Share

3. Pulang Lebih Cepat

"Owalah, Nella. Ternyata kamu jualan di sini?"

Aku sontak mendongak ketika mendengar suara yang tidak asing di telingaku.

"Eh, Bu RT. Lagi belanja, Bu?" sapaku ramah pada Bu RT di tempat tinggalku.

"Iya, ini berapa bayamnya seikat?"

"Seribu lima ratus, Bu."

"Owalah, beneran murah ya belanja di pasar pagi. Baiklah, kalau begitu Ibu ambil empat ikat, dan ini sekalian jagung manisnya."

"Iya, Bu. Lalu apalagi?"

"Emmm ... apalagi ya? Oh iya, Nella. Suamimu kemarin kerja ya? Lusa kemarin suamiku nyuruh nyemprot hama katanya nggak bisa. Lha, memangnya kemarin suamimu kerja dengan siapa?"

"Enggak kok, Bu. Mas Rohman kemarin nganggur."

"Lha bener kan? Kata Yuyun dan Jum juga gitu, mereka bilang suamimu juga nganggur. Tapi, kenapa suamimu menolak pekerjaan dari suamiku ya?"

"Huh, Nella. Kalau aku punya suami yang malas bekerja seperti itu, udah aku tendang dia. Huh! Mentang-mentang istrinya udah kerja sendiri, dia malah enak-enakan ongkang-ongkang kaki di rumah. Kamu kok bisa-bisanya sih masih sabar ngadepin dia," gerutu Bu RT.

Aku hanya bisa tersenyum canggung, jadi bingung mau menjawab apa, sebab katanya membicarakan keburukan suami di depan orang juga tidak baik. Tapi, kalau bahas masalah sabar, sebenarnya aku sendiri juga 'ngempet'. Tapi, nggak mungkin juga kan aku minta cerai hanya masalah seperti ini? Sebab masalah seperti ini masih bisa dibicarakan baik-baik.

Baiklah, kalau begitu aku nanti ingin bicara serius dengan Mas Rohman, sebenarnya apa sih maunya?

Kemarin dia bilang lebih suka kerja di sawah, tapi kenapa kemarin lusa dia menolak tawaran kerja dari Pak RT?

"Ya udah, ini aja dulu, Nella. Jadi, berapa total semuanya?"

"Oh, sama daun bawangnya juga, jadi totalnya lima belas ribu, Bu."

"Terima kasih," ucapku setelah menerima uang dari Bu RT.

Setelah kepergian Bu RT, aku jadi kepikiran kembali dengan apa yang dikatakannya. Aku pun jadi tidak semangat untuk berjualan lagi, apa lebih baik aku pulang sekarang aja ya? Agar cepat bisa menyelesaikan masalah ini.

Karena benar-benar sudah tidak mood lagi, aku pun segera membereskan barang dagangan ku yang sudah terjual separuh, karena ini masih jam lima pagi.

"Lho, Nella. Kamu mau ke mana?" tanya Bu Yanti seraya menatapku heran, sebab biasanya aku tidak pernah pulang sepagi ini.

"Emm, saya lagi tidak enak badan, Bu. Kalau begitu saya duluan ya?"

"Oh, iya hati-hati, dan nanti jangan lupa kerokan saat sampai di rumah."

"Iya, Bu."

Setelah semua dagangan ku sudah berada di atas motor, aku pun segera melajukan motorku, dan entah mengapa tiba-tiba saja perasaanku mendadak tidak enak. Mungkinkah ini berkaitan dengan omongan Bu RT tadi?

Entahlah, aku juga seperti merasa sudah dibohongi Mas Rohman. Kenapa tega-teganya dia bermalas-malasan kerja, sedangkan aku harus berjuang keras banting tulang demi ingin terlihat sama dengan teman-teman yang lain.

Ya, kebanyakan teman-teman sebayaku sekarang sudah memiliki rumah sendiri, bahkan banyak dari mereka yang memiliki mobil.

Bohong jika aku mengatakan tidak iri dengan kehidupan mereka, sebab mereka terlihat sangat bahagia dan begitu dimanjakan suami. Apalagi mereka semua juga sudah dikaruniai anak, sedangkan aku?

Astaghfirullah ... Aku tidak boleh iri, aku harus bersyukur atas nikmat Tuhan yang sudah diberikan padaku. Aku harus bersyukur karena Allah sudah menjadikan aku wanita kuat seperti sekarang, jadi aku tidak boleh mengeluh seperti ini.

Aku semakin menambah kecepatan laju motorku, namun sayangnya tiba-tiba saja aku merasa ada yang tidak beres dengan ban montorku, sebab tiba-tiba saja motorku jadi goyang.

"Aduh, aduh, kenapa ini? Jangan sampai bannya bocor." Bergegas aku menepikan motorku, dan kemudian aku melongokkan kepalaku ke bawah.

"Astaga, beneran bocor. Hemh, mana ada bengkel buka sepagi ini? Huh, sepertinya aku memang tidak boleh pulang terlalu pagi, atau mungkin ini gara-gara aku kesal dan kurang bersyukur tadi."

Capek, haus, lapar, dan kesal bercampur aduk menjadi satu saat aku menurunkan semua barang dagangan ku. Lalu kemudian aku duduk di pinggir jalan sembari menunggu ada orang lewat dan yang berbaik hati mau membantuku.

Huft! Kalau ada kejadian seperti ini, rasanya aku menyesal tidak memiliki HP, dan tidak bisa menghubungi siapa pun. Tapi, kebutuhan yang lebih penting daripada membeli HP masih banyak, jadi aku harus menahan keinginanku untuk membeli HP.

Ya, di zaman yang modern seperti ini, mungkin hanya aku saja yang tidak memiliki HP. Sebenarnya dulu aku juga pernah punya, tapi sudah rusak karena terlalu lama.

Dan, ketika melihat teman-teman sebayaku, tetanggaku waktu memegang android lah, Opo lah, dan apa itu yang belakangnya ada apel krowak nya. Entahlah apa merek nya, pokoknya aku hanya bisa melongo saja.

Sudahlah, pokoknya kalau dibicarakan ngenes banget hidupku ini. Masih muda, tapi gaulnya sama orang-orang tua, turut ketinggalan zaman pula. Hadeehh...

"Lho, Mbak Nella. Kenapa melamun di sini?"

Aku tersentak ketika mendengar suara Mas Anton, alhamdulillah ... akhirnya ada orang yang aku kenal lewat juga.

"Hehe ... ban ku bocor, Mas. Mas Anton bisa bantu aku nggak?"

"Owalah, bisa-bisa, Mbak. Kalau begitu obroknya pindah ke sepedaku, Mbak. Kebetulan di dekat rumahku juga ada bengkel tambal ban, jadi kita ke sana saja ya?"

"Wah, beneran? Kalau begitu terima kasih ya, Mas."

Dengan cekatan Mas Anton membantuku memindah danganganku ke motornya, lalu kemudian ia juga memilih mendorong motorku, dan membiarkanku jalan lebih dulu.

Dengan berbekal ancer-ancer dari Mas Anton, aku akhirnya sampai di depan rumahnya. Lalu kemudian kulihat ada dua anak kecil yang membuka pintu lebar-lebar sambil berteriak, "Hore, Bapak pulang, Bapak pulang ...."

Namun, ketika melihat aku bukan ayahnya, mereka langsung diam dan memanggil ibunya yang masih di dalam. Lalu tidak lama kemudian seorang wanita yang usianya sekitar lima tahun di atasku keluar dengan anak-anak tadi.

"Lho, Mbaknya siapa? Dan, Mas Anton mana?"

Dengan senyuman ramah aku memperkenalkan diri, lalu kemudian menceritakan musibah ban bocor yang menimpaku. Dan, tidak kusangka, ternyata istrinya Mas Anton begitu ramah, bahkan dengan baiknya dia menyajikan teh hangat dan juga singkong rebus untuk ku.

"Ini, Mbak. Silakan dimakan, hitung-hitung buat ganjal perut."

"Hehe ... terima kasih banyak, Mbak. Mbak Yuni tahu saja kalau saya sedang lapar."

Lalu kemudian kita ngobrol bersama, sembari menunggu Mas Anton datang dan menambal ban motorku ke bengkel sebelah.

Dan hal yang baru aku ketahui ternyata pekerjaan Mas Anton bukan hanya sebagai tukang parkir pasar, namun juga sebagai pemulung barang-barang bekas.

Yang lebih hebat lagi, Mas Anton tidak malu melakukan pekerjaan itu, apalagi Mbak Yuni dan anak-anaknya, mereka juga tidak keberatan dan tidak malu sama sekali dengan pekerjaan yang dilakoni Mas Anton.

Huft! Andaikan saja Mas Rohman juga mau kerja sebagai pemulung? Aku juga tidak akan keberatan dan malu memiliki suami yang bekerja sebagai pemulung. Sebab yang penting pekerjaannya halal, dan dia juga mau berusaha untuk bekerja. Tidak seperti sekarang ....

Lagi-lagi aku hanya bisa beristighfar mengingat cara berpikir Mas Rohman. Dan, aku hanya bisa berharap, Semoga saja dia mau berubah setelah ini.

Setelah ban motorku selesai ditambal, aku pun pamit pergi, dan tak lupa berterima kasih pada mereka. Aku juga memberikan beberapa stok sayuran pada Mbak Yuni, dan sedikit uang saku juga untuk kedua anak Mas Anton, sebagai ucapan terima kasih atas kebaikan mereka semua.

Sekarang masih jam enam, tetap terlalu pagi untuk aku pulang. Kira-kira suamiku sedang apa ya? Hahh ... sudah pasti masih tidur, hahaha ....

Namun, aku terkejut ketika sampai di rumah, sebab pintu rumah masih tertutup rapat, bahkan masih dikunci.

Ini tidak mungkin Ibuku sudah keluar kan? Tapi, aku lihat dari kaca jendela lampu kamar semuanya masih nyala, masa sih Ibu juga bangun kesiangan?

"Bu, Ibu ... Mas, Mas Anton ... aku sudah pulang ini!" teriakku seraya mengetuk pintu hingga berulang kali. Namun, tetap tidak ada jawaban.

Dan, karena sudah cukup lama tidak ada jawaban, aku pun berinisiatif beralih pergi ke samping rumah, aku akan mengetuk kaca jendela kamar, seraya memanggil mereka berdua.

Kuintip di kamar Ibu terlihat sepi, mungkin ibu sedang ada di kamar mandi. Jadi, aku beralih ke jendela kamarku sendiri.

Namun, aku terkejut ketika melihat Mas Rohman masih bergelung di bawah selimut. Bukan, maksudku bukan heran kalau dia masih tidur di jam segini. Tapi, kenapa posisi tidur Mas Rohman terlihat aneh ya, seperti orang sedang nungging gitu.

Aku kucek kedua mataku, mungkin hanya efek kelelahan, atau mungkin karena pandanganku terhalang kepala ranjang, aku jadi tidak leluasa melihat dengan jelas posisi Mas Rohman yang sebenarnya, sebab posisi ranjang memang membelakangi jendela, dan karena aku tidak mau lama-lama diluar, aku ketuk saja kaca jendelanya.

"Mas, Mas Rohman, aku sudah pulang ...."

Terlihat Mas Rohman spontan membuka selimutnya, namun hanya bagian kepalanya saja, lalu kemudian ia berteriak seraya memandangku dengan panik.

"Eh, iya ... aku bukain pintunya sekarang!" Dengan posisi yang masih sama, ternyata Mas Rohman benar-benar tidur dalam posisi nungging.

Setelah mendengar itu, aku pun langsung kembali ke depan. Badan ku rasanya seperti remuk, jadi aku tidak mempedulikan lagi kenapa Mas Rohman tidur sambil nungging seperti tadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status