Ashley menahan napas. Sekujur tubuhnya bergetar menahan amarah. Namun satu pandangan ke Neul membuatnya kembali tenang. Ia tahu, pertengkaran ini tak boleh meledak di hadapan anak sekecil itu."Aku nggak peduli kamu tinggal di sini sampai hujan berhenti. Tapi setelah itu, keluar dari rumah ini. Dan jangan pernah kembali," ujar Ashley lirih tapi penuh tekanan.Sisil melirik ke luar. Petir masih menyambar langit. "Tenang aja, Ashley. Aku akan pergi. Tapi sebelum itu, mari kita lihat siapa yang benar-benar akan bertahan."Ashley memejamkan mata sesaat. Ia tahu Sisil bukan hanya badai lewat. Tapi mungkin musim yang panjang. Dan ia harus kuat, demi dirinya, demi Neul, dan demi bayi yang baru disadarinya tumbuh dalam rahimnya."Aku harus kuat ... aku harus bisa melewati ini semua," batin Ashley menguatkan dirinya sendiri.**Sementara di tempat lain.Langit sore menggantung kelabu saat Riana kembali duduk di ruang Kepala Sipir. Hatinya masih berdegup tak karuan, tapi kali ini bukan karena k
"Ashley, kamu? hamil," ucapnya dengan suara pelan, seolah tak percaya.Ashley membeku.Seluruh tubuhnya terasa seperti meleleh. Napasnya tersengal. Ia tidak tahu harus merasa bahagia, terkejut, atau malah semakin hancur. Semuanya bercampur dalam satu pusaran perasaan yang membuatnya ingin berteriak."Tidak? tidak mungkin?" bisiknya. "Ini semua? Terlalu banyak?"Ia berdiri dari kursi dengan langkah gemetar. "Suami saya meninggal? jantungnya diambil? dan sekarang? saya mengandung? siapa yang?bagaimana saya bisa menjelaskan ini?!" batinnya."B-bagaimana bisa?!"Bram bangkit dan mencoba menenangkannya. "Ashley, tolong duduk dulu. Kita bicarakan ini baik-baik. Kau sedang terkejut. Aku paham."Campuran perasaan menyerbunya secara brutal?marah, sedih, kecewa, bingung, bahkan sedikit takut. Air matanya mulai menggenang, tapi ia menunduk cepat, menahan agar tak tumpah di depan orang lain."Ngomong-ngomong... selamat, ya ..." kata Bram dengan suara hati-hati.Ashley hanya tersenyum kecil?senyum
Ashley tetap duduk diam di kursi pemeriksaan sambil menatap layar komputer di meja dokter Bram. Ia berusaha bersikap tenang, seolah-olah hanya sedang menunggu hasil lab seperti pasien biasa lainnya. Namun, jantungnya berdegup kencang. Ada sesuatu yang terasa janggal sejak ia masuk ke ruangan ini.Ashley langsung memotong pelan pertanyaan Bram barusan, suaranya terdengar merendah. "Keadaan Hans jauh lebih baik sekarang, Bram."Bram terdiam sejenak. Ia meletakkan tensimeter dengan pelan. "Hm, begitu ya? Tapi mengapa sepertinya kamu tidak bahagia, Ash? Apa ada yang menganggu pikiranmu? "Ashley menggeleng pelan. "Tidak apa-apa. Justru, kadang aku takut lupa. Kalau aku terlalu lama berpura-pura semuanya baik-baik saja, aku takut suatu hari aku beneran tidak merasa apa-apa lagi."
Suara deru mesin mobil terdengar pelan saat sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan gerbang Lapas. Dari dalamnya, Hans Lee keluar dengan wajah dingin, matanya tajam seperti biasa. Sinar matahari siang menyorot tajam, namun tak mengurangi aura kedinginan yang selalu menyelubungi pria itu.Ia mengeluarkan ponselnya, menekan kontak Liam, dan meletakkan telepon di telinganya."Di mana kamu?" tanya Hans singkat.Liam, yang masih berada di ruang Kepala Sipir, menoleh ke arah lelaki tua berseragam itu. "Pak, saya izin sebentar ke bawah. Pak Hans sudah datang."Kepala Sipir mengangguk. "Silakan. Kami tunggu di sini."Sementara itu,
Langit mulai meredup saat mobil hitam Liam berhenti di depan gerbang utama Lapas. Sebenarnya ia enggan untuk datang ke tempat ini jika Kepala Lapas tidak menghubunginya.Ia turun dengan langkah mantap, mengenakan kemeja yang kini tampak sedikit kusut akibat tergesa-gesa. Tatapannya tajam menyapu halaman depan yang sepi, sebelum seorang sipir paruh baya menghampirinya."Selamat siang, Pak. Bisa saya bantu?" tanya sipir itu sopan, berdiri tegak.Liam mengangguk ringan. "Saya ada janji dengan Kepala Lapas.""Kalau boleh tahu, dengan bapak siapa?" tanya sipir itu."Nama saya Liam."Sipir itu tamp
Langkah kaki Riana terdengar pelan namun berat saat ia berjalan di koridor lantai dua rumah tahanan. Udara di sana terasa lebih pengap dibandingkan sebelumnya, atau mungkin itu hanya efek dari hatinya yang penuh sesak.Saat ia hendak berbelok ke ujung lorong, seorang sipir bertubuh kekar dengan kumis tebal menghadangnya. Suaranya dalam, nyaris datar."Ibu, ada perlu apa ke lantai dua? Ini area terbatas."Riana menatapnya sejenak, lalu menjawab dengan nada sopan tapi terdengar sedikit kesal, "Saya ingin bertemu Kepala Sipir. Apakah beliau ada di ruangannya?"Sipir itu mengernyit, menimbang-nimbang."Memang ada urusan apa, Bu? Ke