Share

Bulan Madu yang Harus Berakhir

Bab 9

Bulan Madu yang Harus Berakhir

"Demam katanya, meriang." 

"Terus?"

"Nanti mas minta tolong Sandra aja." Mas Arkan masih asik menyantap kacang rebus.

Dasar manja! Di rumah kan ada Ibu, kenapa masih minta abangnya pulang? Aku menghela napas, lalu menghirup udara dengan rakus. Agar rasa panas yang tiba-tiba saja hinggap segera berganti dengan sejuknya oksigen. Sabar, Ri.

"Mas, buruan kabari Sandra. Nanti Nindi telepon lagi." Aku berkata selembut mungkin agar terdengar biasa.

Tanpa menjawab, Mas Arkan langsung mengirimkan pesan pada Sandra untuk menemani Nindi. Kebetulan sepupu Mas Arkan itu tidak bekerja. Kegiatannya hanya membantu menjaga toko kelontong milik orang tuanya. Jadi, ia punya banyak waktu luang. 

Setelah puas menikmati keindahan Jurang Tembelan, aku dan Mas Arkan melanjutkan perjalanan ke Panguk Kediwung dengan menggunakan mobil. Jarak dari Jurang Tembelan sekitar lima kilometer ke arah bawah dusun Kediwung melalui Jl.Imogiri dekat gerbang Kebun Mangunan.

Aku melihat perubahan raut wajah Mas Arkan. Selama perjalanan, ia beberapa kali mengecek ponselnya. Lelaki berjenggot tipis itu tampaknya khawatir dengan kondisi Nindi. Ya, dari air mukanya sangat kentara, meski ia tidak berucap.

"Mas khawatir, ya?" Aku memberanikan diri bertanya.

Mas Arkan bergeming, tatapannya fokus memandang ke arah luar kaca mobil. Percuma jika harus tetap melanjutkan bulan madu, kalau pikiran Mas Arkan ada di Jakarta. Jalan-jalan akan terasa hambar. 

"Mas, kalau memang mau pulang, kita pulang aja." 

Mas Arkan menoleh, menatapku lekat. Tampak keraguan pada guratan wajahnya. Ia seperti sedang dihadapkan pada pilihan yang sulit.

"Nindi demam, suhu badannya mencapai hampir 39°C." Kini tampak jelas kalau Mas Arkan mengkhawatirkan kondisi adiknya itu.

"Dibawa ke dokter aja, Mas." 

Mas Arkan menggeleng. "Nindi nggak mau ke dokter kalau nggak sama Mas." Ia kembali mengecek ponselnya ketika berbunyi, tanda ada pesan masuk.

Mas Arkan bilang, Nindi tetap bersikeras menunggu abangnya pulang. Entah aku harus berbuat apa, moodku sudah terlanjur ambyar. Jika memang harus pulang hari ini, aku harus ikhlas. Mungkin memang sudah takdirnya seperti ini.

Mobil masih melaju dengan kecepatan sedang. Alunan lagu dengan volume kecil dari tape recorder masih setia menemani perjalanan kami. Tampak sang supir sesekali mengetuk-ngetuk jarinya pada kemudi, mengikuti irama lagu.

"Kita pulang aja, Mas," kataku, memecah keheningan yang sejenak tercipta.

"Kamu yakin? Sepertinya ini sudah dekat ke Bukit Kediwung." 

Aku menghela napas. "Aku nggak mau senang-senang sendirian, nggak bakalan nikmatin juga."

"Sayang, aku nggak mau merusak bulan madu kita." Mas Arkan menggenggam kedua tanganku, lalu mengecupnya.

"Mas ...." Aku melepas genggaman, merasa tidak nyaman karena sang supir mengintip dari spion depan. Tak lama kemudian mobil berhenti. 

"Kita sudah sampai, Bu, Pak," ucap sang supir.

Tanpa menjawab, aku dan Arkan bergegas turun. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju spot-spot cantik, menikmati pemandangan dari atas bukit kediwung.

Mas Arkan menggandeng tanganku, kemudian membisikkan kata-kata guna meyakinkan diri ini kalau ia tetap ingin di sini, bersamaku. Aku menatap matanya, masih terlihat kalau pikirannya tak sepenuhnya di sini. Namun, aku berusaha menghargai kesungguhannya dalam meyakinkanku.

Kami terus berjalan menyusuri jalan setapak menuju spot-spot cantik untuk mengambil beberapa gambar.Spot foto yang ada di Bukit Panguk Kediwung seluruhnya menghadap ke tebing yang berhadapan langsung dengan hutan lebat serta di bawahnya terdapat Sungai Oya yang membentang panjang.

Aku menunjuk ke arah timur. Tampak di ujung ada sebuah spot dermaga kecil yang hanya dapat menampung tidak lebih dari dua orang. Kebetulan sedang ada yang berswafoto di sana. Aku dan Mas Arkan mengantre untuk berfoto.

"Mas, kalau hari libur atau weekend mungkin bakalan lebih antri dari ini, ya."

Mas Arkan hanya mengangguk. Ia menyapu pandangan ke sekeliling, tampak menikmati sejuknya udara di sini. Syukurlah, setidaknya ia bisa melupakan sejenak kekhawatirannya pada Nindi.

"Ayo, Mas." Aku menarik lengan Mar Arkan, mengajaknya melangkah ke tepi dermaga yang terbuat dari kayu ini. Kami berdiri di ujung, tampak di bawah sana hutan lebat menghijau. Aku membentangkan kedua tangan, memejamkan mata sejenak, lalu merasakan belaian angin yang menyapu wajah. Dingin.

Tiba-tiba dari belakang, Mas Arkan mendekap erat tubuhku. Ia meletakkan dagunya tepat di bahuku, lalu dalam sekejap mengecup pipiku, mesra.

"Mas, malu kalau di lihat orang."

"Tenang aja, nggak ada yang lihat. Makanya mas berani meluk kamu."

Aku menoleh ke belakang sesaat, benar saja, sepi. Mungkin di sini ramai pengunjung kala mentari terbit. Sekarang sudah hampir jam sepuluh. Sepanjang perjalanan tadi memang kami banyak berpapasan dengan pengunjung yang turun ke bawah, mungkin hendak pulang.

Mas Arkan mengurai pelukannya. Kemudian kami mengambil beberapa gambar. Setelah puas, kami melanjutkan ke spot berikutnya. Saat menuju spot kolam, ponsel Arkan berdering.

Sandra. Ia mengabarkan kalau Nindi akhirnya mau dibawa ke dokter setelah meriang hebat, hampir tak sadarkan diri. Gurat kekhawatiran tampak jelas menghiasi wajahnya. Sepertinya kali ini ia akan memutuskan untuk secepatnya pulang.

"Sayang, maafin mas, tapi sepertinya kita harus pulang." Mas Arkan memohon padaku.

Aku hanya bisa mengangguk, meski dalam hati menginginkan sebaliknya. Tanpa pikir lagi, aku dan Mas Arkan bergegas menuju parkiran. Begitu sampai, aku katakan pada supir agar segera melajukan mobil menuju hotel.

*

Aku sedang berkemas menyiapkan semuanya ketika lagi-lagi ponsel Mas Arkan berdering. Dengan sigap, Mas Arkan segera menjawabnya.

"Gimana kondisi Nindi?"

" .... "

"Jadi harus diopname?"

" .... "

"Ya, saya dapat flight nanti sore jam enam. Bilang ke Nindi, tenang aja, jangan terlalu mikir keras."

Arkan mengakhiri percakapannya dengan seseorang di seberang sana. Kemudian ia melanjutkan berkemas. Masih ada waktu beberapa jam untuk istirahat sebentar. Selesai berkemas, aku rebahkan tubuh yang terasa sangat lelah. Mandi air hangat sepertinya enak.

Jam di dinding menunjukkan pukul satu lewat. Cacing di perut sudah pada demo minta jatah. Seharusnya siang ini, aku dan Mas Arkan menikmati lunch di sebuah restoran. Lalu, melanjutkan perjalanan ke hutan pinus dan berakhir di tebing breksi menikmati sunset. 

Aku sudah membayangkan indahnya fenomena matahari terbenam yang bakalan aku dokumentasikan. Namun, semua itu hanya sebuah angan. Ah, sudahlah ... aku harus bisa menerima. Ini semua di luar kehendak Mas Arkan.

*

Setelah satu jam lebih mengudara, akhirnya tiba juga di Jakarta. Kami sudah meniatkan salat Magrib dijamak takhir. Jadi, sebelum memesan taxi online, kami mencari mushola untuk menunaikan salat terlebih dahulu. Lima menit lagi akan tiba waktu salat Isya.

Usai menunaikan salat, kami bergegas menuju rumah setelah sebelumnya memesan taksi online. Perjalanan dari bandara menuju rumah memakan waktu satu jam lebih. Ditambah macet di beberapa ruas jalan. 

Mas Arkan tak banyak bicara, sesekali ia mengecek ponsel apakah ada kabar terbaru dari Sandra. Mas Arkan bilang, dari gejala, sepertinya Nindi terkena tipes. Kabar terakhir dari Sandra, Nindi baru saja dipindahkan ke ruang opname.

Begitu sampai rumah, aku dan Mas Arkan segera membersihkan diri dan bersiap untuk ke rumah sakit. Bapak tetap berjaga di rumah karena lelah pulang bekerja langsung ke rumah sakit. 

Rumah sakit yang dituju tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari sepuluh menit dengan berkendara motor. Mas Arkan melajukan motornya dengan cepat. Seperrinya sudah tak sabar ingin melihat kondisi adik kesayangannya itu.

Dengan sedikit berlari, Mas Arkan menggandeng tanganku menyusuri lorong rumah sakit. Kami mencari kamar rawat inap kelas dua setelah tadi bertanya dengan seorang perawat. Kamar no.3a, tertulis di pintu berwarna hijau toska.

Begitu masuk, pandangan kami langsung tertuju pada bangsal paling ujung. Dari pintu masuk, tampak Ibu sedang duduk di kursi. Melihat kami, Ibu segera berdiri. Ia menyunggingkan senyum, aku dan Mas Arkan segera menyalaminya.

"Gimana kondisi Nindi?"

"Setelah diinfus, demamnya berangsur turun. Nindi baru aja tidur setelah minum obat." Sandra menjelaskan dengan detail kondisi Nindi. Ia menceritakan perjuangannya membujuk Nindi sampai akhirnya mau dibawa ke dokter.

"Maaf, ya, Neng. Bulan madu kalian jadi terganggu." Ibu menggenggam tanganku, wajahnya tampak menyesal dengan keadaan ini.

"Ibu nggak perlu minta maaf, ini bukan salah Ibu. Riri nggak pa-pa kok, Bu. Kesehatan Nindi lebih penting. Dengan kehadiran Mas Arkan, pasti Nindi lebih bersemangat untuk sembuh." Entah dari mana asalnya, kalimat itu meluncur saja dari bibirku.

Mas Arkan langsung menggantikan posisi Sandra yang duduk di samping Nindi. Ia menggenggam tangan kiri Nindi yang terkulai lemas, kemudian mengecupnya. Makin terlihat jelas betapa sayangnya ia pada Nindi. Perlakuannya terhadap Nindi tidak beda jauh seperti perlakuannya kepadaku. Entahlah ... ada yang bergemuruh di dada. Apa aku cemburu?

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status