"Ti-tidak Pak, demi Tuhan saya tidak bermaksud membentak bapak." Julea menangkupkan tangannya di depan dada bermaksud meminta maaf atas kesalahannya.
Mulutnya ini memang tidak bisa diajak kompromi, Julea memang kesal pada Andrew tapi dia tidak berniat untuk membentaknya.
Sebab dia tahu apa akibatnya jika dia melakukan itu.
Andrew hendak marah dan mengomeli gadis itu sampai puas akan tetapi dering ponsel IOS miliknya memaksa dia berhenti.
Dengan cepat dia merogoh ponsel itu dari dalam saku celananya, dia menggeser tombol hijau.
Merasa mendapat keselamatan untuk kabur Julea hendak pergi secara diam-diam.
"Tetap diam di sana Julea!" Perintah Andrew lagi-lagi mutlak.
Julea mendecik ingin sekali rasanya dia mencekik leher pria itu sekarang juga. Kalau saja dia tidak hidup di negara yang menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia pasti sudah lama dia melakukan itu.
Julea tetap berdiri di tempatnya menunggu Andrew yang tengah mengangkat telfon. Pria itu berjalan mendekat ke arah jendela besar yang menyuguhkan pemandangan indah kota Jakarta di siang hari.
"Iya aku tahu," ucapnya dengan seseorang di balik telfon.
Suaranya cenderung lebih santai dan juga sopan sangat berbanding terbalik ketika dia tengah berbicara dengan para bawahannya yang ada di perusahaan itu.
"Apa? aku tidak mau melakukan hal bodoh itu lagi!" Suara Andrew melengking tinggi di ruangan itu.
Dan seperti biasa itu juga membuat Julea kaget. Ingat ini sudah ke empat kalinya Julea senam jantung selama di perusahaan ini.
"Mungkin setelah ini aku perlu datang ke dokternya jantung untuk memeriksakan organ penting ini apakah dia baik-baik saja," ucap Julea yang menundukkan kepalanya dan memandang ke dadanya seolah-olah dia bisa berbicara dengan jantungnya sendiri.
Andrew yang mulai frustasi dengan pembicaraannya di telfon mulai melirik Julea yang tengah asik bermain-main dengan jari tangannya.
Kemudian dia mendapatkan ide yang cemerlang ketika orang di balik sambungan telepon itu terus saja mendesaknya. Apalagi dia juga mendengar gumaman Julea yang menggemaskan.
"Ya ya aku pasti akan melakukannya nanti malam." Andrew menjawabnya tegas lalu dia buru-buru menutup sambungan telepon itu sepihak bahkan tanpa mendengarkan dulu respon dari lawan bicaranya.
Dia berjalan ke arah Julea yang masih berdiri di tempatnya tadi.
"Julea," panggilnya.
"Hmm iya Pak?" Julea mendongak menatapnya.
Jujur saja tinggi Julea yang tidak seberapa itu harus tersiksa jika berbicara dengan Andrew ketika berdiri. Tubuh pria itu menjulang tinggi seperti patung Liberty.
"Saya punya penawaran menarik untukmu," ucapnya sambil menaik-turunkan sebelah alisnya dan tersenyum manis.
Baru kali ini Julea melihat CEO dingin itu tersenyum.
"Apa?" Julea yang memang suka penasaran dan gampang tergiur itu langsung bersemangat.
"Jadi begini, saya akan bantu kamu mencari keberadaan sebelah sepatu mu yang hilang itu atau bahkan membelikannya yang baru dan sama persis jika kamu mau membantu saya," ucapnya cepat.
"Ck kok sama sih pak, kalau bapak mau ganti itu sepatu mending yang lebih mahal. Bapak tidak malu kalau beli harga murah?" Julea mengejek.
"Enak saja kamu! Masih mending saya beri kamu penawaran yang menguntungkan malah ngelunjak. Mau tidak?" Andrew cemberut.
"Iya-iya pak, tapi janji ya bapak bakal bantu saya cari sepatu yang sebelah itu?" Julea mengacungkan jari kelingkingnya di depan Andrew.
Pria itu melihatnya tidak mengerti, simbol apa lagi yang digunakan bawahnya sekarang.
Andrew menghela nafasnya berat. "Masih mau cari sebelah sepatumu Julea?"
"Tentu saja Pak, kan sayang kalau tidak ketemu. Yang sebelahnya masih ada di saya dan itu masih baru pak belum juga satu minggu saya pakai," kelasnya menggebu-gebu.
"Ya sudah ayo kita cari!" Andrew berjalan lebih dulu meninggalkan Julea.
Pria itu berjalan dengan langkah yang lebar-lebar dan membuta Julea tertinggal. Meski ruangannya dan meeting room itu bersebelahan tapi sebenarnya cukup jauh.
Di lantai tiga gedung perkantoran tersebut punya ruangan yang cukup luas. Hampir empat kali lipat lebar kamar Julea.
"Ya Tuhan Pak tunggu saya!" Julea lari untuk bisa berjalan sejajar dengan Andrew.
Baru saja gadis itu meleng beberapa saat saja tapi pria itu sudah berjalan cukup jauh.
"Pak Andrew sebenarnya keturunan apa sih jalannya cepet banget," gumamnya yang berusaha mengejar ketertinggalan.
Sampai di depan pintu meeting room Andrew berhenti. Dia menoleh ke arah Julea yang masih berjalan dengan nafas yang tersengal-sengal.
"Kamu pakai sneakers saja masih tidak bisa kejar saya apalagi kalau pakai heels," cibirnya saat Julea baru saja sampai di belakangnya dan tengah mengatur nafas.
Julea memajukan bibirnya lima senti dan menggerutu dalam hati. Dia lalu mengekor di belakang Andrew masuk ke meeting room.
"Di mana kamu terkahir duduk?" Andrew memperhatikan sekeliling, rasanya sangat mustahil jika ada sepatu yang tertinggal di sini.
Meeting room selalu dibersihkan oleh office boy dan tidak pernah digunakan kecuali saat ada rapat penting dengan pimpinan dan tentunya saat dia yang menggunakannya.
"Di sini pak, terkahir kali saya masuk ke ruangan ini dan pakai heels." Julea berjalan dan menunjuk kursi paling ujung yang ada di ruangan itu.
Andrew ikut memperhatikan kemana arah yang ditunjukkan olehnya. Dua lalu menoleh ke bawah meja dan mencari sepatu itu.
"Tapi tidak ada apa-apa di sana Julea," jawabnya setelah memeriksa bawah meja dan sekitarnya.
Julea yang tidak percaya langsung ikut memeriksa, dan benar saja tidak ada apa-apa di sana.
Lantai ruangan itu bersih tanpa ada satu barang pun yang tertinggal, bahkan kertas kecil saja tidak ada.
"Kantor ini selalu dibersihkan oleh office boy Julea mustahil jika ada barang yang tertinggal." Andrew mencoba berbicara dengan nada yang pelan.
Julea menarik nafasnya dalam-dalam dan mengembuskan berat. Dia akhirnya menarik kursi dan duduk di sana sambil meratapi nasibnya yang sial karena haris kehilangan sepatu baru.
"Ya sudahlah pak mungkin belum rezeki saya," ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Andrew sebenarnya iba melihat itu namun dia berusaha menutupinya. Tentu untuk menjaga image sebagai seorang CEO yang berwibawa.
Tapi mendadak ada yang janggal, kenapa sebuah sepatu bisa hilang sebelah jika sedang digunakan?
"Tunggu Julea, bagaimana bisa sepatu kamu hilang kalau sedang di pakai?" Tanya Andrew yang penasaran.
Wajah Julea memanas mendengarnya, menjawab pertanyaan dari Andrew sama saja dengan bunuh diri.
Karena saat meeting itu berlangsung Julea sempat tertidur, bahkan dia harus bertanya dengan beberapa ketua devisi lainnya karena tertinggal materi rapat.
Karena waktu itu dia masih tidak bisa memakai heels terlalu lama maka Julea melepasnya dan tidak merasa jika sepatunya itu tinggal sebelah. Kalau Julea menjawabnya jujur seperti itu maka terlihat sudah bagaimana bodohnya dia di depan Andrew.
"Saya ..." Julea bingung dia mengetuk-ngetuk meja kaca itu dengan jarinya, berharap dengan itu dia bisa menemukan jawaban terbaik.
"Apa Julea, jangan bilang saat meeting itu kamu malah tidur?" Andrew menebaknya tepat.
Hal itu tidak bisa membuat Julea berkilah lagi, dia hanya mengangguk kecil dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Ya Tuhan Julea!" Andrew kesal, dia mengacak-acak rambutnya frustrasi.
"Tapi saya juga tidak tahu pak bagaimana bisa sepatu saya hilang, walaupun saya tidur seharusnya sepatu itu masih ada. Benarkan?" Julea lagi-lagi mencari pembelaan.
Andrew diam melihat wajah tanpa dosa milik Julea yang terpampang sangat percaya diri.
"Lagi pula bapak juga harus ingat kesepakatan yang bapak buat, kalau bapak akan membantu saya mencari sepatu itu atau menggantinya."
Andrew hanya bisa geleng-geleng kepala mengetahui bagaimana sifat dari bawahnya yang bodoh bin ceroboh itu. Kalau saja dia tidak punya misi khusus, maka Andrew tidak akan Sudi berurusan lebih lama dengannya. Jika kalian pikir sikap Andrew ini karena dia peduli maka itu salah besarAndrew hanya memikirkan dirinya sendiri."Hm ya ya, baiklah karena sepatumu tidak ditemukan maka ayo kita beli." Andrew berbalik dan pergiLagi-lagi Julea selalu ditinggal olehnya dengan langkah yang terburu-buru dia akhirnya bisa mengikuti sang bosAndrew berjalan melewati ruangan lara karyawan dengan dari masing-masing devisi dengan tenang karena itu merupakan jalan utama yang biasa dia lewati."Pak kenapa kita tidak pakai lift saja sih? Kan malu pak dilihat banyak orang," Keluh Julea sambil menatap orang-orang canggungAndrew tiba-tiba berhenti begitu saja membuat Julea tidak sengaja menubruk punggung kekar miliknya. Hal itu juga terjadi tepat di depan karyawan devisi perencanaanSontak semua mata tertuj
Julea menggeleng-geleng pelan, dia masih sangat sayang dengan gajinya. Dia juga tidak mau kehilangan mereka dengan mudah setelah bekerja sangat keras.Mendapatkan jawaban yang memuaskan Andrew akhirnya tersenyum puas dan melepaskan mulut Julea yang tadi dia bekap."Bagus itu adalah jawaban yang tepat Julea," ucapnya lengkap dengan senyum manis.Julea hanya mengangguk lesu dia merutuki kebodohannya sendiri yang mau saja tergiur tawaran dari Andrew. Kalau sudah begini akan repot lagi urusannya. "Tapi Pak kenapa harus saya?" Julea menoleh hendak protes tapi Andrew sudah tidak ada lagi di sampingnya. Julea menoleh ke sana-sini untuk mencari pria yang telah membawanya, akan tetapi dia tidak menemukannya di atas metromini ini. Atau jangan-jangan dia sengaja mengerjainya dan ditinggal begitu saja?"Mbak cari pacarnya ya?" Tanya seorang kondektur yang melihat wajah kebingungan Julea. "Ah itu bukan pacar saya pak dia–""Dia sudah turun mbak, itu sedang menunggu mbak di pinggir jalan," tunj
Julea masih mengerjapkan matanya untuk kembali fokus dengan apa yang dia dengar barusan. Perempuan tadi mengatakan bahwa dia telah merebut Andrew, sedangkan kabar yang santer terdengar dari pria itu adalah dia merupakan pria lajang. "Saya tidak tahu apa yang anda katakan, tapi yang jelas saya tidak bersalah jadi berhenti memanggil saya dengan sebutan perempuan murahan!" Julea memandang perempuan itu sama sengitnya. Julea membenarkan posisi jas kerja yang dia kenakan dan mengalihkan berkas proposal yang di bawa dari tangan kiri ke tangan kanannya. "Hah! Perempuan seperti kamu memang pantas di sebut seperti itu. Memangnya sebutan apa lagui yang pantas untuk perempuan perusak hubungan orang?" Perempuan itu menunjuk wajah Julea dengan jarinya yang lentik lengkap dengan kukunya yang berkuteks.Dari penilaian Julea dia bisa tahu kalau lawan bicaranya bukan orang sembarangan. Perempuan itu bukanlah karyawan biasa seperti dirinya, dilihat dari cara berpakaiannya dan juga barang-barang yang
Marsha tertegun dia tidak bisa menjawab apapun perkataan Julea. Memang benar bahwa tidak ada alasan khusus agar bisa menjadi objek asal tuduh dari perempuan arogan seperti Pricilla. "Aku tidak tahu bagaimana bisa Pricilla tahu kalau aku pergi dengan Pak CEO," ucap Julea lirih. Marsha manggut-manggut tangannya dia letakkan untuk menopang dagunya memperhatikan Julea. Mereka berdua diam sama-sama hanyut dalam pikiran masing-masing. "Ah aku tahu!" Marsha berseru sambil memukul ringan paha Julea hingga gadis itu nengaduh mengusap-usap bekas pukulan dari sahabatnya. "Apa?" Tanya Julea masih dengan meringis menahan sakit. "Mungkin saja ada karyawan yang iri padamu Julea, dan dia memanfaatkan kejadian tadi untuk mempermalukan kamu di depan penghuni kantor ini dengan mengimpori Nona Pricilla," jelas Marsha memberikan alasan yang paling logis.Julea mengangguk mengiyakan. "Itu benar juga, tapi siapa?" Marsha menggedikan bahunya, dia tidak bisa memberikan jawaban. "Kita harus cari itu Jule
Julea mengangguk mengiyakan dia menghela nafas panjang. Kemudian menarik tasnya dan juga mengambil ponsel yang teronggok di atas meja. "Aku pergi dulu Marsha, dan kau harus ingat satu hal. Jangan pernah menceritakan hal ini pada siapapun!" Jule memperingatkan sambil menunjuk wajah Marsha. Gadis itu mengangguk-angguk patuh. Sedetik kemudian Julea berbalik dan pergi meninggalkan kantor. Saat melihat kepergian Julea banyak karyawan yang langsung menoleh pada Marsha untuk meminta penjelasan. "Kenapa Bu Wakil Katua Devisi pulang cepat, bukannya masih ada setengah jam lagi untuk bekerja. Dia juga terbiasanya lembur kan?" Tanya salah satu karyawan yang seperti juru bicara karyawan lain. Marsha memijit pelipisnya perlahan, pusing juga menghadapi sikap pada karyawan lain yang suka sekali kepo. Ingin tahu urusan orang lain dengan detail. Bahkan mereka bertanya seperti seorang wartawan saja."Aku tidak tahu, Julea hanya mengatakan kalau dia akan pergi untuk urusan penting." Marsha memberika
Andrew menaikkan sebelah alisnya tidak mengerti. Kenapa Julea tiba-tiba mengehentikan aktifitas mereka yang tanggung sekali untuk dihentikan. Kalau orang bilang, Andrew itu sudah terlanjur masuk tapi tidak ditawari duduk. Sedikit waktu lagi Andrew bisa memuaskan keinginannya mencicipi bibir manis milik Julea. "Ada apa?" Andrew bertanya pelan, dia memegang pundak Julea. Julea tampak gelisah dia menundukkan kepalanya dalam. "Saya mau ke toilet Pak," ujarnya diselingi senyum kecut. Plak! Andrew memukul jidatnya sendiri. Bisa-bisanya Julea memotong adegan romantis mereka hanya karena kebelet. "Ya sudah sana, nanti kamu malah ngompol di sini. Kan tidak lucu juga!" Andrew beralih untuk duduk di kursinya dan memasang wajah kesal. Sementara Julea langsung berlari kecil menuju toilet yang paling dekat dari tempat yang sudah Andrew pesan. Buru-buru Julea menutup pintu dan berjalan ke arah wastafel. Dia menatap pantulan dirinya di cermin, wajahnya bersemu merah. "Pak Andrew sialan! Mana
Julea mematung dia memegangi lehernya yang pasti ada jejak sialan di sana. Sementara itu Andrew yang menjadi pelaku atas bekas merah-merah itu malah menatapnya santai. "Jul kenapa malah berdiri di situ?" Andrew melambaikan tangannya agar Julea mendekat ke arahnya. Dan apa tadi yang dia katakan? Andrew memanggilnya dengan sebutan 'Jul'. Julea yang mendengarnya malah melotot tajam. Dia tidak suka di panggil seperti itu!Karena kesal Julea akhirnya mendekati Andrew dan sengaja menginjak kaki pria itu cukup keras. Andrew mengaduh karenanya dan menatap tajam wajah Julea. "Maaf nggak sengaja Pak," ucap Julea disertai senyuman mengejek. Andrew ingin sekali marah-marah padanya akan tetapi di sana masih ada pelayan dan dia juga melihat ada seorang mata-mata ayahnya yang bersembunyi di sudut ruangan itu.Dengan terpaksa Andrew akhirnya menyunggingkan senyum manis yang amat sangat dia paksakan. Tangannya justru menarik Julea yang hendak duduk. Hingga gadis itu jatuh ke pangkuannya, Julea lan
Merasa kalau Andrew mulai terbuai dengan apa yang dia lakukan Julea justru berhenti dan langsung berdiri. Dia tersenyum penuh arti pada pria yang sangat dia jauhi sebelumnya. "Sudah Andrew, aku sudah melakukan apa yang kamu minta." Julea mengatakannya santai dia juga sengaja mengarahkan pandangannya ke arah di mana sang mata-mata berada. Julea sudah melihat ada yang mengawasi mereka saat melakukan sedikit permainan panas dengan Andrew. Sedangkan pria itu justru sedang mengatur nafasnya yang sempat tersengal karena ulah Julea. "Julea kamu ini kalau melakukan apa-apa suka yang setengah-setengah, ini belum tuntas malah udahan!" Andrew menggerutu dan mengatakan uneg-unegnya dengan jujur. Padahal dia tipe orang yang punya gengsi besar. Tapi kali ini tidak di temukan sifat yang seperti itu dalam dirinya. "Loh memangnya kamu mintanya bagaimana?" Julea mencondongkan tubuhnya ke arah Andrew yang masih duduk, keringat bercucuran di keningnya hingga membasahi pelipisnya. Andrew diam k