Share

4. Tuduhanmu Untukku

Air mata Zoe yang pertama menerjemahkan duka itu.

“GHHH! AAGHH!”

Tapi ia tidak mampu mengatakan apapun. Menangis dalam sunyi adalah sesak. Zoe ingin berteriak, melepaskan duka yang menindih dadanya, tapi hanya suara dengus dan rintihan yang keluar dari bibirnya.

Bahkan untuk memaki saja Zoe tidak mampu. Zoe ingin marah pada Billy, ia ingin marah pada Max yang tidak membelanya, ingin marah pada Iris yang memulai semua nasib sialnya, tapi semua tertahan di tenggorokannya.

“Aku mohon tenang dulu. Penjelasannya masih panjang.”

Dokter itu menyela, dengan wajah menyesal. Ia tidak ingin mengganggu duka Zoe, tapi ia harus menyelesaikan penjelasan.

Dengan mata yang masih basah, Zoe memandang dan mengedip padanya. Memintanya untuk meneruskan. Pikirannya masih kacau, tapi Zoe ingin mendengar semua.

“Bagian kepalamu terbentur dengan keras, dan kau menjalani operasi untuk menyingkirkan gumpalan darah. Sekarang kau sudah sehat, tapi dengan rambut lebih pendek mungkin, karena kami harus mencukurnya.”

Refleks, Zoe berusaha mengangkat tangan untuk menyentuh kepalanya, tapi selain tangannya berat karena tidak terbiasa bergerak, Zoe merasakan sesuatu menahan tangannya itu.

KLANG!

Terdengar bunyi besi beradu saat Zoe menggoyangkan tangannya. Zoe melirik ke bawah dan melihat kenyataan lain yang mengerikan. Tangannya terborgol.

Zoe kembali memandang dokter itu dengan nyalang. Panik dan ingin penjelasan lain.

“Untuk borgol, akan ada polisi yang menjelaskannya nanti padamu. Tenang dulu, jangan banyak bergerak. Tubuhmu belum terbiasa dengan pergerakan, terutama setelah koma selama sekian bulan. Ya, kau koma sekitar tujuh bulan. Ini bulan ketujuh semenjak kau jatuh.”

Dokter itu mengatakan semua sekaligus sementara menahan tangan Zoe yang berusaha untuk melepaskan diri dari borgol. Memintanya untuk tenang.

Dan kata tujuh bulan itu kembali ampuh membuat Zoe berhenti bergerak. Ia baru saja mendengar soal anaknya yang meninggal, akan ada polisi yang terlibat sementara tangannya terborgol, lalu dirinya koma selama tujuh bulan. Ia masih bisa menduga polisi akan terlibat karena memang ada kejahatan yang dilakukan Billy—membuatnya jatuh dan keguguran, tapi Zoe tidak mengerti kenapa tangannya terborgol.

Kehidupannya terdengar seperti sirkus yang penuh lelucon buruk. 

“Kami nanti akan melakukan observasi keadaanmu lebih lanjut, terutama soal kemampuan bicara yang sulit kembali itu.”

Dokter itu menepuk tangan Zoe, menenangkan sekali lagi. Ia lalu bicara pada perawat. Tapi Zoe sudah tidak mampu lagi mendengar. 

Hanya air mata yang bicara untuknya saat ini. Campuran antara kebingungan gelisah dan sedih. Ia perlahan mengelus perutnya yang rata. 

Bayi yang bahkan belum berbentuk itu juga pergi meninggalkannya. Ia benar-benar sendiri.

***

Polisi datang tidak sampai setengah jam kemudian, saat Zoe sedang menyedot air minum dari perawat yang membantunya.

“Miss Zoe Anderson?” Dua orang polisi berpakaian bebas—detektif bertanya dengan nada resmi.

Zoe mengangguk, membuka mulut, tapi suara keluhan seperti tadi yang keluar.

“Maaf, tapi mungkin ada beberapa sarafnya yang belum kembali normal. Pasien masih kesulitan untuk bicara.” Perawat menjelaskan sekaligus berjalan keluar, karena tentu tidak ingin ikut campur urusan polisi.

“Oh ya. Kami mengerti. Kalau begitu Anda mendengarkan saja cukup.”

Polisi itu mengambil dokumen, mengangkatnya di hadapan Zoe, menunjukkan agar Zoe bisa ikut membaca.

“Ini adalah surat vonis yang dijatuhkan oleh hakim. Anda dinyatakan bersalah karena telah melakukan penguntitan kepada Maxwell Taylor. Dan…”

“HMMM!!” Zoe memprotes dalam suara keras tidak berbentuk. Ia baru saja mendengar omong kosong terbesar yang pernah didengarnya seumur hidup. Tuduhan menguntit Max adalah absurd.

“Maaf, bisakah Anda tenang dulu?” Polisi itu masih sopan, dan memegang tangan Zoe yang terborgol, agar tidak terluka.

Zoe tidak ingin diam, tapi ia tahu belum mendengar bagian terburuk. Ia berhenti meronta dengan nafas terengah menahan amarah.

“Anda tidak perlu takut. Hukuman Anda adalah enam bulan penjara sebenarnya, tapi mengingat keadaan Anda yang terluka parah, hakim memberi keringanan. Ia hanya meminta Anda mematuhi larangan untuk tidak mendekat dalam jarak seratus meter dari Maxwell Taylor. Jika Anda melanggar, baru hukuman enam bulan ini akan berlaku. Tapi jika Anda patuh dan tidak akan pernah mendekati Maxwell lagi—sebagai korban, maka Anda akan baik-baik saja. Tidak harus menjalani hukuman apapun. Apa Anda mengerti penjelasan saya?”

Detektif itu menatap mata Zoe, memintanya untuk memberi tanda bahwa ia mengerti. Detektif itu baru saja membawa ucapan vonis untuk Zoe, ia perlu pernyataan resmi kalau vonis itu sudah tersampaikan.

Zoe yang sekali lagi hanya bisa menangis tanpa bicara, mengangguk samar. Bahkan jika lidahnya bisa membentuk kata, Zoe tidak yakin akan mampu bicara. 

Memanfaatkan dirinya yang tidak mampu membela diri, mereka rupanya telah bermain kotor. Pengkhianatan Max tidak seberapa sakit dibanding apa yang di rasakan Zoe saat ini. Mereka menyayatkan luka lain pada torehan pedih yang masih berdarah.

“Terima kasih. Saya harap Anda menjalankan ketentuan hukuman ini dengan baik, demi kesehatan Anda juga.”

Detektif itu sedang memperingatkan agar Zoe tidak mendekati Max lagi. Ancaman hukuman itu serius. Polisi akan menggelandangnya ke dalam penjara begitu ada yang melapor ia mendekati Max.

“Saya akan membuka borgol ini, karena vonis Anda telah resmi.” Polisi itu membuka borgol tangan Zoe yang langsung terkulai lemas setelahnya.

“Saya harap anda cepat sehat. Selamat siang.”

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, detektif itu tidak tinggal lama tentunya. Tidak mungkin juga akan menemani Zoe yang tengah merasa dunianya kiamat.

Tidak mungkin juga akan menghibur dan mengakatakan kalau keadaan akan baik-baik saja. Tidak ada yang baik-baik saja setelah ini, Zoe tahu kehidupannya telah berakhir.

Apa yang diharapkannya untuk menjadi masa depan semua telah hilang. Orang yang dulu berbagi mimpi masa depan yang indah dengannya, terbukti sudah tidak peduli.

Bahkan impiannya tidak lagi terlihat indah. Bagaimana mungkin ia akan bisa bernyanyi, saat untuk bicara saja Zoe tidak mampu.

Zoe menutup mata, berharap ia tidak akan terbangun lagi, karena kenyataan yang ada untuknya bukanlah kehidupan. Hanya takdir keji yang serupa mimpi buruk.

aisakurachan

A/N: Haloo... Selamat datang di novel Zoe dan Wolf. Mudah2an suka dan stay sampai akhir ya. Kalau ingin tahu novel author yang lain, boleh berkunjung di IG @aisakura.chan ya. Makasih :)) Selamat Membaca. 

| 7
Comments (10)
goodnovel comment avatar
Yalesi Irma Bhinawati
klo pun ini ada di kehidupan nyata.....karma itu berlaku
goodnovel comment avatar
Chicha 76
awalnya sedih juga emosi semoga cerita selanjutnya ada keadilan buat Zoe
goodnovel comment avatar
Echa Emoen
sakit banget sih jadi Zoe SDH dihianati difitnah pula,max sama produsernya kejam banget, tunggu pembalasan Zoe kalian akan tamat
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status