Share

Prolog 2 - Kehancuran Klan Demonia

Valeoryea Series 1

Prince of The Darkness

***

8 bulan setelah kelahiran bayi tersebut.

Kobaran api kian membesar beriringan dengan gesekan pedang yang saling beradu. Teriakan penuh kesakitan dengan suara patahan tulang belulang yang mengiris hati. Darah-darah yang telah menyatu dengan tanah itu menimbulkan suara cipakan yang khas yang membuat suasana kian mengerikan. Tak terhitung berapa banyak prajurit dan rakyat yang telah gugur dengan anggota tubuh yang sudah terlepas entah kemana.

Kacau sekali.

Malam ini, malam dimana Klan Demonia ada untuk terakhir kalinya. Bangsa demon, bangsa berdarah dingin yang sialnya terkuat itu kedepannya mungkin hanya tinggal sejarah. Atau bahkan, dongeng belaka? Kastil Fhrax yang telah ambruk, rumah-rumah rakyat Demonia, semuanya. Tinggal menunggu waktu kapan akhirnya akan menyatu dengan tanah.

Di antara reruntuhan bangunan kastil yang telah hancur itu, seorang wanita tengah menangis, berteriak pilu. Ia terus memeluk bayi mungilnya. Ekor matanya tak sanggup melirik kearah kanan, tak jauh darinya, sang suami, Lord Riozar terbaring bersimbah darah dengan mata yang terbuka, tangan kiri terpotong, dan seluruh tubuhnya sudah terbujur kaku. Sebuah belati emas tertancap penuh, tepat di jantungnya.

Wanita itu kembali menangis, ia berteriak sejadi-jadinya. Mengutuk apa yang telah terjadi padanya, pada suaminya, pada kerajaannya, bangsanya, rakyatnya. Lalu, ia menatap bayi kecilnya yang begitu tenang, seolah tak terjadi apa-apa. Bagaimana kedepannya bayi kecil ini? Ia menatap langit yang begitu pekat, bertanya apakah masih ada harapan? Putera pertamanya?

Rasanya baru saja ia bercengkrama dengan pria yang dicintainya, saling memimpikan masa depan yang cerah, menyaksikan putera pertamanya yang sudah lama mereka tunggu tumbuh menjadi pemuda yang hebat. Saling bergenggaman, menatap penuh haru melihat puteranya tersenyum bangga pada mereka.

Sekarang ....

Apa?

Tanpa sadar jari-jari tangannya terkepal, giginya bergemeletuk. Iris birunya yang sejernih lautan itu berkilat tajam, menyala terang. Lalu tak lama ia menyeringai, penuh hasrat, dendam. Namun saat ia melihat lagi bayi mungilnya, ia tersenyum, penuh kelembutan dan keanggunan. Telapak tangannya berpendar biru saat ia mengelus pipi mulus bayi itu yang kini menatapnya senang. Lagi-lagi air mata lolos tanpa bisa ia tahan.

"Arion ..., Sayang ..., sayangnya Ibu, Ayah, dan seluruh bangsa demonia, hiduplah dengan baik. Hiduplah di dunia baru, dunia yang lain. Tumbuhlah di sana, Putera ku. Maafkan Ibu karena tidak akan bisa menemani dan menjagamu lagi Nak. Jadi Ibu mohon padamu Sayang, tolong ..., tumbuhlah, karena kau memang pantas merasakannya. Kau berhak!"

Ia terisak keras. Lalu melihat ke kiri, dimana sang abdinya telah mati tertimpa puing-puing kastil. Bibirnya bergerak mengucapkan suatu kalimat, perlahan cahaya biru bercampur hitam pekat muncul mengelilingi tubuh sang abdi, hingga terbentuk sebuah portal. Ia terus sibuk dengan dirinya tak peduli darah mulai mengalir dari hidung, telinga bahkan kedua mata indahnya. Kulit halusnya perlahan membiru, dan urat-urat nadinya menghitam. Ia terus menerus melanjutkan kegiatannya. Sambil tersenyum, menatap putera kecilnya untuk terakhir kalinya.

Ia menatap seorang wanita dihadapannya yang tak lain adalah abdinya. Wanita itu kebingungan sekaligus tercengang. Tak begitu paham apa yang telah terjadi. Di sampingnya terdapat dua undead yang telah dipanggil dan dibangkitkan.

"Deborah, jagalah puteraku. Penerusku dan Riozar, suamiku. Tolong rawatlah dia dengan baik." Sang ratu tersenyum begitu indah. Namun, tatapannya tak berbohong, ia nampak sangat tersiksa.

Deborah berusaha mencegah agar apa yang dilakukan ratunya tidak terus berlanjut. "Y-Yang Mulia Queen ..."

"Tumbuhlah menjadi pria yang hebat, Arion Giovarskèè Alexius Vhrizt. Ibu dan Ayah, akan melihatmu dari atas sana."

Sebuah tato berukiran rumit muncul di dada sang bayi, bercahaya putih, seterang rembulan di malam purnama. Matanya tak lama tertutup. Bayi kecil itu tertidur lelap dalam gendongan sang ibu.

Untuk terakhir kalinya.

"Pergilah .... Jaga puteraku baik-baik. Ini perintah terakhirku, dan juga Lord mu."

"Ta-tapi Yang Mulia ...." Lagi, belum selesai ia bicara perkataannya langsung terpotong dikarenakan si bayi dipindahkan ke gendongannya oleh sang ibu.

Wanita itu yang tak lain adalah ratu bangsa Demonia mengangguk pelan, tersenyum meyakinkan. Tanpa menunggu waktu lagi ia mendorong Deborah yang tengah menggendong bayinya ke dalam portal yang telah diciptakannya. Sampai akhirnya ... lenyap, tanpa jejak.

Ia tersenyum pedih, menatap udara kosong dihadapannya. Tersisa dua undead, mereka membungkuk hormat sampai kemudian berubah menjadi replika Deboran dan bayi Arion ... yang seolah telah mati.

Sakit ....

Ia beralih pada Riozar, menatap dalam kedua mata beriris emas yang selalu dia rindukan. Dengan sisa tenaganya, penuh rasa getir, ia menyeret tubuh lemahnya, menatap pria yang sangat ia cintai tersebut. Menutup lembut netra yang masih terbuka, kemudian mengecup kening, kedua mata, dan bibir suaminya, untuk terakhir kalinya. Memeluk begitu erat seakan tak akan melepaskan.

Tak tahan, air mata kembali membanjiri wajah cantiknya yang telah kotor oleh debu.

Demi apapun, ia benar-benar membenci dirinya yang sekarang, tak mampu berbuat apa-apa untuk pria yang dicintainya. Tapi itu tak membuatnya terlalu sedih, setidaknya ia telah berkorban untuk buah hatinya, buah cintanya dengan sang suami, rajanya. Ya, tak apa.

Ia ... telah rela.

"Oh, oh, oh, lihatlah betapa romantisnya pasangan ini"

Dia tidak peduli saat seorang wanita bergaun hijau lumut melangkah anggun mendekatinya. Di belakangnya terdapat seorang gadis berjubah putih bersih yang amat cantik dengan tanda bintang di dahinya hanya diam, tanpa ekspresi.

Ratu Klan Demonia yang masih setia memeluk jasad suaminya itu menatap tempat sebelumnya dimana Deborah dan bayinya berada.

Diam-diam ia menyeringai puas, usahanya berhasil. Dengan begini tak akan ada yang tahu bahwa puteranya masih hidup.

Ya, ditempat itu terdapat Deborah dan si kecil Arion yang telah mati secara tragis dan mengenaskan. Namun sebetulnya itu adalah tubuh dua undead yang sengaja ia bangkitkan sebelumnya untuk membantunya menyelesaikan misi terakhir.

"Kira-kira siapa yang telah membunuh bayi mungilmu yang terkutuk itu, Cheressa? Sepertinya kita semua harus memberikan penghargaan yang sangat besar padanya."

Wanita bergaun hijau lumut itu terkekeh senang melihat bayi mungil mengenaskan yang telah tergeletak tak berdaya. Tak jauh dari mayat bayi itu tampak mayat seorang pelayan yang sama menyedihkannya. Ia lalu melihat pria tampan tak jauh darinya.

"Aku, tentu aku yang telah membunuh bayi sialan itu Mell... H, hahahaha!!"

Cheressa menoleh, menatap pria bermata sehitam jelaga yang tengah tertawa setan saat ini. Kedua matanya membulat sempurna, tak percaya dengan apa yang telah dikatakan oleh pria itu.

'Apa maksudmu? Kenapa kau berbohong? Kau berusaha melindungi putraku?'

Ia terkejut saat pria itu menatapnya, lembut, seolah berkata, 'tenanglah Queen, dan maafkan atas kata-kataku barusan ya?'

Cheressa melihat ada sebuah kesungguhan dan ketulusan yang amat nyata di kedua iris sehitam jelaga itu.

Mengapa?

"Serius? Kau berhasil Ken?!"

"Tentu saja. Kau lupa aku siapa, heh?" Pria itu tertawa jumawa. Namun lagi-lagi Cheresa merasakannya. Tawanya itu seolah mengandung kemarahan sekaligus penyesalan yang amat dalam

Wanita bergaun hijau itu tertawa keji, sedangkan gadis berjubah putih di belakangnya menyeringai puas.

Tiba-tiba wanita bergaun hijau itu menjambak sang ratu Demonia, membuat pria itu terkejut, nyaris saja berusaha menghentikan. Namun ia segera menetralkan ekspresinya menjadi datar.

Cheressa diam, energinya sudah benar-benar habis. Ia sudah tak dapat berbuat apa-apa lagi. Pasrah.

"Kau pikir aku akan membuatmu mati dengan tenang, Cheressa?! Sekarang, nikmatilah kematianmu, Jalang ..., hahahaha ...!"

Wanita itu menjambak rambut indah Cheressa sampai beberapa helainya tercabut. Ia mencakar wajah cantik itu dengan kukunya panjangnya. Cheressa mencoba menatap pria bermanik gelap yang masih membuatnya tak mengerti. Namun ia sudah sampai batasnya. Hingga wanita wanita yang menyiksanya tak menyadari bahwa Cheressa telah pergi menyusul sang suami dengan wajahnya yang tenang.

"Hah, kenapa kau cepat mati Sialan?! Padahal aku ingin sekali melempar tubuh mu pada pelayan-pelayanku! Kau tahu, kau sangat pantas menjadi pemuas nafsu bejat mereka! Tapi apa?! Kau malah mati lebih cepatT?! Dasar wanita sialan!"

"Mel, sudah, hentikan! Tak ada gunanya kamu melakukan hal tersebut pada tubuh yang sudah tak bernyawa! Hentikan ...!" titah si iris sehitam jelaga yang sebelumnya dipanggil Ken.

Tubuh Cheressa ditendang begitu saja. Kemudian mereka pergi dari sana.

Di tengah langkahnya Ken berusaha melirik jasad Cheressa dan Riozar, kedua tangannya mengepal erat. Sekilas kedua matanya berkilat semerah darah. Namun tak ada satupun yang menyadarinya.

Malam penuh darah itu berlalu. Membuat sorak gembira menggema di seluruh tanah Demonia yang hancur. Akhirnya mereka bisa bernapas lega. Karena, sang pangeran terkutuk yang akan membawa malapetaka itu telah pergi. Bonusnya, klan itupun luluh lantah.

Sungguh, bayi yang benar-benar tragis.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status