Adrian berdiri di luar ruangan rawat. Dia kembali duduk di sofa ruang tunggu privat itu. Satu tangan memegangi dahi, ia menahan napas sejenak sebelum mengangkat ponselnya dan menghubungi anak buahnya yang sedang menginterogasi para penculik.“Bagaimana hasilnya?” tanyanya dengan suara rendah, penuh tekanan.Suara di seberang menjawab cepat, “Kami sudah menekan mereka dengan berbagai cara, Bos. Tapi mereka bersikeras bahwa mereka tidak tahu siapa sebenarnya yang menyuruh mereka.”Adrian mengerutkan kening. “Tidak mungkin! Mereka dibayar dan diberi uang, tidak mungkin mereka tidak mengenali tuan mereka.”“Mereka menerima instruksi dari pria paruh baya. Siapa dia sebenarnya, mereka tidak tahu. Bahkan namanya mereka tidak tahu.”“Tapi wajahnya mereka kenal?” tanya Adrian. “Bagaimana ciri-cirinya?”Ia teringat pada seseorang yang sudah lama hilang di masa lalu. Tapi, dia rasa itu tidak mungkin. Meski begitu, dia tetap curiga.“Pria itu memiliki tinggi sekitar 170-an. Badannya tidak terlalu
Adrian mendekap Liora beberapa detik. Namun, Liora tidak bereaksi. Tidak mengelak, tapi juga tidak membalasnya. Tatapannya kosong. Udara di antara mereka terasa begitu berat. Liora bahkan bisa merasakan detak jantung Adrian yang terdengar begitu cepat.Adrian memaksakan senyum tipis yang getir, lalu melepasnya dan kembali duduk.“Aku tidak akan menceraikanmu, Liora. Sebaliknya… aku akan menjagamu. Kali ini, sungguh.”Liora menoleh pelan, menatap pria itu dengan sorot mata dingin dan penuh keraguan. Matanya basah tapi tak ada air mata yang jatuh. Bibirnya mengerucut sedikit, seolah ingin tertawa bukan karena bahagia, tapi karena tidak percaya.‘Menjagaku?’ batin Liora. ‘Untuk apa? Supaya kau terlihat baik di mata orang? Supaya keluargamu tidak tercoreng? Supaya kamu merasa tidak bersalah?’Adrian diam. Sorot matanya mengendur. Ia tahu… Liora tidak akan percaya apa yang dia katakan. Ia layak dipertanyakan. Ia layak dicurigai. Ia telah berbuat terlalu banyak salah.“Bukan hanya karena na
Adrian berdiri mematung di sisi ranjang, menatap sosok rapuh yang kini kembali membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram, gerakannya lemah, tapi napasnya mulai teratur.“Liora...” bisiknya nyaris tak terdengar, suara yang penuh haru, penuh rasa syukur yang tak sanggup ia sembunyikan, “Kamu sudah sadar?”Liora langsung memejamkan matanya kembali—dalam. Napasnya mendesah pelan, tapi bukan karena lega. Wajahnya meringis, tubuhnya menegang menahan sakit yang seolah menyerbu tanpa ampun.Adrian langsung panik. Ia mendekat, membungkuk dengan gugup.“Liora? Apa yang sakit? Mana yang sakit?” tanyanya terburu-buru. “Kepalamu? Perutmu?”Ia refleks menggenggam tangan Liora yang berada di samping ranjang. Genggaman itu hangat, tapi tidak sempat menguat. Karena Liora langsung menepisnya.Pelan, tapi jelas.Penolakan itu begitu nyata dan terasa seperti tamparan telak di wajah Adrian.
Adrian seperti membatu. Matanya menatap lantai kosong. Napasnya pelan tapi berat. Hampa. Tak ada kata yang keluar setelah ia bertanya seperti itu pada Gavin. Seolah seluruh pikirannya kosong atau justru terlalu penuh sampai tak ada ruang untuk berpikir.Hingga akhirnya, Gavin menunduk sedikit dan menyentuh bahu tuannya itu.“Tuan…” panggilnya pelan.Adrian tak bereaksi.Gavin pun mengulurkan tangan dan membantu pria itu berdiri.“Ayo, duduk lebih nyaman di sofa,” ucap Gavin, dengan nada yang lembut, penuh empati. Ia menuntun Adrian ke sofa yang lebih empuk, lalu ikut duduk di sampingnya.Beberapa saat mereka hanya diam. Tapi Gavin tahu… ini bukan waktunya untuk membiarkan semuanya mengendap. Tuannya butuh seseorang yang berani bicara.Dan tak ada yang lebih tahu isi hati Adrian selain dirinya sendiri.“Aku tidak menyangka, Tuan …” ujar Gavin akhirnya, menoleh sedikit ke a
Mobil itu melaju cepat, suara mesin meraung bagai jeritan panik yang tak terucapkan. Gavin menggenggam kemudi erat-erat, matanya fokus pada jalanan di depan, tapi dari sudut kaca, ia terus mencuri pandang ke arah belakang. Ke arah tuannya dan perempuan yang tengah sekarat dalam pelukannya.Liora berada di dada Adrian, tubuhnya gemetar dalam dingin dan nyeri. Napasnya dangkal. Kepala terkulai lemah. Darah membasahi ujung pakaiannya… dan kini, juga membasahi celana jok yang diduduki dan lantai mobil.Adrian tak berkata sepatah kata pun.Ia hanya merangkul tubuh itu erat-erat, seolah pelukannya bisa menahan jiwa Liora agar tidak pergi. Matanya yang biasanya tajam, kini kosong namun penuh kegelisahan. Ia tidak menangis. Tapi matanya tampak basah.Tidak ada satu detik pun ia alihkan pandangan. Tidak ke jalanan. Tidak pada Gavin. Hanya pada wajah Liora. Pada tiap hembusan napas lemahnya.Napas Adrian pun terasa tercekat melihat betapa lemahnya Liora.
Di dalam ruang kantor dengan pencahayaan temaram, suara keyboard terdengar cepat dari balik meja kerja. Gavin duduk di samping Adrian, sementara seorang pria dengan headphone dan laptop terbuka memperlihatkan rekaman CCTV yang telah disiapkan.“Ini titik awal,” ujar rekan Gavin sambil menunjuk layar. “Mobil melaju dari arah jalan pertama ke rumah itu. Terekam di simpang pertama lalu—”Ia berhenti sejenak. Menekan beberapa tombol cepat.“—di persimpangan kedua, tiba-tiba hilang. Kamera di situ mati total sejak lima menit sebelum mobil itu sampai. Sabotase. Bukan rusak biasa. Potongannya rapi.”Adrian menyipitkan mata. “Dan setelah itu?”“Mobil muncul lagi di simpang ketiga. Tapi ini aneh... plat sudah terlihat jelas, tapi posisi kamera memberi gambaran jelas, mobil berbeda. Warna cat pun sedikit lebih mengkilap. Mungkin niatnya ingin mengalihkan agar mereka terus diikuti dari persimpa