"Owalah, Nella. Ternyata kamu jualan di sini?"
Aku sontak mendongak ketika mendengar suara yang tidak asing di telingaku."Eh, Bu RT. Lagi belanja, Bu?" sapaku ramah pada Bu RT di tempat tinggalku."Iya, ini berapa bayamnya seikat?""Seribu lima ratus, Bu.""Owalah, beneran murah ya belanja di pasar pagi. Baiklah, kalau begitu Ibu ambil empat ikat, dan ini sekalian jagung manisnya.""Iya, Bu. Lalu apalagi?""Emmm ... apalagi ya? Oh iya, Nella. Suamimu kemarin kerja ya? Lusa kemarin suamiku nyuruh nyemprot hama katanya nggak bisa. Lha, memangnya kemarin suamimu kerja dengan siapa?""Enggak kok, Bu. Mas Rohman kemarin nganggur.""Lha bener kan? Kata Yuyun dan Jum juga gitu, mereka bilang suamimu juga nganggur. Tapi, kenapa suamimu menolak pekerjaan dari suamiku ya?""Huh, Nella. Kalau aku punya suami yang malas bekerja seperti itu, udah aku tendang dia. Huh! Mentang-mentang istrinya udah kerja sendiri, dia malah enak-enakan ongkang-ongkang kaki di rumah. Kamu kok bisa-bisanya sih masih sabar ngadepin dia," gerutu Bu RT.Aku hanya bisa tersenyum canggung, jadi bingung mau menjawab apa, sebab katanya membicarakan keburukan suami di depan orang juga tidak baik. Tapi, kalau bahas masalah sabar, sebenarnya aku sendiri juga 'ngempet'. Tapi, nggak mungkin juga kan aku minta cerai hanya masalah seperti ini? Sebab masalah seperti ini masih bisa dibicarakan baik-baik.Baiklah, kalau begitu aku nanti ingin bicara serius dengan Mas Rohman, sebenarnya apa sih maunya?Kemarin dia bilang lebih suka kerja di sawah, tapi kenapa kemarin lusa dia menolak tawaran kerja dari Pak RT?"Ya udah, ini aja dulu, Nella. Jadi, berapa total semuanya?""Oh, sama daun bawangnya juga, jadi totalnya lima belas ribu, Bu.""Terima kasih," ucapku setelah menerima uang dari Bu RT.Setelah kepergian Bu RT, aku jadi kepikiran kembali dengan apa yang dikatakannya. Aku pun jadi tidak semangat untuk berjualan lagi, apa lebih baik aku pulang sekarang aja ya? Agar cepat bisa menyelesaikan masalah ini.Karena benar-benar sudah tidak mood lagi, aku pun segera membereskan barang dagangan ku yang sudah terjual separuh, karena ini masih jam lima pagi."Lho, Nella. Kamu mau ke mana?" tanya Bu Yanti seraya menatapku heran, sebab biasanya aku tidak pernah pulang sepagi ini."Emm, saya lagi tidak enak badan, Bu. Kalau begitu saya duluan ya?""Oh, iya hati-hati, dan nanti jangan lupa kerokan saat sampai di rumah.""Iya, Bu."Setelah semua dagangan ku sudah berada di atas motor, aku pun segera melajukan motorku, dan entah mengapa tiba-tiba saja perasaanku mendadak tidak enak. Mungkinkah ini berkaitan dengan omongan Bu RT tadi?Entahlah, aku juga seperti merasa sudah dibohongi Mas Rohman. Kenapa tega-teganya dia bermalas-malasan kerja, sedangkan aku harus berjuang keras banting tulang demi ingin terlihat sama dengan teman-teman yang lain.Ya, kebanyakan teman-teman sebayaku sekarang sudah memiliki rumah sendiri, bahkan banyak dari mereka yang memiliki mobil.Bohong jika aku mengatakan tidak iri dengan kehidupan mereka, sebab mereka terlihat sangat bahagia dan begitu dimanjakan suami. Apalagi mereka semua juga sudah dikaruniai anak, sedangkan aku?Astaghfirullah ... Aku tidak boleh iri, aku harus bersyukur atas nikmat Tuhan yang sudah diberikan padaku. Aku harus bersyukur karena Allah sudah menjadikan aku wanita kuat seperti sekarang, jadi aku tidak boleh mengeluh seperti ini.Aku semakin menambah kecepatan laju motorku, namun sayangnya tiba-tiba saja aku merasa ada yang tidak beres dengan ban montorku, sebab tiba-tiba saja motorku jadi goyang."Aduh, aduh, kenapa ini? Jangan sampai bannya bocor." Bergegas aku menepikan motorku, dan kemudian aku melongokkan kepalaku ke bawah."Astaga, beneran bocor. Hemh, mana ada bengkel buka sepagi ini? Huh, sepertinya aku memang tidak boleh pulang terlalu pagi, atau mungkin ini gara-gara aku kesal dan kurang bersyukur tadi."Capek, haus, lapar, dan kesal bercampur aduk menjadi satu saat aku menurunkan semua barang dagangan ku. Lalu kemudian aku duduk di pinggir jalan sembari menunggu ada orang lewat dan yang berbaik hati mau membantuku.Huft! Kalau ada kejadian seperti ini, rasanya aku menyesal tidak memiliki HP, dan tidak bisa menghubungi siapa pun. Tapi, kebutuhan yang lebih penting daripada membeli HP masih banyak, jadi aku harus menahan keinginanku untuk membeli HP.Ya, di zaman yang modern seperti ini, mungkin hanya aku saja yang tidak memiliki HP. Sebenarnya dulu aku juga pernah punya, tapi sudah rusak karena terlalu lama.Dan, ketika melihat teman-teman sebayaku, tetanggaku waktu memegang android lah, Opo lah, dan apa itu yang belakangnya ada apel krowak nya. Entahlah apa merek nya, pokoknya aku hanya bisa melongo saja.Sudahlah, pokoknya kalau dibicarakan ngenes banget hidupku ini. Masih muda, tapi gaulnya sama orang-orang tua, turut ketinggalan zaman pula. Hadeehh..."Lho, Mbak Nella. Kenapa melamun di sini?"Aku tersentak ketika mendengar suara Mas Anton, alhamdulillah ... akhirnya ada orang yang aku kenal lewat juga."Hehe ... ban ku bocor, Mas. Mas Anton bisa bantu aku nggak?""Owalah, bisa-bisa, Mbak. Kalau begitu obroknya pindah ke sepedaku, Mbak. Kebetulan di dekat rumahku juga ada bengkel tambal ban, jadi kita ke sana saja ya?""Wah, beneran? Kalau begitu terima kasih ya, Mas."Dengan cekatan Mas Anton membantuku memindah danganganku ke motornya, lalu kemudian ia juga memilih mendorong motorku, dan membiarkanku jalan lebih dulu.Dengan berbekal ancer-ancer dari Mas Anton, aku akhirnya sampai di depan rumahnya. Lalu kemudian kulihat ada dua anak kecil yang membuka pintu lebar-lebar sambil berteriak, "Hore, Bapak pulang, Bapak pulang ...."Namun, ketika melihat aku bukan ayahnya, mereka langsung diam dan memanggil ibunya yang masih di dalam. Lalu tidak lama kemudian seorang wanita yang usianya sekitar lima tahun di atasku keluar dengan anak-anak tadi."Lho, Mbaknya siapa? Dan, Mas Anton mana?"Dengan senyuman ramah aku memperkenalkan diri, lalu kemudian menceritakan musibah ban bocor yang menimpaku. Dan, tidak kusangka, ternyata istrinya Mas Anton begitu ramah, bahkan dengan baiknya dia menyajikan teh hangat dan juga singkong rebus untuk ku."Ini, Mbak. Silakan dimakan, hitung-hitung buat ganjal perut.""Hehe ... terima kasih banyak, Mbak. Mbak Yuni tahu saja kalau saya sedang lapar."Lalu kemudian kita ngobrol bersama, sembari menunggu Mas Anton datang dan menambal ban motorku ke bengkel sebelah.Dan hal yang baru aku ketahui ternyata pekerjaan Mas Anton bukan hanya sebagai tukang parkir pasar, namun juga sebagai pemulung barang-barang bekas.Yang lebih hebat lagi, Mas Anton tidak malu melakukan pekerjaan itu, apalagi Mbak Yuni dan anak-anaknya, mereka juga tidak keberatan dan tidak malu sama sekali dengan pekerjaan yang dilakoni Mas Anton.Huft! Andaikan saja Mas Rohman juga mau kerja sebagai pemulung? Aku juga tidak akan keberatan dan malu memiliki suami yang bekerja sebagai pemulung. Sebab yang penting pekerjaannya halal, dan dia juga mau berusaha untuk bekerja. Tidak seperti sekarang ....Lagi-lagi aku hanya bisa beristighfar mengingat cara berpikir Mas Rohman. Dan, aku hanya bisa berharap, Semoga saja dia mau berubah setelah ini.Setelah ban motorku selesai ditambal, aku pun pamit pergi, dan tak lupa berterima kasih pada mereka. Aku juga memberikan beberapa stok sayuran pada Mbak Yuni, dan sedikit uang saku juga untuk kedua anak Mas Anton, sebagai ucapan terima kasih atas kebaikan mereka semua.Sekarang masih jam enam, tetap terlalu pagi untuk aku pulang. Kira-kira suamiku sedang apa ya? Hahh ... sudah pasti masih tidur, hahaha ....Namun, aku terkejut ketika sampai di rumah, sebab pintu rumah masih tertutup rapat, bahkan masih dikunci.Ini tidak mungkin Ibuku sudah keluar kan? Tapi, aku lihat dari kaca jendela lampu kamar semuanya masih nyala, masa sih Ibu juga bangun kesiangan?"Bu, Ibu ... Mas, Mas Anton ... aku sudah pulang ini!" teriakku seraya mengetuk pintu hingga berulang kali. Namun, tetap tidak ada jawaban.Dan, karena sudah cukup lama tidak ada jawaban, aku pun berinisiatif beralih pergi ke samping rumah, aku akan mengetuk kaca jendela kamar, seraya memanggil mereka berdua.Kuintip di kamar Ibu terlihat sepi, mungkin ibu sedang ada di kamar mandi. Jadi, aku beralih ke jendela kamarku sendiri.Namun, aku terkejut ketika melihat Mas Rohman masih bergelung di bawah selimut. Bukan, maksudku bukan heran kalau dia masih tidur di jam segini. Tapi, kenapa posisi tidur Mas Rohman terlihat aneh ya, seperti orang sedang nungging gitu.Aku kucek kedua mataku, mungkin hanya efek kelelahan, atau mungkin karena pandanganku terhalang kepala ranjang, aku jadi tidak leluasa melihat dengan jelas posisi Mas Rohman yang sebenarnya, sebab posisi ranjang memang membelakangi jendela, dan karena aku tidak mau lama-lama diluar, aku ketuk saja kaca jendelanya."Mas, Mas Rohman, aku sudah pulang ...."Terlihat Mas Rohman spontan membuka selimutnya, namun hanya bagian kepalanya saja, lalu kemudian ia berteriak seraya memandangku dengan panik."Eh, iya ... aku bukain pintunya sekarang!" Dengan posisi yang masih sama, ternyata Mas Rohman benar-benar tidur dalam posisi nungging.Setelah mendengar itu, aku pun langsung kembali ke depan. Badan ku rasanya seperti remuk, jadi aku tidak mempedulikan lagi kenapa Mas Rohman tidur sambil nungging seperti tadi.Aku terkejut ketika melihat Mas Rohman membukakan pintu dengan napas ngos-ngosan, dan keringat yang mengalir deras di dahinya."Kenapa kamu, Mas? Habis olahraga?" tanyaku bingung."Iya, eh enggak. Tadi aku baru saja mengigau, perasaanku di dalam mimpi tadi aku dikejar setan.""Hahaha ... Kamu ini ada-ada aja, Mas. Masih takut mimpi dikejar setan, kayak bocah aja.""Terus Ibu mana? Kok aku panggil-panggil dari tadi tidak dengar?""Oh, Ibu lagi di kamar mandi."Aku hanya manggut-manggut. "Baiklah, kalau begitu tolong masukkan motorku ya, Mas. Aku capek banget, pingin tidur sekarang juga.""Iya, iya. Aku akan masukkan motornya ke garasi."Aku memandang aneh wajah Mas Rohman yang terlihat seperti panik, namun aku langsung menepis pemikiran itu. Mungkin Mas Rohman memang masih ketakutan gara-gara mimpi dikejar setan tadi.Tanpa mengulur waktu lagi, aku pun langsung masuk kamar, kurebahkan tubuhku ini di atas kasur yang spreinya terlihat lecek. Ya, kalau rapi berarti sulapan, sebab Mas Rohm
"Lho, itu bukannya Mas Rohman?" Aku sontak langsung mengucek kedua mataku, ketika melihat Mas Rohman membonceng seorang wanita, dan berhenti di area parkir yang tidak jauh dari tempatku berjualan.Aku hendak memanggilnya, namun seseorang pembeli datang dan membuatku mengurungkan niat untuk memanggil Mas Rohman."Mbak, beli cabenya lima kilo saja, sekalian sama tomatnya dua kilo." "Oh, iya Bu." Dengan sedikit tergesa aku menimbang pesanan ibu-ibu tersebut, lalu setelah diberi uang dan aku mengucapkan terima kasih, aku kembali menoleh ke tempat Mas Rohman parkir tadi."Benar, itu motor Mas Rohman. Tapi, kenapa dia bisa nganterin wanita itu ya? Siapa dia?"Ingin sekali rasanya aku masuk ke dalam pasar, dan kemudian mencari mereka berdua. Namun, aku tidak bisa meninggalkan barang dagangan ku begitu saja kan? Apalagi sekarang hari Minggu, yaitu hari pasaran untuk Pasar Wage ini, jadi para pengunjung yang datang lebih ramai dua kali lipat dari hari-hari biasanya."Apa mungkin itu Ika?" Ak
"Mbak, aku mau pulang dulu, dan aku mau minta tolong ke Mbak ya, tolong jangan kasih tahu siapa pun soal ini," ujarku memohon kepada Mbak Yuyun, sebab selain malu, aku juga perlu melihat bukti secara langsung, apakah Mas Rohman benar-benar selingkuh?"Iya, kamu tenang aja. Aku juga nggak berani cerita sama orang-orang, soalnya iya kalau ini beneran si Ika, nanti kalau salah, kan aku yang dituduh menyebarkan fitnah. Emm ... Kamu yang sabar ya, Nell, dan kamu juga harus pikir baik-baik masalah ini."Aku hanya mengangguk, lalu kemudian aku berpamitan pulang. Di saat aku memasukkan sepeda motorku ke garasi, kulihat rumah masih sepi, sepertinya Mas Rohman belum pulang, dan Ibu sudah pergi entah ke mana.Aku hendak masuk ke dalam kamar, namun kudengar ada suara sepeda motor Mas Rohman yang baru saja tiba.Tanpa mengulur waktu, aku pun langsung pergi ke depan, dan membuka pintu rumah."Lho, Nella. Kamu kok sudah ada di rumah?" tanya Mas Rohman kaget."Kamu habis dari mana, Mas?" tanyaku bali
"Nella, Ibumu terlalu cerewet, kalau begini terus lama-lama aku nggak betah tinggal di sini," gerutu Mas Rohman ketika aku baru saja masuk kamar."Yang sabar ya, Mas. Kalau kita pindah dari sini, kan kasihan Ibu sendirian," sahutku yang masih merasa berat jika harus meninggalkan ibuku sendirian, sebab kalau ada apa-apa kan susah jika tidak ada sosok laki-laki di rumah, terutama pas ada atap bocor, atau masalah lain yang hanya bisa dikerjakan oleh laki-laki.Oleh karena itu aku mengajak Mas Rohman tetap tinggal di sini, walaupun setiap harinya Ibuku selalu menyindir Mas Rohman."Hah, ya sudah lah! Kalau begitu aku mau mancing aja, di rumah hanya nambah pikiran jadi semakin sumpek!" Kini giliran aku yang hanya bisa menghela napas panjang, ketika melihat Mas Rohman pergi begitu saja. Padahal kalau kamu mau mencari pekerjaan tetap, Mas. Tidak akan ada keributan seperti ini di setiap harinya.Setelah membereskan barang belanjaanku tadi, aku pun langsung menuju dapur untuk makan siang, di
Semenjak aku menemukan pil kontrasepsi di kamar Ibuku, kini pikiranku setiap hari semakin tidak tenang, aku takut jika Ibuku berbuat hal yang melewati batas dan melanggar hukum.Padahal masalah Mas Rohman saja belum usai, tapi kini sudah ketambahan masalah Ibuku sendiri."Hei, Mbak. Lagi ngelamunin apa?" tanya Ika yang mengagetkanku."Eh, Ika. Nggak kok, aku nggak lagi ngelamun, cuma liat ibu-ibu itu aja," kilah ku seraya menunjuk seorang ibu-ibu bertumbuh tambun dan menggunakan riasan menor yang sedang asyik berbelanja di toko seberang jalan."Ooo ... Oh iya, Mbak. Aku mau beli tomat seperempat, cabai merah juga seperempat, dan terongnya dua ikat."Aku mengangguk seraya tersenyum, lalu kemudian aku mulai menimbang cabai dan tomat pesanan Ika. Namun, tanganku yang sedang mengambil tomat refleks berhenti saat Ika mengatakan, "Mbak, maaf ya, tadi aku minta tolong ke Mas Rohman lagi untuk nganterin aku ke pasar, nggak apa-apa kan?""Nggak apa-apa kok," sahutku seraya tersenyum, namun h
Karena kian hari sikap Ibuku semakin menjadi-jadi, akhirnya hari ini juga aku mengajak Mas Rohman pindah ke rumah kontrakan yang sudah sejak dua hari yang lalu aku mencarinya dengan bantuan adikku juga.Rumah kontrakan tersebut tidak jauh dari kos-kosan tempat adikku tinggal, lebih tepatnya bersebelahan, karena pemilik kos-kosan tersebut dengan rumah kontrakan kami pemiliknya sama, yaitu Bu Ajeng namanya.Aku sengaja memilih rumah kontrakan Bu Ajeng karena harga sewanya murah, juga tempatnya yang tidak jauh dari pasar tempat aku berjualan."Mbak, kenapa milih ngontrak sih, Mbak? Bukannya sudah enak ya tinggal bersama Ibu, Mbak kan jadinya nggak perlu keluarin uang buat sewa," ujar adikku seraya membantuku masak di dapur, sebab rencananya hari ini aku akan membuat nasi kotak sebagai acara syukuran kecil-kecilan atas kepindahanku yang akan aku bagikan ke tetangga yang ada di sekitar sini."Nggak apa-apa, Mbak cuma ingin mandiri saja," kilah ku."Halah, jangan bohong. Pasti ada apa-apa,
Jika ada yang bertanya, adakah di dunia ini orang yang tidak bekerja, namun dia bisa mendapatkan uang? Akan tetapi, bukan hasil minta ke orang lain lho ya? Jawabannya tentu ada, dan orang itu adalah suamiku sendiri. Jangankan orang lain, aku sendiri bahkan heran, bagaimana suamiku bisa mendapatkan uang-uang itu? Padahal ia tidak pernah bekerja satu hari pun, dan ia juga tidak punya keluarga sama sekali untuk dimintai uang. Lalu dari siapa uang-uang tersebut?Awalnya aku sempat percaya bahwa Mas Rohman mendapatkan uang dari ia bekerja sebagai tukang ojek yang mengantar para karyawan pabrik yang tinggal di dekat-dekat sini. Namun, ternyata itu semuanya bohong, sebab Mas Rohman tidak pernah keluar dari rumah, dan aku mendapatkan informasi tersebut dari Bu Ajeng. Aku mempercayai kata-kata Bu Ajeng, karena dia orang yang baik dan jujur.Setelah mendapat informasi tersebut, hampir dua Minggu ini aku tidak bisa tidur, karena aku takut jika uang-uang itu ternyata hasil dari hutang, entah ke
Keesokan harinya."Mbak Nel, mukanya kok kayak zombie gitu, semalam nggak tidur ya?" tanya Mas Anton bercanda sembari membantuku menurunkan barang-barang dagangan ku."Hehe ... iya, Mas. Kelihatan banget ya?""Ealah, beneran nggak tidur tow, kalau begitu kenapa maksain jualan, Mbak? Seharusnya Mbak istirahat dulu, takutnya nanti kenapa-napa," sahut Mas Anton yang terlihat khawatir."Enggak ah, Mas. Justru kalau nggak jualan nanti jadi tambah stress, hehe ....""Ho oh, Mbak. Memang bener, orang kalau sudah biasa bekerja, terus nggak kerja sehari aja, rasanya memang seperti ada yang kurang gitu.""Iya, Mas. Udah semuanya, Mas. Makasih ya, Mas.""Sama-sama, Mbak."Setelah kepergian Mas Anton, Mbah Marni dan Bu Yanti juga menanyakan hal yang sama padaku, dan meskipun aku tidak pernah bercerita soal rumah tanggaku pada mereka, namun mereka seolah sudah mengerti bahwa aku dan suamiku sedang tidak baik-baik saja. Mereka bisa mengetahui kondisi rumah tanggaku, sebab mereka juga pernah mendenga