Share

Nindi Berulah Lagi

Bab 10 

Nindi Berulah Lagi

Mas Arkan masih terus menggenggam tangan Nindi, bibirnya tampak bergerak-gerak sepertinya ia sedang merapalkan doa. Satu sisi, aku mengerti posisi Mas Arkan sebagai seorang kakak. Akan tetapi, di sisi lain aku merasa perlakuannya ini berlebihan.

Tak lama kemudian, mata Nindi mulai bergerak perlahan sampai akhirnya terbuka. Ia tampak mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Saat matanya tertuju pada Mas Arkan, ia berkata, "Abang, Abang udah pulang?" Nindi memberikan seulas senyum di bibirnya yang pucat. Suaranya terdengar parau.

"Ssttt, kamu jangan banyak bicara dulu." Telunjuk Mas Arkan ditempelkan pada bibir mungil Nindi. "Abang akan nemenin kamu sampai sembuh," lanjutnya kemudian.

"Kamu pulang aja, biar ibu yang nginep malam ini. Kamu kan baru aja sampai, harus istirahat. Besok gantian kamu yang nginep." Ibu berdiri, lalu menghampiri Mas Arkan.

Nindi menarik tangan Mas Arkan, kepalanya menggeleng-geleng. Pertanda bahwa ia tak ingin abangnya pergi. "Abang di sini aja." Suara itu, tetap saja terdengar manja, saat sakit sekalipun.

Akhirnya Ibu mengizinkan Mas Arkan untuk menemani Nindi. Sementara aku, Sandra dan Ibu akan pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.15. Setelah berpamitan, kami segera meninggalkan ruangan berukuran 15 x 10 meter itu.

*

Mataku belum juga terpejam, padahal saat ini sudah hampir jam dua belas malam. Rasanya ada yang kurang, saat ingin menjemput mimpi, tak ada pelukan hangat dari Mas Arkan. Aku meraih ponsel di bawah bantal, lalu mengirim pesan pada Mas Arkan. Siapa tahu, ia juga belum tidur.

Benar dugaanku, tak berselang lama langsung kuterima balasan dari Mas Arkan. 

[Kenapa? Kangen?]

Ya, aku kangen pelukan Mas. Kangen memainkan bulu-bulu halus di dagu Mas, kangen ... semuanya. Masa iya, aku balas seperti itu?

[Ya, aku kangen, mau dipeluk]

[Sini, Mas peluk dari jauh] lalu berderetlah emoticon peluk.

Setelah puas berbalas pesan, akhirnya aku sudahi karena kantuk mulai menyerang. Mas Arkan berpesan agar aku harus segera tidur. Baiklah, semoga pelukanmu kurasakan dalam mimpi.

*

Pagi menyapa, aku bersiap akan berkunjung ke rumah sakit. Aku sudah menyiapkan sarapan untuk Mas Arkan. Buah apel dan roti isi selai kacang kesukaannya. Setelah pamit pada Ibu dan Bapak, aku segera melajukan motor matic-ku menuju rumah sakit.

Begitu sampai, aku tak mendapatkan Mas Arkan di ruangan. Hanya ada Nindi seorang diri, sedang makan makanan yang disediakan rumah sakit. 

"Nindi, gimana kondisimu?" Aku meletakkan bungkusan yang kubawa. Kemudian duduk di sisi ranjang.

"Seperti yang Kakak lihat." Ia menjawab tanpa menoleh sedikitpun. Matanya fokus tertuju pada makanan di hadapan.

"Oh, ya, Mas Arkan mana?" Bersamaan dengan pertanyaanku, terdengar derit pintu kamar mandi terbuka. Lalu, suara yang kurindu terdengar menyapa.

"Riri, pagi-pagi banget ke sini?" Ia meletakkan arlojinya pada nakas.

Apa dia bilang? Riri? Biasanya sayang. Apa karena di depan Nindi? Ah, masih pagi moodku sudah ambyar. Kenapa juga aku jadi sensi banget sih?

"Iya, aku bawain Mas sarapan." Aku berdiri, lalu memberikan bungkusan tadi pada Mas Arkan.

Arkan menikmati sarapannya, sementara aku hanya diam melihat dua orang di hadapanku yang sedang sibuk dengan makanannya. Nindi masih tampak bermalas-malasan untuk menyuap sesendok bubur. Makanan pada plato stainless--nampan ompreng--masih separuh porsi.

Selesai makan, Nindi langsung meminum beberapa obat yang sudah disediakan. Wajahnya tampak lebih segar dibanding semalam. Arkan bilang, suhu badannya sudah stabil. Mungkin peran Arkan sangat berpengaruh terhadap kesembuhan Nindi. Biasanya, kehadiran orang tersayang lebih ampuh dibanding obat yang diminum, begitu 'kan?

"Nindi, setelah dokter datang, abang pulang dulu, ya, mau mandi. Nanti ke sini lagi, sementara Kak Riri yang nemenin kamu."

Nindi hanya mengangguk. Sejak tadi, ia tak pernah melihat ke arahku. Seolah-olah ia tak menginginkan keberadaanku di sini. Mau sampai kapan kamu bersikap seperti itu, gadis manja? Oh, Allah, belum ada seminggu usia pernikahan ini, tetapi ujian yang Kau berikan sungguh membuat hatiku gerah. Astaghfirullah.

Pintu kamar terbuka, lalu masuklah beberapa orang perawat dan seorang dokter. Pertama, dokter itu berkunjung ke pasien paling ujung dekat pintu. Kebetulan, di kamar kelas dua ini ada enam brankar yang kesemuanya penuh. Nindi berada di brankar paling ujung sudut ruangan.

"Pagi ... Nindi, gimana pagi ini kondisinya? Masih ada keluhan?" Dokter berkacamata itu memeriksa keadaan Nindi, ia menyuruh Nindi untuk membuka mulut. Lalu, senter yang berada di tangannya ia arahkan ke dalam mulut Nindi.

"Kadang masih suka pusing, makan juga belum terlalu berselera, lidahnya masih pahit." Nindi menjawab setelah dokter selesai memeriksanya.

"Obat diminum semua, kan? Kalau kamu makannya banyak dan minum obat teratur, insyaallah cepat sembuh. Oh, ya, sudah nggak mual, ya?"

Nindi menggeleng. Aku dan Mas Arkan hanya menyimak penuturan dokter yang kutaksir usianya sudah di atas lima puluh tahun itu. Beberapa helai uban terlihat di rambut hitamnya. Katanya, Nindi harus dipaksa makan kalau mau cepat sembuh dan pulang ke rumah.

"Ok, kalau begitu, saya pamit."

"Terimakasih, Pak dokter," ucap Mas Arkan.

Sepuluh menit setelah dokter meninggalkan ruangan, Mas Arkan pamit pulang. Ia meninggalkanku berdua dengan Nindi. Nindi masih diam, tak jua membuka percakapan denganku. Ia sibuk memainkan ponselnya sejak kepergian Mas Arkan.

Baiklah, aku ingin tahu seberapa lama ia bisa mendiamkan aku seperti ini. Aku ikuti permainannya. Sejak menikah, aku belum sempat menengok media sosialku. Apa kabarnya, ya? Aku mulai berselancar di beranda f******k. Ternyata banyak sekali ucapan selamat dari beberapa teman maya.

Setelah menjawab ucapan pada status yang kubuat, aku tutup f******k. Kemudian, beralih ke i*******m. Ya, tak mungkin aku menjawab satu persatu ucapan yang masuk, walau jumlahnya tak sampai ratusan. Satu status cukup mewakili semuanya. Tak jauh beda dengan f******k, pada laman i*******m beberapa teman menandaiku dalam postingan foto mereka. Mulai dari teman SD sampai teman kuliah.

Bosan berselancar, aku putuskan untuk mendengarkan lagu kesukaan lewat earphone. Nindi sudah mengubah posisi, ia merebahkan tubuhnya yang tadi masih bersandar. Lalu berusaha memejamkan matanya perlahan. Mungkin obatnya sudah bereaksi, membuat ia mengantuk.

Bosan. Aku tak bisa diam terus seperti ini. Nindi tampak gelisah, ia belum tertidur juga. Matanya kembali terbuka, lalu tangan kanannya meraih ponsel. Sepertinya aku harus mengalah, lidahku gatal ingin sekali berucap sesuatu.

"Nindi, kenapa nggak jadi tidur?" 

Nindi diam, seolah mulutnya terkunci rapat. Entah apa yang ada dalam pikiran gadis ini. Ia  sama sekali tidak menghargai keberadaanku. Aku sudah bersabar, dan masih bisa menahan diri untuk bersikap biasa, bahkan sebisa mungkin berucap lembut.

"Tadi kata dokter, kamu harus banyak istirahat."

Nindi masih diam, bahkan pandangannya tak beralih dari ponsel di tangan. Aku menghela napas kasar, membuang racun benci yang mulai bercokol di hati. Kesal! Upayaku untuk berteman belum berhasil, padahal ia sudah berjanji tempo hari, ingin berteman denganku.

"Nindi, kenapa kamu diam aja? Kakak punya salah apa sama kamu? Tolong dijawab." Aku sedikit memohon padanya. Biarlah, aku memang harus lebih bersabar menghadapi gadis labil ini.

Nindi menatapku, awalnya mata itu tampak sendu tersebab wajahnya yang masih kuyu khas orang sakit. Namun, tatapan yang intens itu berubah tajam seolah ada banyak rasa benci yang ia pendam.

"Nindi nggak mau ditemenin Kakak. Mending Kakak pulang aja!" Ucapannya sedikit membentak, meski terdengar pelan.

Lagi, aku menghela napas. Sebenarnya apa yang membuatnya begitu membenciku? Apa karena Mas Arkan menikah? Aneh. Ya, terlalu berlebihan jika memang benar itu alasannya.

"Tapi kenapa? Kakak cuma sebentar, kok. Nanti abangmu ke sini lagi." Aku masih bisa menahan diri.

"Udahlah, Kak. Nggak usah pura-pura, Kakak pasti kesel, 'kan, sama aku? Udah, pulang aja gih, sana!" 

Astaghfirullah, aku hanya bisa mengelus dada. Nindi benar-benar membuat pertahananku runtuh. Kalau sudah begini, aku tak bisa lagi menahannya.

"Sebenarnya ada masalah apa? Salah kakak apa, sampai kamu segitu bencinya sama kakak?" 

"Kakak nggak nyadar juga? Udahlah, aku males ladenin kakak." Nindi berbaring, ia memejamkan matanya.

Aku memang kesal, tetapi kali ini rasa kesal itu bercampur dengan sedih. Entah kenapa, seperti ada yang tertusuk di sini, perih. Ucapan Nindi seperti terlontar dari mulut seorang gadis dewasa. Usianya saja yang masih belia. Meskipun jiwanya labil, tetapi ia sudah mampu berpikir seperti orang dewasa. Aku bisa menilai dari ucapannya selama ini.

"Kalau memang itu mau kamu, kakak akan pergi."

"Baguslah, emang nggak seharusnya kakak di sini."

Baru saja hendak melangkah, mendengar ucapannya barusan, emosiku tersulut. Apalagi nada bicaranya seolah merendahkanku.

"Dari tadi kakak udah sabar, ya. Kakak nggak tau alasan kamu begitu benci sama kakak. Nggak semestinya sikapmu seperti itu, kamu nggak punya etika, songong!" Sengaja kata terakhir aku beri penekanan. Tanpa sadar, ternyata Mas Arkan sudah berada di belakangku. Apa dia mendengarnya?

"Riri!" Mas Arkan menarik lenganku. Ia membawaku ke luar ruangan. 

"Apa kamu nggak sadar, Nindi sedang sakit. Kenapa kamu marah-marah? Bikin gaduh saja." Mas Arkan memarahiku untuk pertama kalinya. Meskipun ia tidak meninggikan suaranya, tetapi tetap saja ia marah.

"Mas Arkan dengar? Aku ... aku cuma nggak tahan, Mas. Nindi mengusirku, ia nggak terima kalau aku menemaninya. Ia terang-terangan menunjukkan kebenciannya padaku."

"Sudah, cukup! Nindi lagi sakit, nggak seharusnya kamu bersikap seperti tadi." Mas Arkan berpaling, ia mengusap wajahnya, kasar.

"Kamu sekarang pulang--"

"Aku memang mau pulang." Aku memotong ucapannya. Tanpa pamit lagi, aku melangkah pergi meninggalkan Mas Arkan. Pergi dengan kondisi hati yang kacau. Entah apa yang akan Nindi katakan pada abangnya. Biarlah, aku ingin menenangkan diri. Pulang ke rumah sepertinya pilihan yang tepat. Aku kangen Mama.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status