Nadya memarkirkan motornya di depan cafe, ia membuka helmnya sambil menarik napas bersiap diri.
“Nadya”
Suara yang sangat dikenalnya dan yang dulu membuat hatinya sakit seketika mendatangkan kemarahannya yang tiba tiba muncul. Kenapa begitu cepat bertemu orang itu. Pikir Nadya sebal. Nadya menaruh helmnya di stang motor lalu berpaling ke arah suara itu. Dimas Erlambang berdiri dengan santai dan wajah tampannya tampak terkejut.
“Kamu ikut reunian juga?”
Nadya memincingkan mata di balik kacamatanya. “Aku rasa kamu tahu aku akan ikut.”
“Sungguh aku tidak tahu, Mita tidak bilang padaku kalau kamu mau datang ke reunian.”
“Jangan pura pura deh.” Kata Nadya marah.
Baiklah Nadya tahu emosinya muncul lagi tapi ia tidak perduli. Melihat Dimas kejadian pahit setahun lalu terlintas di benaknya sehingga emosinya tidak bisa direndam, namun kali ini ia tidak akan membiarkan Dimas mempermalukannya lagi di tempat umum, untung saja di tempat parkir ini tidak ada orang.
“Kamu tidak berubah sedikit pun.” Kata Dimas mengabaikan nada marah itu, ia melihat Nadya masih sama seperti dulu, rambut di kuncir, memakai kacamata bulat, dan tidak berdandan.
“Terserah suka suka aku!” Nadya semakin marah mendengar ucapan Dimas.
Dimas tidak berhak menilainya apalagi penampilannya karena Dimas bukan siapa siapa lagi baginya. Nadya melihat pandangan menilai dari mata Dimas padanya seperti dulu.
“Kok kamu sinis gitu sih.”
“Aku sinis gara gara kamu! Apa kamu lupa kamu menyakitiku dan membuatku menderita.”
“Kamu menderita karena kamu bodoh.” Kata Dimas cuek. “Kamu kan tahu aku bilang kita hanya temenan saja.”
Apa! Apa dia bilang…bodoh? Dasar laki laki! Seenaknya bilang seperti itu tanpa ada penyesalan. Nadya seolah kembali ke setahun yang lalu ketika Dimas memutuskan berpisah dengannya dengan santai tanpa penyesalan seperti yang ia tunjukkan sekarang. Tapi dulu dan sekarang lain. Dulu ia diam saja seolah ada yang membungkamnya, tapi sekarang ia bisa bertindak sesuai yang ia inginkan terhadap laki laki itu.
“Bagiku kamu masih laki laki kurang ajar.” Nadya berhenti sebentar. Rasa tidak suka terlihat di raut wajah Dimas mendengar ucapannya tentang dirinya.
“Kamu pikir kamu laki laki berharga?” Kedua mata Nadya memincing. ”Kamu salah, aku menganggapmu laki laki pengecut yang suka mempermainkan perempuan, bilang saja kalau mau putus denganku tidak usah bawa tunanganmu untuk menemanimu mengatakannya padaku.” Nadya mengaitkan kedua tangannya di depan dada. “Salahku tidak bertanya apa kamu menyukaiku atau tidak dan hanya menerima semua perlakuan manismu.”
“Yah kamu memang bodoh, aku sudah tahu sejak kamu mengirim pesan untuk mengajakku berkencan.”
“Jika sudah tahu kenapa dilanjutkan sampai satu tahun…satu tahun kamu berpura pura menyukaiku.”
Dimas mengedikkan bahu. “Aku tidak berpura pura, waktu itu aku sedikit menyukaimu dan aku memutuskan untuk melanjutkannya, tapi aku bertemu Larissa dan rasa sukaku padamu hilang, Nad.”
Apa dia bilang sedikit menyukaiku? Tidak seperti itu yang aku dengar dulu. Pikir Nadya kesal. Ia tidak mau mendengar omong kosong dari Dimas lagi. Dengan cepat Nadya maju ke depan mendekati Dimas berdiri, amarahnya terpancar dari kedua mata coklatnya lalu ia menginjak kaki Dimas dengan keras.
“Rasakan ini!”
Dimas langsung menjerit kesakitan. Nadya tersenyum sinis melihat Dimas mengaduh kesakitan akibat injakannya. Itu pembalasan setahun yang lalu karena mempermainkan hati perempuan, masih baik aku menginjak kakimu daripada meninju mukamu. Pikir Nadya marah. Nadya melangkah pergi tidak perduli dan meninggalkan Dimas yang masih mengaduh kesakitan.
Nadya tidak tahu jika ada yang menonton pertunjukan drama antara dirinya dan Dimas. Ethan berdiri di samping mobilnya, ia menaikkan sebelah alisnya melihat kejadian langka yang belum pernah dilihatnya. Perempuan itu sangat berani pada mantan pacarnya di tempat umum. Tiba tiba seulas senyum tersungging di bibirnya melihat tindakan yang dilakukan perempuan itu terhadap mantan pacarnya, lalu ia memanggil pengawalnya yang dari tadi berdiri di belakangnya dan berbicara bahasa Inggris dengan cepat ke pengawalnya kalau ia tidak perlu dikawal masuk cafe. Pengawal itu menggangguk mengerti dan masuk lagi ke dalam mobil bergabung dengan pengawal yang lain. Sambil memegang buku Ethan berjalan menuju cafe dengan santai dan mengeluarkan hp dari kantong celana untuk menelepon temannya kalau ia sudah tiba di cafe.
Mita menghentikan mobilnya ketika mobil Panji masuk ke sebuah gerbang tinggi, tampak terlihat rumah Adel yang besar dan mewah. Ada beberapa pohon di depannya. Mita dan Nadya menunggu Panji keluar. Entah sampai jam berapa Panji di rumah Adel. Mita dan Nadya tidak mengobrol sepatah kata pun, bahkan tatapan Mita tidak berkedip melihat ke arah gerbang rumah Adel. Namun Nadya berusaha mengajak Mita untuk mengobrol, dari pada hanya berdiam diri sambil mengawasi pagar rumah Adel. Mita akhirnya mau mengobrol, ia terlihat santai. Mereka menertawakan perut mereka yang bersamaan berbunyi keroncongan. Saat keluar tadi mereka belum sarapan bahkan mengunyah sebuah makanan saja tidak. Hampir satu jam mereka mengobrol, tiba tiba pagar Adel terbuka, mobil Panji keluar dengan mulus dan menuju arah yang tadi dilaluinya sehingga melewati mobil yang dinaiki Mita dan Nadya. Kedua mata Mita langsung sigap, ia segera menghidupkan mobil dan dengan cepat menuju pagar yang masih terbuka itu. Mita berniat untuk
Mita berpacu dengan kecepatan tinggi, ia melewati gerbang tinggi lalu belok dengan mulus ke arah jalan tanpa menghentikan kecepatannya. Nadya berpaling ke belakang. Gerbang tinggi rumah Ethan menutup secara otomatis. Dalam hati ia tahu ia mengingkari janjinya untuk kembali sebelum pelayan rumah Ethan datang ke kamarnya. Nadya berpaling ke arah Mita. Mita belum mengatakan sepatah katapun, ia tidak sabar ingin tahu apa yang terjadi."Apakah Ethan tahu?" tanya Nadya mengabaikan ucapan Mita tadi."Tidak," jawab Mita singkat, pandangannya tetap lurus ke depan. Dari kejauhan Mita melihat mobil yang dikendarai Kakaknya, ia segera mengurangi kecepatannya."Tapi Ethan tahu kemana Kakakku pergi."Nadya tampak terkejut, ia penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Namun sebelum ia bertanya, Mita lebih dulu bertanya padanya."Apa yang kamu lakukan di luar pagi pagi, Nad?" Nadya tidak langsung menjawab, ia tahu Mita pasti menanyakan soal itu, namun ia akan terus terang. Nadya berpaling ke arah jalan
Nadya terbangun jam 5 pagi, tenggorokkannya terasa kering. Ia terbatuk seraya membuka bedcover dan melangkah ke arah sofa. Ia duduk di atas sofa lalu menuangkan air mineral ke dalam gelas berkaki, bekas tadi malam ia minum bersama Ethan. Air mineral itu sangat segar melewati tenggorokkannya. Nadya meneguk air itu hingga habis, kedua matanya melirik ke arah kaca lebar yang menuju balkon. Kaca itu tidak ditutup gorden karena terbuat dari kaca riben hingga suasana malam tampak terlihat jelas dari dalam. Ethan yang memberitahu bahwa semua kaca di sini tidak memakai gorden ketika Nadya akan menutup jendela. Jam segini di Brisbane masih gelap, sama seperti di Indonesia. Waktu di Brisbane sama seperti waktu di Indonesia. Nadya tahu karena melihat jam ketika di pesawat, dan jam di samping tempat tidurnya. Nadya menaruh gelas itu kembali di atas meja, ia melihat gelas Ethan di sana. Di atas meja itu masih ada gelas Ethan dan gelasnya, juga teko bening berisi air yang sengaja ditaruh untuk keb
Nadya sudah tahu arti kata itu, jadi ia menuntut jawaban dari Ethan, tapi mungkin saja Ethan tidak tahu kalau ia sudah bisa berbahasa Inggris. Ethan menatap Nadya, seperti ketika di bandara, Ethan ingin bertanya apakah Nadya sudah bisa bahasa Inggris."Kamu mengerti ucapanku?" "Iya." Ethan terdiam seraya menatap Nadya lagi. Setahunya, kata itu belum ia berikan pada Nadya. Apa mungkin Nadya belajar sendiri. Seperti tadi di bandara, ia sengaja berbicara bahasa Inggris dengan Panji, dan Nadya seolah mengerti apa yang ia dan Panji ucapkan."Apakah ayahmu ada di sini?" tanya Nadya tiba tiba, kedua matanya terbuka lebar. Rasa gugup mulai menghampirinya, ia menengok ke kanan dan ke kiri, bahkan ke seluruh ruangan itu untuk mencari keberadaan ayah Ethan."Aku harus bersiap diri menyambut kedatangan Mr. Darren Sullivan," kata Mr. Darren menyebut namanya sendiri. Ia berdiri dan pura pura merapikan diri.Ethan mengerling ke arah ayahnya, ia menggeleng melihat ayahnya yang masih memainkan drama
Nadya melangkah dengan cepat ke arah ruangan yang tampaknya merupakan ruang bersantai dengan TV flat screen besar dan lebar yang menyala."Misteeeeer, kenapa kamu di sini?" tanya Nadya dengan nada tinggi mengalahkan suara televisi.Mr. Darren berpaling dan melihat Nadya yang tampak terkejut melihat dirinya. Nadya sangat cantik, ia mengagumi gaya berpakaian calon menantunya yang elegan."Oh Nadya, I....""Tunggu." Nadya mengangkat tangannya untuk menghentikan Mr. Darren melanjutkan ucapannya. Ia menengok ke telinga kanan dan kiri Mr. Darren."Kamu tidak memakai alat penerjemah yah?" "Well, I.....""Don't worry I can speak english little bit," ucap Nadya menyengir.Mr. Darren menganga tidak percaya mendengar Nadya bisa berbahasa Inggris, pengucapannya juga seolah Nadya sudah terbiasa berbicara bahasa Inggris."Don't gape so wide, mister, it's like you're seeing a ghost," kata Nadya, ia terkekeh."Yeah, I'm seeing a ghost," ucap Mr. Darren, seulas senyum tersungging di bibirnya. Ia sena
Nadya tidak sabar untuk segera menuju ke ruang makan. Meskipun ia tidak tahu Ethan dan ayahnya sudah datang atau belum, tapi ia berharap Ethan dan ayahnya sudah datang. Ia sudah menyiapkan pakaian yang akan ia kenakan untuk bertemu dengan ayah Ethan. Celana panjang lebar warna putih berbahan chiffon dipadukan dengan blouse warna putih polos berlengan panjang, leher blouse itu membentuk V dengan beberapa lipatan rapih yang senada, blus itu juga berbahan chiffon. Nadya terlihat elegan memakai baju itu. Kali ini rambut Nadya diikat. Ia memakai softlens warna coklatnya, dan mendandani wajahnya dengan eye liner dan pelentik bulu mata. Bibirnya hanya menggunakan lip gloss yang mempertajam warna bibirnya yang pink dan membuat bibirnya basah. Ia sudah mahir bermake up namun tidak semahir Mita. Nadya melihat sekali lagi penampilannya di depan cermin. Ia mengangguk puas dengan hasil make overnya. Ia melihat alat penerjemah yang ia taruh di atas meja rias. Ia seakan menimbang untuk memakai alat