"Nek, mobilnya sudah datang. Divya pamit ya." Aku memeluk dan mencium kedua pipi Nenek. Juga menyalami Bulek Ratmi."Kalau ada apa-apa, langsung kasih kabar. Ingat, kami tetap keluargamu," pesan Nenek seraya mengantarku ke teras. Pak driver yang melihatku sudah keluar dari rumah dengan menggendong Arsen dan tas yang sebenarnya tak seberapa besar, langsung turun dan mengambil alih tas itu. "Pak, tunggu sebentar ya," ucapku."Baik Buk," jawab Bapak itu sopan. "Nek, apa tak ada petunjuk tentang Ibu Divya, Ibu Rafika. Fotonya mungkin. Atau alamatnya yang lama." Aku masih berharap, ada sedikit saja petunjuk mengenai ibuku. Setelah mendengar cerita Nenek, aku berniat mencarinya. Bukan salahnya kalau dia terpaksa meninggalkan aku. Keegoisan dan keangkuhan Kakek yang membuat aku harus terpisah darinya. "Nggak ada sama sekali. Dia lebih banyak diam, tak pernah bicara kalau tak ditanya. Nenek tau, dia sebenarnya merasa sangat tertekan tinggal di sini. Tapi, Nenek saat itu benar-benar nggak
"Lebih baik …." Matanya melihat ke arah deretan bangku yang hampir semuanya terisi."Hah, duduk di sana aja," katanya menunjuk pada dua buah bangku kosong."Hayuk cepat, nanti keburu diisi orang." Dengan langkah tergesa dia lebih dulu berjalan dari aku, dibantunya aku membawa tas Arsen. Yang biarpun tak terlalu besar, tapi cukup merepotkan, karena aku sambil menggendong Arsen. "Nah, kan enak udah dapat tempat duduk," katanya lega setelah duduk di bangku itu.Setelah aku duduk di sebelahnya, aku membuka topi Arsen, biar dia tidak merasa gerah, sambil kukipas pelan wajahnya. Meski ruangan ini pakai AC, tapi karena ramainya orang, jadi terasa gerah juga."Waahh, gantengnya. Berapa bulan usianya?" tanya wanita manis ini. "Baru aja tiga bulan, Mbak." "Ah, jangan panggil Mbak. Panggil aja Ibu atau Bunda. Kayaknya kamu jauh lebih muda dari saya," katanya ramah sekali. "Ah masak sih Bu, kayaknya Ibu masih muda," ucapku bukan sekedar basa basi. Walaupun dia nampak matang, tapi wajahnya te
POV SatriaHuft, aku bingung mau melanjutkan langkahku sekarang. Bimbang melanda hati, di kala memutuskan untuk kembali ke Kalimantan. Tapi aku juga tak sanggup bila terus menghadapi kemarahan Kak Divya. Aku ingin lepas dari bayang-bayang Bapak, yang sebenarnya bukan Bapak kandungku. Tapi untuk saat ini, aku juga tak tau mau kemana. Kuliah pun belum selesai. Tinggal semester akhir. Sepertinya aku harus bersabar untuk beberapa waktu lagi, hingga kuliahku selesai. Baru aku memutuskan pergi sejauh mungkin, untuk lepas dari bayang-bayang Bapak. Lusa, aku akan masuk kampus lagi, setelah libur yang lumayan panjang.Sedang apa Kak Divya sekarang? Apa dia sudah membaca isi suratku? Seperti apa reaksinya setelah membaca surat itu? Bahkan sekarang, aku tak lagi berani menghubunginya.Kulangkahkan kaki dengan gontai menuju ke pelataran bandara, setelah cukup lama duduk termenung di lobby bandara. Aku telah sampai di sini, sejak sejam yang lalu. Tapi kakiku terasa berat untuk melangkah kembali k
"Kenapa emangnya Mas?" selidikku. Tak biasanya dia bersikap begini.Aku tau sih, Mas Bagus orangnya sekarang cenderung pemurung, tak seperti dulu, saat sebelum dia mengetahui kalau Mbak Sinta bermain api di belakangnya. Walaupun Mbak Sinta beralasan, dia terpaksa melakukan itu, karena tergiur dengan janji Bima yang akan menaikkan jabatan Mas Bagus menjadi mandor di kebun.Dulu, Mas Bagus orangnya sangat humoris. Kalau kata anak sekarang, gokil. Ada saja bahan banyolannya yang bikin orang tertawa. Aku sudah sangat lama mengenalnya, bahkan saat aku masih Sekolah Dasar. Sebab itu, hubungan kami bisa dibilang sangat akrab. Walaupun kami terpaut usia yang cukup jauh, namun tak menjadi penghalang, untuk kami bisa memahami satu dan yang lainnya. Mas Bagus terduduk lesu di bangku rotan yang ada di teras rumah. Seperti ada yang sedang dia pikirkan. Selama ini, Mas Bagus sangat terbuka padaku. "Sebentar Mas. Saya buat kopi dulu. Saya mandi sebentar ya, belum sholat Ashar juga," kataku. Dia ha
Astaga, aku ketiduran. Untung Arsen tidak jatuh dari tempat tidur. "Em, anak soleh Bunda. Baik budi sekali. Tau Bunda capek ya? Arsen jadi nggak nakal ya." Aku mengajak Arsen berceloteh sambil mencubit gemas pipinya, dia malah tertawa lebar. Kulihat jam yang ada di dinding kamarku, sudah sore. Aku belum sholat Ashar. Cepat aku bangkit, lalu mencepol asal rambutku. Kugendong Arsen. Untuk kumandikan terlebih dahulu. Ada banyak kertas koyak di bawah badan Arsen. Astaga, aku baru teringat dengan surat dari Satria. Kini bentuknya sudah tak karuan. Aku tadi hanya meletakkannya di atas kepala Arsen. Sebelum akhirnya aku ketiduran. Kuambil dan kuperhatikan setiap robekan kertas. Bagaimana cara membacanya kalau sudah begini? Huft.Nanti sajalah kupikirkan. Kukumpulkan setiap bagian kertas yang robek itu, pasti ulah Arsen ini. Aku menilik bagian dalam mulut Arsen, takutnya dia memasukkan bagian kertas yang robek ke dalam mulutnya. Bersih, tak ada kertas di mulutnya. Uh, cerobohnya aku. Kenap
Ya Allah. Jangan biarkan dia bisa masuk ke kamarku. Adrenalinku terpacu dengan sangat kencang. Jantung rasanya berdebaran tak karuan, tanganku mulai berkeringat dingin. Cepat kuambil Arsen ke dalam gendonganku. Jangan sampai Arsen takut mendengar suara pintu yang berusaha dibuka paksa itu."Divya! Kamu di dalam?" Suara Bapak. Fiuh, berangsur aku bisa bernafas lega. Ternyata bukan Mas Bima yang datang."I–iya Pak," sahutku. Kuatur nafasku perlahan, agar irama jantungku kembali beraturan. Baru aku bangkit, untuk membuka pintu."Kenapa tak bilang, kalau mau pulang? Kan, bisa Bapak jemput," kata Bapak begitu aku menampakkan wajah di hadapannya. Masih seperti dulu, tetap perhatian padaku."Divya tadi langsung ke pengadilan agama, Pak," kataku. Bapak mengambil Arsen dari gendonganku. Kelihatan sekali dia kangen pada cucu semata wayangnya."Apa tak bisa lagi diubah keputusanmu?" tanya Bapak sembari duduk di sofa. Aku juga duduk di sofa yang lain. "Divya nggak bisa memaksakan hati Divya lagi
"Pak, Divya tadi bertemu pengacara yang akan membantu proses cerai Divya." Aku memberitahu Bapak mengenai Bang Dion. "Terus, apa katanya?" tanya Bapak."Ya dia bisa bantu, kalau Divya sudah menyelesaikan administrasi. Bisa aja sih, gratis tanpa biaya, paling hanya biaya baterai dan fotocopy aja. Tapi harus mengurus surat keterangan tidak mampu," jelasku. "Berapa biayanya?" tanya Bapak lagi. Jelas saja Bapak lebih milih membayar, daripada harus aku mengurus surat keterangan tidak mampu. Bisa hilang muka Bapak, di hadapan staff desa nanti."Um, tunggu ya Pak." Aku segera ke kamarku. Mengambil hape yang kuletakkan di atas bantal. Aku membuka pesan dari Bang Dion tadi, lalu menunjukkan pada Bapak. "Ini Pak," kataku.Bapak berdiri, sambil menggendong Arsen. Bapak melihat nilai yang tertera di pesan Bang Dion, juga semua rinciannya. "Ya sudah, nanti ke rumah. Bapak nggak bawa uang," kata Bapak.Aku termangu, duduk kembali di sofa. Bapak masih berdiri, sambil menimang Arsen. Ke rumah Bap
"Sana gih, cepat. Kalau terlalu malam melewati kebun sawit, kasihan Arsen," kata Bapak usai dia sholat. Bapak cepat sekali sholatnya. Apakah Bapak tak bisa khusyuk? Atau … ah sudahlah, lebih baik aku cepat berwudhu. Entah kenapa, sejak peristiwa yang menimpa Satria, aku selalu saja paranoid dengan hal-hal yang begituan. Apalagi aku ingat, waktu itu Bapak sempat muntah. Namun Bapak tak mau datang lagi untuk di ruqyah.Bapak benar, untuk keluar menuju ke jalan raya, butuh waktu sekitar dua puluh menit. Takutnya Arsen akan takut nanti, melihat pohon-pohon sawit di kegelapan malam. Pasti akan tampak menyeramkan di mata anak kecil seusia Arsen. Jangankan Arsen, aku sendiri terkadang takut kalau memandang pohon-pohon sawit yang berjajar rapi di malam hari. Berasa horor kalau diliatin lama-lama. Bapak menunggu di ruang tamu, seperti aku tadi. Usai sholat aku bermunajat pada yang Maha Kuasa, berharap keputusanku untuk berpisah dari Mas Bima adalah keputusan yang tepat. Memohon kelancaran, j