Share

Chapter 2 Berhenti Meratapi Nasib

Hampir tiga jam perjalanan dan waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam lebih saat ia hujan deras mulai turun dan mobil Yudi meninggalkan pekarangan rumah. Mungkin karena sudah mengenal lama pria itu sedikit peduli kepada Intan dengan banyak pertanyaan yang rasanya tak patut orang asing menanyakan hal itu, seperti keadaannya sekarang apakah tinggal sendiri atau ada yang menemani. Intan pun rasanya tidak perlu menjelaskan karena memang bukan urusan pria itu juga ia tinggal sendiri atau ada yang menemani karena pada kenyataannya ia masih bisa melakukan semuanya sendirian.

Intan mengganti kursi rodanya dengan menggunakan tongkat kayu bekas milik mendiang kakeknya untuk alat bantu berjalannya setelah mengunci pintu depan dan menghidupkan semua lampu serta membuat teh jahe hangat untuk menyibukkan diri. Intan masih kepikiran dengan mobil Abraham yang tadi melintas. Apakah pria itu datang sendiri atau dengan Melia adiknya. Kabar terakhir yang ia dengar adalah abraham telah menikah dengan adiknya itu setelah mendapatkan surat cerai darinya.

Intan kembali membuka aplikasi pesan di ponsel untuk mengecek jadwal pembukaan tempat bimbingan belajarnya. Semua ia lakukan demi mengisi waktu luang selama proses pemulihannya dua tahun ini dari kecelakaan yang terjadi tepat setelah ketuk palu hakim memberikan pernyataan bahwa ia telah sah bercerai dengan Abraham. Bahkan sampai detik ini ia belum mengambil akta perceraiannya di pengadilan karena keadaan diri yang tidak memungkinkan.

Namun sebagai manusia biasa yang terdiri dari darah dan daging pada akhirnya ia tak kuasa memendam semua kesedihan di sidang layaknya seorang tersangka, bersalah dan hina padahal dirinya lah yang menjadi korban. Korban keegoisan mereka, ia tak tahu salahnya di mana saat diceraikan. Tersudutkan tertuduh berzina, sekalipun membagi cinta tak pernah ia lakukan. Tak pernah diberi kesempatan untuk membela diri saat harkat dan martabatnya diinjak.

Kini di meja dapur yang mungil ini ia tumbah. Luluh lantak semua emosi yang ia tahan sedari tadi. Aib … mereka menyebutnya demikian walau jika ditarik mundur, ia tidak pernah meminta dilahirkan dan di keluarga seperti apa ia akan tumbuh dan berkembang. Bukannya ia menyesal tinggal dengan kakek serta neneknya. Tidak, tak sekalipun terlintas walau hampir seumur hidupnya ia tidak pernah mengenal kedua orang tuanya hingga ia berusia 20 tahun. Mereka membawanya kembali ke rumah besar itu karena kedua orang yang sudah mengasuhnya sejak ia berusia 3 tahun meninggal bersama dalam kecelakaan bus pariwisata. Hanya itu yang jadi sesalnya, andai ia ikut pasti dirinya bisa pergi bersama dengan mereka.

Berjuang sendiri saat ini sangat melelahkan. Intan lelah, walau nasehat sang nenek selalu teringat olehnya.

"Seperti bongkahan intan mentah belum terjamah kamu sekuat itu yang hanya bisa terbelah oleh lapisan intan lainnya. Jangan biarkan batu kerikil menghancurkanmu."

Hujan semakin deras di luar sana seperti ikut merasakan kemalangan dirinya saat ini. Intan menatap sekeliling rumah. Sepi, sunyi tanpa ada teman yang menemani. Janda tanpa anak, itulah predikat yang ia sandang. Betapa memalukan hanya dua tahun menikah dan diceraikan dengan banyak dalih fitnah disematkan kepadanya.

Beginilah nasib orang yang tak memiliki harta banyak. Ia pun harus pintar mengatur keuangan karena selama dua tahun menikah Intan tidak diperkenankan bekerja. Dirinya hanya mengurus suami dan rumah mereka saja. Bersolek saja ia tak lagi bisa leluasa. Padahal dulu saat ia bekerja di pabrik, dirinya bebas mempercantik diri. Memang jika di rumah ia akan berdandan ala kadarnya karena kedua saudarinya tak suka jika melihatnya berdandan.

Namun malang tak dapat ditolak. Walau ia menikah dengan salah satu kandidat terbaik pilihan keluarga dulu, dirinya juga dikhianati oleh anggota keluarganya. Intan merasa menjadi samsak hidup dan hanya menjadi pelampiasan mereka. Sejak berusia 3 tahun ia tinggal bersama dengan kakek dan neneknya. Hampir tidak mengenali kedua orang tuanya jika tidak melalui sambungan telepon karena alasan mereka yang bekerja di luar kota.

Pada akhirnya ia pun tak habis pikir kenapa orang tuanya meninggalkan dirinya untuk diasuh oleh kakek dan nenek jika ternyata mereka kaya raya. Bahkan pendidikan pun mereka hanya membiayai sampai SMA, untung saja ia bisa mendapatkan beasiswa melanjutkan pendidikan guru. Untung saja tempat bimbingan belajar yang ia dirikan sudah memiliki izin operasi dari pemerintah desa dan daerah. Memanfaatkan bangunan yang dulunya dijadikan sebagai gudang oleh kakeknya pada akhirnya ia bisa mewujudkan cita-citanya.

Paling tidak sisa tabungannya cukup untuk hal yang baik daripada untuk menghabiskan waktu mengurus fitnahan mereka yang merasa lebih berkuasa.

"Mbak Intan …."

Seruan dari depan rumah disertai ketukan di pintu menyadarkannya dari lamunan. Intan menghapus air mata yang masih berderai dan mencuci muka di wastafel dapur sebelum menjawab.

"Ya, sebentar."

Intan tahu siapa yang datang malam begini. "Ada apa Risa?" tanyanya seraya membuka pintu, "sudah malam sekali loh."

"Aku nggak bisa tidur kalau belum sampaikan kabar ini."

"Kan bisa lewat pesan," jawab Intan seraya membuka pintu lebih lebar.

Intan baru menyadari jika Risa membawa sebuah tas plastik berisi banyak makanan ringan dan sembako.

Risa yang menyadari arah tatapan Intan lalu berinisiatif meletakkan barang bawaannya sebelum ditolak wanita yang lebih tua darinya itu.

"Jangan ditolak ya, Mbak," ujarnya begitu melihat Intan hendak berbicara.

"Dari siapa itu?"

"Dari Pak Rizky."

"Bukannya besok beliau ke sini?"

"Iya. Mau ambil mebel antiknya. Tadi sudah ke sini tapi Mbak kan ada di Bandung."

"Kok, kamu tahu aku sudah pulang?"

"Tapi pas beli mie rebus di warung depan sana ketemu sama orang yang antar Mbak pulang. Dia singgah beli rokok."

"Kebiasaan kamu ini menguping," ujar Intan seraya menggeleng tak habis pikir menatap gadis berusia 23 tahun dihadapannya.

Risa, gadis manis berlesung pipi itu adalah gadis yang membantunya membersihkan rumah dan tempat bimbingan belajar nantinya.

"Enak ya Mbak sekarang. Mbak nggak perlu pergi jauh-jauh untuk bekerja. Apalagi antusias warga sini juga bagus."

"Iya." Intan mengangguk puas.

"Mas Dharma tadi juga mencari Mbak."

"Ada perlu apa?" Intan heran, kenapa anak Lurah mereka mencari dirinya.

"Katanya mau menjadi donatur."

"Donatur? Kita kan nggak buka yayasan. Untuk apa?"

"Mungkin untuk membantu anak-anak kurang mampu."

"Oh soal itu."

Memang Intan tidak menentukan tarif anak-anak yang ingin belajar di tempatnya. Para tenaga pengajar juga merupakan volunteer, sebagai pengisi waktu luang mereka walaupun tetap mendapatkan gaji dari iuran wajib dan usaha Intan berjualan furniture antik. Kegiatan menyenangkan yang tidak banyak orang tahu. Ia pun bekerjasama dengan beberapa tukang kayu yang membuat perabotan jadul dari kayu baru.

"Jadi bagaimana Mbak? Sebaiknya terima saja," bujuk Risa.

"Kita lihat nanti ya. Tanggungjawab menerima donatur itu besar loh. Aku rasanya belum sanggup untuk mengurus sendiri."

"Risa bantu ya Mbak, kalau boleh? Risa bisa kalau cuma pakai komputer. Dulu kan Risa pernah kursus komputer."

"Kita pikirkan besok lagi saja ya. Kamu tidur di sini?"

"Iya dong. Ibu yang suruh, biar Mbak jangan terus meratapi nasib," jawab gadis manis itu seraya berjalan ke pintu depan dan menguncinya.

Intan tersenyum simpul. "Motormu sudah kamu masukkan?"

Risa berdiri di tempatnya dan berkata, "Aku nggak bawa motor tadi diantar Pak Rizky."

"Pak Rizky, malam-malam begini?"

"Iya, tadi Pak Rizky ketemu Bapak. Makanya tadi Risa disuruh beli mie rebus."

Intan tidak tahu untuk apa kedua pria itu mencarinya. Dua pria yang dulu ia kenal baik sebagai teman bermain. Bagaimana bisa mereka berada di desa ini disaat yang bersamaan dengan dirinya?

"Kamu tahu nggak kenapa mereka bisa di desa? Bukannya keduanya di Bandung dan Jakarta?"

"Siapa Mbak?"

"Rizky dan Dharma, siapa lagi."

"Paling Bapak, Mbak. Mereka ketemu waktu kemarin ada tanggapan wayang itu."

"Wayang apa, kok aku nggak tahu?"

"Itu loh Wayang Ajen di alun-alun Karangpawitan. Mbak kemarin masih di Bandung untuk terapi makanya Bapak nggak ngabarin. Sepertinya mereka bertemu di sana."

"Wah sayang sekali padahal pasti seru."

Tbc

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status