ISUITP 7
Mobil mewah itu mendadak menepi di halaman sebuah gedung. Tempat ini kelihatan begitu familiar bagi Ailisha. Ini adalah hotel yang ia tinggali kemarin malam. Sungguh memalukan saat mengingat kejadian kemarin. Bagaimana bisa dirinya ketiduran di café saat menunggu Arka menyelesaikan pekerjaannya. Ailisha masih tidak bisa percaya jika yang kemarin itu benar dirinya. Ia berharap agar bisa menghilang dari hadapan pria ini sekarang juga. Sungguh memalukan saat mengingat kejadian kemarin. Sesekali ia merutuki kebodohannya sendiri.
“Turun!” perintah Shevandra.
Tanpa menunggu jawaban dari gadis itu, ia telah turun lebih dulu.
“Apakah aku harus mengikutinya ke dalam? Tapi untuk apa?” batinnya.
“Tunggu apa lagi?” tanya pria itu.
Ailisha mengangguk cepat, kemudian segera berlari-lari kecil menyusul langkah panjang pria itu. Mereka langsung pergi ke lift untuk naik ke lantai dua puluh delapan. Bukan ke kamar yang kemarin. Karena seingatnya, tadi pagi mereka sudah check out dari tempat itu. Lagipula kamar yang kemarin berada di lantai tiga puluh lima. Tapi, memangnya kemana lagi mereka akan pergi. Apa ada ruangan selain kamar di tempat semacam ini.
Perasaan Ailisha mulai tidak karuan. Pikirannya kacau karena asumsi yang ia ciptakan sendiri. Ia telah terlanjur berprasangka buruk kepada pria ini. Meskipun semua dugaan itu belum tentu benar.
“Kita mau ngapain ke sini?” tanya Ailisha dengan hati-hati.
“Nanti kamu juga tau,” jawabnya datar.
Shevandra terus saja menolak untuk menjelaskan. Ia selalu berusaha untuk mengelak, tiap kali diajukan pertanyaan yang sama. Padahal tinggal mengatakan jawabannya saja. Jika ia melakukan hal itu sejak tadi, maka Ailisha tidak akan terus menuntut jawaban seperti ini.
Bagaimana tidak. Dari tadi ia sudah dibuat kebingungan. Mendadak ditarik secara paksa untuk masuk ke dalam mobilnya. Lalu pergi tancap gas begitu saja tanpa memberikan sedikit penjelasan. Jika tidak ingin menjelaskan, setidaknya berikan petunjuk. Jadi wajar saja jika Ailisha tidak bisa diam, apalagi tenang saat ini. Terlebih sekarang pria itu membawanya kembali ke tempat ini.
‘TING’
Pintu lift terbuka sesaat setelah suara tersebut muncul. Itu tandanya, saat ini mereka telah sampai di lantai yang tuju. Shevandra kembali memimpin jalan. Lagi-lagi Ailisha hanya bisa mengikuti langkahnya dari belakang. Menyusuri koridor yang terbilang cukup gelap dan minim cahaya karena memang tempatnya yang tertutup. Padahal saat ini masih sekitar jam dua siang.
Shevandra berhenti tepat di depan sebuah ruangan. Kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Itu adalah sebuah kartu yang digunakan untuk mengakses setiap kamar. Hanya yang sudah memesan kamar yang akan mendapatkannya. Setelah pintunya terbuka, pria itu melayangkan pandangannya kepada Ailisha yang masih berdiri di sebelahnya. Jarak mereka tidak terlalu dekat. Ailisha masih menjaga jarak sekitar satu meter dengan pria ini.
“Tunggu apa lagi, cepat masuk ke dalam,” ucap Shevandra tanpa bersuara.
Namun gadis itu tampak masih tetap bergeming. Dia ragu. Tapi ekspresinya lebih menunjukkan jika ia sedang cemas.
“Saya enggak akan macam-macam sama kamu,” ucap Shevandra.
Ailisha tidak bisa mempercayai pria ini sepenuhnya. Menurutnya semua pria sama saja. Naluri alaminya mengatakan jika ia harus tetap waspada. Tapi entah kenapa, kalimat yang baru saja diucapkan oleh pria itu terasa menenangkan. Meskipun itu bukan berarti akan menjamin keselamatan gadis ini sepenuhnya.
“Ayo!” ajak Shevanda.
Ailisha mengangguk dengan pasrah. Kemudian kembali mengikuti langkah pria itu untuk masuk ke dalam. Tidak ada yang istimwa di sini. Sama seperti kamar hotel pada umumnya. Hanya ada kasur, lemari, nakas dan kamar mandi. Sungguh pemandangan yang biasa saja.
Tapi, sampai sekarang ia sama sekali tidak bisa menangkap maksud pria ini. Kenapa mendadak menculiknya, lalu membawanya ke sini. Sebenarnya Ailisha ragu. Apakah yang tadi itu pantas untuk disebut sebagai penculikan atau tidak. Gadis itu sama sekali tidak disakiti oleh Shevandra. Seperti yang dilakukan para penculik pada umumnya terhadap korbannya. Shevandra juga tidak menunjukkan perilaku yang mencurigakan. Tapi tetap saja Ailisha merasa terancam.
“Sebenarnya mau ngapain sih?” tanya gadis itu.
Ailisha memberanikan diri untuk kembali buka suara.
Sementara sosok yang diajak bicara, sama sekali tidak menggubris lawan bicaranya itu. Ia terlihat sibuk sendiri. Mengacuhkan Ailisha yang sedang menuntut jawaban di sini. Entah apa yang ia cari di sana. Seperti kamar hotel pada umumnya, lemarinya masih kosong. Hanya ada beberapa tumpuk handuk dan beberapa kebutuhan lainnya. Termasuk beberapa isi koper pria ini yang telah dikeluarkan.
Shevandra meraih sebuah totebag yang entah apa isinya. Lalu memberikannya kepada gadis itu,
“Ini apa?” tanya Ailisha secara spontan.
“Nanti malam, kamu temani saya buat ketemu kolega bisnis saya,” jelasnya.
Seluruh fungsi otak gadis ini mendadak berhenti dan tidak bekerja.
“Untuk?” tanya Ailisha.
Tanda tanya besar muncul di dalam kepalanya.
“Kan tadi udah saya bilang. Kamu budeg?” tuduh pria itu.
“Enak aja!” bantahnya.
“Kalau gitu buruan ganti baju sekarang, setelah ini kita akan pergi lagi,” jelasnya kemudian pergi keluar ruangan. Memberikan waktu kepada gadis itu untuk bersiap.
Ailisha masih berdiri mematung di tempat yang sama. Ia tidak bergerak sama sekali. Sampai sebuah suara berhasil membuyarkan lamunannya.
“Enggak pakai lama!” sahut Shevandra dari luar.
“Iya-iya!” balas gadis itu dari dalam.
Ia berdecak sebal karena Shevandra menyuruh-nyuruhnya sesuka hati seperti ini. Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena ia harus buru-buru. Mengingat perintah pria itu lagi. Jadi ia bergegas melangkah ke kamar mandi untuk bertukar busana. Padahal ia bisa saja berganti di sini. Toh, juga tidak ada yang akan mengintipnya. Tapi entah kenapa, rasanya lebih aman jika ia mengganti pakaiannya di dalam kamar mandi.
“Dia ngasih gue gaun?” gumamnya.
Tak pikir panjang, Ailisha langsung mencoba gaun berwarna hitam tersebut di badannya. Ternyata ukurannya sangat pas. Tapi kenapa warnanya harus hitam. Memangnya tidak ada warna lain. Seperti akan datang ke pemakaman seseorang saja.
Setelah selesai dengan urusan baju, ia langsung keluar untuk menemui Sehvandra. Ia melakukannya dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Jadi, pria itu pasti tidak akan mengomelinya lagi kali ini.
“Kenapa harus hitam sih! Kayak mau melayat aja!” protes Ailisha.
Ia tidak peduli jika saat ini ia sedang berbicara dengan seniornya. Ailisha bukan tipikal orang yang bisa menutup-nutupi sesuatu. Jika tidak suka, ia pasti akan langsung mengatakannya secara gamblang. Begitu pula dengan sebaliknya.
Hal yang paling memalukan adalah, saat ia menyatakan perasaannya kepada pria itu. Kepada Shevandra tepat beberapa tahun yang lalu. Sungguh memalukan jika diingat-ingat. Dia memang terlalu jujur pada saat itu. Ia tidak akan melakukan kesalahan yang sama lagi kali ini. Lagi pula perasaannya untu pria itu telah lama mati.
Shevanda menepati ucapannya tadi. Mereka tidak akan berlama-lama di sana. Hanya untuk mengambil gaun itu saja, setelahnya bakal langsung pergi ke tempat lain. Pria ini terkesan sibuk dan ia memang benar-benar sibuk. Ia bahkan tak sempat untuk memilihkan sebuah gaun yang akan dipakai oleh gadis itu nanti pada saat acara. Dia tak akan sempat untuk mengurusi hal seperti itu. Ada banyak hal yang jauh lebih penting dari pada sebuah gaun. Jadi Shevandra sama sekali tidak ingin merasa dirugikan dengan mengorbankan waktu berharganya. Pria itu menyuruh beberapa asisten pribadinya untuk melakukan hal tersebut. Lagi pula kelihatannya baik-baik saja dan tidak ada masalah sama sekali. Ailisha tampak tak keberatan jika harus menggunakan gaun tersebut.Saat ini keduanya sedang dalam perjalanan menuju ke sebuah salon. Seperti yang pernah dikatakan oleh Sevandra sebelumnya, jika gadis ini harus berdandan sedikit. Ia tidak bisa pergi ke suatu acara formal dengan penampilan sepert
Setelah perbincangan mereka tadi, kini suasana kembali menjadi hening. Bahkan terasa lebih canggung dari yang sebelumnya. Ailisha terus menundukkan kepalanya dan memainkan jari tangannya. Ia terlihat begitu gugup saat ini. Entah kenapa pria itu harus membahas masa lalunya yang begitu memalukan. Ia tidak tahu harus menaruh wajahnya dimana lagi.Kini ia bisa merasakan pipinya yang tengah memanas karena malu. Pasti saat ini pipinya sudah berubah menjadi merah seperti tomat matang. Ah, benar-benar memalukan. Rasanya ia ingin menghilang dari hadapan Shevandra saat ini juga. Pria itu tahu betul bagaimana cara mempermalukan Ailisha. Ia pernah membuat gadis ini harus menanggung rasa malu di depan satu angkatan hanya karena Shevandra tahu jika Ailisha menyukainya pada saat itu. Tapi ada bagian yang paling buruk di sini. Ailisha pernah dibenci oleh kakak kelas sebanyak dua angkatan.Hal tersebut berhasil membuat mental Ailisha acak-acakan. Ia tidak lagi fokus denga
ISUITP 10Semua orang sepertinya mengenal Shevandra dengan sangat baik. Apa pria itu memang cukup terkenal? Tapi jika memang benar begitu, kenapa hanya Ailisha sendiri yang tidak mengetahui soal fakta tersebut. Apa ia memang ketinggalan sesuatu di sini? Mungkin Ailisha adalah satu-satunya orang yang tidak mengetahui jika pria itu memang cukup terkenal. Bukan hanya itu. Bahkan sampai-sampai keberadaannya sendiri saat ini memiliki tempat yang tersendiri di mata orang-orang. Lihat saja bagaimana mereka begitu menghormati pria ini. Shevandra bahkan bisa memerintah mereka jika ia mau. Sebenarnya kekuatan macam apa yang ia miliki hingga bisa mengendalikan orang lain seperti ini.Ailisha tenggelam di dalam pikirannya sendiri. Ia bahkan tetap melamun selama proses dirinya dirias. Tidak ada hal lain yang ia pikirkan kecuali beberapa pertanyaan yang sempat muncul di dalam kepalanya tadi. Gadis itu tahu betul jika ia tidak akan menemukan jawabannya begitu saja tanpa bertanya. Y
Menurutnya ia tidak seburuk itu. Lantas kenapa ia tampak begitu burk di mata Shevandra. Memangnya kesalahan apa yang telah ia perbuat sejauh ini. Sepertinya pria itu memang tidak pernah berubah. Sekali ia membenci seseorang, maka ia akan tetap membencinya. Bukankah manusia lebih mudah untuk mengingat satu salah dari pada seribu kebaikan.Ailisha memilih untuk diam dan tak berkomentar sedikit pun. Ia tidak bisa mengubah cara pandang pria itu terhadap dirinya. Mustahil. Ailishaakan tetap menjadi orang yang paling tidak ia sukai di dunia ini selamanya. Shevandra mendadak bersikap baik hanya karena ada keperluan saja. Ada maksud terselubung di balik setiap tindakannya. Ailisha tak tahu apa. Yang jelas pasti pria itu sedang memanfaatkan dirinya untuk keuntungan pribadi. Ailisha menyimpulkan semuanya sendiri.Ternyata pria itu sama sekali belum berubah. Ia masih bisa melihar Shevandra dari empat tahun yang lalu di dalam dirinya. Mereka benar-benar masih sama. Bahkan waktu ti
ISUITP 11Akhirnya kolega bisnis Shevandra datang juga setelah cukup mereka menunggu cukup lama. Hal itu membuat Ailisha bertanya-tanya apakah jalanan di kota sedang macet saat ini. Shevandra dan Ailisha langsung berdiri untuk menyambut mereka yang baru saja datang. Tidak terlalu banyak sesuai dengan ekspektasi gadis itu selama ini. Hanya ada seorang pria yang tak jauh berbeda umurnya dengan Shevandra. Ia juga membawa seorang gadis bersamanya. Mungkinkah jika itu kekasihnya."Selamat datang!" ucap Shevandra sebagai kata sambutan.Mereka saling melempar senyum satu sama lain, kemudian berjabat tangan. Tidak ada yang istimewa di sini. Mereka masih melakukan setiap halnya dengan normal."Apakah ini gadis yang pernah kau ceritakan waktu itu?" tanya pria tersebut secara tiba-tiba.Shevandra hanya mengangguk untuk mengiyakan perkataan temannya. Ia tak mau terlalu banyak bicara. Itu bisa merusak citranya nanti."Memangnya apa yang ia ceritakan
Sepertinya hanya Ailisha satu-satunya orang yang tidak mengerti dengan pembahasan mereka. Menurutnya topik yang diangkat terlalu berat. Mereka bahkan membahas soal proposal. Entah sejak kapan pria itu menjadi pebisnis yang cukup handal. Padahal dulu Shevandra merupakan lulusan dari jurusan teknik waktu masih duduk di sekolah menengah. Kemudian melanjutkan kuliah dengan jurusan hukum. Dan sekarang, lihat saja pekerjaan seperti apa yang tengah ia tekuni saat ini. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan pendidikan yang pernah ia ambil sebelumnya. Iya, pria itu siswa SMK bukan SMA. Yang lulusan SMA adalah Ailisha. Ia merupakan salah satu siswa jurusan IPA sebelumnya. Bahkan gadis itu pernah berada di kelas unggulan. Meski hanya berlangsung selama satu tahun, setidaknya hal itu bisa ia banggakan.Mereka berdua sama-sama tidak sinkron. Hidupnya nyaris tanpa arah, tapi mereka tetap bisa bertahan. Shevandra memutuskan untuk terjun ke dunia bisnis dan telah membangun
Ailisha langsung menghempaskan tubuhnya dengan kasar ke atas kasur miliknya. Ia bahkan tidak sempat untuk membersihkan dirinya terlebih dahulu. Sudah tidak ada lagi tenaga yang tersisa, membuatnya merasa tak berdaya untuk melakukan apa pun.Baru saja ia akan memejamkan matanya untuk memasuki alam bawah sadar. Gadis itu nyaris terlelap. Namun, secara mengejutkan ponselnya bergetar pelan. Sontak Ailisha terperanjat kaget. Ia kembali membuka kedua kelopak matanya secara spontan.“Ck! Siapa sih malam-malam gini nelpon?!” gerutunya sebal.Ia menatap layar ponsel miliknya dengan seksama. Tidak bisa dipungkiri jika pandangannya mulai terasa buram dan tidak fokus akibat mengantuk. Jadi, ia harus melakukan usaha ekstra untuk membaca nama yang tertera di sana.Malam-malam begini siapa yang mau meneleponnya. Seperti tidak ada kerjaan lain yang jau lebih penting saja.“Nomer enggak dikenal,” gumamnya malas.Sebe
Shevandra memutuskan untuk membawa gadis ini ke salah satu rumah makan. Kali ini tempatnya memang tidak semewah kemarin. Lagi pula sebentar lagi sudah waktunya makan siang. Mereka berdua sedang menunggu pesanan yang masih dibuatkan. Sebentar lagi akan diantar begitu selesai.Ailisha masih tetap bergeming sejak tadi. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Wajahnya tampak datar. Tidak ada yang bisa dijelaskan dari ekspresinya tersebut. Pria itu pun sampai tak tahu harus berbuat apa untuk mencarikan suasana. Ia telah kehabisan akal. Padahal tak pernah seperti ini sebelumnya.Bahkan Shevandra sampai rela berdeham untuk mendapatkan atensi dari gadis itu. Tapi ternyata hasilnya masih tetap nihil. Ia tidak tahu separah apa kesalahannya. Sampai-sampai tidak peduli seberapa keras Shevandra terus mencoba, ia masih terus mengacuhkan pria itu begitu saja.“Mau sampai kapan diam kayak gini?” tanya Shevandra yang pada akhirnya memutuskan untuk membuk