Share

Bab 3

IBUKU BUKAN BABUMU 3

"Damar! Kalau kamu apa apakan Dinara! Bapak tak akan mengampunimu!" Teriak Bapak kencang. Tangan Mas Damar yang terangkat kembali dia turunkan. 

"Hah!" Dia menghembuskan napas kasar.

Perlahan aku membuka mata. Mas Damar sudah duduk di sofa dengan bahu turun naik. Kedua tangan saling memilin.

"Kamu itu! Seharusnya berterima kasih pada adikmu. Dia peduli sama Ibunya. Ga seperti kamu! Ibumu dijadikan babu sama Ulya. Kau diam saja!" Bapak mendekat dengan kaki yang digeret.

"Seharusnya dia berkata baik-baik, Pak. Sekarang Ulya tak mau lagi mengeluarkan dana untuk kuliah Dinara! Dia malah akan menggugat cerai jika Damar tetap membantu." Suara Mas damar serak. Sungguh ja hat perempuan itu. Tega dia membuat suaminya berada dalam dilema.

"Tak apa, Mas. Nara akan berhenti sementara kuliah. Selamatkan saja rumah tangga Mas. Tak perlu hiraukan kami," lirihku.

Mas Damar menyugar rambutnya dengan kasar lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Laki-laki yang masih mengenakan jaket hijau khas seorang driver ojek online itu terdiam. Aku tau dia sangat ingin membantuku, tapi saat ini Mas damar tak punya kemampuan.

"Pulanglah. Ibu tak apa-apa. Kamu tetap anak Ibu. Apapun yang terjadi kamu datanglah kesini. Sekarang lebih baik kamu tenangkan Ulya. Semoga hatinya Allah lembutkan," papar Ibu. 

Mas Damar bangkit. Tanpa kata berlalu pergi. Bapak menghembuskan napas berat. Kasian beliau, dimasa tua begini seharusnya sudah bisa menikmati masa istirahat. Tapi, nyatanya sampai sekarang tetap harus berjuang mencari uang untuk makan.

"Anak tak tau sopan santun," lirih Bapak melihat punggung Mas damar yang menjauh.

"Seharusnya dia lebih bijak, uang pesangon bukannya dipakai untuk modal usaha. Malah dikasih ke istrinya untuk beli mobil. Sekarang hidup dibawah belas kasih istri." Sungut Bapak dengan napas berat.

"Biarkan saja, Pak. Namanya sudah berumah tangga. Kita tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia sudah dewasa untuk membuat keputusan," sahut Ibu. Ada sinar kekecewaan disana. 

Ya Allah, perkenankan aku membahagiakan kedua orang tuaku ini.

***

"Kamu serius, Ra? Kalau kamu cuti siapa yang akan bantuin aku belajar? Trus kalau nanti kehabisan pulsa aku beli kesiapa, dong?" Seru Cherryl. Aku tersenyum, gadis baik itu meski kami beda keyakinan. Tapi, baiknya luar biasa. Aku tau jika sekarang banyak yang memilih membeli pulsa lewat mbangking. Tapi, Cheryl selalu mencariku dan mengajak teman-teman yang lain untuk mengisi pulsa maupun kuota padaku.

"Aku tak punya pilihan, Cher. Nanti jika uangku sudah cukup aku akan lanjutkan kuliahku lagi."

"Kamu yakin, Ra? Tinggal dua semester lagi, Ra?" Timpal Gina.

"Yakin, Gin. Jangan kangen, ya. Kalau butuh contekan bisa sama Riko, dia kan jago," ujarku sambil menunjuk Riko dengan dagu. Laki-laki itu hanya diam, tak seperti biasanya.

"Aku juga akan cuti ikut kamu, Ra. Nanti jika kamu sudah siap untuk kuliah aku juga akan mulai ngampus lagi."

"Cieee ... Riko, so sweet banget sih!" Sorak Cheryl. Begitu juga dengan Gina. Aku hanya tertawa kecil, Kon yol sekali dia.

"Bangun, Ko! Jangan ngehalu. Kamu itu hidup tenang dengan keluarga berkecukupan. Jadi ga usah banyak tingkah. Kuliah yang benar, tanda kamu itu manusia yang bersyukur."

Aku menepuk pundak Riko yang menatapku serius. Sementara Cherry dan Gina masih terus menggoda. Tak ada cinta Riko! Hidup ini keras. Beberapa kali aku menolak cintanya, laki-laki gagah itu masih tetap saja berusaha. Namun, aku tak ada waktu untuk memikirkan soal perasaan.

Setelah mengurus cuti kuliah, aku bergegas menemui Cheryl yang baru hendak pulang menaiki mobilnya. Kali ini gadis itu dijemput oleh seseorang yang tak aku kenal.

"Ada apa, Ra? Kamu mau bareng?" Cheryl keluar dari mobil, sekilas aku melihat laki-laki muda berkaca mata hitam menoleh dengan wajah datar lalu membuang pandang ke arah jendela disampingnya. 

"Pacar baru kamu?" Tanyaku. 

Baru saja Cheryl mau jawab, laki-laki itu membunyikan klaksonnya.

"Ih, ga sabar banget. Sebentar!" Pekik Cheryl kaget.

"Ada apa, Ra? Aku buru-buru." 

Dengan sedikit ragu aku pun mengutarakan maksud hatiku padanya.

"Ra! Kamu ini! Kamu itu mahasiswi! Masa jadi office girl? Ih ga level, Ra!" 

"Ssst ... Jangan kencang-kencang, Cher!" Aku meletakkan telunjuk di bibir, Cheryl.

"Tapi, bener kamu itu. Ah! Aku ga habis pikir," suaranya melemah seiring pundaknya yang jatuh. Cheryl pasti kecewa punya teman sepertiku.

"Jika kamu malu punya teman seorang office girl, aku bersedia untuk tidak mengenalmu selama masa kerja disana. Aku butuh, Cher." Kali ini aku berkata penuh pengharapan.

"Nanti aku kabari, ya," lirihnya kemudian. Sebuah senyum terulas begitu saja.

"Makasih, Cher. Hati hati, ya." 

Aku melambaikan tangan pada Cheryl yang sudah masuk ke mobil. Jelas dia kecewa dengan pilihanku. Tak apa, kuat Dinara! Jangan lemah. Hidup ini harus tetap berjalan. Lebih baik berlumpur da rah dari pada mengemis pada orang yang memberi namun kemudian menghina.

Seharian aku berjalan mendatangi toko demi toko. Berharap ada yang mau menerimaku sebagai karyawan. Setidaknya sampai ada kepastian dari Cheryl. Tapi, semua tempat selalu mengeluarkan jawaban yang hampir sama. 

"Toko lagi sepi, Mbak. Maaf kami tak butuh karyawan disini."

Sudah menjelang sore aku baru pulang. Motor bututku juga mogok karena kehausan. Sementara aku tak punya uang untuk membeli bahan bakar. Akhirnya terpaksa aku dorong sampai dirumah.

"Ya Allah, Dinara? Kok di dorong?" Ibu menyambut cemas.

"Hehe gapapa, Bu. Tadi, bensinnya habis. Udah dekat rumah jadi dinara dorong aja," jawabku sambil nyengir lalu menghapus keringat yang hampir jatuh didahiku.

"Bilang aja kehabisan uang, ga sanggup beli bensin. Makanya gengsi jangan digedein, capek sendiri kan?"

Celetuk seseorang yang tiba-tiba saja muncul dari balik pintu. Badan lelah, perut lapar dan hati yang penat membuat sumbu emosiku terbakar.

"Jangan, Nduk!" Pekik Ibu.

bersambung.

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status