Share

IBU DAN ADIKKU PENGHANCUR RUMAH TANGGAKU
IBU DAN ADIKKU PENGHANCUR RUMAH TANGGAKU
Author: Ria Wijaya

1. Rutinitas Pagi

"Astaga! Ibu, kenapa Ibu berpenampilan seperti itu?"

Aku terkejut ketika melihat Ibu keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang panjangnya hanya di atas lutut saja, padahal Mas Rohman ada di rumah.

"Ish, Nella! Kenapa sih heboh banget? Ibu kan habis mandi, jadi wajar dong kalau pakai handuk!"

"Tapi, Bu. Di rumah kan ada Mas Rohman--"

"Halah, pikiranmu itu terlalu berlebihan, Nella! Si Rohman nggak mungkin doyan sama Ibu, apalagi Ibu?"

"Huh, mentang-mentang Ibu janda, kamu malah nuduh Ibu yang macem-macem," gerutunya sambil berlalu masuk kamar.

"Bu-bukan begitu maksud Nella, Bu. Tapi, seenggaknya Ibu kan bisa pakai daster gitu, jangan pakai handuk doang."

Aku sedang mencoba menjelaskannya secara perlahan, namun ibuku sepertinya tersinggung, hingga Beliau menutup pintu kamarnya cukup keras.

Huft ....

Aku sungguh lelah, padahal aku baru saja pulang bekerja, tapi sampai di rumah sudah disambut dengan kejadian seperti ini.

Sumpah! Aku sebenarnya tidak mempunyai pikiran, kalau ibuku akan menggoda suamiku, karena yang aku tahu ibuku sangat membenci Mas Rohman.

Namun, yang aku inginkan, ibuku harus tetap menjaga marwahnya sebagai mertua, contohnya seperti menjaga cara berpakaiannya, sebab bagaimanapun juga status Mas Rohman hanyalah menantunya, bukan anaknya sendiri.

Tapi, mungkinkah aku memang terlalu berpikir berlebihan ya?

"Nella, kamu sudah pulang?" tanya Mas Rohman yang membuatku terkejut.

Mas Rohman baru saja keluar dari pintu dapur, dengan mengunyah sebuah kerupuk, dan juga keringat yang masih bercucuran di dahinya. Sepertinya Mas Rohman baru saja makan makanan yang pedas.

"Eh, iya Mas. Lho, kamu baru sarapan, Mas?"

"Iya," sahutnya seraya tersenyum.

Lalu tiba-tiba saja ibu membuka pintu kamarnya, dengan pakaian yang sudah rapi, sepertinya ibu mau pergi.

"Huh! Kelakuan suamimu memang hanya seperti itu. Jam segini baru bangun, lalu kemudian sarapan. Enak banget jadi dia, kamunya yang disuruh kerja!" Lagi-lagi ibu menghina Mas Rohman, yang membuatku jadi tidak enak hati pada suamiku.

"Bu, Mas Rohman kan sedang libur."

"Halah, libur kok setiap hari." Setelah mengatakan itu, Ibu langsung berlalu pergi.

Aku hanya bisa menghela napas panjang, untungnya saja suamiku bisa sabar menghadapi mertua seperti ibu. Kalau tidak, mungkin saja kita sudah berpisah sejak dulu.

"Maafin Ibu ya, Mas. Sepertinya beberapa hari ini Ibu lagi sensi."

Mas Rohman mengangguk. "Sudah, biarkan saja. Sekarang kan masih musim padi, jadi wajar kalau Ibu sering uring-uringan melihat aku banyak menganggur. Nanti kalau sudah musim tembakau, omongannya juga tidak terlalu pedas lagi," sahut Mas Rohman seraya terkekeh. Sesabar itulah suamiku, aku pun merasa beruntung memilikinya.

"Baiklah, kalau begitu aku mau cuci baju dulu."

Setelah mengatakan itu, aku langsung pergi ke kamar, mengambil semua pakaian kotor, dan kemudian mencucinya.

Inilah rutinitasku setiap harinya setelah berjualan di pasar. Ya, pekerjaanku adalah pedagang sayur di pasar pagi, aku berangkat bekerja jam dua pagi, lalu pulangnya paling lambat jam sembilan pagi, namun kalau sedang laris manis, jam tujuh pagi aku sudah ada di rumah.

Kami para pedagang di pasar pagi, memang kebanyakan melayani para pedagang sayur keliling dan juga pemilik warung-warung yang menjual sayuran. Jadi, tidak heran kalau aku harus berangkat di pagi buta, sebab para pembeli dagangan ku juga harus menjajakan dagangan mereka pagi-pagi sekali.

"Eh, Nella. Udah pulang? Berarti dagangannya udah habis dong?" sapa tetanggaku, Mbak Yuyun namanya.

Di jam segini Mbak Yuyun dan tetangga lain memang suka melakukan rutinitas 'petan' rambut putih di belakang rumah, jadi mereka bisa melihatku ketika sedang menjemur baju, karena rumah kami tidak ada yang memiliki pagar pembatas.

"Iya, Mbak. Alhamdulillah ...." sahut ku seraya tersenyum.

"Waahh ... enak ya, jadi suamimu. Nggak perlu kerja keras, sebab kamu nya pintar cari duit," balas tetanggaku yang satunya lagi.

"Iya, Nell. Eh, kalau sudah selesai, sini dong main bentar. Masa kamu nggak pernah ngegosip bareng kita sih," timpal tetanggaku yang lainnya.

Aku hanya tersenyum canggung, dan meski malas, namun aku harus tetap ke sana untuk menghargai mereka.

Aku bukan tipe orang yang suka kumpul-kumpul seperti ini, karena aku termasuk orang yang introvert. Apa lagi, sebenarnya badanku sangat lelah karena habis bekerja, jadi biasanya aku memang langsung tidur setelah menyelesaikan pekerjaan rumahku.

Namun, meladeni mereka cerita sesekali, tidak apa-apa bukan?

"Eh, udah pada denger nggak? Itu si Ika, kemarin lusa katanya ke hotel bareng Pak kepala desa. Aduh, jangan-jangan gosip yang mengatakan mereka selingkuh, benar lagi?"

"Ih, masa to, Mbak Jum. Aduh, amit-amit kalau gitu. Eh, berarti tahun depan kita jangan milih dia lagi. Kan katanya dia mau mencalonkan diri lagi?"

"Iya, iya. Jangan sampai!"

Aku hanya menganggukkan kepala saja mendengar gosip mereka, toh aku juga tidak mengenal siapa itu Ika, sebab dia warga baru di gang sebelah, yang sudah dicap sebagai janda gatel oleh warga sini.

"Eh, Nella. Kamu kan kerjanya pagi buta, dan kamu kalau sudah pulang, biasanya juga cuma di rumah. Jadi, kamu tuh harus jaga baik-baik suamimu, ya walaupun suamimu jarang kerja, tapi dia kan lumayan ganteng. Jadi, hati-hati aja?!"

"Hehe ... iya, Bu."

"Eh, jangan cuma iya-iya aja. Kami ini kasihan sama kamu, soalnya kamu udah kerja keras, banting tulang ngehidupin suami kamu, lalu jangan sampai si Rohman pakai duit hasil kerjamu untuk biayain janda gatel seperti Ika."

"Iya, Mbak. Tapi, aku rasa Mas Rohman nggak mungkin seperti itu, soalnya meskipun aku yang kerja, dia juga jarang banget minta uang sama aku, ya palingan sekali dua kali pernah minta uang untuk beli rokok. Jadi, mana ada wanita di luaran sana yang mau sama dia, hehe ..."

"Iya, juga ya. Haha ...."

Aku mengangguk. Ya, Mas Rohman memang jarang meminta uang sama aku, namun sebagai seorang istri, kadang aku suka mengeluh karena Mas Rohman jarang kerja.

Di mata orang-orang, mereka mengira aku menerima kekurangan Mas Rohman yang seperti itu, tapi mereka tidak tahu saja kalau kami suka berantem jika bahas soal ekonomi.

Ya, di dunia ini mana ada wanita yang menerima suaminya jarang memberi nafkah, dan kita yang menjadi seorang istri, harus rela bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Tapi, jikapun itu ada, berarti wanita itu benar-benar berhati malaikat. Namun, meski aku bukan wanita yang berhati malaikat itu, tapi aku tetap kekeuh mempertahankan rumah tanggaku ini, karena aku termasuk orang yang menganut paham bahwa, rezeki itu meski kamu sudah bekerja keras mencarinya, tapi kalau belum waktunya dapat, kamu tetap tidak akan dapat.

Jadi, aku hanya bisa bersabar dengan kondisi suamiku saat ini. Ya, siapa tahu di depannya Tuhan akan memberi rezeki lebih untuk keluarga kami.

Namun, bagaimana jika ternyata, Mas Rohman selama ini memang kurang berusaha?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status