Ruang kunjungan itu terasa lengang meski ada dua jiwa yang saling menatap dengan mata yang penuh beban. Riana duduk gelisah di balik kaca pembatas, memandang Doni yang baru saja tiba di hadapannya. Di balik seragam tahanan, pria itu masih menyisakan wibawa seorang kakak yang pernah menjadi pelindung bagi keluarganya.Riana langsung menyuarakan niatnya, tanpa basa-basi. "Mama datang bukan untuk menjenguk saja, Doni. Mama butuh jalan keluar... tentang Sandra."Doni menyandarkan punggung ke kursi, matanya gelap penuh tekanan."Mama mau aku ngapain dari dalam sini?" tanyanya perlahan. "Aku cuma bisa mengutuk dari balik jeruji. Sementara dia ... dia sedang terluka di luar sana."Riana menggeleng, napasnya berat. "Itulah
Udara di luar rumah sakit terasa lembab dan dingin, meski matahari bersinar terik di atas sana. Riana melangkah pelan melewati lorong RS yang sepi, sesekali matanya mengusap air mata yang menetes tanpa perintah. Tubuhnya tegap, namun sorot matanya sayu?ada luka yang tak bisa disembuhkan hanya dengan istirahat atau obat.Sesampainya di parkiran, ia membuka pintu mobilnya, duduk perlahan di jok depan, dan menghela napas panjang. Untuk beberapa saat, ia hanya diam. Pandangannya kosong menatap dashboard, sementara pikirannya melayang-layang tak tentu arah."Ya Tuhan... Sandra," bisiknya, hampir tak terdengar. "Apa salah Mama dalam membesarkan kalian?"Bayangan tubuh lemah Sandra terbaring di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat dan lebam, terus menghantui benaknya. Riana menutup
Beberapa minggu telah berlalu sejak malam kelam yang mengubah hidup Sandra. Dunia yang dulu berwarna cerah kini seperti digulung kabut abu-abu. Dan kini, gadis itu terkurung dalam kesunyian beraroma antiseptik dan putih dinding-dinding dingin di dalam ruang isolasi kejiwaan di Rumah Sakit Graha Pelita.Riana menatap dari balik kaca transparan ruangan itu. Napasnya berat, dadanya sesak melihat Sandra, putri bungsu yang ia kenal ceria dan penurut kini duduk diam di pojok ranjang, memeluk lutut sendiri, dengan tatapan kosong menembus ruang dan waktu."Astaga, Sandra. Kapan kamu bisa sembuh, Nak...," batinnya dengan kedua mata yang terlihat sayu.Tiba-tiba suara langkah kaki membuyarkan lamunannya. Seorang pria berjas putih dengan wajah lelah dan ekspresi profesional menghampiri
Setelah kejadian semalam, Hans tiba di kantor dengan wajah yang terlihat lesu. Pagi ini, kepalanya terasa berat, dan sakit kepala yang mengganggu membuatnya kesulitan untuk fokus. Dengan tangan yang terangkat, ia mengurut keningnya, mencoba menghilangkan rasa pening yang seakan tak mau pergi. Liam yang penasaran pun bertanya mengapa sang CEO pagi ini tidak dalam keadaan baik-baik saja. Sang asisten yang melihatnya tidak bisa menahan rasa penasaran. "Pak ada apa dengan Anda? Sepertinya Anda tidak dalam keadaan baik-baik saja pagi ini," tanyanya dengan cemas. Hans mendesah pelan, masih merasa bingung dengan apa yang terjadi semalam. Ia tidak mungkin bisa menutupi dari sang asisten terus menerus. "Aneh rasanya, Liam," jawabnya perlahan. "Semalam aku bisa menyanyikan lagu yang aku gak pernah dengar sebelumnya, dan Ashley mengatakan bahwa lagu itu milik Soni ... yang sudah meninggal." Sementara Liam masih mendengarkan dengan seksama. Sang CEO lagi-lagi memejamkan matanya sejenak, be
Keheningan menyelimuti dalam kamar mereka. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar, menyayat di antara jarak yang mendadak terasa jauh di antara Hans dan Ashley. Tatapan Ashley kini bukan hanya penasaran, tapi juga terluka. Ada sesuatu yang disembunyikan, dan nalurinya mengatakan Hans tidak sepenuhnya jujur. Hans menunduk, tak sanggup membalas tatapan itu. Ia sangat ingin melindungi Ashley, tapi kebenaran yang samar di pikirannya sendiri membuatnya ragu. Perasaan bersalah, bingung, dan takut bercampur jadi satu. “Kamu nyembunyiin sesuatu, kan, Ko?” tanya Ashley dengan suara bergetar “Ash … bukan kayak gitu.” Sang istri berusaha menahan air mata. “Kamu tahu betapa aku kehilangan Soni. Tapi sekarang kamu datang, bawa lagu itu, nyanyiinnya ... seolah kamu tau semua tentang aku dan dia.” “Aku juga kaget, Ash. Lagu itu tiba-tiba muncul di kepalaku. Aku nggak tau dari mana. Aku nggak ngerti kenapa,” jawab Hans sambil terus menatap sang wanita dengan suara pelan dan berat. Dengan s
Situasi dalam ruang keluarga itu semakin hening meski alunan musik Hans mengalun lembut. Namun, tetap saja tidak merubah hati dan perasaan Ashley yang sangat penasaran, mengapa suaminya bisa tahu dengan lagu yang ia dengarkan.Tatapan nanar dalam pelupuk mata yang berkaca-kaca itu ingin segera menemukan jawaban. “Ko …” gumamnya pelan.Hans yang tanpa sadar diperhatikan sang istri dengan tatapan asing pun menghentikan pergerakan jemarinya. “Kamu kenapa, Ash?”Pertanyaan Hans ternyata mampu menghilangkan lamunan Ashley yang kini menatap wajah tampan sang suami dengan terisak.“Kamu kenapa, Sayang?” Hans seketika bangkit dengan menggendong Baby Neul. Langkah kakinya menghampir
Di dalam rumah tangga Hans dan Ashley semakin harmonis meski dalam kehidupan pasangan suami istri itu kedatangan tamu yang sangat tidak diharapkan. Namun, kejadian kemarin tidak membuat Ashley menaruh curiga terhadap mantan istri dari sang suaminya tersebut.Pagi ini di dalam keluarga Hans, Ashley tengah menyibukkan diri sejak tadi di dapur hingga membuat pancake. Sementara Hans sedang bermain bersama sang putra yang kini sudah aktif bermain. Usia Baby Neul setara dengan perkembangan fisik anak sebayanya, namun untuk perkembangan otak anak laki-laki tampan itu sangat cepat tanggap.“Neul, mau apa buka kulkas?” tanya Ashley saat melihat kedatangan sang anak yang membuka lemari pendingin.Rasa ingin tahu sang anak semakin kuat saat ia berhasil membuka kotak p
Sementara Sisil yang tidak mendapatkan keinginannya saat di rumah Hans, wanita itu langsung keluar rumah dan melajukan mobilnya menuju diskotik. Kedatangannya kali ini benar-benar mengejutkan semua orang setelah kepergiannya secara sepihak sekian lalu lamanya.Kedatangannya kembali ke dalam kehidupan Hans, tentu saja tidak jauh dari niatnya ingin menyatu dengan mantan suami dan anaknya. “Sialan banget sih kamu Hans, baru juga aku tinggal beberapa bulan, kamu sudah punya wanita lain,” gerutunya sambil terus menginjak pedal gas.Setiba di Diskotik Eleven, dengan langkah penuh percaya diri, Sisil masuk ke dalam dengan rambut yang tergerai indah. Seolah ada rasa rindu terhadap tempat yang dulunya sering dikunjungi, wanita itu memilih salah satu bangku di sudut ruang tersebut.
Kedatangan Sisil di rumah Hans tentu saja membuat hati kecil Ashley penuh pertanyaan. Siapa wanita yang sempat memeluk suaminya itu? Namun, jangankan bertanya, ingin bernapas saja dadanya masih terasa sesak. Ashley sekuat tenaga menahan semua rasa itu demi sang suami.Tiba di lantai atas, Hans langsung membuka pintu kamar agar sang istri bisa masuk lebih dulu. Ia tidak ingin Ashley semakin kepikiran tentang Sisil, meskipun kenyataannya Ashley memang harus tau siapa Sisil sebenarnya.Keduanya melangkah lebih dalam masuk ke dalam kamar, kemudian Hans menutup pintu kamar rapat. Ada rasa campur aduk di dalam hati pria itu, apakah ini waktu yang tepat mengatakan semuanya pada sang istri?“Uhm … Ash?” panggil Hans tiba-tiba menghentikan langkah kaki sang wanita.