentar lagi selesai rapatnya.][Ya udah, aku lanjut kerja, ya.]Ponsel kuletakkan kembali di meja. Sebenarnya aku penasaran dengan apa yang mau dibicarakan Mas Arkan. Ah, aku harus fokus, kerjaanku menumpuk.*Biasanya jam segini, aku sedang rebahan atau duduk bersandar berdua Mas Arkan sambil mengobrol seru. Sudah jam sembilan lebih, kenapa Mas Arkan belum menelepon juga? Apa ia ketiduran, ya? Aku pun sudah mengantuk, tetapi masih ingin mendengar suara lelaki itu. Lelaki yang sampai saat ini, belum tahu kalau aku ini siswinya enam tahun silam.Begini, ya, rasanya kalau menjalani hubungan jarak jauh. Baru sehari tak bertemu, tetapi rindu sudah menggebu. Ish, lebay juga aku. Mas, kamu sudah tidur, ya? Aku coba telepon saja. Panggilan tersambung, tetapi tidak diangkat. Ya, Mas Arkan pasti
Bab 17Kantor BaruWanita yang dipanggil itu menoleh, kedua alisnya bertaut. Ia tampak sedang berpikir. Tak berselang lama, bibirnya menyunggingkan seulas senyum."Arkan? Kamu, kok, ada di sini?" tanyanya, lantas ia berjalan mendekat."Iya, lagi ada urusan di sini." Mas Arkan melirikku.Wanita itu manggut-manggut. "Oh, ya, kenalin ini suamiku, Rio." Lelaki berkacamata itu mengulurkan tangan.Mas Arkan meraihnya. "Arkan." Mereka berjabat tangan. "Ini istri saya, Riri." Aku mengulurkan tangan, lalu langsung disambut oleh Calista."Calista.""Oh, ya kalau gitu saya ke dalam dulu, ya. Mari."Calista dan suaminya mengangguk. Mereka pun berlalu meninggalkan rumah makan ini. Rumah makan sederhana ini lumayan luas untuk ukuran warteg. Aku dan Mas Arkan mengambil tempat duduk di pojok. Seorang wanita menghampiri kami.Setelah pesanan datang, aku langsung melahapnya. Pun dengan Mas Arkan, tanpa bicara lagi langsung menikmati hidang
Bab 16.Pindah ke BandungMas Arkan mengerjap, perlahan membuka kedua matanya. Kuletakkan novel yang sedang dibaca pada nakas, lalu mendekati Mas Arkan."Mas, masih pusing?" Aku bantu Mas Arkan untuk duduk."Sedikit. Tolong, Mas mau minum."Aku ambilkan segelas air yang tersedia di nakas. Mas Arkan meminumnya sampai tersisa setengah gelas. Aku pegang kening Mas Arkan, panasnya sudah turun. Syukurlah. Aku coba mengecek suhu badan Mas Arkan menggunakan termometer."Suhu badan Mas udah normal. Mas mau makan sesuatu?"Mas Arkan menggeleng. "Oh, ya, kamu udah ngabarin guru piket?""Udah, Mas. Aku infoin di grup."Mas Arkan bersandar pada kepala ranjang, matanya ia pejamkan. Mungkin kepalanya masih terasa pusing."Mas, apa yang dirasakan? Apa perlu ke dokter?""Nggak perlu, Sayang. Besok juga sembuh, asal ada kamu di sini nemenin Mas." Mas Arkan mencubit hidungku."Ish Mas, nih. Lagi sakit, tangannya tetap aja iseng."