Share

3. Pulang Lebih Cepat

Author: Ria Wijaya
last update Last Updated: 2023-07-06 20:52:25

"Owalah, Nella. Ternyata kamu jualan di sini?"

Aku sontak mendongak ketika mendengar suara yang tidak asing di telingaku.

"Eh, Bu RT. Lagi belanja, Bu?" sapaku ramah pada Bu RT di tempat tinggalku.

"Iya, ini berapa bayamnya seikat?"

"Seribu lima ratus, Bu."

"Owalah, beneran murah ya belanja di pasar pagi. Baiklah, kalau begitu Ibu ambil empat ikat, dan ini sekalian jagung manisnya."

"Iya, Bu. Lalu apalagi?"

"Emmm ... apalagi ya? Oh iya, Nella. Suamimu kemarin kerja ya? Lusa kemarin suamiku nyuruh nyemprot hama katanya nggak bisa. Lha, memangnya kemarin suamimu kerja dengan siapa?"

"Enggak kok, Bu. Mas Rohman kemarin nganggur."

"Lha bener kan? Kata Yuyun dan Jum juga gitu, mereka bilang suamimu juga nganggur. Tapi, kenapa suamimu menolak pekerjaan dari suamiku ya?"

"Huh, Nella. Kalau aku punya suami yang malas bekerja seperti itu, udah aku tendang dia. Huh! Mentang-mentang istrinya udah kerja sendiri, dia malah enak-enakan ongkang-ongkang kaki di rumah. Kamu kok bisa-bisanya sih masih sabar ngadepin dia," gerutu Bu RT.

Aku hanya bisa tersenyum canggung, jadi bingung mau menjawab apa, sebab katanya membicarakan keburukan suami di depan orang juga tidak baik. Tapi, kalau bahas masalah sabar, sebenarnya aku sendiri juga 'ngempet'. Tapi, nggak mungkin juga kan aku minta cerai hanya masalah seperti ini? Sebab masalah seperti ini masih bisa dibicarakan baik-baik.

Baiklah, kalau begitu aku nanti ingin bicara serius dengan Mas Rohman, sebenarnya apa sih maunya?

Kemarin dia bilang lebih suka kerja di sawah, tapi kenapa kemarin lusa dia menolak tawaran kerja dari Pak RT?

"Ya udah, ini aja dulu, Nella. Jadi, berapa total semuanya?"

"Oh, sama daun bawangnya juga, jadi totalnya lima belas ribu, Bu."

"Terima kasih," ucapku setelah menerima uang dari Bu RT.

Setelah kepergian Bu RT, aku jadi kepikiran kembali dengan apa yang dikatakannya. Aku pun jadi tidak semangat untuk berjualan lagi, apa lebih baik aku pulang sekarang aja ya? Agar cepat bisa menyelesaikan masalah ini.

Karena benar-benar sudah tidak mood lagi, aku pun segera membereskan barang dagangan ku yang sudah terjual separuh, karena ini masih jam lima pagi.

"Lho, Nella. Kamu mau ke mana?" tanya Bu Yanti seraya menatapku heran, sebab biasanya aku tidak pernah pulang sepagi ini.

"Emm, saya lagi tidak enak badan, Bu. Kalau begitu saya duluan ya?"

"Oh, iya hati-hati, dan nanti jangan lupa kerokan saat sampai di rumah."

"Iya, Bu."

Setelah semua dagangan ku sudah berada di atas motor, aku pun segera melajukan motorku, dan entah mengapa tiba-tiba saja perasaanku mendadak tidak enak. Mungkinkah ini berkaitan dengan omongan Bu RT tadi?

Entahlah, aku juga seperti merasa sudah dibohongi Mas Rohman. Kenapa tega-teganya dia bermalas-malasan kerja, sedangkan aku harus berjuang keras banting tulang demi ingin terlihat sama dengan teman-teman yang lain.

Ya, kebanyakan teman-teman sebayaku sekarang sudah memiliki rumah sendiri, bahkan banyak dari mereka yang memiliki mobil.

Bohong jika aku mengatakan tidak iri dengan kehidupan mereka, sebab mereka terlihat sangat bahagia dan begitu dimanjakan suami. Apalagi mereka semua juga sudah dikaruniai anak, sedangkan aku?

Astaghfirullah ... Aku tidak boleh iri, aku harus bersyukur atas nikmat Tuhan yang sudah diberikan padaku. Aku harus bersyukur karena Allah sudah menjadikan aku wanita kuat seperti sekarang, jadi aku tidak boleh mengeluh seperti ini.

Aku semakin menambah kecepatan laju motorku, namun sayangnya tiba-tiba saja aku merasa ada yang tidak beres dengan ban montorku, sebab tiba-tiba saja motorku jadi goyang.

"Aduh, aduh, kenapa ini? Jangan sampai bannya bocor." Bergegas aku menepikan motorku, dan kemudian aku melongokkan kepalaku ke bawah.

"Astaga, beneran bocor. Hemh, mana ada bengkel buka sepagi ini? Huh, sepertinya aku memang tidak boleh pulang terlalu pagi, atau mungkin ini gara-gara aku kesal dan kurang bersyukur tadi."

Capek, haus, lapar, dan kesal bercampur aduk menjadi satu saat aku menurunkan semua barang dagangan ku. Lalu kemudian aku duduk di pinggir jalan sembari menunggu ada orang lewat dan yang berbaik hati mau membantuku.

Huft! Kalau ada kejadian seperti ini, rasanya aku menyesal tidak memiliki HP, dan tidak bisa menghubungi siapa pun. Tapi, kebutuhan yang lebih penting daripada membeli HP masih banyak, jadi aku harus menahan keinginanku untuk membeli HP.

Ya, di zaman yang modern seperti ini, mungkin hanya aku saja yang tidak memiliki HP. Sebenarnya dulu aku juga pernah punya, tapi sudah rusak karena terlalu lama.

Dan, ketika melihat teman-teman sebayaku, tetanggaku waktu memegang android lah, Opo lah, dan apa itu yang belakangnya ada apel krowak nya. Entahlah apa merek nya, pokoknya aku hanya bisa melongo saja.

Sudahlah, pokoknya kalau dibicarakan ngenes banget hidupku ini. Masih muda, tapi gaulnya sama orang-orang tua, turut ketinggalan zaman pula. Hadeehh...

"Lho, Mbak Nella. Kenapa melamun di sini?"

Aku tersentak ketika mendengar suara Mas Anton, alhamdulillah ... akhirnya ada orang yang aku kenal lewat juga.

"Hehe ... ban ku bocor, Mas. Mas Anton bisa bantu aku nggak?"

"Owalah, bisa-bisa, Mbak. Kalau begitu obroknya pindah ke sepedaku, Mbak. Kebetulan di dekat rumahku juga ada bengkel tambal ban, jadi kita ke sana saja ya?"

"Wah, beneran? Kalau begitu terima kasih ya, Mas."

Dengan cekatan Mas Anton membantuku memindah danganganku ke motornya, lalu kemudian ia juga memilih mendorong motorku, dan membiarkanku jalan lebih dulu.

Dengan berbekal ancer-ancer dari Mas Anton, aku akhirnya sampai di depan rumahnya. Lalu kemudian kulihat ada dua anak kecil yang membuka pintu lebar-lebar sambil berteriak, "Hore, Bapak pulang, Bapak pulang ...."

Namun, ketika melihat aku bukan ayahnya, mereka langsung diam dan memanggil ibunya yang masih di dalam. Lalu tidak lama kemudian seorang wanita yang usianya sekitar lima tahun di atasku keluar dengan anak-anak tadi.

"Lho, Mbaknya siapa? Dan, Mas Anton mana?"

Dengan senyuman ramah aku memperkenalkan diri, lalu kemudian menceritakan musibah ban bocor yang menimpaku. Dan, tidak kusangka, ternyata istrinya Mas Anton begitu ramah, bahkan dengan baiknya dia menyajikan teh hangat dan juga singkong rebus untuk ku.

"Ini, Mbak. Silakan dimakan, hitung-hitung buat ganjal perut."

"Hehe ... terima kasih banyak, Mbak. Mbak Yuni tahu saja kalau saya sedang lapar."

Lalu kemudian kita ngobrol bersama, sembari menunggu Mas Anton datang dan menambal ban motorku ke bengkel sebelah.

Dan hal yang baru aku ketahui ternyata pekerjaan Mas Anton bukan hanya sebagai tukang parkir pasar, namun juga sebagai pemulung barang-barang bekas.

Yang lebih hebat lagi, Mas Anton tidak malu melakukan pekerjaan itu, apalagi Mbak Yuni dan anak-anaknya, mereka juga tidak keberatan dan tidak malu sama sekali dengan pekerjaan yang dilakoni Mas Anton.

Huft! Andaikan saja Mas Rohman juga mau kerja sebagai pemulung? Aku juga tidak akan keberatan dan malu memiliki suami yang bekerja sebagai pemulung. Sebab yang penting pekerjaannya halal, dan dia juga mau berusaha untuk bekerja. Tidak seperti sekarang ....

Lagi-lagi aku hanya bisa beristighfar mengingat cara berpikir Mas Rohman. Dan, aku hanya bisa berharap, Semoga saja dia mau berubah setelah ini.

Setelah ban motorku selesai ditambal, aku pun pamit pergi, dan tak lupa berterima kasih pada mereka. Aku juga memberikan beberapa stok sayuran pada Mbak Yuni, dan sedikit uang saku juga untuk kedua anak Mas Anton, sebagai ucapan terima kasih atas kebaikan mereka semua.

Sekarang masih jam enam, tetap terlalu pagi untuk aku pulang. Kira-kira suamiku sedang apa ya? Hahh ... sudah pasti masih tidur, hahaha ....

Namun, aku terkejut ketika sampai di rumah, sebab pintu rumah masih tertutup rapat, bahkan masih dikunci.

Ini tidak mungkin Ibuku sudah keluar kan? Tapi, aku lihat dari kaca jendela lampu kamar semuanya masih nyala, masa sih Ibu juga bangun kesiangan?

"Bu, Ibu ... Mas, Mas Anton ... aku sudah pulang ini!" teriakku seraya mengetuk pintu hingga berulang kali. Namun, tetap tidak ada jawaban.

Dan, karena sudah cukup lama tidak ada jawaban, aku pun berinisiatif beralih pergi ke samping rumah, aku akan mengetuk kaca jendela kamar, seraya memanggil mereka berdua.

Kuintip di kamar Ibu terlihat sepi, mungkin ibu sedang ada di kamar mandi. Jadi, aku beralih ke jendela kamarku sendiri.

Namun, aku terkejut ketika melihat Mas Rohman masih bergelung di bawah selimut. Bukan, maksudku bukan heran kalau dia masih tidur di jam segini. Tapi, kenapa posisi tidur Mas Rohman terlihat aneh ya, seperti orang sedang nungging gitu.

Aku kucek kedua mataku, mungkin hanya efek kelelahan, atau mungkin karena pandanganku terhalang kepala ranjang, aku jadi tidak leluasa melihat dengan jelas posisi Mas Rohman yang sebenarnya, sebab posisi ranjang memang membelakangi jendela, dan karena aku tidak mau lama-lama diluar, aku ketuk saja kaca jendelanya.

"Mas, Mas Rohman, aku sudah pulang ...."

Terlihat Mas Rohman spontan membuka selimutnya, namun hanya bagian kepalanya saja, lalu kemudian ia berteriak seraya memandangku dengan panik.

"Eh, iya ... aku bukain pintunya sekarang!" Dengan posisi yang masih sama, ternyata Mas Rohman benar-benar tidur dalam posisi nungging.

Setelah mendengar itu, aku pun langsung kembali ke depan. Badan ku rasanya seperti remuk, jadi aku tidak mempedulikan lagi kenapa Mas Rohman tidur sambil nungging seperti tadi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • IBU DAN ADIKKU PENGHANCUR RUMAH TANGGAKU    35. Yoella Anggraini

    Satu Minggu kemudian...."Sayang, memang kamu tidak apa-apa kalau aku tinggal pergi?" tanya Yoga yang sudah ke sekian kalinya, Yoga hendak pergi keluar kota untuk perjalanan bisnis, namun ia tidak tenang jika meninggalkan istrinya yang sudah dekat dengan HPL."Nggak apa-apa, Mas. Kan masih ada tiga hari lagi, sedangkan kamu besok sudah pulang.""Iya, tapi kata orang-orang melahirkan itu bisa kurang atau lebih dari HPL, terus jika tiba-tiba besok kamu melahirkan, dan tidak ada aku di rumah, lantas bagaimana?""Sayang, di rumah kan ada pelayan, dan sebentar lagi Ayah dan Ibu juga pulang, jadi kamu nggak usah khawatir lagi, cukup doakan aku dan anak kita selamat dan lancar lahirannya."Yoga memeluk Nella, ia benar-benar merasa berat meninggalkan Nella, namun ia juga tidak bisa mengabaikan pekerjaannya yang ada di luar kota."Baiklah, kalau begitu aku mau telepon Ibu dulu, aku mau memastikan kalau Ibu dan Ayah nanti sudah ada di rumah ketika aku sudah berangkat."Setelah menelepon ibunya,

  • IBU DAN ADIKKU PENGHANCUR RUMAH TANGGAKU    34. Menjadi Kesayangan Keluarga

    Satu tahun kemudian....Tidak ada yang bisa dilakukan Nella kecuali hanya makan dan tidur, sebab Yoga dan mertuanya melarangnya melakukan pekerjaan rumah, walaupun hanya sekedar merapikan tempat tidurnya saja."Mas, aku bosan. Aku bolehkan hanya menyiram bunga saja?""Nggak! Kasian dedek bayinya kalau kamu panas-panasan di luar.""Lha terus apa bedanya dengan kita jalan-jalan pagi di setiap hari Minggu, kan aku juga terkena sinar matahari.""Ya beda dong, Sayang ... kalau matahari pagi kan sehat, nah ini jam sepuluh kamu ingin panas-panasan di luar."Nella mencebikkan bibirnya kesal, ia diam-diam tidak bisa melakukan pekerjaan rumah jika ada suami dan mertuanya di rumah. Apalagi semenjak Nella hamil, ia sudah seperti tawanan yang harus diawasi setiap hari."Kalau begitu aku harus ngapain dong? Aku bosan kalau hanya luntang-lantung tak jelas di rumah.""Kamu kan bisa pergi jalan-jalan, belanja, atau apapun, asalkan harus diikuti pengawal.""Huh! Ternyata rasanya jadi istri CEO itu kehi

  • IBU DAN ADIKKU PENGHANCUR RUMAH TANGGAKU    33. Bertemu Dengan Calon Mertua

    Setelah disuguhi banyaknya hal yang mengejutkan, namun kejutan untuk Nella tidak hanya sampai di sini saja, Nella benar-benar akan dibuat syok setengah mati hari ini."Kita sudah sampai," ujar Yoga dengan wajah yang tampak bahagia. Yoga sangat senang karena akhirnya ia bisa membawa calon istrinya ke rumah."Lho, kita di mana? Ini kan bukan hotel?" tanya Nella bingung."Rumah mertuamu," sahut Yoga santai."Hah?" Nella semakin panik ketika pintu mobil di sampingnya dibuka Yoga, lalu kemudian Yoga mengulurkan tangannya."Lho, tapi ... Mas, kenapa ke rumahmu sih? Aku kan--"Yoga mengguncangkan tangannya lagi karena Nella tidak segera menyambut uluran tangannya.Sedangkan Nella yang tidak bisa kabur dari sini, ia pun dengan terpaksa menerima uluran tangan Yoga."Lho Mas, bukankah kesepakatan kita itu kamu harus bertanya dulu ke orang tuamu, tapi ini kenapa aku sudah diajak ke rumahmu?" Nella semakin panik ketika langkah mereka sudah hampir sampai di teras rumah Yoga, ia bahkan mengeluarka

  • IBU DAN ADIKKU PENGHANCUR RUMAH TANGGAKU    32. Manusia atau Tokoh Novel?

    Nella hampir tidak bisa tidur karena masih memikirkan siapa Yoga sebenarnya, sebab Yoga tidak mau menjawabnya dan berjanji akan memberitahukan semua tentangnya besok.Hingga akhirnya pagi-pagi sekali Nella sudah siap, begitu juga dengan Yoga yang memang sudah tidak sabar lagi mengungkapkan jati dirinya pada calon istrinya tersebut.Ya, meskipun Nella belum menjawab mau menikah dengannya, akan tetapi Yoga merasa sangat yakin bahwa Nella mau menjadi istrinya.Namun, jika Nella tetap menolak menikah dengannya, maka ia akan menggunakan cara yang sedikit menyebalkan agar Nella mau menikah dengannya."Sudah siap?"Nella yang baru saja membuka pintu sontak terperanjat ketika melihat Yoga yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya."Sudah," sahut Nella sedikit canggung, dan Yoga pun juga merasakan bahwa sikap Nella kini menjadi terlihat berhati-hati padanya."Huh, sialan! Jika saja housekeeper itu tidak membocorkan identitas ku, maka Nella tidak akan berubah seperti ini hingga aku memberi kej

  • IBU DAN ADIKKU PENGHANCUR RUMAH TANGGAKU    31. Bukan Lelaki Biasa

    Sedangkan di tempat lain, saat ini Nella dan Yoga sedang dalam perjalanan menuju Jakarta, Yoga mengatakan bahwa mereka akan menemui teman dokternya untuk membicarakan masalah bisnis baru mereka."Nanti aku tinggalnya di mana ya? Kan kalau tinggal di hotel pasti mahal," batin Nella seraya memandang ke luar jendela, ia tengah memikirkan akan menginap di mana, sebab Yoga nanti pastinya akan tinggal di rumahnya, dan Nella tidak mungkin akan menginap di rumah Yoga.Di saat Nella tengah melamun, tiba-tiba saja pundaknya terasa berat, saat ia menoleh ke kanan, Nella langsung dapat mencium rambut Yoga yang harum.Nella hanya bisa diam ketika melihat Yoga yang tertidur pulas menyandarkan kepalanya ke bahunya, ia tidak mungkin membangunkan Yoga karena merasa kasihan, sebab perjalanan mereka memang terlalu jauh untuk ditempuh menggunakan jalur darat.Untungnya saja bus yang mereka tumpangi terbilang bagus, dan bus yang mereka tumpangi ini memang khusus untuk perjalanan langsung ke Jakarta, jadi

  • IBU DAN ADIKKU PENGHANCUR RUMAH TANGGAKU    Karma

    Winda yang terlalu mencintai Sugeng dan tidak percaya bahwa ia sudah diceraikan, akhirnya dengan penuh kenekatan ia berangkat sendiri ke kota Malang, dengan hanya berbekal alamat yang diberikan oleh salah satu teman Sugeng yang berada di kampung mereka, kini akhirnya Winda sampai juga di depan rumah alamat tersebut.Dengan perasaan sedikit ragu Winda mulai mengetuk pintu rumah tersebut, akan tetapi ia terkejut ketika melihat yang membukakan pintu adalah seorang wanita cantik yang Winda perkirakan seumuran dengannya."Maaf, Mbak nya mau cari siapa ya?" tanya wanita itu ketika melihat sosok asing di hadapannya."Oh, maaf ini apa benar dengan rumahnya Mas Sugeng?"Belum sempat wanita itu menjawab, dari arah belakang wanita tersebut terdengar suara lelaki yang Winda kenal."Sayang, siapa tamunya?"Jantung Winda berdebar keras ketika mendengar suara laki-laki yang dirindukannya selama beberapa bulan ini, akan tetapi ia hampir limbung ketika melihat sosok lelaki itu dengan nyata.Sugeng ben

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status