Lampu neon sebuah restoran di sudut jalan itu memancarkan cahaya kekuningan yang hangat, kontras dengan langit malam yang masih diguyur gerimis ringan. Mobil Hans perlahan memasuki area parkir dan berhenti tepat di samping sedan hitam milik Liam. Begitu turun, Hans langsung melihat asistennya itu melambaikan tangan dari balik jendela restoran yang terbuat dari kaca bening.
Hans masuk, membiarkan lonceng di atas pintu berdenting lembut saat ia membuka pintu. Aroma spaghetti panas dan kopi latte menyeruak menyambutnya. Ia menemukan Liam duduk di pojok dekat jendela, dua cangkir sudah tersedia di atas meja, salah satunya masih mengepul.
"Pak Hans." Liam berdiri sebentar memberi salam hormat.
Hans duduk dan langsung meraih cangkir yang masih hangat itu. "Terima
Hans yang baru saja masuk ke dalam rumah kontrakan Ashley, kini nampak berdiri dengan kedua tangan yang bergetar. Ia berusaha menahan segala sesuatu yang ia rasakan. Kini, saat ia tengah berusaha menjelaskan semuanya kepada Ashley, istrinya itu nampak begitu marah dengan kehadirannya."Aku lihat sendiri, Ko. Kamu biarkan dia tinggal di rumahmu? Kamu bahkan ngelihat aku kayak bayangan. Kamu pikir aku bodoh?"Hans menatap Ashley dalam-dalam. "Ash, aku nggak pernah anggap kamu bayangan. Aku?""Kamu pikir aku kuat lihat kamu dirangkul dan didekati seperti itu?" potong Ashley lagi. "Kamu pikir hatiku ini udah mati?"Hans berdiri, suaranya mulai meninggi tapi masih tertahan. "Aku membiarkannya buka
Pria itu yang baru saja bertemu Hans dan Liam itu seketika mengangguk pelan saat Hans mengonfirmasi siapa dia. Liam melihat sosok pria itu dari atas sampai bawah. Membuat pria itu seketika berbicara dengan suara berat tapi tenang."Jangan heran dengan penampilan saya. Saya memang selalu seperti ini saat berada di lapangan."Hans tak menanggapi soal penampilannya dan langsung menyodorkan tangan. "Senang bekerja sama dengan Anda."Raka menyambut jabat tangan itu, menggoyangkannya sedikit sebelum melepaskan. "Saya juga, Pak Hans. Apalagi Anda kenalan Pak Theo. Beliau klien lama saya. Jadi saya pikir, akan menarik melihat sendiri orang yang membuat beliau banyak bercerita."Hans sempat tert
Langit malam mulai menghitam sempurna. Hanya jejak lampu-lampu kota yang berpendar di kejauhan, menemani perjalanan dua pria yang duduk di dalam mobil hitam yang melaju tenang menyusuri jalanan pinggiran kota.Liam kini berada di balik kemudi. Jemarinya menggenggam setir dengan mantap, namun sesekali ia melirik ke kaca spion untuk memastikan kondisi lalu lintas. Di sebelahnya, Hans duduk diam. Mata pria itu kosong menatap ke luar jendela sebelah kiri, seolah mencari jawaban dari pantulan cahaya jalanan yang meluncur cepat di balik kaca.Suara mesin mobil mengisi keheningan di antara mereka, sampai akhirnya Liam angkat suara, pelan tapi mantap."Pak, soal Bu Sisil. Apa ada rencana apa yang akan bapak lakukan ke beliau?"
Senja turun perlahan di ufuk barat, membungkus langit dengan semburat jingga keemasan. Lampu-lampu kota mulai menyala satu per satu, menggantikan cahaya matahari yang memudar. Tapi di dalam unit apartemen Sisil yang luas dan dingin, justru bara amarah dan kecemasan yang perlahan menyala.Sisil terduduk di ujung sofa, menatap layar ponselnya yang baru saja menerima kiriman video dari Hendrik. Jemarinya gemetar saat menekan tombol play. Rekaman suara dokter muda yang menjelaskan usia kehamilan Ashley menusuk seperti jarum ke dalam jantungnya."Usianya sudah sekitar 7 minggu, mendekati dua bulan?"Kalimat itu terus berputar di kepala Sisil. Wajahnya mengeras, bola matanya berkaca-kaca?bukan karena sedih, tapi karena panik dan amarah yang tak terbendung.
Setelah mendapat kabar tak masuk akal dari Hendrik, Sisil pun terlihat menggeram pelan, lalu berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Tangan kirinya mengepal kuat di sisi tubuh, sementara tangan kanan berkali-kali menyapu rambutnya ke belakang dengan kasar."Padahal dia udah pergi dari rumah ini! Padahal aku udah udah berharap dia nggak punya tempat lagi di sisi Hans!" gerutunya dengan suara tertahan.Namun kini? Semua bisa runtuh hanya karena satu hal. Seorang bayi. Bayi dari darah daging Hans. Bayi yang ... kalau benar-benar ada, akan mengikat Hans lebih kuat daripada semua siasat dan penampilannya yang sempurna."Kalau benar dia hamil," gumam Sisil dengan napas memburu, "maka aku akan benar-benar kehilangan kendali atas Hans. Dan itu ..." matanya menyipit t
Siang itu, di ruang keluarga sebuah rumah besar yang terletak di pinggiran kota, Sisil duduk bersila di atas karpet tebal sambil bermain balok kayu bersama Baby Neul. Tawa kecil bocah itu mengisi ruangan dengan keceriaan yang hangat, dan untuk sejenak Sisil nyaris melupakan semua kekacauan yang menyelimuti pikirannya dalam beberapa minggu terakhir."Neul pintar banget, ya!" katanya lembut, membetulkan susunan balok yang hampir roboh. "Liat, rumahnya mau jadi?"Namun, seketika suara notifikasi dari ponselnya memecah kebahagiaan kecil itu. Sebuah pesan masuk dari Hendrik.Sisil mengambil ponsel itu dengan santai, tapi begitu melihat isi pesannya. Sebuah foto perempuan yang tampak sedang berjalan di depan rumah sakit. Senyum di wajahnya langsung pudar.