67Aira merasa seperti kembali ke masa lalu, saat dirinya pertama kali bertemu laki-laki yang akhirnya mengenalkannya dengan sesuatu yang bernama cinta. Laki-laki yang yang pernah membuatnya merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia, walaupun lelaki itu juga yang akhirnya menorehkan kata luka di hatinya. Laki-laki yang sama yang mengenalkan cinta, tetapi juga membuatnya terluka di kemudian hari. Laki-laki itu … bernama Randi. Ya, Randi. Laki-laki itu kini berdiri di hadapannya dengan penampilan yang sangat berbeda. Tubuh lebih berisi, kulit bersih, rambut rapi, dan wajah lebih bercahaya. Senyum terus mengembang di wajah bersihnya. "Assalamu'alaikum, Ai. Apa kabar?" sapanya lebih dulu saat dilihatnya Aira masih saja terpaku. Bahkan mata wanita itu seolah tak berkedip menatap sang mantan suami yang baginya seperti tengah bereinkarnasi. Randi yang sekarang sangat berbeda dengan Randi saat terakhir kali bertemu. "Bagaimana kabar kalian, Ai? Bagaimana kabar Raka? Mas kangen sekali
58Alexander meninju meja hingga jari-jari tangannya memerah. Setelah itu ia berjalan keluar dengan langkah-langkah panjang penuh amarah. Garasi mobil yang ditujunya. Lelaki itu langsung memasuki mobil sport pribadinya. Tanpa ditemani sopir atau pengawal yang setiap saat membersamainya, Alexander langsung memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Meninggalkan kediamannya. Meluncur di jalanan yang lumayan padat sore ini. Meliuk-liuk mencari jalanan yang lengang di antara para pengemudi lain. Salip sana salip sini hingga meresahkan pengguna jalan lain. Tak jarang suara klakson nyaring dan panjang, juga sumpah serapah terdengar memekakan telinga yang ditujukan padanya akibat ugal-ugalan di jalan raya. Alexander tidak peduli. Ia sedang marah. Ia tengah kecewa. Cintanya hanya bertepuk sebelah tangan. Miris memang, ia harus bertekuk lutut di hadapan seorang ibu susu. Bahkan hingga berkali-kali meminta agar sang wanita mau menerima cintanya. Ia seperti pengemis cinta yang selalu gagal deng
59"Apa maksud, Om?" Alexander menegakkan tubuh, lalu menatap tajam Sultan. "Kalau kau tidak bisa melakukannya, bahkan demi dia. Ya sudah, lupakan dia dan cari yang lain. Sesimpel itu, bukan? Kenapa harus ribet?" Sultan mengangkat bahunya dengan santai. "Bahkan dia hanya seorang ibu susu. Kenapa kau harus kalah dengan dia? Kau masih bisa mendapatkan banyak wanita seperti dia, bukan?"Wajah Alexander merengut. "Om kira semudah itu membunuh perasaan yang sudah kadung tumbuh dan mengakar? Om kira mudah mendapatkan seseorang yang bisa menyayangi anak kita seperti anaknya? Mungkin ada banyak wanita bersedia kunikahi, tapi yang mau mengurus dan menyayangi anakku dengan tulus? Tidak akan kudapatkan semudah itu, Om!""Tepat sekali, Nak! Karena itu dia mungkin memilih rujuk dengan mantan suaminya. Karena tidak mudah mendapatkan pengganti ayah dari anaknya. Aku lihat ia wanita yang rela mengesampingkan kepentingannya sendiri demi anaknya. Ia akan mengubur kenangan buruk perilaku mantan suamin
59Aira mematung sempurna. Dua bayi yang menangis memeluk dirinya, semakin membuat wanita itu kebingungan. Alexander marah ia menerima panggilan. Fatalnya, lelaki itu berteriak di depan anak-anak. Ingin Aira ikut menangis bersama anak-anak, menyesalkan kelakuan Alexander. Tidakkah lelaki itu sadari ia telah menyakiti dan membuat takut anak-anak? Dita dan Nina yang mendengar kegaduhan di ruang bermain, segera berlarian menghampiri mereka. Memeluk bayi masing-masing yang mereka asuh. Lalu membawa mereka dari sana, agar mereka tenang. Tinggallah Alexander dan Aira yang berhadapan, dengan suasana tidak mengenakkan. "Maaf, Tuan. Ini salah saya!" ucap Aira dengan suara bergetar. Kepalanya menunduk tajam. Alexander menatap tajam Aira, sebelum meremas rambut dengan frustrasi. Sungguh ia pun kaget dengan kelakuannya sendiri. Bagaimana ia bisa lepas kontrol seperti ini? Rasanya, niatnya untuk mengambil hati Raka akan semakin sulit. "Saya tidak akan mengulanginya lagi," lanjut Aira denga
61"Apa yang kau lakukan, Aira?!" desis Alexander yang juga tak kalah kaget. Lelaki berambut basah itu gegas menutup tubuh bagian depannya dengan mengikat handuknya. "Kau membuat kotor kamarku!" lanjut Alexander dengan menunjuk makanan yang sudah terserak di lantai kamar, bahkan sebagian menempel di selimut yang menjuntai dan barang-barang lainnya yang dekat dengan posisi baki terjatuh. "Ma-af Tu-an, sa-ya akan membersihkannya." Suara Aira masih terdengar bergetar saat wanita itu bersimpuh memunguti piring yang sudah pecah menjadi puing-puing. Melihat itu, mata Alexander semakin melebar. Lelaki itu gegas berjalan mendekat. Lalu bertolak pinggang. "Apa yang kau lakukan, Aira? Berhenti melakukannya! Suruh pelayan yang membersihkan!" pekik Alexander lagi dengan berdiri di dekat wanita itu. Aira semakin gugup. Apalagi wangi sabun dan sampo menguar kuat dari tubuh yang diyakini baru selesai mandi itu, semakin membuat perasaan wanita itu kalau balau. Bukan berhenti, Aira malah semakin
62Apa Alexander menggendongnya ke sana?Apa Alexander tidak melakukan apa-apa saat dirinya tidak sadarkan diri? Aira meraba-raba tubuhnya, mencari tahu apa ada yang sakit. Lalu menyilangkan tangan di dada. Alexander hanya mendengkus melihat tingkah Aira. Wanita itu bertingkah seolah anak perawan yang masih polos. Sementara Hasna menutup mulut dengan tangannya untuk menyembunyikan senyum, sebelum wanita itu menjauhi Aira karena ponselnya berdering. Wanita paruh baya itu terlihat mengangkat panggilan, lalu bicara dengan seseorang di telepon. Tak lama menutupnya lagi, dan kembali menghadap Aira. "Tuan muda nangis mencarimu," ujarnya dengan menunjuk ponsel. Aira yakin Nina yang baru saja menghubungi Hasna. "Ya sudah, bantu aku ke sana ….""Tidak! Suruh saja babysitter membawa Alister ke sini! Kau susui saja di sini!" cegah Alexander cepat. "Tapi, Tuan ….""Tapi apa? Bukankah kau masih pusing? Sudah Hasna! Suruh Alister dibawa ke sini!" titah sang boss lagi dengan tidak terbantah.
63"Mas ingin segera menebus kesalahan kepada kalian, Ai. Mas ingin kita bersama-sama lagi sebagai satu kelurga agar Raka mendapatkan kasih sayang yang utuh dari orang tuanya."Aira menggigit bibir setelah mendengar ucapan Randi. Ia bingung harus menjawab apa. Harapan lelaki itu begitu besar agar mereka bisa bersama lagi. Terlebih Aira tahu kalau Raka memang butuh itu. Seorang anak butuh kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tuanya. Namun, sayangnya lelaki itu hadir lagi di saat hati Aira sudah mulai tumbuh benih-benih cinta untuk lelaki lain. Lelaki yang berbulan-bulan ini setiap waktu ia temui. Lelaki yang terkadang bersikap kelewat manis. Hingga sikap manisnya itu mengalahkan sikap menyebalkannya. Aira bimbang. Dua lelaki menawarkan kehidupan baru untuk masa depannya. Mantan suami yang sudah bertobat dan ingin memperbaiki kesalahan. Lalu seorang ayah yang anaknya sudah sangat tergantung padanya. Dua-duanya menawarkan kehidupan yang tentu akan sangat berbeda. Randi memang mi
63Pundak Alexander meluruh. Wajahnya yang awalnya begitu antusias berubah lemas. Lelaki itu akhirnya pergi meninggalkan kamar Raka setelah dirasa usahanya sia-sia. Ia berjalan dengan tidak bersemangat. Bahkan, saat melewati Aira yang baru keluar dari kamar Alister, lelaki itu tak melirik sama sekali. Ia terus berjalan lemah menuju kamarnya. Aira yang melihat keanehan itu, terus memandangi Alexander dengan alis bertaut, hingga tubuhnya menghilang di balik pintu kamarnya. Wanita itu menggeleng tak mengerti, sebelum beranjak menuju kamar sang anak. Sampai di depan pintu yang terbuka, masih terdengar suara tangisan Raka dari luar. Kaki Aira mendadak berhenti di depan pintu demi melihat kantong yang tergantung di handel pintu. "Hai anak Mama, kenapa menangis?" tanya Aira begitu masuk dan mendapati Raka menangis dalam gendongan Dita. Wanita itu langsung mengambil alih tubuh Raka, dan mengusap punggungnya dengan sayang. "Kenapa Raka nangis, Dit? Apa dia tidak mau mandi?" Aira menatap Di