Aku terkejut ketika melihat Mas Rohman membukakan pintu dengan napas ngos-ngosan, dan keringat yang mengalir deras di dahinya.
"Kenapa kamu, Mas? Habis olahraga?" tanyaku bingung."Iya, eh enggak. Tadi aku baru saja mengigau, perasaanku di dalam mimpi tadi aku dikejar setan.""Hahaha ... Kamu ini ada-ada aja, Mas. Masih takut mimpi dikejar setan, kayak bocah aja.""Terus Ibu mana? Kok aku panggil-panggil dari tadi tidak dengar?""Oh, Ibu lagi di kamar mandi."Aku hanya manggut-manggut. "Baiklah, kalau begitu tolong masukkan motorku ya, Mas. Aku capek banget, pingin tidur sekarang juga.""Iya, iya. Aku akan masukkan motornya ke garasi."Aku memandang aneh wajah Mas Rohman yang terlihat seperti panik, namun aku langsung menepis pemikiran itu. Mungkin Mas Rohman memang masih ketakutan gara-gara mimpi dikejar setan tadi.Tanpa mengulur waktu lagi, aku pun langsung masuk kamar, kurebahkan tubuhku ini di atas kasur yang spreinya terlihat lecek. Ya, kalau rapi berarti sulapan, sebab Mas Rohman memang baru bangun tidur.Oh, iya. Aku kan pulang cepat karena ingin menanyakan soal perkataan Bu RT tadi, tapi kenapa aku jadi milih tidur ya? Hah, sudahlah. Nanti saja bicaranya, gara-gara ban bocor tadi tenagaku benar-benar terkuras habis.Lalu tidak membutuhkan waktu yang lama, aku pun langsung tertidur pulas. Hingga kulirik jam saat aku bangun sudah pukul sebelas siang. Berarti aku tertidur cukup lama."Aaah, segarnya ... sudah lama sekali aku tidak tidur nyenyak seperti ini, hmm ... sepertinya sekali-kali aku harus pulang lebih pagi untuk istirahat," gumamku seraya merenggangkan otot."Dek, kamu sudah bangun?""Eh, iya Mas.""Kalau begitu ini, minumlah! Teh jahe, biar badanmu segar.""Waahh, kalau begitu terima kasih."Tumben sekali mas Rohman hari ini membuatkan aku teh jahe, sebab biasanya boro-boro seperti ini, aku minta tolong ambilin air putih saja ia harus menggerutu dulu.Tapi, jangan kira dengan menyogokku menggunakan teh jahe, aku jadi lupa dengan masalah Pak RT."Oh iya, Mas. Tadi Bu RT belanja di tempatku, terus katanya kemarin lusa, kamu ditawari kerja sama Pak RT, tapi kamu bilang sudah kerja di tempat lain. Kenapa kamu bohongin Pak RT, Mas? Kemarin kan kamu nganggur?""Tck, aku malas kalau kerja sama Pak RT, soalnya medan jalan ke sawahnya Pak RT sulit, dan bayarannya juga lebih murah dari yang lain, jadi aku bohongi saja dia.""Tapi, kan Mas. Seharusnya kamu itu tidak boleh menolak rezeki seperti itu, yang penting kan kita ada pemasukan dulu.""Halah, kamu ini. Duuiiitt saja yang ada di otakmu. Sudah berulang kali aku bilang, sabar aja dulu, karena kita masih belum nemu rezekinya.""Tapi, kan Mas--""Halah, sudahlah aku capek kalau begini, lebih baik aku pergi mancing saja!"Selalu seperti ini, Mas Rohman lebih memilih pergi mancing jika malas berdebat denganku, padahal itu bukanlah solusi, namun hanya menunda masalah dan membiarkannya semakin menumpuk saja.Apa mungkin dia sengaja nunggu kemarahan ku sampai meledak? Baru kemudian dia mau membahas hal serius seperti ini?Padahal andaikan saja Mas Rohman mau membantuku berjualan di pasar pagi, aku pun tak akan pernah hitung-hitungan seperti ini. Toh lagi pula, banyak juga kok di pasar yang berangkat berpasang-pasangan, contohnya seperti Bu Yanti, beliau jualan di pasar bersama suaminya.Mereka justru terlihat lebih romantis bukan? Tidak seperti apa yang dikatakan suamiku yang menganggap bahwa itu lebay, karena jualan ya umumnya wanita saja. Itulah pemikiran suamiku.Huh! Ya sudahlah, memikirkan jalan pemikiran Mas Rohman memang tak ada habisnya, karena orang laki-laki memang sangat egois. Mentang-mentang mereka jadi kepala keluarga, kita para istri harus ikut dengan cara berpikirnya. Padahal perempuanlah yang paling bijak ketika diajak berpikir, sebab mereka sudah terbiasa membagi pekerjaan dan mengelola keuangan.Para wanita pun juga sudah biasa menurunkan ego mereka, mengalah demi keluarga, agar rumah tangganya selalu adem ayem.Sekarang coba pikirkan kalau para wanita tetap mengikuti ego mereka seperti Mas Rohman saat ini? Huh, bukankah lebih baik aku tinggal shopping saja, daripada mumet mikirin suami yang juga seenaknya sendiri.Namun, kalau aku melakukan itu, bisa dipastikan rumah tanggaku tak akan awet, karena dari kami tidak ada yang mau mengalah atau berpikir lebih dewasa."Nella! Kamu ngapain sih malah nglamun! Bukannya melarang suamimu pergi mancing! "Haduuhh ... mendengar omelan ibuku hanya semakin menambah pusing kepalaku. Jika saja berteriak pada orang tua tidak disebut durhaka, sekarang aku pasti sudah berteriak. "Wes, Mboh lah! Aku Yo Mumet!"Tapi, yang bisa keluar dari mulutku hanya, "Biarin aja, Bu. Nanti kalau bosen dia juga pulang sendiri.""Huuh, kamu ini. Cuma diem aja kalo suami seenaknya sendiri. Sekarang coba bandingkan dengan almarhum Bapakmu dulu, Beliau lho rajin bekerja, setiap hari juga selalu dapet duit, jadi Ibu seneng karena semuanya pasti sudah tercukupi, terutama untuk kebutuhan kamu dan adikmu!""Iya, Bu. Meskipun sekarang hanya aku yang kerja, tetapi kehidupan kita juga masih tercukupi kan?""Tercukupi gundulmu! Setiap hari kita makan seadanya, terus kamu lihat itu, si Yuyun, Jum, Bu RT, atau teman-teman sekolahmu dulu, mereka semua pada pakai perhiasan, bahkan sampai dobel-dobel. Nah kamu? Jangankan beli buat Ibu, buat beli sendiri aja nggak mampu!"Heemmhh ... aku hanya bisa mendesah kalau Ibuku sudah mulai membandingkan aku dengan orang lain.Padahal sudah berulang kali aku jelaskan, aku tidak mau hidup foya-foya atau terlihat glamor, karena lebih baik penghasilan dari berdagang aku simpan.Sebenarnya aku juga memiliki beberapa perhiasan yang ku simpan, aku tidak memakainya karena tujuanku membeli hanya untuk investasi. Toh lagi pula, kalau aku memakai semua perhiasan itu, bisa-bisa aku dirampok saat pergi atau pulang bekerja.Aku sengaja menyembunyikan tentang perhiasan itu dari Ibu maupun Mas Rohman, karena itu memang sebagai 'ayem-ayeme atiku' sendiri.Ya ... aku kan nggak tahu ke depannya akan seperti apa, dan misalkan nantinya aku sudah tidak bisa jualan di pasar lagi, aku kan masih punya perhiasan-perhiasan itu untuk dijadikan modal usaha lain. Begitulah pemikiran ku.Karena kita sebagai manusia, terutama istri, memang harus dituntut untuk bisa berpikir dalam jangka panjang, contohnya seperti harus bisa menabung atau berinvestasi."Nella, Ibu nggak mau tahu, pokoknya kamu harus --" Belum selesai ibuku berbicara, terdengar suara orang mengucapkan salam, dan aku rasa itu Mbak Yuyun."Ada apa, Yun? Kok wajahmu terlihat panik gitu?" tanya Ibuku kebingungan.Sedangkan aku yang sedari tadi masih duduk di ranjang, aku pun bergegas keluar dan ikut melihat Mbak Yuyun."Ada apa, Mbak?" tanyaku yang juga ikut heran."Itu, Nell. Tadi, aku lihat suamimu bonceng Ika. Aduh, nanti jangan-jangan suamimu sudah selingkuh lagi dengan Ika. Owalah ... padahal kita baru menasehati mu kemarin, masa mereka sudah selingkuh sih?" jelas Mbak Yuyun panjang."Ah, masa sih, Mbak? Lha, tadi suamiku lho pamitnya pergi mancing," sahutku tidak percaya, sebab masa sih Mas Rohman selingkuh? Lha uang saja tidak punya, memang mau menghidupi selingkuhannya pakai apa?"Iya, Nell. Aku tadi melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!"Di saat yang sama, tiba-tiba saja terdengar suara motor Mas Rohman, nah kebetulan dia sudah pulang. Aku harus tanyakan ini, mumpung amarahku sudah menumpuk, aku bisa lampiaskan saja sekarang juga, kalau misalkan apa yang dikatakan Mbak Yuyun itu memang benar."Nah, itu dia pulang. Sekarang coba kamu tanyakan saja, Nell."Aku mengangguk, lalu kemudian menghampiri Mas Rohman yang masih berjalan di teras depan."Dari mana kamu, Mas?" tanyaku ketus."Ya mancing lah, tapi nggak jadi. Karena aku dapet ini." Seraya memamerkan selembar uang seratus ribuan di hadapanku, aku pun sontak mengernyitkan dahi."Lho, kamu kok bisa dapet uang, dari mana?" tanyaku bingung, sebab bukankah kata Mbak Yuyun tadi suamiku membonceng Ika?"Itu dari janda sebelah, dia tadi nunggu ojek buat nganterin dia ke mall. Lalu kebetulan aku lewat, dan dia minta tolong. Ya udah aku anterin, dan nggak nyangka juga kalau dia kasih upah segini. Kalau gitu ini untuk kamu, biar nggak marah-marah mulu!"Aku yang tadinya ingin marah, langsung tersenyum ketika uang seratus ribu itu ditempelkan ke jidatku."Hehe ... kalau gitu, kenapa kamu nggak jadi tukang ojek sekalian, Mas?""Halah, kambuh lagi. Udah lah jangan ngurusin aku mau kerja apa, yang penting pokoknya kalau aku punya uang, aku pasti akan kasih ke kamu."Setelah mengatakan itu, Mas Rohman langsung pergi ke kamar, meninggalkan kami bertiga yang hanya bisa geleng-geleng kepala."Huh! Suamimu itu, enak banget mikirnya," sindir Ibu yang kemudian langsung pergi ke dapur. Sepertinya Ibu juga sudah capek dengan jalan pemikiran Mas Rohman.Karena sudah mendengar semua percakapan kami tadi, Mbak Yuyun kemudian mendekat ke arahku."Eh, Nella. Kamu jangan percaya gitu aja sama suamimu. Sekarang coba pikir, mana ada orang kasih seratus ribu hanya untuk nganterin ke mall. Naik ojek saja lho bayarnya cuma lima puluh ribu. Emh, atau jangan-jangan suamimu beneran ada apa-apa dengan Ika, soalnya ....""Soalnya apa, Mbak?""Aduh, aku nggak bisa cerita sekarang. Pokoknya kamu patut mencurigai suamimu." Mbak Yuyun hendak kabur setelah mengatakan itu, namun aku langsung mencekal tangannya."Eh, ada apa sih, Mbak? Cerita dulu dong?" pintaku yang sudah sangat penasaran."Maaf, Nella. Aku benar-benar nggak enak cerita sama kamu sekarang. Tapi, kamu harus mengawasi gerak-gerik suamimu. Udah itu aja." Setelah mengatakan itu, Mbak Yuyun benar-benar kabur.Sepertinya Mbak Yuyun memang mengetahui sesuatu. Tapi, apa?Apa mungkin, Mas Rohman benar-benar selingkuh?"Lho, itu bukannya Mas Rohman?" Aku sontak langsung mengucek kedua mataku, ketika melihat Mas Rohman membonceng seorang wanita, dan berhenti di area parkir yang tidak jauh dari tempatku berjualan.Aku hendak memanggilnya, namun seseorang pembeli datang dan membuatku mengurungkan niat untuk memanggil Mas Rohman."Mbak, beli cabenya lima kilo saja, sekalian sama tomatnya dua kilo." "Oh, iya Bu." Dengan sedikit tergesa aku menimbang pesanan ibu-ibu tersebut, lalu setelah diberi uang dan aku mengucapkan terima kasih, aku kembali menoleh ke tempat Mas Rohman parkir tadi."Benar, itu motor Mas Rohman. Tapi, kenapa dia bisa nganterin wanita itu ya? Siapa dia?"Ingin sekali rasanya aku masuk ke dalam pasar, dan kemudian mencari mereka berdua. Namun, aku tidak bisa meninggalkan barang dagangan ku begitu saja kan? Apalagi sekarang hari Minggu, yaitu hari pasaran untuk Pasar Wage ini, jadi para pengunjung yang datang lebih ramai dua kali lipat dari hari-hari biasanya."Apa mungkin itu Ika?" Ak
"Mbak, aku mau pulang dulu, dan aku mau minta tolong ke Mbak ya, tolong jangan kasih tahu siapa pun soal ini," ujarku memohon kepada Mbak Yuyun, sebab selain malu, aku juga perlu melihat bukti secara langsung, apakah Mas Rohman benar-benar selingkuh?"Iya, kamu tenang aja. Aku juga nggak berani cerita sama orang-orang, soalnya iya kalau ini beneran si Ika, nanti kalau salah, kan aku yang dituduh menyebarkan fitnah. Emm ... Kamu yang sabar ya, Nell, dan kamu juga harus pikir baik-baik masalah ini."Aku hanya mengangguk, lalu kemudian aku berpamitan pulang. Di saat aku memasukkan sepeda motorku ke garasi, kulihat rumah masih sepi, sepertinya Mas Rohman belum pulang, dan Ibu sudah pergi entah ke mana.Aku hendak masuk ke dalam kamar, namun kudengar ada suara sepeda motor Mas Rohman yang baru saja tiba.Tanpa mengulur waktu, aku pun langsung pergi ke depan, dan membuka pintu rumah."Lho, Nella. Kamu kok sudah ada di rumah?" tanya Mas Rohman kaget."Kamu habis dari mana, Mas?" tanyaku bali
"Nella, Ibumu terlalu cerewet, kalau begini terus lama-lama aku nggak betah tinggal di sini," gerutu Mas Rohman ketika aku baru saja masuk kamar."Yang sabar ya, Mas. Kalau kita pindah dari sini, kan kasihan Ibu sendirian," sahutku yang masih merasa berat jika harus meninggalkan ibuku sendirian, sebab kalau ada apa-apa kan susah jika tidak ada sosok laki-laki di rumah, terutama pas ada atap bocor, atau masalah lain yang hanya bisa dikerjakan oleh laki-laki.Oleh karena itu aku mengajak Mas Rohman tetap tinggal di sini, walaupun setiap harinya Ibuku selalu menyindir Mas Rohman."Hah, ya sudah lah! Kalau begitu aku mau mancing aja, di rumah hanya nambah pikiran jadi semakin sumpek!" Kini giliran aku yang hanya bisa menghela napas panjang, ketika melihat Mas Rohman pergi begitu saja. Padahal kalau kamu mau mencari pekerjaan tetap, Mas. Tidak akan ada keributan seperti ini di setiap harinya.Setelah membereskan barang belanjaanku tadi, aku pun langsung menuju dapur untuk makan siang, di
Semenjak aku menemukan pil kontrasepsi di kamar Ibuku, kini pikiranku setiap hari semakin tidak tenang, aku takut jika Ibuku berbuat hal yang melewati batas dan melanggar hukum.Padahal masalah Mas Rohman saja belum usai, tapi kini sudah ketambahan masalah Ibuku sendiri."Hei, Mbak. Lagi ngelamunin apa?" tanya Ika yang mengagetkanku."Eh, Ika. Nggak kok, aku nggak lagi ngelamun, cuma liat ibu-ibu itu aja," kilah ku seraya menunjuk seorang ibu-ibu bertumbuh tambun dan menggunakan riasan menor yang sedang asyik berbelanja di toko seberang jalan."Ooo ... Oh iya, Mbak. Aku mau beli tomat seperempat, cabai merah juga seperempat, dan terongnya dua ikat."Aku mengangguk seraya tersenyum, lalu kemudian aku mulai menimbang cabai dan tomat pesanan Ika. Namun, tanganku yang sedang mengambil tomat refleks berhenti saat Ika mengatakan, "Mbak, maaf ya, tadi aku minta tolong ke Mas Rohman lagi untuk nganterin aku ke pasar, nggak apa-apa kan?""Nggak apa-apa kok," sahutku seraya tersenyum, namun h
Karena kian hari sikap Ibuku semakin menjadi-jadi, akhirnya hari ini juga aku mengajak Mas Rohman pindah ke rumah kontrakan yang sudah sejak dua hari yang lalu aku mencarinya dengan bantuan adikku juga.Rumah kontrakan tersebut tidak jauh dari kos-kosan tempat adikku tinggal, lebih tepatnya bersebelahan, karena pemilik kos-kosan tersebut dengan rumah kontrakan kami pemiliknya sama, yaitu Bu Ajeng namanya.Aku sengaja memilih rumah kontrakan Bu Ajeng karena harga sewanya murah, juga tempatnya yang tidak jauh dari pasar tempat aku berjualan."Mbak, kenapa milih ngontrak sih, Mbak? Bukannya sudah enak ya tinggal bersama Ibu, Mbak kan jadinya nggak perlu keluarin uang buat sewa," ujar adikku seraya membantuku masak di dapur, sebab rencananya hari ini aku akan membuat nasi kotak sebagai acara syukuran kecil-kecilan atas kepindahanku yang akan aku bagikan ke tetangga yang ada di sekitar sini."Nggak apa-apa, Mbak cuma ingin mandiri saja," kilah ku."Halah, jangan bohong. Pasti ada apa-apa,
Jika ada yang bertanya, adakah di dunia ini orang yang tidak bekerja, namun dia bisa mendapatkan uang? Akan tetapi, bukan hasil minta ke orang lain lho ya? Jawabannya tentu ada, dan orang itu adalah suamiku sendiri. Jangankan orang lain, aku sendiri bahkan heran, bagaimana suamiku bisa mendapatkan uang-uang itu? Padahal ia tidak pernah bekerja satu hari pun, dan ia juga tidak punya keluarga sama sekali untuk dimintai uang. Lalu dari siapa uang-uang tersebut?Awalnya aku sempat percaya bahwa Mas Rohman mendapatkan uang dari ia bekerja sebagai tukang ojek yang mengantar para karyawan pabrik yang tinggal di dekat-dekat sini. Namun, ternyata itu semuanya bohong, sebab Mas Rohman tidak pernah keluar dari rumah, dan aku mendapatkan informasi tersebut dari Bu Ajeng. Aku mempercayai kata-kata Bu Ajeng, karena dia orang yang baik dan jujur.Setelah mendapat informasi tersebut, hampir dua Minggu ini aku tidak bisa tidur, karena aku takut jika uang-uang itu ternyata hasil dari hutang, entah ke
Keesokan harinya."Mbak Nel, mukanya kok kayak zombie gitu, semalam nggak tidur ya?" tanya Mas Anton bercanda sembari membantuku menurunkan barang-barang dagangan ku."Hehe ... iya, Mas. Kelihatan banget ya?""Ealah, beneran nggak tidur tow, kalau begitu kenapa maksain jualan, Mbak? Seharusnya Mbak istirahat dulu, takutnya nanti kenapa-napa," sahut Mas Anton yang terlihat khawatir."Enggak ah, Mas. Justru kalau nggak jualan nanti jadi tambah stress, hehe ....""Ho oh, Mbak. Memang bener, orang kalau sudah biasa bekerja, terus nggak kerja sehari aja, rasanya memang seperti ada yang kurang gitu.""Iya, Mas. Udah semuanya, Mas. Makasih ya, Mas.""Sama-sama, Mbak."Setelah kepergian Mas Anton, Mbah Marni dan Bu Yanti juga menanyakan hal yang sama padaku, dan meskipun aku tidak pernah bercerita soal rumah tanggaku pada mereka, namun mereka seolah sudah mengerti bahwa aku dan suamiku sedang tidak baik-baik saja. Mereka bisa mengetahui kondisi rumah tanggaku, sebab mereka juga pernah mendenga
Lalu tidak lama kemudian satu persatu warga mulai berdatangan karena mendengar suara teriakan Pak Roni tadi, berbeda dengan aku yang masih berdiri di ambang pintu dapur karena tidak berani melihat keadaan Ibuku dan suamiku saat ini.Namun, tidak lama kemudian Bu Ajeng datang menghampiriku seraya mengatakan, "Nell, ayo, cepat kamu lihat mereka, dan kamu harus segera putuskan hukuman apa yang pantas untuk mereka." Sembari memapahku, aku hanya bisa mengikuti langkah kaki Bu Ajeng, sebab pikiranku benar-benar kosong saat ini, yang ada hanya perasaan takut melihat mereka karena ini sudah pasti akan membuat hatiku terlampau sakit.Dan, benar saja, aku hancur ketika melihat suamiku dan Ibuku sendiri yang berada di atas ranjang dengan menggunakan selimut yang sama untuk menutupi tubuh polos mereka.Pandanganku mengabur karena air mata yang mulai berdesakan meminta keluar, namun di sana aku dapat melihat wajah malu suamiku, dan juga tangis Ibuku.Aku tidak bisa berkata-kata, begitu juga deng