Malam sudah terlalu larut ketika mobil hitam itu perlahan menepi di halaman rumah besar milik Hans. Cahaya lampu taman menyinari samar wajahnya yang tampak lelah dan gundah. Ia menyandarkan kepala ke kursi, memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya menarik napas panjang.
Di kursi kemudi, Liam melirik bosnya dengan penuh simpati.
"Bu Ashley pasti cuma butuh waktu, Pak," ujar Liam pelan, menjaga nada suaranya tetap lembut. "Setidaknya, sekarang Pak Hans tahu kalau? dia hamil. Itu awal yang baik, kan?"
Hans membuka mata, menatap dashboard tanpa berkata apa-apa. Jemarinya menggenggam kuat lutut celana jas yang masih rapi. Ia mengangguk perlahan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
"Terima kasih, L
Di atas, Doni memperhatikan evakuasi yang dilakukan kepada Sisil dan mobilnya. Ia melihat dua petugas itu melakukan tugasnya dengan terorganisir rapi. Namun, salah satu petugas itu mengirim pesan suara lewat handy-talky yang ia pegang. Ia menginformasikan jika korban kritis namun masih bernafas.Doni yang mendengar suara handy-talky itu seketika bertanya dengan suara lirih nyaris gumam. "Jadi, dia selamat?"Ada nada kekecewaan di dalam ucapannya. Ia nampak tak rela jika pelaku yang sudah menabrak mamanya itu selamat. Namun, ia hanya bisa pasrah dan melihat perkembangan kejadian ini selanjutnya.Aiptu Yudha yang mendengar gumaman Doni lantas merespon, "Iya, dia masih bernapas. Tapi kita belum tahu seberapa parah. Yang jelas ini akan jadi bagian dari pe
Doni menggenggam ponselnya erat. Napasnya masih memburu akibat kejadian barusan. Di hadapannya, mobil penyok milik Sisil masih terjebak di dasar jurang. Asap tipis mengepul dari mesin. Suara gemerisik angin menyusup di antara pepohonan, menambah sunyi yang menyayat.Dengan tangan gemetar, Doni menekan layar ponsel dan menghubungi pihak kepolisian."Halo, 110?"Suara di ujung sana terdengar tenang."Ya, selamat siang. Ini dari Kepolisian. Ada yang bisa kami bantu?""Saya Doni. Saya ada di kawasan perbukitan arah utara Jalan Banyu Biru. Baru saja terjadi kecelakaan. Sebuah mobil jatuh ke jurang." Doni berhenti sejenak, lalu menambahkan
Di tikungan jalan rusak yang sepi, Doni melaju kencang mengejar mobil abu-abu gelap yang mulai menjauh. Matanya menatap tajam ke jalanan, tangan kirinya meraih ponsel dan mencoba memencet nomor darurat, namun ia urungkan."Tidak sekarang! Aku harus tahu siapa dia!"Jalan berbatu membuat mobilnya sedikit memantul, namun itu tak menghentikan tekadnya. Mobil abu-abu yang dikendarai Sisil terlihat berbelok tajam ke kanan, membuat debu beterbangan."Kamu pikir bisa kabur semudah itu?" geram Doni, injak gas penuh. "Aku akan terus mengejarmu sampai ujung dunia kalau perlu!"Di dalam mobil sewaan, Sisil panik. Tangannya gemetar menggenggam kemudi.
Di jalanan becek yang sedikit kotor, Ashley berjalan perlahan sembari menenteng tas belanjaan. Di ujung jalan, ia melihat sebuah mobil hitam datang mendekat ke arahnya. Melihat mobil itu mendekat, Ashley refleks melangkah ke pinggir, mengira mobil itu hendak lewat. Tapi mobil itu justru berhenti tepat di dekatnya. Begitu dekat.Ashley menyipitkan kedua matanya lalu membatin. "Siapa ya?"Doni pun turun dari dalam mobil.Ashley pun seketika terlihat begitu terkejut. "Doni? Kamu ngapain di sini?" tanyanya dengan nada bingung, namun tidak marah.Doni tersenyum tipis. Ia menghampiri perlahan. "Aku mau ketemu kamu. Boleh?""Boleh, ta
Pagi itu, sinar mentari menyusup masuk dari celah tirai jendela rumah besar keluarga Riana. Udara masih segar, tapi ada ketegangan yang menggantung di antara dinding-dinding rumah itu.Di ruang tamu, Doni sudah berdiri dengan pakaian rapi dan kunci mobil di tangannya. Sesekali ia melihat ke arah jam dinding, lalu melirik tangga ke lantai atas."Mama lama banget, sih?" gumamnya gelisah.Sementara itu, di lantai atas, di dalam kamar yang semi gelap, Riana tengah duduk di tepi ranjang. Di pangkuannya terhampar sebuah map berwarna krem, yang warnanya sudah memudar dimakan waktu. Jemarinya gemetar saat membuka berkas-berkas lama di dalamnya. Beberapa foto Soni semasa kecil, hasil USG saat hamil dulu, surat kelulusan, semua itu terhenti saat ia menarik selembar k
Malam telah larut. Sepi menyelimuti rumah besar itu, menyisakan suara detik jarum jam dan desir angin dari sela-sela ventilasi. Di balik pintu kamar yang tertutup rapat, Riana terlelap di ranjangnya. Namun tidur itu bukan tidur yang tenang.Peluh dingin mengalir dari pelipisnya. Dalam mimpinya, Riana kembali ke masa lalu, masa yang selalu ia hindari untuk dikenang.Ia berdiri di ruang ICU, mengenakan selendang hitam dan jas hujan basah. Suara alat medis berdengung dalam frekuensi menyakitkan. Di hadapannya, tubuh Soni, anak pertamanya, terbujur lemah, selang dan kabel menempel di mana-mana."Bu, kami sudah melakukan yang terbaik," ujar sang dokter dengan nada datar, seperti tak ingin ikut tenggelam dalam duka. "Tapi putra Ibu tak berhasil bertahan."