Slamet baru saja menuntaskan hasratnya pada Sasa, saat mendadak ponsel Sasa berbunyi nyaring. Dengan setengah hati, Sasa meraih ponselnya. Sesaat setelah bercakap-cakap, Sasa mengakhiri panggilan dan memeluk erat tubuh Slamet. "Ada apa nih? Kamu kok kelihatan nya seneng banget, Yang?" tanya Slamet penasaran. Dibelainya rambut Sasa dan diciumnya kening Sasa dengan lembut. "Aku berhasil, Yang. Bisnisku deal!" tukas Salsa bangga dan bahagia."Hm, syukurlah kalau begitu. Kamu itu sebenarnya kerja apa sih?" tanya Slamet akhirnya. Sasa menatap wajah Slamet dengan serius. "Bisnis ku banyak. Apa benar kamu ingin tahu? Tapi ada syaratnya."Slamet mengerutkan keningnya. "Pakai syarat segala. Emang bisnis apa sih?" tanya Slamet. Rasa penasaran kini berbalut rasa curiga.'Jangan-jangan Sasa bisnis organ manusia atau narkoba? Dia kan kayak enggak kekurangan uang?' tanya Slamet dalam hati. Sasa menyeringai. "Jadi kuberitahu pekerjaan ku, tapi jika kamu menjauh, aku akan membunuhmu. Kalau ka
"Wah, mbak Eva berubah banyak ya sejak aku pergi!" seru Slamet sambil menenteng mobilnya. "Iya dong. Aku udah perawatan salon dan ke klub fitness. Bodiku sudah mulai oke. Aku tinggal cari mangsa," tukas Eva yakin. Tita dengan santainya memakan apel di depannya. "Aku juga semakin intens dengan pak Suryo. Tidak ada lagi keinginan ku untuk merayu Bagas lagi. Aku sudah menemukan sumber uang dan aku tidak ingin kehilangan nya.""Wah, bagus deh kalau begitu. Gimana kalau Mbak Eva juga dikenalkan pada teman-teman pak Suryo? Kali aja ada yang berminat?" usul Slamet."Nantilah. Baru dua minggu juga perawatan nya. Belum maksimal nih.""Ngomong-ngomong kamu apa kabar? Gila bener kamu udah nggak pulang dua minggu."Slamet hanya nyengir saja. Lalu menunjukkan layar ponsel nya. Kedua kakaknya mendelik. "Seratus juta? Gila, Met. Kita bisa bikin kafe mungil lalu dengan perlahan-lahan kita perluas kafenya," tukas Tita dengan mata berbinar. "Yah, itu dia. Awalnya arisan brondong nya hanya seminggu
Tiiin!"Aaarghhh!"Slamet menjerit saat motor itu menabraknya. Lelaki itu terjatuh dan mengerang kesakitan. Sementara itu, pengendara motor yang menabraknya juga terjatuh. "Aaargh, tolong!"Slamet berteriak kesakitan sementara pengendara motor yang ikut terjatuh, sudah tidak sadarkan diri. Darah bercucuran dari kepala pengendara motor tersebut. Beberapa orang yang mendengar suara tabrakan motor dan suara erangan Slamet mengerumuninya. "Astaga, Slamet! Tulang kamu sampai terlihat!" jerit Tita kaget seraya menuding siku Slamet. "Aduh Mbak, sakit banget! Rasanya kayak mau mati! Bawa aku ke rumah sakit atau panggil ambulance mbak!!!" seru Slamet di tengah erangan kesakitan nya. "O-oke. Baiklah. Kamu tenang dulu. Aku akan segera menelepon ambulance."Slamet dan kedua kakak nya terkejut saat mendengar dokter mengatakan vonis yang begitu meruntuhkan hatinya. "Bapak mengalami patah tulang luar. Jadi harus operasi hari ini. Masalah utamanya adalah Bapak mengalami positif HIV."Slamet me
Tita berdiri sambil menyeringai di depan restoran milik Bagas. Kondisi restoran Bagas yang menurun dari bulan ke bulan menyebabkan dia harus memberhentikan beberapa karyawan termasuk satpam yang biasanya berjaga di pintu keluar.Tita segera menyalakan korek api dan melemparkannya ke arah restoran milik Bagas. Api menjalar dengan cepat membakar bagian depan restoran Bagas. Tita dengan rasa puas pun masuk lagi ke dalam mobilnya. "Mampus kamu, Yana. Aku baru bisa mati dengan tenang kalau kalian bangkrut. Aku tidak peduli lagi jika aku harus ditangkap polisi setelah ini. Yang penting aku bisa melihatmu apes," tukas Tita sambil melaju ke arah rumah sakit. ***Bagas terjaga dari tidur saat mendengar dering ponselnya berbunyi nyaring. Tanpa melihat nama penelepon, Bagas mendekatkan benda itu ke telinga."Halo.""Halo, Pak. Restoran Bapak kebakaran!"Mata Bagas langsung terbelalak. "Hah, tidak mungkin! Kamu siapa, jangan mengajak bercanda saya!""Demi Tuhan, Pak. Saya Doni, pemilik fotoko
"Mas..., tolooong!" Yana berteriak saat mencuci piring di sumur."Duh, apaan sih Yan, gangguin saja," tukasku seraya sesekali membuang puntung rokok sembari melihat acara tivi.Tak lupa di atas meja ruang tengah sudah tersaji berbagai kudapan khas desa, bakwan sayur dan pisang goreng serta kopi panas yang masih mengepulkan uap panasnya. Nikmat. Setelah sekitar lima hari hidup di jalanan dengan bekerja sebagai sopir truk sembako antar kota, memang enak kalau menikmati secangkir kopi di sore hari.Kuraih cangkir berisi kopi panas dan kutuang di tatakan piring kecil. Ingin menyeruput kopi susu itu hangat-hangat."Maaas!""Aduh!"Sialan! Teriakan perempuan buruk rupa itu membuatku kaget sehingga cairan hitam pekat itu menumpahi tanganku meninggalkan sensasi rasa panas dan terbakar. Aku langsung membersihkan jariku yang terkena kopi dengan kaos yang kukenakan."Haduh Yana! Apaan sih kamu, masak dimintai tolong cuci piring saja sudah teriak-teriak sih?!" seru ibuku sambil keluar kamar."Met
Ibuku nampak memucat. Dengan perlahan ibu memandangiku dan bu Indah bergantian lalu menjawab, " Tadi Yana minum rendaman rumput fatimah."Bidan Indah semakin mendelik. "Astaghfirullah Bu. Kenapa ibu berani memberikannya tanpa berkonsultasi pada medis?" tanya bu Indah garang.Bu Indah langsung meraih sebuah alat bening seperti masker yang terhubung dengan tabung besar lalu memasangkannya di hidung Yana."Bu Yana harus diberi oksigen. Kondisinya drop, perdarahan dan denyut jantung janinnya menurun. Saya curiga rahim bu Yana robek karena telah meminum rendaman rumput fatimah,""Loh, memang kenapa dengan rumput fatimah, Bu? Saya dulu turun temurun juga sebelum melahirkan meminum rendaman rumput fatimah dan anak-anak saya bisa lahir dengan sehat selamat," tukas ibu ngeyel.Bu Indah segera menghela nafas panjang."Ini kondisi darurat. Harus dipasang infus dobel!" Hanya itu jawaban bu Indah. Lalu dengan secepat kilat, bu Indah menuju lemari kaca dan mengambil beberapa peralatan.Bu Indah ta
Ciiittttt! "Hah, apa?!!" Aku berseru kaget sampai tanpa sengaja mengerem mobil mendadak."Duh, kamu ini Met. Bisa nggak sih bawa mobil?" gerutu ibu."Maaf Bu, tadi Slamet kaget saat bu Indah bilang kalau rahim Yana bisa robek lalu diangkat dan tidak punya anak selamanya." "Bu Indah, tolong jangan menakut-nakutin. Bu Indah kan tenaga medis. Tolong jangan menakut-nakuti orang awam macam kami," seru ibuku."Saya tidak menakut-nakutin Bu. Saya hanya ingin memberi informasi yang selama ini sering salah kaprah dan dianggap lumrah dalam masyarakat. Saat periksa bulan lalu, saya sudah menulis rujukan untuk ke dokter kandungan. Kenapa tidak dilaksanakan bu?"Ibuku terdiam sejenak. "Bu bidan, dulu saat saya masih kecil, banyak loh orang-orang hamil yang minum rumput fatimah dan tidak ke dokter kandungan. Tapi tetep selamat kan? Kenapa sekarang mantu saya bisa tepar seperti ini?" tanya ibuku."Ya Allah Bu, apa ibu tahu dulu sebenarnya angka kematian dan kesakitan ibu bersalin dan bayi baru la
"Suami bu Yana? Bisa ikut saya sebentar. Saya dokter Anak. Ada yang perlu saya bicarakan terkait dengan kondisi bayi Anda," Aku tercekat. "Anak saya kenapa Dok?" tanyaku berdebar."Mari kita bicara di ruangan saja," Pria yang berjas putih dan berkata sebagai dokter anak itu berjalan ke arah ruang bayi. Aku dan ibu berjalan mengikutinya."Silakan duduk dulu," tukas dokter anak itu padaku dan ibu.Aku dan ibu saling berpandangan lalu menuruti perintah dokter itu untuk duduk."Anak bapak telah lahir laki-laki," suara dokter itu menjeda kalimatnya."Alhamdulillah," aku mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahku. 'Syukurlah anakku bisa hidup. Awas saja kalau karena Yana, anakku yang berharga menjadi kehilangan nyawa!' bisikku dalam hati. Sedikit lega karena anakku tidak apa-apa. Namun, kalimat dokter selanjutnya, membuat dadaku berdebar kencang. "Tapi.., kondisinya belum stabil,"Ucapan dokter anak itu serasa membuat jantungku tercabut paksa."Maksudnya belum stabil gimana Dok?" tanya