Share

4. Wajib Curiga

Aku terkejut ketika melihat Mas Rohman membukakan pintu dengan napas ngos-ngosan, dan keringat yang mengalir deras di dahinya.

"Kenapa kamu, Mas? Habis olahraga?" tanyaku bingung.

"Iya, eh enggak. Tadi aku baru saja mengigau, perasaanku di dalam mimpi tadi aku dikejar setan."

"Hahaha ... Kamu ini ada-ada aja, Mas. Masih takut mimpi dikejar setan, kayak bocah aja."

"Terus Ibu mana? Kok aku panggil-panggil dari tadi tidak dengar?"

"Oh, Ibu lagi di kamar mandi."

Aku hanya manggut-manggut. "Baiklah, kalau begitu tolong masukkan motorku ya, Mas. Aku capek banget, pingin tidur sekarang juga."

"Iya, iya. Aku akan masukkan motornya ke garasi."

Aku memandang aneh wajah Mas Rohman yang terlihat seperti panik, namun aku langsung menepis pemikiran itu. Mungkin Mas Rohman memang masih ketakutan gara-gara mimpi dikejar setan tadi.

Tanpa mengulur waktu lagi, aku pun langsung masuk kamar, kurebahkan tubuhku ini di atas kasur yang spreinya terlihat lecek. Ya, kalau rapi berarti sulapan, sebab Mas Rohman memang baru bangun tidur.

Oh, iya. Aku kan pulang cepat karena ingin menanyakan soal perkataan Bu RT tadi, tapi kenapa aku jadi milih tidur ya? Hah, sudahlah. Nanti saja bicaranya, gara-gara ban bocor tadi tenagaku benar-benar terkuras habis.

Lalu tidak membutuhkan waktu yang lama, aku pun langsung tertidur pulas. Hingga kulirik jam saat aku bangun sudah pukul sebelas siang. Berarti aku tertidur cukup lama.

"Aaah, segarnya ... sudah lama sekali aku tidak tidur nyenyak seperti ini, hmm ... sepertinya sekali-kali aku harus pulang lebih pagi untuk istirahat," gumamku seraya merenggangkan otot.

"Dek, kamu sudah bangun?"

"Eh, iya Mas."

"Kalau begitu ini, minumlah! Teh jahe, biar badanmu segar."

"Waahh, kalau begitu terima kasih."

Tumben sekali mas Rohman hari ini membuatkan aku teh jahe, sebab biasanya boro-boro seperti ini, aku minta tolong ambilin air putih saja ia harus menggerutu dulu.

Tapi, jangan kira dengan menyogokku menggunakan teh jahe, aku jadi lupa dengan masalah Pak RT.

"Oh iya, Mas. Tadi Bu RT belanja di tempatku, terus katanya kemarin lusa, kamu ditawari kerja sama Pak RT, tapi kamu bilang sudah kerja di tempat lain. Kenapa kamu bohongin Pak RT, Mas? Kemarin kan kamu nganggur?"

"Tck, aku malas kalau kerja sama Pak RT, soalnya medan jalan ke sawahnya Pak RT sulit, dan bayarannya juga lebih murah dari yang lain, jadi aku bohongi saja dia."

"Tapi, kan Mas. Seharusnya kamu itu tidak boleh menolak rezeki seperti itu, yang penting kan kita ada pemasukan dulu."

"Halah, kamu ini. Duuiiitt saja yang ada di otakmu. Sudah berulang kali aku bilang, sabar aja dulu, karena kita masih belum nemu rezekinya."

"Tapi, kan Mas--"

"Halah, sudahlah aku capek kalau begini, lebih baik aku pergi mancing saja!"

Selalu seperti ini, Mas Rohman lebih memilih pergi mancing jika malas berdebat denganku, padahal itu bukanlah solusi, namun hanya menunda masalah dan membiarkannya semakin menumpuk saja.

Apa mungkin dia sengaja nunggu kemarahan ku sampai meledak? Baru kemudian dia mau membahas hal serius seperti ini?

Padahal andaikan saja Mas Rohman mau membantuku berjualan di pasar pagi, aku pun tak akan pernah hitung-hitungan seperti ini. Toh lagi pula, banyak juga kok di pasar yang berangkat berpasang-pasangan, contohnya seperti Bu Yanti, beliau jualan di pasar bersama suaminya.

Mereka justru terlihat lebih romantis bukan? Tidak seperti apa yang dikatakan suamiku yang menganggap bahwa itu lebay, karena jualan ya umumnya wanita saja. Itulah pemikiran suamiku.

Huh! Ya sudahlah, memikirkan jalan pemikiran Mas Rohman memang tak ada habisnya, karena orang laki-laki memang sangat egois. Mentang-mentang mereka jadi kepala keluarga, kita para istri harus ikut dengan cara berpikirnya. Padahal perempuanlah yang paling bijak ketika diajak berpikir, sebab mereka sudah terbiasa membagi pekerjaan dan mengelola keuangan.

Para wanita pun juga sudah biasa menurunkan ego mereka, mengalah demi keluarga, agar rumah tangganya selalu adem ayem.

Sekarang coba pikirkan kalau para wanita tetap mengikuti ego mereka seperti Mas Rohman saat ini? Huh, bukankah lebih baik aku tinggal shopping saja, daripada mumet mikirin suami yang juga seenaknya sendiri.

Namun, kalau aku melakukan itu, bisa dipastikan rumah tanggaku tak akan awet, karena dari kami tidak ada yang mau mengalah atau berpikir lebih dewasa.

"Nella! Kamu ngapain sih malah nglamun! Bukannya melarang suamimu pergi mancing! "

Haduuhh ... mendengar omelan ibuku hanya semakin menambah pusing kepalaku. Jika saja berteriak pada orang tua tidak disebut durhaka, sekarang aku pasti sudah berteriak. "Wes, Mboh lah! Aku Yo Mumet!"

Tapi, yang bisa keluar dari mulutku hanya, "Biarin aja, Bu. Nanti kalau bosen dia juga pulang sendiri."

"Huuh, kamu ini. Cuma diem aja kalo suami seenaknya sendiri. Sekarang coba bandingkan dengan almarhum Bapakmu dulu, Beliau lho rajin bekerja, setiap hari juga selalu dapet duit, jadi Ibu seneng karena semuanya pasti sudah tercukupi, terutama untuk kebutuhan kamu dan adikmu!"

"Iya, Bu. Meskipun sekarang hanya aku yang kerja, tetapi kehidupan kita juga masih tercukupi kan?"

"Tercukupi gundulmu! Setiap hari kita makan seadanya, terus kamu lihat itu, si Yuyun, Jum, Bu RT, atau teman-teman sekolahmu dulu, mereka semua pada pakai perhiasan, bahkan sampai dobel-dobel. Nah kamu? Jangankan beli buat Ibu, buat beli sendiri aja nggak mampu!"

Heemmhh ... aku hanya bisa mendesah kalau Ibuku sudah mulai membandingkan aku dengan orang lain.

Padahal sudah berulang kali aku jelaskan, aku tidak mau hidup foya-foya atau terlihat glamor, karena lebih baik penghasilan dari berdagang aku simpan.

Sebenarnya aku juga memiliki beberapa perhiasan yang ku simpan, aku tidak memakainya karena tujuanku membeli hanya untuk investasi. Toh lagi pula, kalau aku memakai semua perhiasan itu, bisa-bisa aku dirampok saat pergi atau pulang bekerja.

Aku sengaja menyembunyikan tentang perhiasan itu dari Ibu maupun Mas Rohman, karena itu memang sebagai 'ayem-ayeme atiku' sendiri.

Ya ... aku kan nggak tahu ke depannya akan seperti apa, dan misalkan nantinya aku sudah tidak bisa jualan di pasar lagi, aku kan masih punya perhiasan-perhiasan itu untuk dijadikan modal usaha lain. Begitulah pemikiran ku.

Karena kita sebagai manusia, terutama istri, memang harus dituntut untuk bisa berpikir dalam jangka panjang, contohnya seperti harus bisa menabung atau berinvestasi.

"Nella, Ibu nggak mau tahu, pokoknya kamu harus --" Belum selesai ibuku berbicara, terdengar suara orang mengucapkan salam, dan aku rasa itu Mbak Yuyun.

"Ada apa, Yun? Kok wajahmu terlihat panik gitu?" tanya Ibuku kebingungan.

Sedangkan aku yang sedari tadi masih duduk di ranjang, aku pun bergegas keluar dan ikut melihat Mbak Yuyun.

"Ada apa, Mbak?" tanyaku yang juga ikut heran.

"Itu, Nell. Tadi, aku lihat suamimu bonceng Ika. Aduh, nanti jangan-jangan suamimu sudah selingkuh lagi dengan Ika. Owalah ... padahal kita baru menasehati mu kemarin, masa mereka sudah selingkuh sih?" jelas Mbak Yuyun panjang.

"Ah, masa sih, Mbak? Lha, tadi suamiku lho pamitnya pergi mancing," sahutku tidak percaya, sebab masa sih Mas Rohman selingkuh? Lha uang saja tidak punya, memang mau menghidupi selingkuhannya pakai apa?

"Iya, Nell. Aku tadi melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!"

Di saat yang sama, tiba-tiba saja terdengar suara motor Mas Rohman, nah kebetulan dia sudah pulang. Aku harus tanyakan ini, mumpung amarahku sudah menumpuk, aku bisa lampiaskan saja sekarang juga, kalau misalkan apa yang dikatakan Mbak Yuyun itu memang benar.

"Nah, itu dia pulang. Sekarang coba kamu tanyakan saja, Nell."

Aku mengangguk, lalu kemudian menghampiri Mas Rohman yang masih berjalan di teras depan.

"Dari mana kamu, Mas?" tanyaku ketus.

"Ya mancing lah, tapi nggak jadi. Karena aku dapet ini." Seraya memamerkan selembar uang seratus ribuan di hadapanku, aku pun sontak mengernyitkan dahi.

"Lho, kamu kok bisa dapet uang, dari mana?" tanyaku bingung, sebab bukankah kata Mbak Yuyun tadi suamiku membonceng Ika?

"Itu dari janda sebelah, dia tadi nunggu ojek buat nganterin dia ke mall. Lalu kebetulan aku lewat, dan dia minta tolong. Ya udah aku anterin, dan nggak nyangka juga kalau dia kasih upah segini. Kalau gitu ini untuk kamu, biar nggak marah-marah mulu!"

Aku yang tadinya ingin marah, langsung tersenyum ketika uang seratus ribu itu ditempelkan ke jidatku.

"Hehe ... kalau gitu, kenapa kamu nggak jadi tukang ojek sekalian, Mas?"

"Halah, kambuh lagi. Udah lah jangan ngurusin aku mau kerja apa, yang penting pokoknya kalau aku punya uang, aku pasti akan kasih ke kamu."

Setelah mengatakan itu, Mas Rohman langsung pergi ke kamar, meninggalkan kami bertiga yang hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Huh! Suamimu itu, enak banget mikirnya," sindir Ibu yang kemudian langsung pergi ke dapur. Sepertinya Ibu juga sudah capek dengan jalan pemikiran Mas Rohman.

Karena sudah mendengar semua percakapan kami tadi, Mbak Yuyun kemudian mendekat ke arahku.

"Eh, Nella. Kamu jangan percaya gitu aja sama suamimu. Sekarang coba pikir, mana ada orang kasih seratus ribu hanya untuk nganterin ke mall. Naik ojek saja lho bayarnya cuma lima puluh ribu. Emh, atau jangan-jangan suamimu beneran ada apa-apa dengan Ika, soalnya ...."

"Soalnya apa, Mbak?"

"Aduh, aku nggak bisa cerita sekarang. Pokoknya kamu patut mencurigai suamimu." Mbak Yuyun hendak kabur setelah mengatakan itu, namun aku langsung mencekal tangannya.

"Eh, ada apa sih, Mbak? Cerita dulu dong?" pintaku yang sudah sangat penasaran.

"Maaf, Nella. Aku benar-benar nggak enak cerita sama kamu sekarang. Tapi, kamu harus mengawasi gerak-gerik suamimu. Udah itu aja." Setelah mengatakan itu, Mbak Yuyun benar-benar kabur.

Sepertinya Mbak Yuyun memang mengetahui sesuatu. Tapi, apa?

Apa mungkin, Mas Rohman benar-benar selingkuh?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status