“Dan untukmu, Laras…” suaranya rendah, bergetar halus namun tajam seperti pisau yang baru diasah, “aku tidak akan mengusirmu atau menceraikanmu. Tapi jangan salah sangka dulu. Ini bukan berarti aku memaafkan kesalahanmu.”
Laras tercekat, napasnya tertahan di antara kelegaan dan kehancuran. Setidaknya, bayang-bayang kehilangan suami dan rumah tangganya tak akan segera menelannya. Ia menunduk, air matanya menetes ke lantai, membentuk lingkaran kecil yang mencerminkan wajahnya yang remuk. “Terima kasih, Mas… terima kasih,” gumamnya pelan, suaranya penuh harap yang rapuh, seolah angin sepoi pun bisa mematahkannya.
Damar tertawa kecil, suara itu pendek dan sinis, mengiris udara seperti cambuk. “Jangan terlalu senang, Laras. Jangan kira aku akan diam saja setelah semua yang kau lakukan padaku.” Ia melangkah mundur, pundaknya tegak namun matanya penuh bayangan gelap. “Aku tidak menceraikanmu atau mengusirmu karena aku ingin melihatmu menderita langsung. Mulai sekarang, jangan harap aku akan bersikap manis lagi padamu. Selama kau tetap di sini, aku akan memastikan hidupmu penuh dengan rasa sesal.”
Senyum kecil Laras langsung sirna, digantikan oleh getaran ketakutan yang merambat di tulang punggungnya. Ada kilatan dingin di mata Damar yang belum pernah ia lihat sebelumnya—bukan lagi cinta, bukan lagi kelembutan, melainkan dendam yang membara perlahan. “Baik, Mas…” jawabnya dengan suara serak, hampir tenggelam dalam isakan yang ia tahan. “Kalau memang kamu menganggap aku pantas diperlakukan seperti ini, aku akan menerimanya. Aku hanya berharap… suatu saat kamu akan sadar bahwa aku tidak bersalah, bahwa aku telah difitnah…” Matanya melirik tajam ke arah Ratna dan Raka, yang berdiri tak jauh dengan ekspresi penuh kemenangan.
Ratna mendelik, sorot matanya penuh kebencian yang membakar. Dalam sekejap, ia melangkah mendekat, tumit sepatunya mencium lantai dengan bunyi keras yang menggetarkan. Tanpa peringatan, tangannya terangkat, dan tamparan mendarat telak di pipi Laras, memotong kata-katanya seperti pisau memotong tali. “Jangan kurang ajar, Laras!” bentaknya, suaranya menggema penuh amarah yang tak terkendali. “Berani-beraninya kau bicara seolah kami memfitnahmu! Mana buktinya? Jangan asal tuduh kalau tak punya bukti apa-apa di tanganmu!”
Laras memegang pipinya yang memanas, rasa perih menyebar hingga ke tulang. Namun, matanya tak goyah—ia menatap Ratna dengan keteguhan yang lahir dari kepedihan. “Ibu… mungkin sekarang aku belum bisa membuktikan apa pun pada Mas Damar,” ucapnya, suaranya gemetar namun penuh keyakinan, “tapi aku percaya, suatu saat kebenaran akan terungkap. Entah kapan, tapi aku yakin itu akan datang.”
Raka tertawa kecil, suara itu penuh ejekan yang menusuk. “Teruslah bermimpi, Laras—” Ucapannya terpotong oleh teriakan Damar yang tiba-tiba mengguncang ruangan.
“Cukup!” Suara Damar meledak seperti petir, menghentikan segalanya dalam sekejap. Ia memijat keningnya dengan jari-jari yang menegang, wajahnya penuh kelelahan yang teramat dalam. “Aku sudah muak dengan semua perdebatan ini!” Tanpa menunggu respons, ia berbalik menuju pintu, langkahnya cepat dan tegas, seolah ingin melarikan diri dari neraka yang ia ciptakan sendiri.
Laras bergerak cepat, tangannya terulur mencoba menahannya. “Mas Damar, kamu mau ke mana? Ini sudah malam… kamu baru pulang dari luar kota, istirahat saja di rumah…” Suaranya penuh keprihatinan, meski nada dingin Damar masih bergema di telinganya.
Damar berhenti sejenak, hanya meliriknya dengan sorot mata yang kosong. “Tidak usah pedulikan aku, Laras. Urus saja dirimu sendiri.” Tanpa sepatah kata lagi, ia melangkah keluar, pintu tertutup dengan bunyi pelan yang terasa seperti palu menghantam hati Laras.
Ruang tamu kembali sunyi, hanya suara gemerisik angin malam yang menyelinap melalui celah jendela. Laras terduduk, tubuhnya lemas seolah tulang-tulangnya telah mencair. Ratna dan Raka saling berpandangan, senyum kemenangan mereka bersinar dalam kegelapan, penuh kepuasan yang tak tersembunyi. Ratna melangkah mendekat, menunduk hingga wajahnya hanya beberapa inci dari Laras yang masih terpuruk di lantai. “Laras, Laras…” ucapnya dengan nada manis yang dipenuhi racun, “akhirnya Damar membencimu juga. Jadi sahaku selama ini tak sia-sia.”
Laras mendongak, matanya membara di balik air mata yang menggenang. “Aku tahu semua ini ulah Ibu,” semburnya, suaranya penuh kemarahan yang bercampur kepedihan. “Tapi kenapa, Bu? Kenapa Ibu tega memfitnahku begitu kejam?”
Ratna tersenyum licik, lalu tiba-tiba tangannya mencengkeram rambut Laras dengan kasar, menjambaknya hingga kepala Laras terangkat. Napasnya terasa panas di wajah Laras saat ia berbisik, “Karena aku sangat membencimu.” Kata-kata itu keluar seperti ular yang menyelinap, penuh dendam yang hidup. “Seharusnya kau tak pernah masuk ke keluarga ini. Kau sudah menghancurkan semua rencanaku.”
Laras mengerang, rasa sakit di kulit kepalanya menyengat, tapi ia tetap bertanya dengan suara lemah namun penuh keberanian, “Rencana? Rencana apa yang Ibu maksud?”
Ratna mengeratkan genggamannya, matanya menyipit penuh kebencian. “Itu bukan urusanmu. Yang jelas, aku tak akan puas sampai kau dan anak harammu itu pergi dari sini.” Suaranya dingin, setiap kata terasa seperti duri yang menusuk jantung.
Laras tersentak, kata-kata itu menghantamnya lebih keras daripada tamparan sebelumnya. “Ibu… bagaimana bisa Ibu bilang begitu? Indira adalah cucu Ibu sendiri. Dia darah daging Damar,” ucapnya terbata, air mata kembali mengalir.
Ratna tersenyum sinis, melepas rambut Laras dengan dorongan kasar hingga tubuhnya tersungkur lagi. “Anak itu bukan cucuku. Damar juga bukan darah dagingku. Anakku hanya satu—Raka. Damar hanyalah anak tiri yang aku benci setiap detik keberadaannya.”
Laras menggeleng, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “A… apa? Damar bukan anak kandung Ibu?” Matanya melebar, potongan-potongan teka-teki mulai bersatu. “Jadi itu alasan Ibu tak pernah menyayangi Indira?”
“Benar sekali,” sambar Ratna, suaranya penuh keangkuhan. “Aku takkan pernah menganggap anak dari perempuan kampungan sepertimu sebagai keluargaku. Kalian tak pantas ada di sini.” Ia mencondongkan tubuh, wajahnya begitu dekat hingga Laras bisa merasakan hawa kebencian yang memancar. “Aku belum puas, Laras. Aku ingin melihatmu merana. Aku ingin kau tahu rasanya hidup di neraka.”
Tiba-tiba, suara lembut memecah kegelapan itu. “Nenek… apa yang Nenek lakukan pada Ibu?” Indira berdiri di tangga, boneka kesayangannya terjepit erat di pelukannya. Matanya yang polos berkaca-kaca, suaranya bergetar antara ketakutan dan keberanian kecil. “Lepaskan Ibu! Jangan sakiti Ibu!”
Ratna mendengus, melepaskan Laras dengan gerakan kasar, lalu meluruskan tubuhnya. “Kau beruntung anak kampunganmu itu datang menyelamatkanmu,” ucapnya dengan nada penuh amarah. “Kalau tidak, sudah kugantung kau di luar!” Ia menoleh ke Raka, yang tersenyum puas di belakangnya. “Ayo, Raka. Biarkan dia meratapi neraka yang akan menantinya.” Mereka berdua melangkah pergi, meninggalkan ruangan dengan langkah penuh kemenangan.
Indira berlari kecil ke arah Laras, memeluknya erat dengan tangan-tangan mungilnya. “Ibu… Ibu tidak apa-apa, kan? Kenapa Nenek bisa sejahat itu sama Ibu?” tanyanya, suaranya pecah oleh tangis yang ia tahan.
Laras menarik napas dalam, menyembunyikan luka di hatinya dengan senyuman tipis. “Ibu baik-baik saja, sayang,” ucapnya lembut, membelai rambut Indira dengan tangan yang masih gemetar. “Tadi Nenek cuma bercanda. Sudah, lupakan saja, ya? Ayo kita tidur lagi.” Ia menggenggam tangan putrinya, membawanya kembali ke kamar dengan langkah pelan, meski hatinya terasa hancur berkeping-keping.
Keesokan paginya, sinar mentari menyelinap malu-malu melalui jendela, namun tak mampu menghangatkan suasana rumah yang penuh ketegangan. Laras terbangun dengan hati yang berat, bayangan percakapan semalam dengan Damar dan Ratna masih menghantuinya. Damar belum pulang, dan kekosongan itu terasa seperti lubang yang menganga di dadanya. Meski begitu, ia menarik napas dalam, menguatkan diri demi Indira—cahaya kecil yang menjadi alasannya bertahan.
Saat jarum jam menunjukkan pukul tujuh, Laras turun ke dapur, tangannya sibuk menyiapkan sarapan seperti biasa. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, namun tak ada kehangatan yang biasanya menyertai pagi-pagi mereka. Ia berharap Damar akan muncul di pintu, tersenyum seperti dulu, dan mereka bisa duduk bersama menikmati waktu sederhana itu. Setelah meja terisi piring-piring berisi makanan, ia memanggil Indira dengan suara yang ia usahakan ceria. “Indi, sayang, ayo sarapan!”
Indira turun dengan langkah kecil, matanya masih mengantuk namun tersenyum kecil saat melihat ibunya. Mereka duduk bersama, sendok dan garpu mulai bergerak, ketika suara langkah berat mendekat dari arah pintu. Laras menoleh, jantungnya berdegup kencang—apakah itu Damar? Namun, harapannya langsung sirna saat Ratna muncul di ambang pintu dapur, wajahnya masam dan sorot matanya penuh niat buruk.
Ratna berdiri tegak, tangannya terlipat di dada, menatap Laras dengan senyum tipis yang penuh makna. “Pagi yang indah, bukan?” ucapnya, nada suaranya manis namun mengandung ancaman yang terselip rapi. Laras menelan ludah, tangannya mencengkeram tepi meja, tahu bahwa pagi ini tak akan berjalan damai seperti yang ia harapkan. Di sampingnya, Indira menunduk, tangannya berhenti menggenggam sendok, merasakan ketegangan yang kini kembali menyelimuti mereka.
Di ruang tamu kediaman Damar, suasana terasa berat dan penuh ketegangan. Keluarga berkumpul setelah kunjungan polisi yang membawa kabar bahwa Damar masih belum ditemukan pasca-kecelakaan tragisnya. Doni duduk di sudut sofa, wajahnya pucat, matanya kosong menatap lantai. Meski hubungannya dengan Damar tak pernah dekat, ada rasa kehilangan yang menggerogoti hatinya. Bagaimanapun, ia selalu menganggap Damar sebagai ayahnya, tanpa tahu kenyataan pahit bahwa ia bukan anak kandung Damar. Sofia, dengan wajah penuh keprihatinan, memeluk Doni erat, mencoba menenangkan anaknya. “Doni, sabar, ya, Sayang,” bisiknya, suaranya lembut namun bergetar. “Kita harus berdoa supaya papamu cepat ditemukan. Papa pasti kuat, dia akan baik-baik saja.” Ia mengusap punggung Doni, berharap bisa meredakan kesedihan yang terpancar dari wajah anaknya. Raka, yang berdiri tak jauh dari mereka, mengamati Doni dengan perasaan rumit. Melihat anak kandungnya—yang tak pernah tahu kebenaran tentang ayah sejatinya—begitu
Damar mengemudikan mobilnya dengan pikiran yang kacau, kata-kata Indira masih bergema di kepalanya seperti lonceng yang tak henti berdentang. “Sebaiknya Anda cari tahu, apakah anak yang selama ini Anda akui sebagai anak kandung Anda justru bukan anak Anda.” Apa maksudnya? Apakah Indira hanya mempermainkannya, melempar kata-kata penuh dendam untuk membingungkannya? “Dia membenciku,” gumam Damar, jari-jarinya mencengkeram kemudi lebih erat, matanya menyipit menatap jalan yang mulai sepi. “Tapi… bagaimana jika dia tahu sesuatu yang tidak kuketahui?” Keraguan itu seperti duri, menusuk-nusuk pikirannya, membuatnya tak bisa fokus. Jalanan di depannya membentang lenggang, hanya dikelilingi pepohonan tinggi dan semak belukar di kedua sisi. Sinar matahari senja menyelinap di sela-sela daun, menciptakan bayang-bayang yang bergoyang di aspal. Damar, tanpa sadar, menekan pedal gas lebih dalam, mobilnya melaju kencang, mencerminkan kegelisahan yang membuncah di dadanya. Ia tak memperhatikan bahwa
Damar menarik napas dalam, menyadari percakapan ini akan menjadi salah satu yang tersulit dalam hidupnya. Ia menatap Indira, berharap ketulusannya tersampaikan. “Ayah ingin mencari kebenaran, Indira,” ucapnya, suaranya penuh ketulusan namun bergetar karena beban emosi. “Ayah mulai ragu dengan semua yang dulu Ayah percaya. Ayah perlu tahu… apakah kamu benar-benar anakku. Dan jika iya, Ayah ingin meminta maaf—kepadamu, kepada ibumu—atas semua yang sudah Ayah lakukan.” Kata-kata itu, yang dimaksudkan sebagai ungkapan penyesalan, justru seperti percikan api di tumpukan kayu kering. Wajah Indira memerah, matanya menyala penuh kemarahan. Ia mengepalkan tangan di atas meja, dokumen yang tadinya ia pegang terlepas dari genggamannya. “Jadi, kalau saya bukan anak Anda, Anda tidak akan meminta maaf atas apa yang Anda dan keluarga Anda lakukan pada kami?” bentaknya, suaranya tegas namun penuh luka yang terpendam. “Kalau Anda masih percaya Ibu saya selingkuh di belakang Anda, sebaiknya Anda pergi
Keesokan paginya, Damar bangun dengan tekad yang kian membara. Meski tubuhnya masih terasa lemah, pikirannya tak bisa diam. Ia harus menemukan Faris, kunci untuk mengungkap kebenaran di balik tuduhan perselingkuhan Laras yang menghancurkan hidupnya. Setelah sekian tahun tak pernah menginjakkan kaki di lingkungan tempat Faris dulu tinggal, Damar melajukan mobilnya menuju alamat yang masih ia ingat samar-samar. Jalanan yang dulu familiar kini terasa asing—pohon-pohon besar telah diganti rumah-rumah baru, dan warung kecil di sudut jalan telah lenyap. Namun, Damar berharap Faris masih tinggal di rumah lamanya, meski firasatnya berkata lain. Sesampainya di depan rumah sederhana yang dulu sering ia kunjungi, Damar memarkir mobil dan menatap bangunan itu. Cat dinding yang dulu cerah kini pudar, dan taman kecil di depan rumah telah diganti pagar besi. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan debaran di dadanya, lalu melangkah menuju pintu. Setelah mengetuk beberapa kali, pintu terbuka per
Setelah dua hari dirawat di rumah sakit, Damar akhirnya diperbolehkan pulang. Tubuhnya masih lemah, namun semangatnya perlahan kembali. Kejadian ketika Sofia datang menjenguknya dan berujung pada pertengkaran hebat masih membekas di pikirannya. Sejak saat itu, Sofia tak pernah muncul lagi, tak ada kabar, tak ada kunjungan. Hanya Ratna dan Raka yang datang sekali, sekilas, seolah hanya memenuhi formalitas. Hari ini, kepulangan Damar pun tak dijemput keluarga; sekretarisnya, Lila, yang setia membantunya kembali ke rumah. Sesampainya di depan rumah, Lila membantu Damar turun dari mobil. “Saya antar sampai dalam, Pak?” tanya Andi, nada suaranya penuh perhatian. Damar menggeleng pelan, wajahnya pucat namun tegas. “Tidak perlu, Lila. Pulanglah, kamu sudah banyak membantu. Aku bisa sendiri,” ucapnya, suaranya rendah namun penuh keyakinan. Andi mengangguk, meski ragu, lalu meninggalkan Damar setelah memastikan majikannya sampai di depan pintu. Pintu rumah terbuka, dan asisten rumah tangga
Sofia menerobos masuk ke rumahnya dengan langkah penuh amarah, pintu depan terdorong keras hingga berderit nyaring, mencerminkan badai emosi yang masih berkecamuk di dadanya setelah konfrontasi dengan Damar di rumah sakit. Wajahnya pucat, matanya merah karena air mata yang ditahan, dan napasnya tersengal. Asisten rumah tangga yang buru-buru membukakan pintu hanya menunduk, tak berani mengangkat wajah, apalagi bertanya apa yang membuat nyonyanya begitu muram. Sofia tak mempedulikan keheningan canggung itu. “Ibu dan Raka ada di mana?” tanyanya kepada asisten, suaranya tajam namun bergetar, seolah menahan lautan kemarahan yang siap meluap.“Mereka berdua sedang ad di ruang tamu, Nyonya,” jawab asisten itu dengan suara pelan, nyaris berbisik, lalu mundur cepat, seolah tak ingin terseret ke dalam pusaran emosi majikannya.Sofia tak menunggu. Langkahnya cepat dan tegas menuju ruang tamu, sepatunya bergema di lantai marmer, mencerminkan tekadnya yang membara meski hatinya remuk. Di ruang tam