"Dalam keluarga Sukoco tidak ada istilah perceraian, itu aib besar bagi kami dan apa yang sudah kamu perbuat jelas-jelas sudah mencoreng nama baik keluarga ini. Kamu tahu konsekuensinya bukan?"
"Tapi saya nggak bersalah. Saya diceraikan tanpa tahu kesalahan saya di mana?" balas Intan mencoba membela diri karena saat ini ia dikepung setidaknya oleh 20 anggota keluarga besar Sukoco."Kamu belum mengerti juga ternyata, ya?!" tanya Amanda dengan sinis."Apa?""Itu karena kamu mandul! Indung telurmu saja hanya satu yang sehat! Laki-laki mana yang mau mempertahankan wanita seperti kamu?! Hah … mikir dong!"Intan tertunduk lesu, malu sekaligus terhina. Bukan keinginannya untuk memiliki masalah seperti itu. Tidak ada satupun wanita normal yang tidak mendambakan buah hati. Ia jelas ingin, tapi kenyataannya mau bagaimana lagi."Pergi dari rumah ini, tidak ada tempat bagimu di sini!"Kembali terabaikan dan tidak dianggap, bukan masalah besar. Namun, hidup sebatang kara hanya dengan duduk di kursi roda seperti saat ini apa yang harus ia lakukan? Meratapi nasib pun, tak berguna.*‘Slamat … slamat … slamat’Dalam hati Intan, wanita berusia 27 tahun itu bergumam seraya mengelus dada setelah susah payah mengayunkan kursi roda manual meniti jalan dari rumah keluarga besar Sukoco menuju jalan raya depan komplek perumahan elit itu sendirian dan kemudian bersembunyi dengan merapatkan kerudung dan masker wajahnya, tepat di samping pos jaga saat mobil yang sangat ia kenali melintas. Untung saja mobil itu melaju kencang dan Intan berharap si Empunya tidak menyadari keberadaan dirinya. Intan tak ingin mengambil pusing mengapa pemilik mobil itu masih menyambangi komplek ini, penasaran tetapi rasanya sudah bukan menjadi urusannya lagi. Intan harus bisa melupakan semuanya, mengingat bagi mereka ia merupakan aib.‘Kamu bisa, kamu kuat. Jangan biarkan mereka melemahkan kamu. Ayo semangat!’"Mbak Intan, mau ke mana?" tanya Ghali, satpam komplek perumahan elit Pesona Berlian menyadarkan Intan yang terlalu fokus menyemangati diri.“Kenapa di situ Mbak, remang-remang?”"Mau ke Garut, Pak. Ini saya mau cari travel,” jawab Intan mengindahkan pertanyaan kedua Ghali."Sudah selesai isya ini, Mbak. Kantor travel sudah tutup, susah kalau cari dadakan. Kecuali free carter," ujar Ghali seraya melihat Intan yang tampak mengenaskan dengan wajah pucat, duduk di kursi roda dan memangku sebuah tas jinjing dan ransel."Bapak tahu atau ada kenalan mungkin yang bisa saya carter?" tanya Intan seraya meraih ponsel dan seketika ia teringat belum mengisi kuota internet. Rencana untuk melihat tiket secara daring pun pupus sudah. Hampir saja ia menjatuhkan ponselnya saat seketika dering ponsel tak berhenti dari nomor yang tidak ia kenali. Rupanya nomor tersebut sudah menghubunginya sebanyak 12 kali. sebelum ia mengeluarkan dari saku depan ranselnya. Nomor asing dan Intan mengabaikan. Toh, tak ada gunanya sekarang ia sudah sebatang kara.“Ada Mbak, saudara saya Pak Yudi.”“Kenapa nggak di hotel saja,” usul satpam yang lain.Intan tampak berpikir dan menimbang usul tersebut. Resiko dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika dirinya masih berada di Bandung ini.“Gimana Mbak, jadi?”Akhirnya Intan memutuskan untuk segera pergi karena walaupun istirahat di hotel dirinya juga tidak akan bisa nyenyak. “Pak Yudi? Ya, saya mau. Saya kenal kok.”“Syukurlah. Tunggu sebentar ya, Mbak. Biasanya dia standby nggak jauh dari sini saya hubungi dia dulu.”Ghali bergegas kembali ke pos jaga dan menghubungi saudaranya sementara Intan beberapa kali menengok ke arah rumah yang tadi ia tinggalkan. Rasa was-was meningkat jika mobil yang tadi melintas kembali lagi. Dua tahun ia tidak menginjakkan kaki di komplek ini dan ia diminta datang hanya untuk diusir dengan tidak terhormat. Begitulah nasib orang yang sedang berada dititik nol, kamu akan tahu siapa yang menjadi teman sejati saat itu.Sepuluh menit yang terasa seperti selamanya. Namun begitu yang ditunggu datang sedikit ketegangan yang sedari tadi menggelayut di bahu Intan seolah menguap.Yudi membuka pintu belakang dan tengah begitu merapatkan mobil sedekat mungkin dari Intan berada. “Saya bantu Mbak? Mbak Intan, apa kabar? Sudah lama sekali nggak kelihatan?” Yudi pria berusia empat puluhan itu sesungguhnya terkejut dengan keadaan Intan saat ini sudah sangat lama ia tidak melihat wanita itu dan keadaannya sekarang membuatnya sangat iba. Untung saja penerangan tidak terlalu terang hingga bisa menutupi raut wajahnya. Masih cantik walau lebih kurus dari yang ia kenal.“Baik Mas. Mas dan keluarga bagaimana kabarnya?”“Baik juga. Mau ke Garut?”“Iya. Langsung saja. Biar tidak terlalu malam.”“Iya. Mungkin sekitar 2 jam perjalanan. Mbak, mau beli makan malam dulu mungkin?”“Nanti saja di jalan.”“Baik kalau begitu.”Intan sangat bersyukur, Yudi tidak hanya baik bahkan ia membantu Intan untuk duduk senyaman mungkin bahkan Intan juga terkejut mendapati beberapa bantal sofa dan selimut di dalam sana. Seolah memang sudah dipersiapkan untuk dirinya. Intan bukannya tidak bisa berjalan, ia sudah bisa berjalan seperti sedia kala walaupun pincang hanya saja belum bisa terlalu jauh melangkah tanpa alat bantu.“Saya bantu, Mbak?” Yudi dengan sigap sudah berdiri di sebelah Intan yang menggapai pintu bersiap untuk berdiri sementara pria itu memasukkan tas bawaannya.“Saya bisa kok, Mas.”Yudi pun memberi jeda jarak begitu mendapat penolakan ia pun tak ingin memaksa, memang beberapa orang difabel tentu ingin mendapatkan privasinya untuk mandiri demi menaikkan kepercayaan diri dan membuktikan bahwa mereka masih mampu melakukan semua kegiatan sendirian.“Makasih ya Pak Ghali dan bapak-bapak yang lain. saya permisi,” ujar Intan begitu menutup pintu.“Mbak, santai saja. Selimut dan bantalnya bisa dipakai untuk istirahat. Saya kan sudah tahu alamat rumahnya.”Benar dugaan Intan semula. “Mas, nggak perlu repot menyiapkan semua ini. Jangan-jangan ini bantal sofa ruang tamunya ya?” canda Intan.“Bukan lah, Mbak. Itu memang saya selalu siapkan yang sengaja sebagai ekstra itu selimut rajutnya. Siapa tahu Mbak kedinginan, seingat saya Mbak Intan nggak tahan cuaca dingin.”“Ingat saja sih, Mas. Padahal orang yang merupakan keluarganya tidak ada yang jangankan ingat peduli saja tidak.” Untuk kalimat terakhir tentu saja tidak ia ucapkan.*Abraham mengebut dari kantor begitu mendapatkan informasi bahwa Intan berada di kediaman Sukoco. Dua tahun ia sama sekali tidak mendengarkan kabar dari mantan istrinya itu. Wanita itu seolah menghilang ditelan bumi. Sekarang kembali muncul, apakah karena mendengar jika ia akan menikah kembali atau ada maksud lain mengingat Abraham sama sekali tidak memberikan tunjangan sedikitpun? Bisa jadi ia menuntut warisan dari keluarganya karena kakeknya sudah meninggal?“Di mana dia?” tanya Abraham begitu Amanda membuka pintu depan.“Dia siapa?” tanya Amanda balik dengan raut wajah masam, karena sejatinya ia tahu siapa yang dimaksud mantan kakak iparnya ini.“Intan, siapa lagi? Apa dia menuntut warisan?”Amanda mengangguk mantab. “Iya dan Papi tadi mengusirnya. Aib bagi kami dia menceraikan kamu dan Papi baru tahu sekitar seminggu yang lalu.”“Kamu rupanya. Tidak mau masuk dulu? Begitu sopan ya, bicara di depan pintu mantan mertua?!” tegur Prama Sukoco.Abraham menunduk dan kemudian melangkah masuk dan berkata, “Maaf Pi.”“Jangan memanggilku, Papi. Hebat kamu ya merasa memiliki segalanya dan bisa dua kali duda dengan dua anakku?”“Kamu tahu tidak. Itulah teguran buatmu, menikah diam-diam dengan adik istrimu tanpa restu orang tua dan kini kamu ditinggalkan. Bahkan saat kamu menceraikan Intan, tidak ada satu suku kata pun kamu ucapkan pada saya. Ngomong kek, ‘Saya kembalikan putrinya’ lupa kamu ya?”Mulut Abraham terasa terkunci saat ini, otaknya tumpul tak lagi bisa berpikir atau mungkin sudah sangat lelah karena seharian ini ia habiskan untuk meeting demi membangun hotel baru. Sekaligus melupakan pengkhianatan Melia. Intan pun tak pernah hilang dari ingatannya walau wanita yang merupakan mantan istri pertamanya itu juga berkhianat. Kakak-beradik sama saja!“Mereka selingkuh, Om,” jawab Abraham memberanikan diri sekaligus merubah panggilan.“Ya itu karmamu, karena kamu kurang ajar! Ya kalau mau menikah lagi carilah wanita lain, jangan yang berasal dari atap yang sama. Masa iya seorang Abraham Shelter kekurangan wanita?!”Pria berusia 30 tahun itu hanya menggeleng. Sekonyong-konyong ia menyesal tanpa berpikir panjang tadi langsung datang ke sini. Seharusnya ia bisa menghubungi Amanda dulu. Ia tahu wanita muda itu tidak akan pernah menolak telepon darinya.“Pergilah. Dia tidak ada di sini. Saya sudah mengusirnya.”“Dia ke mana, Om?”“Nggak tahu. Sudah pulang saja. Cari wanita lain dan jangan lagi dekati putriku.”Abraham yang merasa tersinggung karena sikap Prama segera bangkit dan berkata, “Saya akan pergi sekarang tapi nanti pasti kalian akan mencari saya.”“Oh, kamu mau mengancam saya?”“Itu bukan ancaman tetapi adalah janji.”tbcHampir tiga jam perjalanan dan waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam lebih saat ia hujan deras mulai turun dan mobil Yudi meninggalkan pekarangan rumah. Mungkin karena sudah mengenal lama pria itu sedikit peduli kepada Intan dengan banyak pertanyaan yang rasanya tak patut orang asing menanyakan hal itu, seperti keadaannya sekarang apakah tinggal sendiri atau ada yang menemani. Intan pun rasanya tidak perlu menjelaskan karena memang bukan urusan pria itu juga ia tinggal sendiri atau ada yang menemani karena pada kenyataannya ia masih bisa melakukan semuanya sendirian.Intan mengganti kursi rodanya dengan menggunakan tongkat kayu bekas milik mendiang kakeknya untuk alat bantu berjalannya setelah mengunci pintu depan dan menghidupkan semua lampu serta membuat teh jahe hangat untuk menyibukkan diri. Intan masih kepikiran dengan mobil Abraham yang tadi melintas. Apakah pria itu datang sendiri atau dengan Melia adiknya. Kabar terakhir yang ia dengar adalah abraham telah menikah d
"Untuk apa kamu ke sana lagi?" tegur Novita begitu melihat anak kesayangannya muncul dari balik pintu garasi."Ke sana ke mana?" tanya Abraham balik tak acuh, tanpa menghentikan langkah menuju kamarnya. Setelah bercerai untuk yang kedua kalinya, kedua orang tuanya memang memintanya kembali ke rumah mereka. Mengingat saudara perempuan Abraham sudah menikah semua."Berhenti dulu, Bram! Mami sedang bicara." Novita meringsek ke depan menghalau jalan Abraham."Besok saja dibahas, Mam. Bram capek seharian meeting.""Lah itu tahu capek. Kamu ngapain ke rumah Sukoco?""Mami tahu dari mana?""Tahu lah, mata-mata Mami banyak."Abraham tidak akan meragukan hal itu sedikit pun. Uang bisa melakukan segalanya, nyatanya kedua mantan istrinya menghilang setelah ia ceraikan. Contohnya Intan, walau awalnya ia menceraikan karena alasan keturunan pada akhirnya Abraham menerima kenyataan jika Intan juga telah berkhianat dariny
Usapan di puncak kepala berubah menjadi belaian disusul dengan ciuman di kening, lalu di pipi sebelum kemudian menuju rahang singgah sebentar di sudut bibir. Sumpah, rasanya sungguh nikmat nafkah batin di pagi hari dari orang terkasih. Belaian dan kecupan Intan yang selalu dirindukan oleh Abraham. Hembusan hangat menerpa sisi leher disusul kembali dengan kecupan dari bibir ranum. Tunggu dulu ... rasanya bibir Intan tidak seranum ini. Rasanya berbeda dengan biasanya. Namun untuk membuka matanya Abraham merasa takut jika semua ini hanya mimpi. Rasanya begitu nyata hingga terasa menyakitkan. Bibir itu mencium di tulang selangka menuju dadanya yang telanjang, lalu lidah hangat membelai salah satu puncak dadanya.Dadanya terasa sesak diiringi dengan sesak yang berasal dari pangkal pahanya. Abraham tidur hanya dengan mengenakan celana dalam, kemudian ada tangan lain yang mengusap sisi pahanya menuju ke tengah dan seketika mencoba menggenggam miliknya yang paling in
Rintik hujan semakin lebat bahkan disertai angin kencang yang menghantam kaca jendela kamar Intan. Tinggal di wilayah Kabupaten Garut yang dikategorikan sebagai daerah beriklim tropis basah, dengan iklim 9 bulan basah dan 3 bulan kering mau tak mau membuat Intan harus membiasakan diri dengan seringnya curah hujan yang turun walau dirinya termasuk orang yang takut dengan suara guntur. Hal itu bukan tanpa alasan karena kakek dan neneknya meninggal bersama dengan bus pariwisata tertimpa pohon yang tumbang terkena sambaran petir. Rasa kantuk sebetulnya baru saja datang, entah mengapa semalaman ia tak kunjung bisa memejamkan mata dan kini saat ingin memejamkan mata, listrik di rumahnya padam. Untung saja, kamarnya ada di lantai dasar sehingga ia tidak ketakutan saat keadaan rumah gelap gulita seperti saat ini. Adanya badai kencang membuat aliran listrik mati, mungkin saja ada pohon tumbang mengingat desa tempatnya tinggal berada di lembah gunung, tidak jauh dari Gunung Putri ya
Intan tak bisa tidur sejak semalam. Kakinya yang cacat terasa nyeri pada otot dan linu. Ditambah lagi pikiran yang sedang ruwet karena banyaknya pesanan kerajinan rotan sementara persediaan bahan mentahnya susah didapatkan. Intan belum tahu pasti, kenapa supplier langganannya menghentikan pengiriman, padahal ia tak pernah absen membayar tepat waktu. Intan pun yang tak bisa tidur mencari tahu tempat supplier rotan asli dan sintetis. Itulah salah satu cara agar pekerjanya tidak menganggur dan usahanya tetap bisa berjalan lancar. Demi mengisi waktu ia menyibukkan diri dengan membuat desain terbaru. Ia pun mencatat harus menemukan tukang las baru untuk membuat kursi santai. Tak terasa ia melakukan itu sampai suara pintu terbuka dari arah kamar Risa terdengar. "Mbak, udah bangun?" tanya Risa keheranan seraya melirik cangkir teh yang hampir kosong."Iya, aku nggak bisa tidur.""Kenapa?""Linu kakiku." Intan sengaja tidak mengatakan
Dharma pulang saat hari sudah sangat sore. Bahkan matahari sudah hampir tenggelam. Begitu memarkirkan kendaraannya ia segera menuju pendopo tempat biasa kedua orang tua duduk menikmati suasana sore. Banyak hal yang harus ia kerjakan di tempat Intan salah satunya adalah mencari tempat perbaikan CCTV karena alamat yang lama ternyata sudah tidak bisa dihubungi. CCTV di gudang ternyata rusak dan wanita itu tidak tahu karena tidak ada yang melapor sementara di layar pantauan, fungsi kamera tampak baik-baik saja. Sepertinya memang ada yang menyabotase tapi untuk hal IT seperti ini sayang sekali Dharma tidak tahu menahu cara memperbaikinya. Ia harus mencari Ilhan untuk membantunya, sedangkan temannya itu masih berada di Jakarta sampai hari Sabtu ini."Kata tantemu kamu sudah pergi dari pagi. Kok, baru sampai rumah sore, Dhar?" tanya Hesty begitu Dharma menegakkan tubuh setelah mencium punggung tangannya."Tadi singgah di rumah Intan dulu, Bu."Hesty men
"Kamu yakin mau antar aku?" tanya Intan begitu melihat Risa sudah siap dengan ransel berwarna pink pastel di kursi teras."Yakin Mbak. Bapak sama Ibu juga suruh begitu. Lagipula kita nggak langsung balik 'kan?""Iya enggak. Aku harus ketemu teman dulu. Katanya dia punya rekomendasi guru matematika dari Kecamatan.""Ya sudah kalau begitu. Mbak nggak mungkin sendiri. Apalagi masih kambuh begitu kakinya. Risa nggak tega lepas Mbak sendiri.""Sudah mau berangkat?" tanya Aminah dengan membawa nampan berisi 4 gelas kopi dan sepiring pisang goreng."Belum Bu, masih mau sarapan," balas Risa."Kalau gitu jangan taruh tas di luar. Kamu nggak ingat ada yang curang?" tegur Aminah."Ah … nggak ada yang berharga juga kok, Bu.""Ck … anak ini dibilangi juga. Taruh dalam sana. Bapakmu lihat nanti kamu tambah diomelin."Intan tersenyum simpul melihat Risa yang cemberut kena omel. "Makan yang banyak. Ibu sudah masak masakan kesukaanmu. Kabari Ibu ya kapan pulangnya. Nanti Ibu suruh Sarbi untuk jemput
“Makasih Mas mau ketemu sama aku,” ujar Melia. “Aku melakukan ini bukan karena kamu tapi Mami yang meminta.” Sungguh benar, jika bukan karena jadwalnya untuk mengantar wanita yang sudah melahirkannya itu untuk check up kesehatan hari ini. Melia menelan ludah, mendengar nada dingin dan terkesan acuh dari Abraham. Pada akhirnya wanita cantik berkulit kuning langsat itu. “Mas Bram, belum lama ini ketemu Papi ya? Kok, nggak bilang sama aku?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. Bram yang sedari tadi tidak mau menatap ke arah Melia menghembuskan napas panjang seraya menyesap kopi hitam di depannya. “Bukan urusanmu dan tidak ada hubungannya denganmu, pastinya.” “Aku ingin tahu, untuk apa kamu masih berurusan dengan Intan.” Nama Intan tersebut dan kemudian tatapan tajam tersemat dari Abraham untuk Melia. “Kalimat mana yang tidak kamu mengerti dari bukan urusanmu?!” Seketika Melia bungkam dan tak berani menjawab dengan roman muka Abraham yang membuat perasaannya yang bercampur antara cemb