“Saya harus bagaimana?”Sabrina bingung, bola matanya bergerak liar menyusur wajah Gama yang terlihat tenang. Bukankah jika seperti ini seharusnya pria itu yang merasa cemas bukannya dia.“Bersikap biasa saja, tapi ada satu hal yang perlu kamu lakukan lebih dulu sebelum itu,” ucap Gama.Sabrina sudah bisa menebak maksud ucapan Gama, dia pasti harus ke salon dulu dan berdandan agar penampilannya bisa mengimbangi ibu kandung Maha. Sudah menjadi sifat dasar dan alami wanita - yang terkadang tidak ingin kalah dari wanita lain, Sabrina juga tidak ingin nampak buruk di depan wanita yang akan ditemuinya malam nanti. Namun, ternyata dugaan Sabrina salah karena yang dimaksud Gama bukan seperti apa yang dia pikirkan.“Mulai sekarang jangan terlalu formal bicara padaku! kamu bisa memanggilku dengan nama panggilanku. Tidak perlu kamu bubuhi 'Pak' di depannya.”“Ya!” Sabrina kaget, sedangkan Gama malah tertawa melihat raut wajahnya yang lucu. “Em ... Ada satu hal lagi, hari ini aku mentraktir s
“Mama, Papa!” Maha berlari kencang mendapati Gama dan Sabrina menjemputnya, dia bahkan langsung menghambur ke pelukan Gama karena jarang sekali pria itu bisa menjemputnya di sekolah.“Bagaimana sekolahmu hari ini? kamu tidak nakal ‘kan?” Gama mengacak rambut sang putra, dia tersenyum lebar mendapati Maha menggeleng dengan cepat.“Aku pintar, aku bahkan mendapat dua bintang hari ini,” ucap Maha membanggakkan diri. Ia mengurai pelukan Gama lalu mendongak menatap Sabrina. “Mama hari ini cantik sekali,” gombalnya.Sabrina tergelak, dia mengulurkan tangan untuk menggandeng Maha menuju mobil, keduanya meninggalkan Gama yang masih berdiri dan kini hanya bisa memandangi punggung.“Jadi apa aku cantik di hari tertentu saja? Wah … aku sangat sedih, ternyata hanya cantik di mata Maha di hari-hari tertentu.” Sabrina sengaja memasang muka murung untuk mengajak Maha bercanda, anak itu tahu lantas membalas ucapannya.“Tidak, Mama cantik setiap hari. Mama juga cantik di hatiku.”Jawaban Maha membuat
“Perkenalkan aku Sabrina, masa depan Gama.”Mendengar ucapan Sabrina, Gama pun terkejut. Dia bahkan menekuk bibir ke dalam menahan tawa karena tak menyangka gadis itu akan memperkenalkan diri sebagai masa depannya. Bukan istri, kekasih atau bahkan Ibu Maha.“Ah … ya, silhakan duduk,” ucap Naura dengan raut wajah bingung. Apa lagi tatapan Sabrina begitu dingin. Gadis itu sengaja memasang ekspresi tegas dan sombong.Sabrina duduk bersisian dengan Gama, sementara Naura berada di depan mereka. Wanita itu nampak memandangi Gama lalu beralih ke Sabrina yang memalingkan muka sambil menenggak air mineral di dalam gelas.“Aku tidak punya banyak waktu, jadi katakan apa tujuanmu terus menerorku!”Gama berbicara dengan nada dingin, pria itu membuat Sabrina hampir saja tersedak, padahal jelas kalimat itu bukan ditujukan untuknya. Sabrina pun meletakkan gelas, dia berdehem sebelum menegakkan punggung untuk mendengarkan pembicaraan antara Gama dan Naura.“Sebenarnya aku ingin berbasa-basi lebih dul
Sabrina menelan saliva, entah kenapa dadanya terasa sangat panas. Ia bahkan ingin sekali menjambak Naura jika bisa. Tak terbayangkan di benak Sabrina akan bertemu dengan wanita yang tega membuang anaknya lalu dengan seenaknya datang berkata ingin bertemu. “Ya aku ibunya, jika kamu ingin bertemu dengannya tidak hanya persetujuan dari Gama tapi juga harus dariku.” Sabrina menyipitkan mata. Keberaniannya tiba-tiba saja muncul karena dia yakin Gama pasti akan mendukungnya. “Kenapa kamu baru mencari dia sekarang, apa kamu divonis dokter tidak bisa mengandung?” DEGNaura tak bisa menjawab, tubuhnya bahkan terhuyung ke belakang karena ucapan Sabrina barusan. Wanita itu seolah baru sadar bahwa semua ini mungkin saja karma karena membuang darah dagingnya sendiri.“Jangan menganggu kehidupan kami!” Sabrina memutar tumit, dia balik menggandeng Gama. Mereka terus berjalan meski Naura mengeluarkan kalimat ancaman dengan suara menggelegar.“Aku ibu kandungnya, aku punya hak untuk menemuinya jadi
Beberapa jam sebelumnyaNaura yang ditinggal sendiri di ruangan resto itu mengeram dan harus menanggung kecewa. Ia mengepalkan tangan hingga kuku jarinya memucat. Wanita itu benar-benar merasa kesal ke Sabrina - yang bisa tahu dengan jelas motif terselubung dirinya menginginkan bertemu sang anak kembali. Dia egois tapi merasa semua bukan murni kesalahannya, sampai sekarang pun Naura masih berpikir seperti itu. Ia juga tidak ingin mengandung, jika ada yang patut disalahkan jelas adalah pria laknat yang memperkosanya waktu itu. Naura terdiam saat kenangan buruk itu terlintas lagi di kepala. Ia yang hidup serba sederhana bersama sang ibu harus mendapatkan nasib buruk malam itu, seorang pria merudapaksanya. Tak lama berselang saat mengetahui dirinya hamil, Naura memilih menghilang dan melahirkan anaknya yaitu Maha. Di saat bersamaan, papa kandung yang tidak pernah peduli padanya seumur hidup tiba-tiba saja datang. Papa Naura ternyata kaya raya dan sangat berkuasa, mengetahui hal itu Naur
Sabrina menatap Gama, pria itu lantas menurunkan pandangan ke tangannya yang masih menempel di dada. Alhasil dia buru-buru menurunkan tangan kemudian mengacak rambut Maha. Sabrina salah tingkah bahkan lagi-lagi pipinya merona, dia merasa bisa gila, perlakuan kecil dari Gama saja bisa membuat dadanya seperti yang Maha bilang tadi – sakit.“Aku tidak apa-apa, jantungku baik-baik saja, Maha,” jawab Sabrina, dia menoleh Gama yang tersenyum dan dadanya berdebar-debar kembali. “Astaga! kenapa aku jadi aneh begini?” gumam anak Mirna itu di dalam hati.Gama mengajak Sabrina masuk ke ruang kerja, gadis itu kembali tergagap saat mengiyakan sambil menggandeng tangan mungil Maha. Sabrina sadar tidak boleh berharap lebih ke Gama, hubungannya dengan pria itu hanya sekadar pekerja dan atasan, yang membayar dan dibayar.Setelah masuk ke ruang kerja, Maha melompat ke sofa dan langsung duduk selonjoran, Sabrina pun menoleh Gama seolah bertanya, “Apa tidak masalah putramu berada satu ruangan dengan ki
“Maaf siapa ya?” tanya Sabrina saat berhadapan dengan wanita yang datang ke rumah Gama itu.Penampilannya sungguh sangat rapi, mirip pekerja kantoran. Wanita itu memperkenalkan diri bernama Dora, dan Sabrina memilih tak langsung mempersilahkannya masuk, hingga Gama mendekat bersama Maha, wanita bernama Dora itu memandang Maha dan secara impulsif Gama menarik bocah itu agar berdiri di belakangnya.“Bukankah Anda istrinya pak Rudi Tabuti,” ucap Gama, keningnya terlipat halus saat wajah wanita yang berada di ambang pintu rumahnya ini nampak familiar. Ia seolah bisa menebak apa yang sedang terjadi di sini. Gama pun tak langsung melanjutkan kata, dia menoleh ke Bik Mun dan meminta pembantunya itu mengajak Maha masuk ke dalam dulu. “Dora? Rudi Tabuti? Sebentar lagi pasti akan ada Nobita,” gumam Sabrina dalam hati.“Sudah saya duga siapa lagi Lintang Gutama kalau bukan Anda,” ucap wanita bernama Dora itu.“Cih … apa Anda pengacara Naura?” tebak Gama.Sabrina baru mengerti, matanya membeliak
Sepanjang perjalanan menuju mall, Maha duduk di pangkuan Sabrina. Anak itu terlihat sangat ceria dan bahkan menyanyikan lagu kesukaannya. Sabrina pun ikut bernyanyi bahkan bertepuk tangan. Sementara Gama hanya tertawa, pria itu tidak mau ikut menyanyi seperti anak dan calon istrinya.Sesampainya di mall, Maha memilih berjalan di tengah. Tangan kirinya menggandeng Sabrina dan tangan kanan menggandeng papanya. Ank itu bahkan dengan jahil sengaja menggantung kaki agar Sabrina dan Gama mau menarik tangannya dan dia bisa melayang. Mereka nampak bahagia, tapi belum juga mendapatkan apa yang mereka inginkan, Maha sudah merengek meminta es krim ke sang papa.“Sebenarnya ke mall mau apa?” tanya Sabrina. Mereka kembali berjalan karena hanya Maha saja yang memakan es krim. Bocah itu menoleh Gama, mengerlingkan mata karena memiliki rencana terselubung dengan sang papa tadi.“Mau mengambil baju ulang tahun Maha, tapi sebelum itu kita harus ke sebuah toko sebentar,” jawab Gama. Ia balik mengerlingk