“Mas, uang kita yang dua ratus ribu mana?”
“Tadi dipinjam sama ibu.” “Amira panas, Mas. Panasnya sangat tinggi. Kenapa kamu kasih? Mas, tolong minta lagi uang itu sama ibu. Kita harus membawa Amira ke dokter. Aku takut terjadi apa-apa sama anak kita. Kita tidak punya uang lagi selain uang itu.” Arsya yang tengah meminum kopi, segera berdiri dan mendekati Nabila, istrinya yang tengah menggendong Amira, putri mereka yang baru berusia 2 bulan. “Hanya demam biasa, coba kamu kompres saja Amira, nanti juga dia bakalan sembuh,” imbuh Arsya. Nabila menggeleng pelan, jelas Amira membutuhkan penanganan dokter. Suhu tubuh Amira sudah berada di atas normal. Membuat Nabila bersikeras ingin membawanya ke dokter. “Tidak, Mas, Amira butuh pertolongan dokter. Kita tidak bisa membiarkannya seperti ini. Pokoknya kamu minta lagi uang itu dari ibu. Aku tidak mau tahu, Amira harus dibawa ke dokter,” sahut Nabila. Arsya kemudian pergi ke dapur, kemudian kembali dengan membawa rantang berisi air dan juga handuk kecil. “Sini, biar aku saja yang urus Amira. Anak hanya demam biasa, kamu malah sibuk ingin aku meminta uang itu lagi. Lagi pula, ibuku lebih membutuhkan uang itu.” Arsya kemudian mengompres dahi Amira dengan kain handuk yang telah dibasahi itu. Bukannya tangisannya mereda, tangisan Amira malah semakin kencang. Wajahnya pun semakin memerah seperti menahan sakit. Nabila kecewa dengan sikap Arsya yang menganggap hal ini sepele. Lantas ia keluar dari kamar, ia mencari ibu mertuanya untuk meminta uang itu kembali. “Bu, apa ada di dalam?” Nabila mengetuk pintu kamar ibu mertuanya. “Bu, ada yang ingin aku bicarakan sama Ibu. Tolong buka pintunya!” Lama Nabila berdiri di depan pintu kamar ibu mertuanya. Namun, pintu itu tak kunjung terbuka. Setelah memastikan ibu mertuanya tidak ada di kamar, Nabila pun segera keluar untuk mencarinya. Amira yang baru saja mengenakan alas kaki. Ia melihat ibu mertuanya bersama dengan Weni yang menggendong anaknya, istri dari almarhum adik Arsya sedang berjalan sambil menenteng kantong kresek besar berisi 2 kotak susu formula berukuran besar. Tampaknya mereka habis berbelanja dari minimarket. “Bu, maaf kalau aku lancang. Bu, aku mau meminta kembali uang yang Ibu pinjam dari mas Arsya. Amira demam, dia harus secepatnya dibawa ke dokter,” ujar Nabila. “Uang? Kenapa kamu mau memintanya kembali? Lagi pula Ibu hanya meminjam. Nanti juga dibalikin, tapi tidak sekarang. Amira hanya demam, kan? Cukup dikompres saja nanti juga turun panasnya. Sudahlah, Nabila, Ibu capek Ibu habis membeli susu buat Bella. Lagi pula, uang itu Ibu gunakan untuk membeli susu formula,” sahut bu Retno. Nabila terbelalak, ia tidak menyangka jika ibu mertuanya tega berbicara seperti itu. Situasi genting seperti ini, dia masih saja bersikap pilih kasih. Padahal, Amira juga adalah cucu kandungnya. Namun, kasih sayang bu Retno lebih condong terhadap Bella. “Bu, asi Weni lancar, tidak perlu membeli susu formula. Kenapa Ibu dan Weni selalu memaksakan kehendak jika keuangan kita sedang tidak baik-baik saja?” Nabila sungguh tidak habis pikir. Di mana pikiran keluarga itu? Sehingga mereka abai saat salah satu anggota keluarganya tengah menahan sakit. Bu Retno tidak ingin perdebatan ini semakin ke mana-mana. Ia pun segera masuk menyusul Weni ke dalam rumah. Tangisan Amira semakin menjadi. Hal itu membuat Nabila semakin khawatir. Lantas ia segera berlari ke dalam kamarnya. Ia melihat Amira dibaringkan di atas kasur. Namun, Arsya dengan santainya ia tertidur pulas di samping Amira, tanpa terganggu sedikit pun oleh tangisan Amira. “Bangun, Mas. Kita harus membawa Amira ke dokter. Kita tidak bisa diam saja seperti ini. Kamu sebagai Ayah, jangan santai seperti ini. Kita pinjam uang ke tetangga atau siapa saja. Yang penting anak kita harus mendapatkan penanganan dari dokter,” ujar Nabila, ia mengguncang-guncang tubuh Arsya, supaya suaminya itu lekas bangun. “Aku ngantuk, Nabila. Sudah, kamu jangan terlalu berlebihan seperti ini. Bayi seumuran Amira memang biasa seperti ini. Kamu jangan membuat aku pusing dengan semua ocehanmu. Sekarang, sebaiknya kamu kompres lagi Amira. Aku mau tidur,” sahut Arsya. Ingin marah, rasanya percuma. Arsya seakan menganggap penyakit yang diderita Amira adalah hal biasa. Nabila pun segera menggendong Amira, kemudian membawanya keluar. Ia akan membawa Amira ke dokter, masalah biaya, ia akan meminjam kepada tetangga. “Kamu yang sabar ya, Nak. Ibu akan membawa kamu ke dokter. Kamu harus kuat,” gumam Nabila, setengah berlari ia terus berjalan ke jalan raya menuju sebuah klinik. Nabila kemudian menyetop angkutan kota, untuk mempersingkat waktu. Sementara Amira tidak hentinya menangis. Sesampainya di depan klinik, Nabila turun tergesa-gesa dari mobil. Beruntung Amira mulai tenang dan tidak menangis lagi, bahkan kini Amira tertidur begitu nyenyak. “Alhamdulillah … kamu sudah tenang, Sayang. Sebentar lagi kamu akan sembuh. Kita ketemu bu dokter dulu di dalam, ya!” gumam Nabila mengajak bicara bayinya itu. “Bu, apakah demamnya sudah lama?” tanya dokter yang menangani Amira. Dokter itu tengah memeriksa detak jantung Amira. “Dari tadi pagi, Dok. Dia rewel terus dan suhu tubuhnya sangat panas. Tolong anak saya, Dok. Tolong sembuhkan anak saya,” jawab Nabila. Dokter wanita muda berhijab abu-abu itu tampak menghembuskan napas kasar. Kemudian menepuk pelan bahu Nabila. Membuat Nabila bingung dengan sikap dokter itu. “Ibu yang sabar, ya. Anak Ibu sudah berpulang,” ucap dokter. Nabila menautkan kedua alisnya, tidak mengerti dengan ucapan dokter barusan. “Ma-maksud Dokter apa? Anak saya tidak apa-apa kan, Dok? Dia hanya demam biasa, kan, dan dia bisa sembuh?” tanya Nabila. Sayangnya dokter itu menggelengkan kepalanya. Membuat Nabila terhenyak, wajahnya menyiratkan tidak percaya. “Mohon maaf, Bu. Anak Ibu tidak selamat. Anak Ibu telat mendapat penanganan,” jawab dokter. Deg! Dunia Nabila seakan berhenti. Nabila menggelengkan kepalanya. Ia kemudian menatap wajah putrinya yang sudah tidak bernapas lagi. Perlahan, matanya mulai berkaca-kaca, kemudian luruh membasahi pipinya. “Tidak, tidak mungkin anak saya meninggal, Dok. Anak saya masih hidup. Katakan, anak saya masih hidup kan, Dok? Dia masih bernapas, kan?” Nabila memeluk tubuh Amira dengan tangisan pecah memenuhi ruangan. Ditatap wajah putrinya, wajah yang tidak berdosa itu harus kehilangan nyawa secepat itu. Seketika ia teringat akan suami, mertua dan iparnya. Tangannya refleks mengepal kuat. Merasa sudah tidak ada harapan lagi, Nabila memutuskan untuk pulang sambil kembali menggendong anaknya. Kini, dunia Nabila seakan berhenti berputar. Semua harapan hancur saat anaknya dinyatakan meninggal dunia. “Tega kalian semua, anakku mati gara-gara kalian!” gumam Nabila, sambil terus berjalan dengan air mata yang terus mengalir tak mau berhenti. Nabila menjadi pusat perhatian orang-orang saat ia berjalan. Hingga ia memutuskan menaiki ojek. Sampai di depan rumah, Nabila turun dan kembali berjalan hendak masuk. Tampak banyak sandal yang berada di depan teras, membuat Nabila heran ada apa di rumah mertuanya itu?Keesokan paginya, suasana di dapur rumah Mona telah riuh ramai dengan suara alat penggorengan yang silih beradu. Mona tengah berkutat sendiri di ruangan itu. Aroma masakan tercium ke seluruh penjuru ruangan.Mona tengah membuat sarapan pagi itu seorang diri. Pagi itu, Mona tampak kerepotan dengan aktivitas yang tidak seperti biasanya ia lakukan. Di tengah-tengah sibuknya memasak, tiba-tiba Mona meringis, perutnya mendadak mulas.“Nadin, ke sini dulu!” panggil Mona.Nadin yang tengah duduk santai di ruang TV sambil menonton film kesukaannya, hanya diam tidak menanggapi panggilan Mona.“Nadin, cepat ke sini dulu! Bantuin Mama sebentar!” panggil Mona, kini suara itu setengah berteriak.“Ck, apaan sih, Mama? Orang lagi seru, juga!” gerutu Nadin, ia pun beranjak dari duduknya.Nadin berjalan malas ke arah dapur. Ia melipat kedua tangannya dan menyandarkan sebelah bahunya di ambang pintu.“Ada apa sih, Ma, teriak-teriak? Aku lagi nonton TV, loh!” ujar Nadin.Mona makin meringis, lantas mend
Seketika Gala dengan cepat menutup aplikasi m-banking miliknya. Ia hampir saja melakukan transaksi itu. Ia begitu ceroboh dan nyaris melakukan kesalahan. Namun, beruntung ia menemukan kejanggalan itu di waktu yang tepat.“Loh, kok belum masuk juga uangnya,” imbuh Laksmi, ia menyoroti layar ponselnya.Gala menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Ia menatap Laksmi begitu tajam. Tatapan mata Gala membuat Laksmi bertanya-tanya.“Kenapa menatap Tante seperti itu? Katanya mau bayarin hutang ayahnya Nabila. Tapi kenapa uangnya belum masuk juga?” tanya Laksmi merasa heran.“Om lihat tangan Tante Laksmi. Apakah pemikiran kita sama?” tanya Gala.Bayu tampak tidak paham dengan apa yang diucapkan Gala barusan. Begitu pun juga dengan Nabila.“Ada apa, Gala? Ada apa dengan tangannya Laksmi?” tanya Bayu.“Maksud kamu apa, Gala?” timpal Laksmi.Gala menyandarkan kembali punggungnya ke sandaran kursi, ia melipat kedua tangannya.“Om periksa saja tangan Tante Laksmi. Dia sedang mencoba menipu
Bayu mengetuk pintu itu, sambil memanggil nama Laksmi.“Laksmi, kenapa pintunya dikunci?” tanya Bayu, ia merasa aneh.Tidak ada jawaban sama sekali dari dalam. Hanya hening yang tercipta di tempat itu. Membuat Bayu merasa bingung.Bayu terus mengetuk pintu kamar itu, berharap Laksmi segera membukanya. Namun, tidak ada tanda-tanda Laksmi hendak membukanya.Perasaan Bayu seketika menjadi tidak enak. Apakah Laksmi mencoba kabur?Ketukan itu perlahan berubah menjadi sebuah gedoran. Hal itu memicu rasa penasaran Nabila yang mendengarnya. Wanita itu pun menghampiri Bayu, mencari tahu apa yang terjadi.“Kenapa, Om? Kok Om gedor-gedor pintu?” tanya Nabila.Bayu mengusap wajahnya kasar. Tampak sekali gurat kekhawatiran pada wajahnya.“Nabila, sepertinya tante kamu kabur. Pintunya dikunci dari dalam, kemungkinan tante kamu pergi lewat jendela,” jawab Bayu.Nabila membulatkan matanya, tidak menyangka jika Laksmi akan lari dari masalah ini.“Ya Tuhan, tante ….” Nabila mendengus kesal akibat ulah
“Jahat!” jerit Bayu.Wajah bayu semakin memerah padam. Ternyata selama ini ia telah dibohongi oleh Laksmi. Penyebab ia tidak bisa memiliki keturunan, ternyata bukan semata karena dirinya mandul. Namun, yang bermasalah ternyata Laksmi yang pernah melakukan aborsi, hingga menyebabkan rahimnya rusak dan tidak bisa memiliki keturunan lagi.“Kamu sudah membohongiku,” ujar Bayu tampak emosi.Laksmi menundukkan kepalanya menatap lurus ke arah lantai.“Aku minta maaf, Mas. Aku takut kamu kecewa jika aku jujur sama kamu. Jangan hanya menyalahkanku saja. Yang lebih bersalah itu adalah ibunya Nabila. Dia penyebab hubunganku dan juga kekasihku hancur. Aku tidak masalah aku pisah dengan kekasihku, jika waktu itu aku tidak mengandung anaknya. Tapi kenyataannya, saat kekasihku meninggalkanku dan menikah dengan ibunya Nabila, aku sedang berbadan dua.Coba Mas bayangkan, wanita mana yang tidak sakit hati melihat kakak satu-satunya yang dia sayangi, menikah dengan wanita selingkuhan kekasihnya dulu. Wa
“Benar kata Om Bayu, Tante. Pasti ada motif di balik perbuatan Tante. Apakah masalah ekonomi? Aku rasa, Om Bayu mampu membiayai hidup Tante. Aku tahu, Om Bayu suami yang sangat bertanggung jawab. Apakah ada motif lain yang mendasari Tante berbuat seperti itu?” timpal Nabila, ia begitu penasaran.“Kalian tidak akan mengerti, percuma saya jelaskan juga!” sahut Laksmi, menolak untuk menjelaskan.Wajah Bayu tampak gusar, rasanya akan susah berbicara dengan orang keras kepala seperti Laksmi.“Kami tidak akan mengerti kalau kamu tidak ngomong, Laksmi. Coba jelaskan, jangan membuat kami semakin marah sama kamu!” cetus Bayu, ia merasa sangat kesal terhadap istrinya itu.Gala pun menimpali, “Benar, Tante, kata Om Bayu. Kami tidak akan mengerti kalau Tante tidak ngomong. Jelaskan, atau rekaman ini akan saya viralkan.”Laksmi membulatkan matanya, ternyata diam-diam Gala telah merekam semua pengakuan Laksmi yang telah tega menjual keponakannya sendiri.Dengan senyuman miring, Gala mengacungkan po
“Mas!”Laksmi spontan memegangi sebelah pipinya. Sensasi sakit dan panas ia rasakan setelah sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.“Gila, benar-benar gila kamu, Laksmi. Kamu telah membohongi semua orang. Secara tidak langsung, kamu telah menyiksa kakak kamu sendiri. Kenapa kamu lakukan ini, Laksmi?!” bentak Bayu, ia mengusap wajahnya dengan kasar.Sementara Nabila, ia menangis tersedu setelah mengetahui perbuatan jahat Laksmi. Ternyata memang benar, kenyataannya bahwa Delima adalah Naima, kakak kandung Nabila.Bi Nining membawa Nabila ke dalam pelukannya. Berusaha menenangkan majikan barunya itu.“Aku minta maaf, Mas, aku … aku khilaf!” ucap Laksmi.Bayu yang berdiri tak jauh dari Laksmi, menatap geram ke arahnya. Tampak sekali gurat kemarahan dari wajah Bayu.Kecewa, marah, sedih, seketika bercampur menjadi satu.“Khilaf? Khilaf kamu bilang? Kamu sadar, nggak, apa yang telah kamu lakukan? Kamu telah membuat banyak orang menderita. Kamu telah merugikan banyak pihak. Tega sekali ka