Mobil Andrew terhenti tepat didepan pintu gerbang rumah Shiya. Andrew pun segera turun untuk membukakan pintu untuknya, sementara Shiya masih sibuk melepas sabuk pengaman yang melilit tubuhnya.
"Terima kasih." Shiya menurunkan kakinya setelah Andrew membukakan pintu untuknya.Tanpa mereka sadari, ternyata ada seseorang yang memperhatikan mereka dari kejauhan. Ia melipat kedua tangannya didepan dada dan menyandarkan tubuh tegapnya di pintu gerbang, pertanda sudah cukup lama menunggu kedatangannya."Bagaimana perasaanmu?" Shiya memutar kepalanya mencari sumber suara tersebut sesaat setelah dirinya keluar dari dalam mobil."Ka-kau?" Shiya membulatkan kedua matanya melihat Baro yang sudah berdiri di gerbang rumahnya."Terima kasih sudah membawanya pulang." Baro berjalan mendekati Andrew yang masih mematung di samping pintu mobilnya. Baro juga menyunggingkan senyuman dan mengulurkan tangan padanya."Tu-Tuan Baro?" Andrew mPagi itu, Langit tampak gelap. Sama seperti pakaian yang membalut seluruh tubuh wanita hamil itu. Gumpalan awan berlomba-lomba menutupi matahari yang hendak memperlihatkan sinarnya ke Bumi.Shiya berdiri sejenak diambang pintu masuk pemakaman itu. Matanya berkaca-kaca, namun tertutup oleh kaca mata berwarna hitam dengan ukuran cukup besar membuat tak seorang pun bisa melihat tangis kesedihannya.Ia membawa dua bucket bunga berukuran besar dalam pelukannya, pelan ia melanjutkan langkahnya memasuki pemakaman itu. Langkahnya terhenti tepat di depan dua makam yang berjajar. Ia menatap kedua batu nisan itu dengan penuh luka.Dengan tubuh gemetar, ia meletakkan bunga yang dibawa pada masing-masing makam. Tangisnya tak bisa dibendung lagi membuatnya kini bersimpuh didepan kedua makam itu."Ma, Pa. Jika kalian masih ada, kalian pasti tidak akan membiarka
"Saya rasa bunga ini paling cocok untuk Nona Shiya Tuan." John kembali berbisik ditelinga Baro."Baiklah, aku akan ambil bunga ini." kini Baro semakin yakin saat mendapat bisikan dari assistantnya itu."Emmm tapi harganya cukup mahal Tuan. Perlu 72juta rupiah untuk satu ikat." wanita itu ragu-ragu untuk mengatakan harganya yang mahal. Padahal uang sebanyak itu bukanlah apa-apa bagi Baro."Haruskah aku beli 10 ikat John?" Baro kembali meminta pendapat pada assistantnya."Jangan Tuan. Nona Shiya tidak akan suka jika terlalu berlebihan, lebih baik beli satu paket saja." Baro menganggukkan kepalanya."Baik, berikan aku satu ikat dengan kualitas terbaik!" mendengar ucapan Baro, wanita itu membulatkan kedua matanya terlihat gembira."Benarkah? baik, baik. Tunggu sebentar Tuan, saya akan segera menyiapkannya untuk anda." wanita itu segera menghilang dari pandangan kedua pria itu secepat kilat.Selang beberapa saat
Sepanjang perjalanan, Ben terus memandangi bungkusan kecil yang ada di tangannya. Hingga tanpa ia sadari, ternyata dirinya sudah berada di depan pintu ruangan Frans. Ben pun segera menyembunyikan bungkusan itu di belakang tubuhnya. Ia kemudian membuka pintu yang ada di depannya. "Permisi, Tuan. Mobil anda sudah siap." "Baiklah Ben, ayo kita pergi!" Frans bangkit dari tempat duduknya, tak lupa ia juga meraih jas yang ia letakkan di kursinya. "Baik, Tuan." Ben berjalan mengikuti langkah Frans di belakang hingga sampai di mobilnya. Kedua pria itu masuk ke dalam mobil lalu melajukannya meninggalkan perusahaan. "Tunggu-tunggu Ben! Berhenti di toko bunga itu!" Frans tiba-tiba meminta Ben untuk menghentikan mobilnya saat melewati sebuah toko bunga di pinggir jalan. "Baik Tuan." Ben menganggukkan kepala mengiyakan perintah Frans. "Ayo! Bantu aku memilih bunga!" Frans keluar dari mobilnya, membuat Ben segera mengikutinya. Tring!
"Bi Asiiiiih!" wanita paruh baya itu segera menghampirinya."Taruh bunga ini pada tempat yang semestinya!" Shiya menyerahkan bunga yang ada ditangannya itu pada Bi Asih, tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Frans dengan seringai di bibirnya. Baro pun melukiskan senyuman diwajahnya setelah sebelumnya terlihat kesal."Baik Nona." Bi Asih meraih bunga itu secepat kilat."Apa kau tak mengizinkanku duduk?" penolakan bunga darinya itu rupanya tak membuat Frans menyerah. Kini ia memasang muka tebalnya."Kurasa kau sibuk. Lagipula aku tidak ingin istrimu salah paham. Bukan begitu Ben?" Shiya melemparkan tatapan intimidasi pada Ben."Benar Nona. Jadwalnya penuh hari ini hahaha." Ben berusaha mencairkan suasana tegang di ruangan itu."Bukankah ini acara untuk bayiku? akulah ayah dari bayi didalam kandungannya." Frans benar-benar pantang menyerah.John dan Andrew saling berbisik. "Sepertinya kau salah paham Frans
Setelah sekian lama, akhirnya tiga pria tampan itu pergi ke club malam termewah di kota. Kedatangan mereka tentu saja menjadi pusat perhatian. Tiga pria tampan yang memiliki pengaruh besar di kota bersatu, sungguh pemandangan yang sulit ditemukan. "Selamat datang, Tuan. Ruangan terbaik di club ini sudah kami siapkan." Seorang staff menyambut kedatangan mereka dengan sopan dan ramah. "Tidak perlu! Malam ini kami akan duduk di Bar saja." Mendengar ucapan John, staff itu menundukkan badannya hormat. Sedangkan Ben dan Andrew mengacungkan kedua ibu jarinya pada John, menyetujui keputusannya. Mereka berdua pun melingkarkan tangannya di leher John dan segera membawanya masuk ke dalam bersama-sama. Mereka bertiga terlihat sangat akrab, seakrab lantunan musik yang menyatu di telinga semua orang yang ada di dalamnya. "Cepat sterilkan Bar!" Manager club itu berteriak pada petugas keamanan sebelum ketiga pria itu sampai di bar. "Huh! Kenapa mereka tidak bisa bers
Perkataan Shiya berhasil membuat hati Frans seperti di sayat-sayat. Kini ia baru menyadari bahwa dulu perasaan Shiya memanglah tulus kepadanya. Penyesalan yang terasa begitu kuat itu membuat kedua matanya berkaca-kaca.Sedangkan, Baro yang berdiri didepan mobilnya itu terlihat menyunggingkan senyuman menatap Shiya. Sikap Shiya benar-benar membuatnya bangga."Bi Asih! apa Bibi baik-baik saja?" Andrew berjalan menghampiri ketiga wanita itu. Memecahkan ketegangan yang terjadi didepan rumah itu."Tuan Andrew?" Andrew menarik Bi Asih yang berdiri diantara dua wanita itu agar menyingkir. Kemudian ia menggantikan tempat Bi Asih yang sebelumnya. Bukannya berdiri didepan Lucy, Andrew justru berdiri didepan Shiya membuat Lucy yang merasa dirinya lebih kenal dengan Andrew itu membulatkan kedua matanya heran."Andrew? apa yang kau lakukan disini?" Lucy mengerutkan keningnya menatap Andrew yang tengah berdiri dihadapannya. Rupanya ia belum sadar ada be
Brak!Saat mobil baru saja berhenti dihalaman rumah keluarga Dimejo. Lucy segera turun dan menutup pintu sangat keras tanpa menunggu suaminya. Ia melangkahkan kaki sangat cepat memasuki rumah itu."Pergilah!" Bram menyahutinya dengan anggukan kepala. Frans kemudian turun dari mobil itu. Ia pun melangkahkan kakinya mengikuti Lucy setelah mobil Bram pergi."Kau yang dulu kukenal adalah gadis yang baik hati." Frans langsung menghujam Lucy dengan suara yang menggelegar saat keduanya sampai diruang tamu, membuat semua pelayan dirumah itu segera menyingkir tak ingin menyaksikan pertengkaran yang terjadi pada majikannya itu."Kenapa aku harus berbaik hati?" Lucy menimpali perkataan Frans dengan tenang."Aku sudah bekerja keras menjaga hubungan kita selama sepuluh tahun terakhir. Dan sekarang aku berada dipuncak tujuanku. Tapi tiba-tiba suamiku mencintai mantan istrinya kembali, ditambah orang yang kucintai tak menginginkanku lagi. Lalu
Setelah bergulat di dapur selama beberapa jam. Kini Shiya sedang sibuk mengemas makanan yang selesai ia buat untuk mereka bawa ke taman."Pergilah panggil Hans! Kita sudah siap." Baro menjawabnya dengan anggukan kepala. Ia kemudian berlalu pergi meninggalkan Shiya yang sedang merapikan tempat makanannya di dapur.Beberapa saat kemudian Baro kembali muncul didapur menggandeng pria kecil dengan tangan kanannya."Ayo kita berangkat sekarang!" Hans melepaskan tangannya dari genggaman Baro. Pria kecil itu berlari mendekati Shiya dan menarik tangannya, tak sabar untuk membawanya keluar dari rumah itu. Baro pun segera meraih bungkusan makanan yang masih tergeletak dimeja. Ia kemudian segera berjalan keluar mengikuti Shiya dan Hans.Raut wajah pria kecil itu terlihat begitu riang, seakan menyihir semua orang yang menatapnya untuk ikut merasakan kebahagiaannya. Selama perjalanan pun tak henti-hentinya ia bernyanyi, bercerita dan sesekali menanyakan