Air mata Zoe yang pertama menerjemahkan duka itu.
“GHHH! AAGHH!”
Tapi ia tidak mampu mengatakan apapun. Menangis dalam sunyi adalah sesak. Zoe ingin berteriak, melepaskan duka yang menindih dadanya, tapi hanya suara dengus dan rintihan yang keluar dari bibirnya.
Bahkan untuk memaki saja Zoe tidak mampu. Zoe ingin marah pada Billy, ia ingin marah pada Max yang tidak membelanya, ingin marah pada Iris yang memulai semua nasib sialnya, tapi semua tertahan di tenggorokannya.
“Aku mohon tenang dulu. Penjelasannya masih panjang.”
Dokter itu menyela, dengan wajah menyesal. Ia tidak ingin mengganggu duka Zoe, tapi ia harus menyelesaikan penjelasan.
Dengan mata yang masih basah, Zoe memandang dan mengedip padanya. Memintanya untuk meneruskan. Pikirannya masih kacau, tapi Zoe ingin mendengar semua.
“Bagian kepalamu terbentur dengan keras, dan kau menjalani operasi untuk menyingkirkan gumpalan darah. Sekarang kau sudah sehat, tapi dengan rambut lebih pendek mungkin, karena kami harus mencukurnya.”
Refleks, Zoe berusaha mengangkat tangan untuk menyentuh kepalanya, tapi selain tangannya berat karena tidak terbiasa bergerak, Zoe merasakan sesuatu menahan tangannya itu.
KLANG!
Terdengar bunyi besi beradu saat Zoe menggoyangkan tangannya. Zoe melirik ke bawah dan melihat kenyataan lain yang mengerikan. Tangannya terborgol.
Zoe kembali memandang dokter itu dengan nyalang. Panik dan ingin penjelasan lain.
“Untuk borgol, akan ada polisi yang menjelaskannya nanti padamu. Tenang dulu, jangan banyak bergerak. Tubuhmu belum terbiasa dengan pergerakan, terutama setelah koma selama sekian bulan. Ya, kau koma sekitar tujuh bulan. Ini bulan ketujuh semenjak kau jatuh.”
Dokter itu mengatakan semua sekaligus sementara menahan tangan Zoe yang berusaha untuk melepaskan diri dari borgol. Memintanya untuk tenang.
Dan kata tujuh bulan itu kembali ampuh membuat Zoe berhenti bergerak. Ia baru saja mendengar soal anaknya yang meninggal, akan ada polisi yang terlibat sementara tangannya terborgol, lalu dirinya koma selama tujuh bulan. Ia masih bisa menduga polisi akan terlibat karena memang ada kejahatan yang dilakukan Billy—membuatnya jatuh dan keguguran, tapi Zoe tidak mengerti kenapa tangannya terborgol.
Kehidupannya terdengar seperti sirkus yang penuh lelucon buruk.
“Kami nanti akan melakukan observasi keadaanmu lebih lanjut, terutama soal kemampuan bicara yang sulit kembali itu.”
Dokter itu menepuk tangan Zoe, menenangkan sekali lagi. Ia lalu bicara pada perawat. Tapi Zoe sudah tidak mampu lagi mendengar.
Hanya air mata yang bicara untuknya saat ini. Campuran antara kebingungan gelisah dan sedih. Ia perlahan mengelus perutnya yang rata.
Bayi yang bahkan belum berbentuk itu juga pergi meninggalkannya. Ia benar-benar sendiri.
***
Polisi datang tidak sampai setengah jam kemudian, saat Zoe sedang menyedot air minum dari perawat yang membantunya.
“Miss Zoe Anderson?” Dua orang polisi berpakaian bebas—detektif bertanya dengan nada resmi.
Zoe mengangguk, membuka mulut, tapi suara keluhan seperti tadi yang keluar.
“Maaf, tapi mungkin ada beberapa sarafnya yang belum kembali normal. Pasien masih kesulitan untuk bicara.” Perawat menjelaskan sekaligus berjalan keluar, karena tentu tidak ingin ikut campur urusan polisi.
“Oh ya. Kami mengerti. Kalau begitu Anda mendengarkan saja cukup.”
Polisi itu mengambil dokumen, mengangkatnya di hadapan Zoe, menunjukkan agar Zoe bisa ikut membaca.
“Ini adalah surat vonis yang dijatuhkan oleh hakim. Anda dinyatakan bersalah karena telah melakukan penguntitan kepada Maxwell Taylor. Dan…”
“HMMM!!” Zoe memprotes dalam suara keras tidak berbentuk. Ia baru saja mendengar omong kosong terbesar yang pernah didengarnya seumur hidup. Tuduhan menguntit Max adalah absurd.
“Maaf, bisakah Anda tenang dulu?” Polisi itu masih sopan, dan memegang tangan Zoe yang terborgol, agar tidak terluka.
Zoe tidak ingin diam, tapi ia tahu belum mendengar bagian terburuk. Ia berhenti meronta dengan nafas terengah menahan amarah.
“Anda tidak perlu takut. Hukuman Anda adalah enam bulan penjara sebenarnya, tapi mengingat keadaan Anda yang terluka parah, hakim memberi keringanan. Ia hanya meminta Anda mematuhi larangan untuk tidak mendekat dalam jarak seratus meter dari Maxwell Taylor. Jika Anda melanggar, baru hukuman enam bulan ini akan berlaku. Tapi jika Anda patuh dan tidak akan pernah mendekati Maxwell lagi—sebagai korban, maka Anda akan baik-baik saja. Tidak harus menjalani hukuman apapun. Apa Anda mengerti penjelasan saya?”
Detektif itu menatap mata Zoe, memintanya untuk memberi tanda bahwa ia mengerti. Detektif itu baru saja membawa ucapan vonis untuk Zoe, ia perlu pernyataan resmi kalau vonis itu sudah tersampaikan.
Zoe yang sekali lagi hanya bisa menangis tanpa bicara, mengangguk samar. Bahkan jika lidahnya bisa membentuk kata, Zoe tidak yakin akan mampu bicara.
Memanfaatkan dirinya yang tidak mampu membela diri, mereka rupanya telah bermain kotor. Pengkhianatan Max tidak seberapa sakit dibanding apa yang di rasakan Zoe saat ini. Mereka menyayatkan luka lain pada torehan pedih yang masih berdarah.
“Terima kasih. Saya harap Anda menjalankan ketentuan hukuman ini dengan baik, demi kesehatan Anda juga.”
Detektif itu sedang memperingatkan agar Zoe tidak mendekati Max lagi. Ancaman hukuman itu serius. Polisi akan menggelandangnya ke dalam penjara begitu ada yang melapor ia mendekati Max.
“Saya akan membuka borgol ini, karena vonis Anda telah resmi.” Polisi itu membuka borgol tangan Zoe yang langsung terkulai lemas setelahnya.
“Saya harap anda cepat sehat. Selamat siang.”
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, detektif itu tidak tinggal lama tentunya. Tidak mungkin juga akan menemani Zoe yang tengah merasa dunianya kiamat.
Tidak mungkin juga akan menghibur dan mengakatakan kalau keadaan akan baik-baik saja. Tidak ada yang baik-baik saja setelah ini, Zoe tahu kehidupannya telah berakhir.
Apa yang diharapkannya untuk menjadi masa depan semua telah hilang. Orang yang dulu berbagi mimpi masa depan yang indah dengannya, terbukti sudah tidak peduli.
Bahkan impiannya tidak lagi terlihat indah. Bagaimana mungkin ia akan bisa bernyanyi, saat untuk bicara saja Zoe tidak mampu.
Zoe menutup mata, berharap ia tidak akan terbangun lagi, karena kenyataan yang ada untuknya bukanlah kehidupan. Hanya takdir keji yang serupa mimpi buruk.
A/N: Haloo... Selamat datang di novel Zoe dan Wolf. Mudah2an suka dan stay sampai akhir ya. Kalau ingin tahu novel author yang lain, boleh berkunjung di IG @aisakura.chan ya. Makasih :)) Selamat Membaca.
DUA TAHUN KEMUDIAN“Zoe, bangun! Ada tamu VVIP! Kau yang pergi!”Zoe berdiri dari sofa yang menjadi tempatnya tidur, memandang orang yang baru saja membangunkannya dengan wajah jengkel, tapi kemudian Zoe tersenyum. Ia mengenali orang itu.Tiana, wanita berusia empat puluhan yang juga pemilik strip club tempatnya bekerja saat ini.Zoe mengambil tali yang biasa dipakai untuk menggantungkan name tag, tapi bukan name tag yang tergantung di ujungnya. Ada tumpukan kartu dengan aneka tulisan yang bisa dipilih. Tapi Tiana rupanya tidak sabar.“Ya.. ya… aku tahu kau akan berterima kasih. Tapi nanti saja. Dia bukan orang yang penyabar, dan ingin bersenang-senang malam ini.”Tiana mengambil kartu ucapan itu dari tangan Zoe, melemparkannya ke atas meja. Zoe memandangnya dengan kecewa, karena ia baru menemukan cara yang lebih cepat selain menulis untuk berkomunikasi.“Maaf, tapi tidak malam ini. Aku akan melihatnya besok, oke? Aku harus mempersiapkanmu. Pakai ini.”Tiana tidak biasanya kasar, tapi
Rencana nekat terbentuk dalam benak Zoe. Rencana yang benar-benar nekat. Wolf masih terus mengamati Zoe–terutama wajahnya. Zoe menegakkan lehernya, memberi akses agar Wolf melihat wajahnya lebih jelas. Zoe berada di angle yang tepat, Wolf seharusnya tidak menilainya lumayan lagi. “Aku lihat dulu bagaimana," kata Wolf, sambil meletakkan minumannya di atas meja yang ada di hadapannya. Bukan meja biasa. Meja itu adalah panggung Zoe. Bundar, memiliki lebar yang cukup agar penari bisa bergerak aman dan bebas, lalu ada tonggak besi di tengahnya. “Aku permisi. Aku harap kau menyukainya.” Tiana berpamitan. Seiring detak suara sepatu Tiana yang semakin samar karena pintu ruangan itu telah tertutup, detak jantung Zoe semakin keras. Ia biasanya tidak lagi gugup dan langsung bekerja dengan profesional, tapi kali ini berbeda. Ia harus berhasil membuat Wolf tertarik padanya. Harus bisa membuatnya meminta pelayanan full sevice agar meninggalkan kesan. “Kau pilih lagu sendiri.” Wolf mengulurkan
Zoe mengangguk menjawab pertanyaan Wolf. Tulisan itu tidak salah. Tapi tentu permintaan itu dianggap salah oleh Wolf. Pria yang ternyata memiliki iris berwarna hijau pekat itu, memandang Zoe seolah ia baru saja bertemu dengan wanita gila. “Apa kau ingin uang lebih? Kalau hanya sekedar uang lebih… Aku akan memberikannya. Tubuhmu lumayan rasanya. Tapi tidak ini.” Wolf menjentikkan kertas itu dari tangannya, sampah menurutnya. “Mmmm…” Zoe mengeluarkan gumaman sambil melambaikan tangan karena panik. Takut kalau Wolf akan pergi. Tapi gumaman itu justru membuat Wolf—yang baru akan memakai kemejanya kembali berhenti, dengan wajah bertanya-tanya. Bisa melihat kalau Zoe kesulitan bicara. “Apa kau bisu?” Wolf memakai bahasa isyarat. Tapi Zoe justru tidak mengerti bahasa isyarat itu. Ia kembali menuliskan jawaban di kertas, lalu mengulurkannya. “Aku tidak tuli, tapi aku memang tidak bisa bicara. Masalah syaraf di otak. Panjang. Aku tidak ingin menjelaskannya. Tapi aku tetap ingin menikah d
Zoe menelan ludah. Ia ingin menggeleng—karena ini adalah keputusan paling berani yang pernah diambilnya seumur hidup. Ia terjun ke alam yang sama sekali tidak punya bayangan seperti apa.Tapi balas dendam itu menggoda. Sakit hatinya yang tidak pernah terbalaskan itu—yang menggerogoti hatinya setiap kali melihat wajah Max di papan billboard, tidak untuk diabaikan juga.Billy, Max, dan Iris. Mereka membuatnya menjadi bisu—menghancurkan bakat dan mimpinya. Membunuh anaknya.Zoe lalu mengangguk, lalu menunjukkan catatan singkat yang dibuatnya. “Ya, aku tahu.” “Well, kalau begitu mari kita uji.” Wolf tersenyum.“Berlututlah dan cium kakiku. Ini tingkat penghambaan yang aku inginkan.” Wolf mengangkat kakinya yang masih telanjang juga, menyilangkannya. Menunggu Zoe.Permintaan yang jelas mengekspresikan penyerahan diri yang absolut, sesuai dengan tulisan Zoe. Zoe kembali tidak menyangka penawaran itu akan terjadi dengan sangat cepat dengan bentuk yang cukup menantang.Mencium kaki adalah p
“Kau yakin akan melakukan ini? Bagaimana… Sebentar.” Tiana rupanya masih sulit menerima meski ia sudah membaca catatan dari Zoe. Ia memeriksanya sekali lagi, sementara Zoe tengah membereskan barang-barangnya. Tidak banyak, hanya peralatan make up dan beberapa sepatu boot yang dibelinya sendiri. Selain itu, kostumnya kebanyakan milik Tiana. Hari ini, Zoe akan pindah ke rumah Wolf. “Dia bukan tipe orang yang bisa kau jadikan suami, Zoe. Kau tahu itu bukan?” Tiana meraih tangan Zoe, memintanya mempertimbankan. Zoe meraih kartu yang tergantung di lehernya dan menunjukkan kata ‘aku tahu’. Banyak kata umum yang tergantung di sana, termasuk ‘terima kasih’, ‘tidak’, ‘oke’. Kata-kata singkat yang tidak perlu ditulisnya lagi. “Lalu kenapa… Jangan katakan kau masih belum melupakan…” Zoe menepuk tangan Tiana, lalu mengetik kalimat pada ponsel yang juga bergantung di lehernya. “Mereka membunuh anakku, membuatku tak bisa bicara! Aku tidak akan lupa!” Zoe menunjuk tulisannya itu beberapa kal
Zoe melangkah memasuki rumah yang tentu saja sangat mewah itu dengan amat perlahan. Takut jika langkahnya akan membuat lantai marmer yang diinjaknya retak. Lantai rumah Wolf begitu berkilau, sampai sesaat Zoe mengira lantai itu terbuat dari kaca. Padahal meski ia menari tap dance di atasnya, lantai itu akan baik-baik saja. “Kamar Mr. Wolf ada di atas. Akan saya antarkan.” Stefan–pria yang tadi menjemput dan mengantarnya sampai ke rumah itu, menarik koper bawaan Zoe, mengajaknya ke lantai dua. Zoe sebenarnya belum selesai mengagumi area lantai dasar rumah itu, yang mana sangat mewah. Penuh karya seni berupa patung dan lukisan, lalu ada ruang terbuka yang diisi taman indoor. Tatanan jenis modern minimalis. Tapi pemandangan di lantai dua juga tidak terlalu buruk. Zoe bisa melihat pemandangan kota New York di kejauhan dari dinding kaca yang terbuka lebar di seluruh lantai dua. Rumah itu tidak terletak di dalam kota New York, tapi juga tidak terlalu jauh. Daerah suburban sempurna, ya
“Clay, diam dulu.” Wolf meminta Clay, teman—sekaligus lawan bicaranya sejak tadi untuk berhenti bicara. Ia tengah membaca pesan dari Zoe dengan takjub. Isinya terlalu mengejutkan pastinya. “Sejak kapan kau menerima pesan?” Clay heran, karena tahu Wolf anti menulis pesan. Ia lebih suka menelepon, dan biasanya orang yang menghubungi ponsel Wolf, cukup tahu untuk tidak mengirim pesan. “Dia belum tahu… oh… Tidak bisa.” Wolf baru saja mengangkat ponsel ke telinga untuk menghubungi Zoe, tapi kemudian ingat kalau Zoe tidak akan bisa membalas panggilannya. Maka Wolf juga menulis pesan akhirnya. “Kau itu membalas apa? Siapa yang bisa membuatmu mengirim pesan?” Clay semakin penasaran. Mereka ada di tengah pembicaraan bisnis. Tidak biasanya wolf akan menghentikan pembicaraan hanya karena panggilan maupun pesan. Tapi kini Clay melihat wolf bersusah payah mengetik sambil mengerutkan kening. Jempolnya bergerak sangat lambat di permukaan layar ponsel. Ada alasan kenapa Wolf tidak suka mengir
Wolf melangkah sambil mengernyit. Ini karena rumahnya gelap. Saat ini baru pukul delapan, sangat jauh dari jam tidur. Tentu ia biasa menemui rumah yang gelap, tapi seharusnya ada yang berubah. Ada makhluk hidup bernapas lain yang menghuni rumahnya. Kegelapan itu membuatnya heran pastilah. Wolf meneruskan langkah ke sumber cahaya yang berasal dari kamarnya. Hanya ruangan itu yang menghasilkan tanda kehidupan. Membocorkan lokasi dimana Zoe berada. Tanpa permisi, maupun mengetuk, Wolf membuka pintu, dan mendapati kalau ternyata ada badai lokal telah lewat di kamarnya itu. Rumahnya selalu rapi. Tidak ada barang yang salah tempat maupun kusut. Tentu pemandangan bagaimana selimut dan bed cover yang tersibak dan tergeletak di lantai adalah hal yang membuatnya takjub. Dan bukan hanya itu. Ada lembaran kertas berjatuhan di sekitar ranjang. Ada tumpukan kertas yang masih cukup tinggi di atas meja. Yang tentu kemarin tidak ada di sana. Wolf tidak pernah bekerja di kamar. Ia hampir tidak per