Pagi menjelang dengan langit yang perlahan berubah cerah, cahayanya menyusup masuk lewat tirai kamar rumah sakit. Ashley duduk di tepi ranjang, mengenakan sweater tipis dan celana panjang yang dibawakan Hans semalam. Rambutnya tergerai seadanya, luka di kepalanya sudah dibalut rapi. Meski nyut-nyutan masih terasa, wajahnya terlihat jauh lebih segar daripada malam sebelumnya.Hans mondar-mandir di kamar, membereskan tas kecil yang berisi barang-barang Ashley. Sesekali ia melirik istrinya, memastikan semuanya baik-baik saja.Ashley menggeser selimutnya pelan dan menurunkan kaki ke lantai. Dengan hati-hati, ia berdiri, lalu berjalan perlahan ke arah kamar mandi.Hans yang sedang membereskan tas langsung menghentikan gerakannya. “Mau ke mana?” tanyanya cepat.“Mau ke kamar mandi,” jawab Ashley tanpa menoleh.“Biar aku antar,” ucap Hans, sudah melangkah mendekat.Ashley menoleh sebentar. “Nggak usah, Ko. Aku bisa sendiri.”Ha
Sore harinya, dokter akhirnya masuk dengan senyum hangat di wajahnya. Setelah memeriksa hasil tes dan kondisi fisik Ashley, ia memberikan keputusan yang dinanti-nanti."Semua hasilnya baik. Tidak ada indikasi komplikasi. Jadi, Bu Ashley sudah boleh pulang sore ini, ya. Tapi tetap harus banyak istirahat di rumah."Ashley nyaris melompat dari tempat tidur kalau saja Hans tidak langsung menahan bahunya. Senyum lebarnya tidak luntur sedikit pun sejak dokter mengucapkan kata “boleh pulang.”“Terima kasih banyak, Dok!” ucap Ashley semangat.Hans mengangguk sopan. Setelah proses administrasi dan pengambilan obat selesai, mereka pun meninggalkan rumah sakit.Sepanjang perjalanan di dalam mobil, Ashley nyaris tak berhenti tersenyum. Ia duduk dengan tubuh condong ke depan, memeluk tas kecilnya, sementara pandangannya sesekali melongok keluar jendela.Hans yang menyetir di sebelahnya melirik beberapa kali, lalu tersenyum tipi
Setelah makan sore yang hangat dan sederhana, Hans dan Ashley akhirnya memutuskan untuk pulang. Hari mulai gelap, dan suasana di antara mereka dipenuhi dengan kehangatan yang masih membekas dari obrolan-obrolan kecil selama makan tadi. Di dalam mobil, Ashley memegang kotak kecil berisi kalung itu erat-erat di pangkuannya. Jemarinya sesekali menyentuh liontin bintang di dalamnya, seolah memastikan hadiah itu nyata dan bukan sekadar khayalan."Aku masih nggak percaya kamu melakukan ini," katanya pelan, masih menatap kotak itu. “Kupikir kita cuma mau makan aja.”Hans melirik sekilas sambil tersenyum. "Kamu suka?" Ashley mengangguk, senyumnya melebar. "Iya, aku sangat suka."Beberapa saat mereka diam. Musik lembut mengisi keheningan, menemani pemandangan lampu-lampu jalan yang melintas perlahan di balik kaca jendela.Tidak lama kemudian, Hans menepikan mobil ke bahu jalan yang cukup sepi, lalu mematikan mesin.As
Ashley mengerutkan kening. Ia perlahan turun dari gendongan Hans, berdiri di samping suaminya yang masih mematung, menatap ke arah sosok asing yang berdiri di ruang tamu. "Siapa perempuan itu? Kenapa Ko Hans terlihat begitu tegang?" batin AshleyPerempuan itu tampak anggun, dengan senyum lebar yang seolah tidak menyadari keterkejutan yang mengisi udara di sekitar mereka. Rambutnya tergerai rapi, bibirnya dilukis merah muda, dan matanya bersinar—seolah kedatangannya adalah kabar baik.Belum sempat Ashley bertanya, perempuan itu tiba-tiba melangkah cepat dan langsung memeluk Hans begitu saja, tanpa ragu.Ashley tersentak. Ia berdiri terpaku, matanya membelalak. Dadanya sesak seketika, jantungnya berdegup keras. Sedetik tadi, malam terasa hangat. Kini, ia seperti dilempar ke dalam kolam es.Sementara Hans juga tampak terkejut. Tubuhnya menegang beberapa detik, sebelum akhirnya ia mendorong perempuan itu perlahan, menjauh dari dirinya.
Kedatangan Sisil di rumah Hans tentu saja membuat hati kecil Ashley penuh pertanyaan. Siapa wanita yang sempat memeluk suaminya itu? Namun, jangankan bertanya, ingin bernapas saja dadanya masih terasa sesak. Ashley sekuat tenaga menahan semua rasa itu demi sang suami.Tiba di lantai atas, Hans langsung membuka pintu kamar agar sang istri bisa masuk lebih dulu. Ia tidak ingin Ashley semakin kepikiran tentang Sisil, meskipun kenyataannya Ashley memang harus tau siapa Sisil sebenarnya.Keduanya melangkah lebih dalam masuk ke dalam kamar, kemudian Hans menutup pintu kamar rapat. Ada rasa campur aduk di dalam hati pria itu, apakah ini waktu yang tepat mengatakan semuanya pada sang istri?“Uhm … Ash?” panggil Hans tiba-tiba menghentikan langkah kaki sang wanita.
Sementara Sisil yang tidak mendapatkan keinginannya saat di rumah Hans, wanita itu langsung keluar rumah dan melajukan mobilnya menuju diskotik. Kedatangannya kali ini benar-benar mengejutkan semua orang setelah kepergiannya secara sepihak sekian lalu lamanya.Kedatangannya kembali ke dalam kehidupan Hans, tentu saja tidak jauh dari niatnya ingin menyatu dengan mantan suami dan anaknya. “Sialan banget sih kamu Hans, baru juga aku tinggal beberapa bulan, kamu sudah punya wanita lain,” gerutunya sambil terus menginjak pedal gas.Setiba di Diskotik Eleven, dengan langkah penuh percaya diri, Sisil masuk ke dalam dengan rambut yang tergerai indah. Seolah ada rasa rindu terhadap tempat yang dulunya sering dikunjungi, wanita itu memilih salah satu bangku di sudut ruang tersebut.
Di dalam rumah tangga Hans dan Ashley semakin harmonis meski dalam kehidupan pasangan suami istri itu kedatangan tamu yang sangat tidak diharapkan. Namun, kejadian kemarin tidak membuat Ashley menaruh curiga terhadap mantan istri dari sang suaminya tersebut.Pagi ini di dalam keluarga Hans, Ashley tengah menyibukkan diri sejak tadi di dapur hingga membuat pancake. Sementara Hans sedang bermain bersama sang putra yang kini sudah aktif bermain. Usia Baby Neul setara dengan perkembangan fisik anak sebayanya, namun untuk perkembangan otak anak laki-laki tampan itu sangat cepat tanggap.“Neul, mau apa buka kulkas?” tanya Ashley saat melihat kedatangan sang anak yang membuka lemari pendingin.Rasa ingin tahu sang anak semakin kuat saat ia berhasil membuka kotak p
Situasi dalam ruang keluarga itu semakin hening meski alunan musik Hans mengalun lembut. Namun, tetap saja tidak merubah hati dan perasaan Ashley yang sangat penasaran, mengapa suaminya bisa tahu dengan lagu yang ia dengarkan.Tatapan nanar dalam pelupuk mata yang berkaca-kaca itu ingin segera menemukan jawaban. “Ko …” gumamnya pelan.Hans yang tanpa sadar diperhatikan sang istri dengan tatapan asing pun menghentikan pergerakan jemarinya. “Kamu kenapa, Ash?”Pertanyaan Hans ternyata mampu menghilangkan lamunan Ashley yang kini menatap wajah tampan sang suami dengan terisak.“Kamu kenapa, Sayang?” Hans seketika bangkit dengan menggendong Baby Neul. Langkah kakinya menghampir
Situasi dalam ruang keluarga itu semakin hening meski alunan musik Hans mengalun lembut. Namun, tetap saja tidak merubah hati dan perasaan Ashley yang sangat penasaran, mengapa suaminya bisa tahu dengan lagu yang ia dengarkan.Tatapan nanar dalam pelupuk mata yang berkaca-kaca itu ingin segera menemukan jawaban. “Ko …” gumamnya pelan.Hans yang tanpa sadar diperhatikan sang istri dengan tatapan asing pun menghentikan pergerakan jemarinya. “Kamu kenapa, Ash?”Pertanyaan Hans ternyata mampu menghilangkan lamunan Ashley yang kini menatap wajah tampan sang suami dengan terisak.“Kamu kenapa, Sayang?” Hans seketika bangkit dengan menggendong Baby Neul. Langkah kakinya menghampir
Di dalam rumah tangga Hans dan Ashley semakin harmonis meski dalam kehidupan pasangan suami istri itu kedatangan tamu yang sangat tidak diharapkan. Namun, kejadian kemarin tidak membuat Ashley menaruh curiga terhadap mantan istri dari sang suaminya tersebut.Pagi ini di dalam keluarga Hans, Ashley tengah menyibukkan diri sejak tadi di dapur hingga membuat pancake. Sementara Hans sedang bermain bersama sang putra yang kini sudah aktif bermain. Usia Baby Neul setara dengan perkembangan fisik anak sebayanya, namun untuk perkembangan otak anak laki-laki tampan itu sangat cepat tanggap.“Neul, mau apa buka kulkas?” tanya Ashley saat melihat kedatangan sang anak yang membuka lemari pendingin.Rasa ingin tahu sang anak semakin kuat saat ia berhasil membuka kotak p
Sementara Sisil yang tidak mendapatkan keinginannya saat di rumah Hans, wanita itu langsung keluar rumah dan melajukan mobilnya menuju diskotik. Kedatangannya kali ini benar-benar mengejutkan semua orang setelah kepergiannya secara sepihak sekian lalu lamanya.Kedatangannya kembali ke dalam kehidupan Hans, tentu saja tidak jauh dari niatnya ingin menyatu dengan mantan suami dan anaknya. “Sialan banget sih kamu Hans, baru juga aku tinggal beberapa bulan, kamu sudah punya wanita lain,” gerutunya sambil terus menginjak pedal gas.Setiba di Diskotik Eleven, dengan langkah penuh percaya diri, Sisil masuk ke dalam dengan rambut yang tergerai indah. Seolah ada rasa rindu terhadap tempat yang dulunya sering dikunjungi, wanita itu memilih salah satu bangku di sudut ruang tersebut.
Kedatangan Sisil di rumah Hans tentu saja membuat hati kecil Ashley penuh pertanyaan. Siapa wanita yang sempat memeluk suaminya itu? Namun, jangankan bertanya, ingin bernapas saja dadanya masih terasa sesak. Ashley sekuat tenaga menahan semua rasa itu demi sang suami.Tiba di lantai atas, Hans langsung membuka pintu kamar agar sang istri bisa masuk lebih dulu. Ia tidak ingin Ashley semakin kepikiran tentang Sisil, meskipun kenyataannya Ashley memang harus tau siapa Sisil sebenarnya.Keduanya melangkah lebih dalam masuk ke dalam kamar, kemudian Hans menutup pintu kamar rapat. Ada rasa campur aduk di dalam hati pria itu, apakah ini waktu yang tepat mengatakan semuanya pada sang istri?“Uhm … Ash?” panggil Hans tiba-tiba menghentikan langkah kaki sang wanita.
Ashley mengerutkan kening. Ia perlahan turun dari gendongan Hans, berdiri di samping suaminya yang masih mematung, menatap ke arah sosok asing yang berdiri di ruang tamu. "Siapa perempuan itu? Kenapa Ko Hans terlihat begitu tegang?" batin AshleyPerempuan itu tampak anggun, dengan senyum lebar yang seolah tidak menyadari keterkejutan yang mengisi udara di sekitar mereka. Rambutnya tergerai rapi, bibirnya dilukis merah muda, dan matanya bersinar—seolah kedatangannya adalah kabar baik.Belum sempat Ashley bertanya, perempuan itu tiba-tiba melangkah cepat dan langsung memeluk Hans begitu saja, tanpa ragu.Ashley tersentak. Ia berdiri terpaku, matanya membelalak. Dadanya sesak seketika, jantungnya berdegup keras. Sedetik tadi, malam terasa hangat. Kini, ia seperti dilempar ke dalam kolam es.Sementara Hans juga tampak terkejut. Tubuhnya menegang beberapa detik, sebelum akhirnya ia mendorong perempuan itu perlahan, menjauh dari dirinya.
Setelah makan sore yang hangat dan sederhana, Hans dan Ashley akhirnya memutuskan untuk pulang. Hari mulai gelap, dan suasana di antara mereka dipenuhi dengan kehangatan yang masih membekas dari obrolan-obrolan kecil selama makan tadi. Di dalam mobil, Ashley memegang kotak kecil berisi kalung itu erat-erat di pangkuannya. Jemarinya sesekali menyentuh liontin bintang di dalamnya, seolah memastikan hadiah itu nyata dan bukan sekadar khayalan."Aku masih nggak percaya kamu melakukan ini," katanya pelan, masih menatap kotak itu. “Kupikir kita cuma mau makan aja.”Hans melirik sekilas sambil tersenyum. "Kamu suka?" Ashley mengangguk, senyumnya melebar. "Iya, aku sangat suka."Beberapa saat mereka diam. Musik lembut mengisi keheningan, menemani pemandangan lampu-lampu jalan yang melintas perlahan di balik kaca jendela.Tidak lama kemudian, Hans menepikan mobil ke bahu jalan yang cukup sepi, lalu mematikan mesin.As
Sore harinya, dokter akhirnya masuk dengan senyum hangat di wajahnya. Setelah memeriksa hasil tes dan kondisi fisik Ashley, ia memberikan keputusan yang dinanti-nanti."Semua hasilnya baik. Tidak ada indikasi komplikasi. Jadi, Bu Ashley sudah boleh pulang sore ini, ya. Tapi tetap harus banyak istirahat di rumah."Ashley nyaris melompat dari tempat tidur kalau saja Hans tidak langsung menahan bahunya. Senyum lebarnya tidak luntur sedikit pun sejak dokter mengucapkan kata “boleh pulang.”“Terima kasih banyak, Dok!” ucap Ashley semangat.Hans mengangguk sopan. Setelah proses administrasi dan pengambilan obat selesai, mereka pun meninggalkan rumah sakit.Sepanjang perjalanan di dalam mobil, Ashley nyaris tak berhenti tersenyum. Ia duduk dengan tubuh condong ke depan, memeluk tas kecilnya, sementara pandangannya sesekali melongok keluar jendela.Hans yang menyetir di sebelahnya melirik beberapa kali, lalu tersenyum tipi
Pagi menjelang dengan langit yang perlahan berubah cerah, cahayanya menyusup masuk lewat tirai kamar rumah sakit. Ashley duduk di tepi ranjang, mengenakan sweater tipis dan celana panjang yang dibawakan Hans semalam. Rambutnya tergerai seadanya, luka di kepalanya sudah dibalut rapi. Meski nyut-nyutan masih terasa, wajahnya terlihat jauh lebih segar daripada malam sebelumnya.Hans mondar-mandir di kamar, membereskan tas kecil yang berisi barang-barang Ashley. Sesekali ia melirik istrinya, memastikan semuanya baik-baik saja.Ashley menggeser selimutnya pelan dan menurunkan kaki ke lantai. Dengan hati-hati, ia berdiri, lalu berjalan perlahan ke arah kamar mandi.Hans yang sedang membereskan tas langsung menghentikan gerakannya. “Mau ke mana?” tanyanya cepat.“Mau ke kamar mandi,” jawab Ashley tanpa menoleh.“Biar aku antar,” ucap Hans, sudah melangkah mendekat.Ashley menoleh sebentar. “Nggak usah, Ko. Aku bisa sendiri.”Ha
Lampu kamar menyala temaram. Dari balik tirai jendela besar, langit malam tampak gelap tanpa bintang. Ruangan sunyi, hanya suara hembusan pelan AC yang terdengar.Hans kembali duduk di kursi, sementara Ashley masih bersandar lemah di ranjang. Mereka terus mengobrol, seolah tidak ingin malam cepat berlalu.“Tadi kamu bilang darahku banyak sekali?” tanya Ashley sambil memutar tubuhnya sedikit ke arah Hans.Hans mengangguk. “Iya, aku bener-bener panik. Rasanya mau teriak minta tolong ke seluruh dunia.”Ashley tertawa kecil, tapi langsung meringis karena kepalanya masih nyut-nyutan. “Jangan lebay, Ko.”“Aku serius,” ucap Hans cepat. “Saat kamu nggak sadarkan diri, aku sangat khawatir. Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan jika kamu sampai ....”Ashley menyentuh tangan Hans, menggenggamnya erat. “Aku masih di sini.”Hans mengangguk, menatap mata istrinya lama.Beberapa menit mereka terdiam. Lalu Ashley menguap