“Mau ke mana kamu?!”
Laras yang berjalan untuk keluar dari gedung, lantas berhenti dan berbalik.
“Saya ... mau makan siang, Pak.”
“Ikut saya!” tandasku tegas.
“Tapi, Pak. Saya mau makan—“
“Nanti. Kamu harus ikut saya sekarang juga. Tidak ada bantahan!”
Laras mengangguk pelan, kemudian mengikuti langkahku menuju tempat parkir di luar gedung.
“Kita mau ke—“
“Berhenti. Jangan bicara lagi. Jangan banyak tanya.” Aku membuka pintu mobil hitam elegan—CR-V. “Masuk!”
Tak banyak tanya lagi, Laras segera masuk ke mobil.
Sebelum jam makan siang tadi, seorang pria bernama Abdi Jaya memintaku untuk menemuinya di sebuah restoran hotel bintang lima. Abdi Jaya merupakan seorang investor bergelimang harta, sudah berpengalaman dalam investasi di bidang properti. Pria berusia 40 tahun yang pandai melihat peluang dalam berbagai bisnis.
Sampai di hotel dan menambatkan mobil, Laras kembali buka suara. “Pak? K-kita mau ... ngapain ke sini?” tanyanya, agak gugup.
“Ikut saja. Kita mau bertemu investor penting. Kamu harus menjaga sikap. Saya meminta kamu menemani saya agar mencatat poin-poin penting yang nanti akan dipaparkan oleh investor kita dalam pengembangan bisnis ke depannya.”
Aku mematikan mesin mobil dan keluar. Berjalan menuju lobi hotel dan bertanya pada receptionist, kemudian menuju ke restoran diikuti oleh Laras di belakang.
Di meja nomor 37, pria bernama Abdi Jaya ini telah menunggu sambil menikmati kopinya.
“Selamat siang, Pak Abdi Jaya,” ucapku dengan segurat senyum yang ramah.
Pria tersebut berdiri dan menjabat tanganku. “Selamat siang, Bagas. Wah, Anda semakin terlihat tampan,” pujinya kemudian. Aku duduk berhadapan dengannya. Sementara itu, Laras berdiri sambil menautkan kedua tangannya di depan.
“Dia ....”
Abdi Jaya melirik Laras, meneliti perempuan dengan lesung pipit dan bibir tipis yang ranum ini. Laras tersenyum tipis guna menghormati sang investor.
“Oh, dia sekretaris di perusahaan saya, Pak. Dia baru beberapa hari bekerja.”
“Oh, begitu.” Tatapan Abdi Jaya berubah seketika, ia manggut-manggut, masih memandang Laras dengan lamat.
Aku berdeham untuk membuyarkan suasana hening, lalu berkata, “Jadi, bagaimana soal rencana Pak Abdi untuk investasi di perusahaan saya?”
Abdi Jaya lalu menolehkan pandangan padaku. “Oh, oke. Keputusan saya sudah bulat untuk menanam modal di perusahaan kamu, Bagas.”
“Syukurlah. Rencana pengembangan kita bagaimana?”
“Oh, ayolah, Bagas. Jangan terlalu serius begitu. Kamu pesanlah kopi dulu biar kita bisa berbincang santai.”
Aku mengangguk dan mengacungkan tangan kepada pelayan untuk memesan secangkir kopi.
“Iya, Pak? Anda mau memesan apa?”
“Saya pesan kopi saja. Kopi hitam, tidak terlalu manis dan tidak terlalu pahit.”
Pelayan mencatat pesananku. “Ada lagi?”
Aku menolehkan pandangan ke arah Laras yang masih setia berdiri. “Nggak ada, Mbak.”
Laras menundukkan wajahnya.
“Eh, kamu nggak pesan makanan buat sekretaris kamu?”
“Oh, nggak usah. Dia sudah makan tadi.”
Aku tahu Laras pasti akan sangat kesal, bahkan dendam padaku setelah mengajaknya ke restoran ini di saat jam istirahat, lalu tidak memesan makanan juga untuknya.
“Jadi, bagaimana soal pengembangan perusahaan?”
Pertemuan dengan Abdi Jaya berlangsung hingga 1 jam 30 menit. Laras terus berdiri, bahkan tidak pernah kutawarkan duduk dalam waktu yang cukup lama. Saat pertemuan berakhir, kami kembali ke mobil. Aku melihat wajah Laras, ekspresinya geram, menyimpan dendam yang mungkin sudah terkumpul cukup banyak di benaknya.
“Kamu kenapa?” tanyaku, sebelum melajukan mobil.
Laras menggeleng pelan.
“Ngomong.”
“Saya tidak apa-apa, Pak.”
“Oh, baguslah.”
Aku pun melajukan mobil untuk kembali ke kantor.
Sekitar dua puluh menit mengendarai, kami tiba di kantor. Laras langsung membuka pintu mobil setelah aku selesai menambatkan mobil.
“Laras!”
Laras berniat berjalan duluan untuk memasuki gedung, tetapi terhenti lagi kala aku memanggilnya. Ia berbalik, masih bersikap lembut. Ekspresi geramnya sudah tak tampak lagi.
“Kamu boleh makan. Saya berikan waktu lima belas menit. Setelah itu, kamu harus kembali bekerja.”
“Baik. Terima kasih, Pak.”
-II-
Terdengar ketukan berasal dari pintu ruang kerja. Aku menghentikan aktivitas, lalu memerintahkan seseorang di luar untuk masuk.
“Maaf, Pak. Ada yang mau bicara sama Bapak.”
“Bicara sama saya? Siapa? Klien penting?”
“Bukan, Pak. Saya tidak tahu. Seorang perempuan.”
“Ya, sudah. Kamu sambungkan dengan saya.”
Laras berjalan kembali ke ruangannya. Tak berselang lama, telepon di mejaku berdering.
“Halo. Dengan Bagas di sini, ada yang bisa saya bantu?”
“Bagas ... ini gue, I-Intan.”
Aku melenguh gusar mengetahui penelepon ternyata hanya seorang mantan yang dulu membuangku saat belum menjadi apa-apa. Meremehkan nasib, menertawakan pekerjaanku sebelumnya. Hanya omong kosong jika dia bicara masih mencintaiku. Padahal sebenarnya, dia hanya mengincar harta kekayaanku.
“Ada apa lagi kamu menghubungi saya? Dan, apakah harus kamu menelepon saya melalui sekretaris saya?”
“Maaf, Gas. Kalau gue nelepon ke nomor lo—“
“Saya tidak peduli lagi sama kamu. Apa belum cukup jelas kata-kata saya waktu itu, hah? Kamu mencampakkan saya enam tahun yang lalu. Kamu meninggalkan saya, bahkan tidak mau mengakui saya. Orang tuamu bahkan menendang saya, mengusir saya dengan kasar. Apa kamu punya otak? Dan sekarang kamu MEMINTA SAYA UNTUK KEMBALI MENJALIN HUBUNGAN DENGANMU?!”
Emosi meluap-luap tanpa bisa terkendali. Masih teringat sangat jelas bagaimana dia dan orang tuanya memperlakukanku seperti binatang paling hina di dunia ini. Mereka tidak menginginkanku. Merendahkan pekerjaanku. Tidak mau tahu tentang cerita kerja keras dan pengorbanan yang aku lakukan untuk bisa menikahi dia, membuktikan bahwa aku sangat mencintai dia kala itu. Dan semua yang aku lakukan untuk Intan hanya berakhir sia-sia. Katakanlah aku jahat, tetapi semua orang tidak perah tahu bagaimana sakitnya sebuah rasa kecewa di hati ini.
“Bagas ... gue benar-benar minta maaf. Tapi, gue sangat mencintai elo, Bagas. Gue—“
“DIAM KAMU! JANGAN PERNAH HUBUNGI SAYA LAGI!”
Gagang telepon aku banting ke lantai hingga hancur, kepingan-kepingannya berserakan di mana-mana. Aku memijat pelipis, kulihat pada kaca beberapa pekerja bergeming dan pandangan mereka mengarah ke ruanganku.
“KEMBALI BEKERJA! APA YANG KALIAN LIHAT?!”
Dengan lugas semuanya kembali duduk, melakukan pekerjaan mereka seperti biasa.
-II-
Malam hari, aku sering kali tidak bisa tidur. Hal ini memaksaku untuk selalu mengonsumsi obat tidur. Aku tidak pernah tahu apa yang aku pikirkan sebenarnya. Kehidupanku sudah lebih dari cukup. Aku punya harta yang melimpah, perusahaan, punya uang untuk membeli segalanya. Namun, setiap hari aku merasa kosong. Aku merasa ada yang belum lengkap. Entahlah. Hal ini selalu membuatku berpikir keras.
Pagi hari di hari libur, aku menyempatkan diri untuk berolahraga menuju taman yang tidak jauh dari komplek perumahan. Setelah memasang sepatu dan pakaian training, aku berlari santai mengelilingi taman. Hanya butuh waktu sekitar 30 menit saja, setelahnya aku beristirahat dan duduk di bangku taman. Meneguk sebotol mineral yang aku bawa dari rumah, terselip di pinggangku.
Melihat jalanan yang tengah ramai oleh orang-orang dari berbagai tempat, aku melihat sesosok perempuan tak asing di mata. Laras, ia tidak datang untuk berolahraga. Namun, ia dengan pakaian kaus biasa sambil membawa tas, tengah berjalan menyusuri jalanan di sekitar taman. Aku penasaran ke mana perempuan itu akan pergi.
Meski cukup jauh dari tempatku berada, aku berusaha mengejarnya.
“Mau ke mana kamu?” tanyaku yang membuat Laras terkesiap dan buru-buru menoleh ke arahku di sebelah kanannya.
“P-Pak Bagas?” Mengetahui aku ada di sampingnya, ia menolehkan tatapannya ke depan. “Tidak ke mana-mana, Pak. Saya ... hanya ....” Laras diam. Ia seperti menyembunyikan sesuatu dariku atau mungkin kepada semua orang.
“Ke mana? Kenapa kamu diam?”
“Maaf, Pak. Ini bukan urusan Bapak.” Laras mempercepat langkahnya, berusaha menjauh dariku.
Aku tidak ingin kalah darinya, lantas mempercepat langkah.
“Hei! Kenapa kamu tidak mau memberitahu saya? Kamu ingat peraturan yang saya—“
“Ini hari libur, Pak.” Laras berhenti. Ia menatapku tajam. “Anda tidak bisa memerintah saya karena kita tidak sedang dalam jam kerja. Saya tidak berkewajiban menjawab pertanyaan-pertanyaan Anda.”
Cukup lamat ia menatapku. Memang benar apa yang ia katakan. Semua aturan dan perintahku tidak akan mempan padanya karena kami tidak sedang dalam jam kerja. Hubungan kami di luar sudah bukan lagi antara bos dan karyawan, tetapi mungkin hanya orang asing yang kebetulan saja bertemu.
“Jangan ikuti saya. Anda tidak berhak melakukannya.”
Cukup bergeming. Aku memutuskan tidak mengikuti perempuan ini. Yah, sebelumnya aku berpikir tidak akan mengikutinya, tetapi setelah ia melangkah cukup jauh, aku berjalan mengikuti. Aneh, ia masuk ke sebuah rumah sakit. Siapa yang sakit?
-II-
“Berada di ruangan ini, artinya kita sedang dalam jam kerja. Jika sedang dalam jam kerja, artinya apa pun pertanyaan saya, apa pun yang saya perintahkan, kamu wajib menjawab dan melakukannya.” Aku merebahkan diri pada punggung kursi, lalu menaikkan kedua kaki pada meja. “Apa yang kamu lakukan di rumah sakit kemarin?”
Laras menunduk sejenak, sedetik setelahnya kembali menatap lurus ke depan.
“Maaf, itu bukan urusan Bapak. Itu urusan pribadi sa—“
“Jawab!”
“Anda memang atasan saya, Pak. Tapi Anda juga tidak berhak masuk ke kehidupan pribadi saya. Cukup Anda perintahkan saya dengan hal yang berkaitan dengan pekerjaan.”
Cukup emosi dengan kalimat yang keluar dari mulut perempuan ini, aku berdiri dan mendekatinya. “Jadi, kamu sudah mulai membantah? Kamu berani membantah saya?” Aku tatap dia dengan seringai.
“Sekali lagi, Anda tidak bisa seenaknya masuk ke dalam kehidupan—“
“DIAM! Kamu harus jawab pertanyaan saya!”
“Tidak, Pak. Bukan begini seharusnya sikap seorang atasan kepada karyawannya. Permisi, saya kembali ke ruangan saya.”
Laras dengan cepat berjalan keluar.
“Laras! Laras!”
Perempuan ini tidak mau menoleh atau berhenti. Ia membuka pintu, lantas keluar dan menutupnya dengan tenaga yang cukup besar.
“Ah! Sial!”
Yakinlah, aku tidak berniat melakukan sesuatu yang buruk. Aku hanya ingin tahu apa yang dia lakukan di rumah sakit, siapa yang sakit atau ada urusan apa dia di sana? Namun, apakah caraku yang salah?
-II-
Kikan tetap menarik lengan Deon sampai akhirnya keluar dari bar dan tiba di sebuah gang sempit. Dengan sangat keras, Kikan mengempaskan punggung Deon pada dinding. Perempuan ini menumpu kedua tangannya di antara kepala sang lelaki.“Ada apa ini?!” Deon bertanya dengan penuh penekanan.“Jangan ikut campur urusanku!” tegas Kikan dengan tatapan yang begitu tajam. Tak sedikit pun dia mengalihkan pandangan dari mata Deon.“Oh, gitu. Okay, aku sadar kalau itu bukan urusanku. Tapi, seorang laki-laki nggak akan tinggal diam saat melihat perempuan sedang tersiksa di depannya,” pungkas Deon, santai.“Tersiksa?! Apa aku terlihat tersiksa?! Dasar bodoh!”
Atas kedatangan Deon yang secara tiba-tiba, Kikan cukup terkejut. Keningnya mengerut dan berangsur-angsur menjaga jarak. Sementara itu, lelaki dengan sweater yang telah mendapatkan pukulan keras dari Deon, kini menatap dengan tajam penuh intimidasi.“Sialan. Siapa lo?! Berani-beraninya lo memukul gue!” tegas lelaki dengan sweater.Deon mengangkat sebelah alisnya, lalu berkata, “Siapa aku nggak penting. Yang jelas, kamu udah bertindak kasar sama cewek. Kamu itu cowok, bukan banci, kan?!”Mendengar tanggapan Deon tersebut, sang lelaki dengan sweater lantas tertawa terbahak-bahak.“Sialan. Baru kali ini gue nemuin orang yang berani sama gue. Lo belum tahu siapa gue, hah?!”
Deon terakhir kali mengingat bahwa dirinya telah menyelesaikan pertarungan dengan Aldrikov, juga Kikan yang memberikan ucapan selamat padanya. Kini, saat lelaki ini terbangun, entah mengapa dia terlihat sangat kebingungan.“Di mana aku?” tanya Deon sambil beranjak duduk. Dia melirik ke sekitar ruangan yang tak cukup luas tempatnya berada saat ini.Selang beberapa saat, matanya berhenti pada perempuan yang terlihat membatu.“Anggraini? Apa aku ada di rumah sakit?” tanya Deon kesekian kalinya.“Deon! Syukurlah lo udah sadar!”Tanpa menjawab pertanyaan sang lelaki, Anggraini lantas memeluk tubuh Deon yang dipenuhi oleh perba
Semua persiapan telah dilakukan oleh Deon dan Aldrikov. Kini, keduanya saling tatap satu sama lain.“Aku yang menang, Tua Bangka!”Keduanya melesat dengan sangat cepat. Deon menggerakkan tangannya secara vertikal, tetapi Aldrikov melompat begitu tinggi hingga melewati tubuh Deon. Hal ini membuat lelaki bertubuh atletis ini tersentak kaget. Dia kehilangan momentum. Alhasil, ketika berbalik badan, tangan Aldrikov telah siap melukai wajah dan perutnya.Walau begitu, Deon tak tinggal diam. Tak ingin kalah cepat, dia memutar kedua tangannya ke arah kanan dan berhasil menangkis serangan lawan. Sayangnya, entakan yang begitu kuat membuat Deon terempas beberapa meter.“Kamu terlalu percaya diri.”
Deon dan Aldrikov menoleh ke sumber suara. Keduanya tercengang karena melihat bahwa Kikan-lah yang memiliki suara menggelegar barusan. Deon mengerutkan kening, lalu meningkatkan kewaspadaan. Baginya, tidak mungkin perempuan sadis ini tidak ikut campur dalam pertarungannya.“Apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu mau mengganggu pertarunganku dengan si tua bangka ini?!” tegas Deon dengan tatapan yang begitu tajam.Kikan lantas tertawa bergelak mendengar dugaan Deon.“Nggak juga. Aku datang nggak untuk mengganggu jalannya pertarunganmu dengan Aldrikov.”Sambil mengangkat sebelah alisnya, Deon bertanya, “Lalu? Apa yang kamu inginkan?”
“B-bang … sat!”Tubuh Deon lemas seketika. Anggraini terbelalak kaget karena merasakan cairan kental memenuhi tangannya. Dia lihat, lalu air matanya pun keluar begitu banyak.“DEON!”Di titik ini, napas Deon mulai tak beraturan. Dia seperti orang yang kedinginan, tetapi udara yang masuk ke mulutnya sangat terbatas. Bahkan saat Anggraini menjadi lemas, Deon tidak mampu menopang beban tubuhnya hingga harus tergeletak di tanah.Dengan posisi berbaring, Deon menyaksikan wajah pria paruh baya yang masih mengacungkan pistol ke arahnya. Sang lawan menyeringai, lalu berkata, “Saya sudah mengatakannya padamu. Kamu akan mati di tempat ini.”
Ketika pria berambut panjang hendak pergi bersama para anak buahnya yang bertugas membawa Deon, sebuah suara menghentikannya.“Serahkan Deon sama gue!”Pria paruh baya berbalik badan. Yang terlihat ialah seorang perempuan yang sedang membawa dua pistol di tangan dan dua pedang yang terselip di punggung.“Oh, bukankah kamu ….” Pria tersebut tidak melanjutkan kalimatnya. Namun, dia pun tertawa kemudian.“Ya, ya. Saya pernah mendengar desas-desus kalau salah satu senjata pembunuh Tyrex ikut bergabung ke Bruno. Dan tentu saja, yang mereka maksud adalah kamu. Kamulah pengkhianatnya.”Perempuan yang tak lain ialah Melind
Mendengar pernyataan pria berambut panjang, tatapan Deon semakin serius. Baginya, sekarang basa-basi tidak lagi diperlukan. Entah benar atau tidak bahwa para anggota Bruno tengah bertempur dengan anak buah si pemasok senjata ini.“Kalau gitu, kita buktiin di sini siapa yang lebih hebat.”Ketika Deon hendak menyiapkan kuda-kuda, pria berambut panjang berkata, “Tidak perlu.”Selang beberapa saat pria tersebut memberikan sinyal pada salah satu anak buahnya. Deon semakin waspada. Namun, dia tidak cukup cekat dalam menghindari sebuah peluru yang kemudian dilesatkan oleh anak buah si pemasok senjata. Alhasil, timah panas menancap di bahu sebelah kanan Deon.“Sialan!” jerit Deon sambil m
Tidak mudah bagi Deon untuk melakukan pergerakan saat ini. Bahwa keadaan tubuhnya dipenuhi luka dan juga para anak buah pria berambut panjang terlihat siap dengan berbagai senjata yang mereka bawa. Untuk itu, Deon hanya menatap ke arah sang lawan. Sesekali bergantian menatap Anggraini yang sedang dalam keadaan tertodong senjata.“Akhirnya, kami menemukanmu. Sebelum jadi mayat di sini, ada baiknya kita bicara beberapa patah kata,” ucap pria berambut panjang sambil berjalan mondar-mandir.Deon berusaha bangkit meski tubuhnya masih terasa pegal dan sakit. Tidak dipungkiri ada beberapa tulang yang patah akibat dirinya yang menggelinding di bukit terjal ini.“Oh, aku kira kalian nggak bisa berbasa-basi. Ternyata, sama aja.”