Share

Bab 4

IBUKU BUKAN BABUMU (4)

"lepaaaas! Lepas!" 

Mbak Ulya berteriak histeris karena rambutnya kutarik kencang.

"Dinara! Ya Allah, Nara! Lepaskan Mbak-mu, Nduk." Ibu berusaha menarik tanganku agar terlepas dari rambut Mbak Ulya. Namun, sakit hatiku masih belum lah reda. Sekuat tenaga aku buat perempuan itu kapok. Hingga kepalanya ketarik juga ke bawah.

"Kau selalu menghinaku, Mbak! Seolah-olah hidupku kau yang menanggung. Padahal, apa yang kau berikan pada kami adalah timbal balik atas apa yang telah kami lakukan untuk kamu dan anakmu!" Nafasku memburu. Seiring tangan yang masih mencengkeram rambut perempuan itu erat.

"Iya, Ra. Iya! Mbak minta maaf. Tapi, lepaskan dulu, Ra. Lepaskan, mbak sakit, Ra!" Aku tak menggubris.

"Apa yang Mbak katakan pada Mas Damar? Sehingga dia hampir menamparku!" Gigiku masih gemeretuk menahan emosi.

"Ga ada, Ra. Mbak ga bilang apa-apa."

"Bohong! Tak mungkin Mas Damar sebegitu marahnya jika mbak tidak mengatakan macam-macam." Suaraku makin meninggi.

"Ampun, Ra. Ampun! Iya, Mbak salah. Mbak bilang kamu menampar Mbak, huhu maafkan Mbak, Nara!"

"Ja hat kamu, Mbak!" Bukannya melonggarkan aku malah makin mengeratkan pegangan pada rambut sepunggung Mbak Ulya. Dia berteriak teriak sambil menggapai-gapai. Tapi, tingginya yang hanya sedadaku itu masih kalah untuk meraih tanganku.

"Nduk, tolong Nak. Lepaskan, Nduk." Bujuk Ibu cemas. 

Hingga tak lama Bapak datang melerai. Agaknya suara Ibu terdengar sampai ke kamar Bapak. Dengan lembut Bapak memelukku.

"Lepaskan Mbak-mu, Nduk. Sabar, Nak." Bapak meraih tanganku lembut. Hingga perlahan rambut Mbak Ulya terurai dari tangan. Perempuan itu menangis sambil meringis memegang kepalanya. Rasain! Ibu langsung menghampiri.

"Sabar Nduk. Setelah ini Bapak tak akan membiarkan anak gadis Bapak dihina orang. Yang berlalu biarlah berlalu, Allah mbonten sare, Nduk. Allah gak tidur. Biar Allah yang membalas," ujar bapak menenangkan. Kedua tangannya masih memegang pundakku. Sejenak ada kedamaian merasuki jiwa. Aku akhirnya tergugu, terbakar emosi yang hampir saja mencelakai orang lain.

Melihatku yang sudah mulai tenang, Mbak Ulya mulai memperlihatkan wajah ang kuhnya.

"Huh! Aku ga akan melupakan ini, Dinara! Kamu keterlaluan!" Cetusnya sambil berlalu meninggalkan kami. Dengan cepat dia masuk ke mobil yang dulu dibelikan oleh Mas Damar. Sesekali matanya menoleh dengan tatapan penuh kebencian. Bapak menepuk-nepuk pundakku. Lalu mengajakku masuk.

"Minum, Nduk." Ibu datang membawakan segelas air putih. Aku yang tengah duduk ditemani Bapak menerima dengan perasaan tak enak. 

"Maafkan Nara, Bu, Pak." 

Bapak menatap lembut sambil mengangguk anggukan kepala. Begitu juga dengan Ibu. Padahal tadi aku sempat berpikir jika beliau berdua akan menceramahiku panjang lebar. Nyatanya keduanya menatapku dengan tatapan terima kasih.

"Tadi, Mbak-mu minta Ibu datang ke rumahnya untuk mengasuh Alesha. Anaknya tak mau diam, menangis terus diasuh baby sitternya." Badanku kembali tegak mendengar penjelasan Ibu. 

"Lalu Ibu jawab apa?" Tanyaku memburu.

"Ibu belum jawab apa-apa. Karena pasti kamu tak akan mengijinkan."

"Ya jelas lah, Bu. Biarkan saja dia menyelesaikan masalahnya. Udah dibantuin bukannya bilang makasih, malah marah marah. Merasa dirinya yang paling berjasa."

"Tapi, kasian Alesha, Nduk. Dia itu cucu ibu juga," sahut Ibu dengan nada lemah.

"Udah toh, Bu. Kita memang sayang cucu. Tapi, mamanya itu loh, ga punya tata Krama. Bapak saja tertekan ketika dia tinggal disini. Cuma, Bapak tak punya kemampuan untuk melawan," suara bapak melemah.

Aku meraih tangan Bapak. Sejak kecelakaan itu beliau lebih sensitif. Merasa diri tak berg una.

"Pak, Dinara janji. Kita kan akan dihina lagi." Ucapku mantap. Aku menatap Ibu.

"Bu, apapun alasannya Dinara tak ijinkan Ibu ke sana."

"Ibu kasian sama Alesha dan Fikri, Nduk." Cicit Ibu.

"Mereka punya orang tua, Bu. Ada Mas Damar dan Mbak Ulya. Lagian mereka orang berada. Mbak Ulya punya uang banyak. Tak seperti kita. Lebih baik kita memikirkan kehidupan kita ke depan."

Ibu hanya terdiam. Entahlah apa yang dipikirkan Ibu. Tapi, sungguh aku tak ikhlas jika Ibu mau membantu Mbak Ulya, sedangkan dia masih menjadi menantu bad attitude seperti itu.

***

"Kamu serius, Cher?" Tanyaku tak percaya.

"Iya! Tapi ya, gitu Ra. Kamu hanya bisa jadi cleaning service aja. Belum ada lowongan di kantor Papa," ujar Cheryl wajahnya tampak tak nyaman dengan berita yang dia sampaikan. Padahal, aku sangat bahagia mendengarnya.

"Gapapa, Cher. Aku seneng banget sumpah. Kapan aku bisa mulai bekerja?"

"Besok!"

"Waaah. Makasih ya, Cher. Aku siapkan dokumenku malam ini," sahutku antusias. Cheryl meraih tanganku. Matanya berkabut.

"Maaf ya, Ra. Aku ga bisa bantu apa-apa."

"Cherylia Natalie Ningrum, apa yang kamu sampaikan saat ini seperti angin Syurga bagiku, Cher."

"Ya Tuhan, Dinara." Tiba-tiba gadis berambut sebahu itu memelukku.

"Aku banyak belajar tentang arti kehidupan darimu, Ra," bisiknya.

Aku tersenyum. Cheryl banyak tau saat aku lebih memilih berdiam diri di perpustakaan ketika jam istirahat menghindari ajakan teman untuk ke kantin. Membawa sebungkus roti untuk mengganjal perut. Sibuk sana sini membantu siapa saja yang minta mengerjakan tugas hanya untuk mendapatkan upah semangkok bakso. Lalu diam-diam memainkan ponsel dibawah meja untuk mengisi pulsa teman yang buru-buru minta dikirimkan padahal itu jam pelajaran. Semua aku lakukan tanpa mengeluh. Karena itu, sakit sekali rasanya mendengar tuduhan Mbak Ulya padaku.

Keesokan harinya, setelah sholat subuh aku sudah bersiap untuk bekerja. Memakai baju hitam putih layaknya karyawati MT alias management trainee. Semoga saja semuanya lancar.

"Jangan ngebut-ngebut Yo, Nduk." Pesan Bapak dan Ibu yang menghantarkanku sampai menaiki motor.

"Do'akan Dinara ya, Pak, Bu. Semoga hari ini Dinara bisa bekerja dengan baik."

Bapak dan ibu mengangguk serentak. Bapak mendekat lalu meraih kepalaku dan menempelkan didadanya. Tak ada yang dikatakannya, hanya matanya terlihat berkaca-kaca. Mungkin itu salah satu cara laki-laki mengungkapkan isi hatinya.

"Dinara pamit, Pak, Bu." Aku pun berlalu setelah mengucapkan salam. Dapat kulihat jika keduanya masih berdiri sambil menatap ke arahku. Dinara tak akan mengecewakan Bapak dan Ibu seperti apa yang dilakukan Mas Damar, tekadku didalam hati.

Motor bututku melaju dengan kecepatan sedang membelah kota Jakarta yang mulai menggeliat. Gelap belum lah sempurna pergi. Tapi, aktifitas masyarakat sudah mulai padat.

Ketika melihat gedung kampus mataku mengabur. Ah cengeng sekali. Aku janji akan kembali ke sana enam bulan lagi.

Setelah menemui supervisorku. Aku pun diberitahu ruang mana saja yang menjadi jobdesk-ku. Teman sejawatku juga baik-baik. Kecuali mbak Romlah. Perempuan berbadan besar itu selalu ketus dan tak bersahabat.

"Eh, lu! Anak baru. Buruan tuh anterin kopi ke ruangan Pak Joshua!" Cetusnya.

"Iya, Mbak." Lirihku. Tanpa bertanya lagi aku membuatkan kopi untuk direktur utama perusahaan ini.

"Ra, hati-hati, ga ada yang selamat setelah masuk ke ruangan itu." Nasehat Yuyun, teman baruku. Masih belum paham maksudnya, aku memilih cepat cepat ke ruangan atasann yang dimaksud.

Setelah mengetuk pintu aku pun masuk.

"Ini kopinya, Pak." 

"Hmmm ...!" Jawabnya singkat.

"Saya pamit dulu, Pak." Aku berbalik arah. 

"Heh! Tunggu!"teriaknya. Aku kembali menoleh. Tampak Pak Joshua baru saja menaruh gelasnya di atas piring tatakan.

"Kau mau meracuniku, ya!" Serunya membuatku merinding sebadan.

Rac un? Racun apa?

Bersambung.

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status