Share

Bab 2

IBUKU BUKAN BABUMU 2

"Oh, sungguh? Kebetulan sekali kalau begitu! Aku memang sudah muak menjadi sapi perah di keluarga ini. Biaya hidup kalian aku yang tanggung. Listrik, beras, uang kuliah bahkan beli sab ..."

"Stop! Kau tak perlu mengungkit dan melebih-lebihkan, Mbak! kau jangan pura-pura amnesia. Sewaktu, Mas Damar masih bekerja. Dia memenuhi semua kebutuhanmu dan sekarang pun sekuat tenaga dia bekerja agar tidak melulu meminta padamu. Jadi, jangan merasa paling berjasa. Jika tidak mengasuh anak-anakmu, Ibu sama Bapak masih tetap bisa berjualan. Sekarang urusi diri kita masing-masing. Kau pergi dari sini. Bawa anak-anakmu. Kau kira mudah mencari pembantu yang amanah dijaman sekarang!"

Dengan bebas bibirku mengeluarkan kata-kata yang selama ini mendesak didalam dada. 

"Dinara, kamu ini apa-apaan, Nduk. Jangan musuhi Mbak-mu seperti itu. Jika bukan Ibu siapa yang akan merawat Alesha dan Fikri." Suara ibu bergetar menahan tangis. Rasa sayangnya pada cucu membuat Ibu betah didurhakai menantu sendiri.

"Biarkan, Bu. Aku akan pergi dari sini. Beribu perempuan mau menjadi baby sitter buat anakku," sahutnya seolah tak membutuhkan Ibu lagi.

Aku mendengkus.

"Aku yakin, Kamu akan menyesal bocah ingusan! Beli pembalut saja masih minta, udah belagu!" Ucapnya lagi.

"Kita lihat saja pa'ul! Kau yang akan menyesal telah membuat sakit hati keluarga ini. Selama ini kami tak pernah meminta padamu, sampai kau datang kesini membuat ibu dan bapak hanya jadi pengasuh anak-anakmu. Oh ya, perlu kau tau. Satu rupiah pun aku tak jajan dari uangmu. Aku bisa mencari uang sendiri untuk kebutuhanku sehari-hari. Soal uang kuliahku selama tiga tahun ini, aku akan membayar semuanya!" Sahutku tak kamu kalah. Enak saja dia, selain biaya kuliah. Aku sama sekali tak meminta uang padanya untuk memenuhi kebutuhanku. Aku berjualan pulsa dan melakukan hal apa saja agar mendapatkan upah dari hasil yang halal. Termasuk membantu mengajar beberapa teman yang agak sulit memahami materi kuliah. 

Mbak Ulya menatapku tajam kemudian berlalu ke kamar. Suara berisik dari dalam di iringi tangisan Fikri yang minta mainan terdengar riuh. Sementara Ibu yang masih mengendong Alesha mendekatiku.

"Nduk, kalau Ulya ngambek gimana? Kuliah kamu gimana? Jangan cari masalah sama dia. Kita ngalah dulu aja, yang penting kamu bisa jadi sarjana. Minta maaf lah sama dia, Nduk." Ibu berusaha membujukku. Namun, aku sudah bertekad tak akan lagi meminta bantuan pada perempuan somb Ong seperti Ulya itu. Baru jadi staff keuangan saja sudah mendewa, tinggi hatinya.

"Tak akan, Bu. Dinara tak akan pernah meminta maaf padanya." Aku menjatuhkan bobot tubuh di sofa tua berwarna merah itu.

"Dinara, dengar kata Ibu. Mengalah untuk kebaikan tak akan membuatmu rugi." Ibu ikut duduk disebelah.

"Keputusan Dinara sudah bulat, Bu. Dinara akan berhenti kuliah sementara waktu. Akan Dinara buktikan pada perempuan itu jika Dinara juga bisa berdiri diatas kaki sendiri."

Aku melangkah masuk ke kamar. Meninggalkan ibu yang masih terdiam disana.Tak bermaksud dur haka. Tapi, jika harus merendahkan diri pada manusia ang kuh seperti itu, aku tak mau. Aku harus mencari jalan keluar untuk permasalahan ini. 

***

Sejak sore tadi aku tak lagi keluar kamar. Tak peduli dengan kepergian iparku itu. Atau kemarahan Mas Damar. Seharusnya dia juga bisa tegas. Orang tua diperlakukan semena-mena seperti itu, dia hanya diam. 

Aku melepas mukena dan melipatnya. Ternyata usai sholat Maghrib tadi aku ketiduran. Jam di dinding sudah menunjukkan angka delapan. Aku memutuskan keluar dengan perut yang lapar. Di meja makan hanya ada Ibu dan Bapak. Keduanya makan dalam diam. Biasanya akan ada suara tangisan atau jeritan dari Alesha dan Fikri, kini terasa senyap.

"Mas Damar mana, Bu?" Tanyaku sambil menarik satu kursi untuk kududuki.

"Mas-mu menyusul istrinya," jawab ibu pelan.

"Maafkan Dinara, Bu, Pak. Tak seharusnya Dinara marah dan mengusir Mbak Ulya. Tapi, Dinara sudah tak tahan melihat ibu di bentak-bentak sama dia." Lama terdiam. Hingga Bapak buka suara.

"Biar bapak kembali kerja. Bapak sudah sehat. InsyaAllah, Bapak yang akan berjuang agar kamu tidak putus kuliah, Nduk."

"Jangan, Pak. Bapak ga boleh kerja berat lagi. Bapak di rumah saja. Biar Dinara yang kerja," Selaku cepat.

"Ga boleh, Nduk. Kamu ga boleh putus kuliah. Sayang tinggal sedikit lagi. Kamu harus tetap lanjutkan perjuangan."

Aku menggeleng cepat. Bapak sangat ingin melihatku menjadi sarjana. Namun, sejak mengalami kecelakaan waktu itu, kaki Bapak tak lagi normal. Untuk jalan saja Bapak harus menggeret kakinya. Beliau tak bisa lagi bekerja dan hanya di rumah membantu Ibu jualan. 

"Dinara hanya cuti kuliah, Pak. Tidak berhenti. Nanti jika sudah ada uang, Dinara akan kembali kuliah."

Ibu meraih tanganku. Tak ada pilihan lain. Tabungan kami habis untuk berobat Bapak waktu itu. Karena orang yang menabrak Bapak tidak bertanggung jawab. Sedangkan kami tak punya jaminan kesehatan karena tak sanggup bayar tiap bulannya.

"Mulai besok Ibu akan kembali jualan. Selama ini kita tak kekurangan meski hanya jualan di depan rumah." Cicit Ibu.

Bapak mengangguk cepat. Aku pun kembali berasa semangat yang menggebu-gebu.

Malam itu kami tak banyak bicara. Usai membereskan piring bekas makan, aku langsung masuk ke kamar. Mempersiapkan semuanya. Besok aku akan ke kampus mengajukan permohonan cuti sementara. Walau aku belum tau mau bekerja apa. Tapi, aku akan mulai mencari.

***

Baru saja aku masuk ke kamar terdengar suara berisik dari luar.

"Mana Dinara, Bu! Dia itu sudah lancang mengusir Ulya dari sini! T@k tau diri! Udah dikuliahkan masih saja kurang a jar sama kakaknya!"

"Sudah, Mar! Sudah! Jangan ngomong seperti itu. Adikmu masih kecil, dia tak paham apa yang dia katakan. Ga usah didengar!"

"Masih kecil gimana, Bu! Anak segede gitu udah harus bisa berpikir pake otak!" Sentaknya.

"Astaghfirullah, Damar ..." 

Aku bergegas keluar. Mataku bersitatap dengan mata merah milik Mas Damar. Rahangnya mengeras. Dia berjalan mendekatiku. 

"Damar! Paaak, Bapak! Anakmu ini lho!" Teriak Ibu histeris melihat Mas Damar berjalan penuh emosi ke arahku.

Aku terdiam. Tak tau harus berbuat apa. Pasti Mbak Ulya sudah mengadu pada Abangku itu. Entah apa yang dia katakan sehingga Mas Damar yang sangat menyayangiku kini terlihat begitu murka.

"Adik dur haka kamu! Tak tau di ri!" Seru Mas Damar ketika sudah dekat denganku sebelah tangannya terangkat hendak memu kul wajah ini.

"Ya Allah ..."

Bersambung 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status