“Mr. Wolf!”Ada yang memanggil begitu Wolf turun dari mobil. Bukan hal aneh, karena memang mereka sudah berjanji untuk bertemu.“Mr. Harvey.” Wolf menyapa sambil mengulurkan tangan menjabat. “Cliff saja. Clay adalah teman. Santai saja.” Cliff tersenyum ramah, tapi kakinya tidak berhenti melangkah untuk masuk ke kantor polisi.Wolf memang meminta bantuan pada Clay tadi, karena ingat ia pernah mengatakan kalau salah satu temannya yang pengacara sekarang tinggal di New York—membuka firma hukum baru di sini.Wolf punya langganan pengacara di perusahaan, tapi hanya untuk mengerjakan legal perdata, tidak punya izin untuk menangani tindak kriminal. Karena itu Wolf terpaksa meminta bantuan. Lagi pula lebih aman seperti ini. Wolf tidak ingin ada gosip beredar soal dirinya menikah di perusahaan. Becca tidak akan bicara soal Zoe. Ia tahu batasan gosip yang boleh dibaginya.“Apa hubungan Anda dengan tersangka?” tanya Cliff, sambil melambai ke arah petugas polisi yang menyambut mereka di depan.
Tapi tidak ada kata-kata apapun terdengar dari bibir Wolf setelah itu. Saat Zoe melirik, Wolf bahkan tidak sedang memandangnya.Wolf setengah terfokus pada Cliff yang masih membalik dokumen di tangannya. Meski kemungkinan jaminan itu telah disangkal, tapi Cliff ternyata masih mencari jalan lain. Karena itu Wolf juga ikut menunggu tanpa membuat keributan.“Selama ini Miss Anderson tidak melanggar restraining order ini bukan?” tanya Cliff.“Tidak. Tidak ada laporan pelanggaran sebelum hari in,” kata polisi itu.“Dan pelanggarannya hari ini terjadi di Central Park. Miss Anderson tidak bisa divonis untuk hal ini.”Polisi itu langsung mengernyit. “Apa maksud Anda tidak bisa divonis? Sudah jelas bisa. Miss Anderson berada di dekat Maxwell Taylor kurang dari seratus meter!”“Tapi dia sedang ada di fasilitas umum. Central Park, tempat ratusan orang datang dan pergi setiap harinya. Sementara disini jelas tertulis ‘mendekati di ruang pribadi.’”Cliff menunjukkan dokumen di tangannya agar polis
“Saya permisi. Senang bertemu dengan Anda berdua.” Cliff akhirnya berpamitan dengan tergesa, merasa telah melakukan kesalahan.Begitu Cliff tidak terlihat lagi, Wolf langsung menarik tangan Zoe menuju ke mobil.Tidak ada yang bicara, sampai Wolf menjalankan mobilnya. Zoe tentu hanya menunduk. Ia tidak tahu Wolf akan berlaku seperti apa atas musibah ini.“Apa penyakitmu ini bisa disembuhkan atau tidak? Penyakit menguntit ini, apa kau perlu berobat ke psikiater?” tanya Wolf, akhirnya bicara.“Hmm…” Zoe menggeleng, sambil membentuk tanda X. Ingin mengatakan ia tidak menguntit.“JANGAN BOHONG PADAKU! Kau pikir aku akan percaya ini?!” Wolf membentak sambil melemparkan kertas tulisan Zoe yang diserahkannya pada Cliff tadi.Alasan Zoe tidak berguna untuk Wolf, karena setahu Wolf, Zoe memang hobi menguntit. Dan Zoe belum punya alasan bagus untuk menutupinya. Yang jelas ia tidak mungkin mengatakan apapun, karena rencananya telah berjalan.“Apa yang kau sukai darinya? Dari semua—mereka semua y
“Aku ingatkan lagi, kalau seharusnya kau tidak melakukan hal yang membuatku repot.” Wolf mendekatkan wajahnya pada telinga Zoe saat bicara. Ingin Zoe benar-benar mendengarnya dan mematri kata-kata dalam otaknya. Zoe mengangguk, sementara menjauhkan kepalanya karena geli. “Siapa bilang kau boleh bergerak? Aku baru mengingatkanmu soal kepatuhan!” desis Wolf, sambil menarik pinggang Zoe mendekat sampai membentur pahanya. Wolf menyingkirkan rambut Zoe yang tersampir di bahunya, memijat pelan tengkuk Zoe. Bukan afeksi, Zoe tidak merasakan kasih sayang dalam sentuhan itu. Itu adalah sentuhan yang diberikan serigala pada mangsa sebelum melahap. Bukan sentuhan menenangkan, hanya ancaman. “Kau sendiri yang membuat perjanjian itu… Kau menukar status manusia merdeka agar kau memiliki kekuasaan. Aku tidak peduli kau akan memakainya seperti apa… tapi akan jadi masalah kalau kau memakainya untuk menguntit.” Zoe menunduk dengan tangan menyatu. Tubuhnya meremang, waspada tapi terpojok. Ia memang
Zoe tahu ia tengah menjalani bagian hidup yang seharusnya luar biasa, tapi sama sekali tidak bisa menikmatinya.Zoe malah nyaris tidak berhenti gemetar semenjak pesawat yang ditumpanginya lepas landas, bahkan setelah mendarat lagi. Zoe melewatkan pengalaman pertamanya menaiki pesawat jet pribadi, karena terlalu ketakutan.Ketidaktahuan atas nasibnya nanti, membuat Zoe terlalu panik. Masih terngiang jelas bagaimana Wolf mengatakan kalau ia ingin menghasilkan uang dari dirinya. Zoe tahu kalau dirinya hanya bisa menghasilkan uang dari satu hal, karena ia sama sekali tak punya keterampilan lain yang bisa menghasilkan uang—selain melacur. Kasar tapi kenyataan itu disadarinya.Zoe ragu Wolf hanya akan sekedar menjualnya untuk menari striptis. Ia tak akan membawanya pergi sejauh ini kalau hanya untuk seperti itu.Zoe mulai mempertimbangkan apakah balas dendam yang ingin dilakukannya sepadan dengan apa yang akan dilakukannya ini. Zoe ingin membalas dendam tapi jelas tidak pernah ingin sampai
“Ada apa denganmu? Ini hanya rumah sakit. Aku tidak benar-benar akan menjual organmu!” sergah Wolf. Heran melihat ketakutan itu.“Mereka akan menangkapku! Aku lari dengan hutang besar! Aku tidak mau berada di rumah sakit!” Zoe mengetik rumah sakit.Meski mereka telah berada di negara bagian lain, tapi rumah Sakit adalah rumah sakit. Zoe khawatir rumah sakit tempatnya berada dulu, akan punya hubungan dengan rumah sakit yang ada di depan mereka. Zoe tidak ingin berada di tempat itu.“Aku hanya ingin kau bertemu denganmu seseorang. Tidak perlu mendaftar atau melakukan apapun. Namamu tidak akan muncul di sistem Rumah Sakit. Tidak perlu ketakutan seperti ini. Tidak akan ada apapun yang menimpamu di sini.”Wolf membujuk sambil menggelengkan kepala. Kesabarannya benar-benar diuji, pun sama dengan Zoe. Perasaannya jungkir balik penuh sesak. Sesaat ketakutan, sesaat merasa terhina lalu lega, tapi kemudian panik.“Turunlah! Kita masuk.” Wolf yang sudah turun dan berdiri di samping pintu terbuka
Zoe kembali menunduk lalu mencengkram paha Wolf, meminta agar mereka keluar saja dari ruangan dokter itu.Tentu Wolf tidak beranjak memenuhi keinginan Zoe, tapi sebagai ganti, Wolf menggenggam tangan dingin Zoe yang panik itu. Zoe menarik tangannya, ingin memberi tahu kalau ia benar-benar ingin keluar.Namun, genggaman Wolf lebih kuat, dan bukan hanya mencengkram kuat. Wolf mengelus tangan Zoe. Menggosok punggung tangannya, mengelus telapak tangannya dengan lembut. Memberi sentuhan yang lebih menenangkan. Membujuk tapi dengan belaian, dan lebih manjur. Geli menggelitik dan hangat membuat jantung Zoe terpacu bukan lagi oleh ketakutan. Zoe mungkin akan mendesah, seandainya tidak mendengar dokter—yang tengah bersemangat menjelaskan, menyebut namanya dengan lengkap. Zoe mengatupkan bibirnya serapat mungkin setelah itu, sambil melirik ke arah Wolf. Yang tentu saja berwajah datar. Bahkan tidak terlihat berkedip saat memandang Howard.“Aku ingat siapa kau. Zoe Anderson. Aku tidak mungkin m
Zoe secepat kilat langsung menghapus air matanya dan kembali menunduk, tapi gerakan itu sangat menarik perhatian. Zoe sejak tadi tidak banyak bergerak.Bukan hanya Wolf yang melihatnya, tapi juga Howard yang terlihat langsung panik.“Astaga! Tunggu! Jangan bersedih dulu. Ini bukan kabar yang buruk. Bukan sesuatu yang harus ditangisi.”Howard dengan tergesa berdiri untuk mengambil tisu dan menyerahkannya pada Zoe. Wolf yang menerima, mengambil beberapa lembar tisu lalu menggulurkannya kepada Zoe.Ia tentu sudah menyesal karena air matanya semakin tidak terkendali. Emosinya bercampur aduk karena banyak hal.“Ini bukan kabar buruk. Maaf, seharusnya aku mengatakan dengan lebih jelas.” Howard juga menyerahkan botol air kepada Zoe, untuk menenangkannya.“Anda mengatakan tidak bisa membantu Zoe. Ini berarti keadaannya permanen bukan?” Wolf bertanya sesuai dengan pengertian yang tadi ditangkapnya. Semikian pula Zoe. Ia juga berpikir seperti itu, karenanya langsung menangis.“Bukan. Keadaan Zo