Liora langsung menarik tangannya dari genggaman Adrian.Adrian menatap tangan kosongnya. Sesaat ia ragu, tapi rasa tidak terima langsung muncul di wajahnya. Wajah yang masih pucat merengut karena amarah yang ditekan."Ini perintah!" desisnya dingin. "Kalau kau sakit karena tidur di sofa yang masih basah, itu akan membuat rencana perceraian ini menjadi semakin rumit. Media bisa memelintir apa saja. Aku tak ingin diberitakan sebagai suami kejam!"Liora masih tak bersuara. Tapi sorot matanya menyiratkan luka, dan tubuhnya menegang dalam diam.Ia menatap sisi ranjang itu sejenak. Ranjang yang ‘malam itu’ menjadi saksi bisu hilangnya apa yang selama ini dia jaga. Napas Liora bergetar. Matanya berkaca, tapi tak ada satu pun air mata yang jatuh.Melihat Liora tak juga bergerak, Adrian
“Ma- maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud,” ucap Gavin.Adrian yang sedang sakit itu masih bisa menatap Gavin tajam. Ia terlihat begitu marah. Sementara Liora hanya terdiam dan meremas tangannya sendiri. Takut disalahkan dan dikatakan menggoda.“Saya yang salah, Nyonya. Saya minta maaf,” ucap Gavin pula sedikit menunduk pada Liora.Liora masih diam.“Berikan mangkuk itu padanya, biarkan dia yang menyuapiku!” ucap Adrian geram.Gavin mengangguk. Dia segera melangkah menjauh. Ingin duduk di sofa. Namun, belum sempat Gavin mendaratkan pantatnya, tiba-tiba Adrian kembali berusara.“Jangan duduk di situ!”Gavin langsung berdiri tegak. Dia melihat sofa yang terlihat tidak ada masalah. “Ada apa, Tuan?” tanyanya heran.“Itu tempat tidurnya!” ujar Adrian, melirik Liora.‘Apa? Tuan benar-benar naif.’ Gavin langsung berpindah posisi duduk. Di bangku keci
Langkah Liora tergesa setelah mengambil sesuatu dari lemari. Tangannya terlatih, seperti mengikuti naluri yang telah lama tertanam dalam dirinya. Sejak ia lulus dari akademi keperawatan, merawat orang sakit adalah sesuatu yang biasa ia lakukan. Dan hari ini, naluri itu kembali muncul... bahkan untuk pria seperti Adrian.Ia meletakkan perlengkapan di sisi ranjang. Lalu menatap Adrian yang masih terbaring, napasnya terdengar berat. Ia terlihat menggigil.Tanpa banyak ragu, Liora menyentuh baju Adrian.Ia menatapnya bingung. “...Apa yang kau lakukan?” gumamnya serak.Liora tak menjawab. Ia tetap melanjutkan ingin mengganti baju Adrian, pria itu langsung menangkap pergelangan tangannya.“Aku bisa ganti sendiri,” ucapnya pelan, tapi tegas.Liora hanya menatapnya. Sebentar. Lalu... mata itu memelotot. Tajam, dingin, dan mengintimidasi seperti seorang ibu yang kesal karena anaknya menolak disuapi obat.Adrian terdiam. Liora menarik tangannya dari genggaman Adrian, lalu kembali mencoba melepa
Adrian menyentuh leher Liora. Jari-jarinya mencoba rapat ingin mengancamnya dengan cekikan. Namun, entah kenapa, wanita itu seperti sudah siap menerima hukuman. Dia menutup mata. Liora hanya menunduk pasrah, tidak bergerak sedikit pun. Diamnya bukan bentuk kelembutan… tapi kehampaan.Hatinya bergetar, pikirannya kacau. Hasrat dan nalar berperang dalam dada. Ia benci sikap Liora yang dingin. Ia benci dirinya sendiri karena tidak bisa menguasai perasaannya.‘Apa yang sebenarnya kau pikirkan?’ batinnya. Namun Liora tak menatap, tak bereaksi. Tetap dalam diamnya yang menusuk. Siap ingin dicekik.Adrian menggeram lirih. Tangan satunya terkepal. Frustrasi memenuhi ruang dadanya. Ia merasa seperti pria lemah yang tak bisa menaklukkan wanita yang seharusnya tak punya kuasa.Dan tanpa bisa ia bendung, tangannya meraih sebuah vas kecil di meja dekat sofa, sebuah benda tak penting, tapi cukup keras—lalu dilemparkannya ke dinding.BRAKK!Benda itu hancur berkeping-keping, suaranya menggetarkan ru
Beberapa hari setelah kejadian di mana Adrian menyelamatkan Rehan, sikap Adrian mulai berubah secara perlahan dan nyaris tidak ia sadari sendiri. Ia mulai membawa Liora ke panti lebih sering. Tidak lagi hanya saat ada acara besar atau kebutuhan pencitraan media.“Besok kita ke panti lagi,” katanya pagi ini dengan nada biasa, tanpa tekanan. Liora hanya mengangguk, tapi tatapan matanya kali ini tidak setajam biasanya.Awalnya Adrian berpikir itu semua untuk menjaga citra dan menenangkan hatinya yang dipenuhi rasa bersalah. Tapi lama-kelamaan, ia mulai menikmati waktunya di sana. Ia menikmati melihat Liora tersenyum. Walau senyum itu bukan ditujukan untuknya. Senyum itu bukan pura-pura, melainkan senyum murni untuk anak-anak. Anak-anak yang berlari padanya, memeluknya, dan menyebutnya “Kak Liora” sambil tertawa riang.Liora tahu semua hanya pencitraan. Tapi, entah kenapa dia melihat Adrian berbeda. Dia terlihat tulus pada anak-anak. Atau itu hanya perasaannya saja?‘Tidak. Dia bukan oran
Keesokan harinya...Mobil mewah Adrian berhenti tepat di depan gerbang Panti Asuhan. Bangunan yang penuh kenangan bagi Liora kini tampak lebih meriah dari biasanya, dihiasi balon warna-warni dan spanduk sederhana bertuliskan "Selamat Ulang Tahun Panti ke-17". Suara tawa anak-anak sudah terdengar hingga ke luar pagar, membuncah penuh semangat.Adrian turun lebih dulu lalu membuka pintu untuk Liora. Kemudian di belakang mobilnya, Gavin sang asisten sibuk menurunkan puluhan bingkisan yang akan diberikan untuk anak-anak panti.Adrian merangkul pinggang Liora saat mereka berjalan masuk, menyesuaikan peran sebagai pasangan yang bahagia. Terlihat dari sorot matanya, Liora jauh lebih hidup sekarang, tapi jelas itu bukan untuk pria di sampingnya, melainkan karena tempat ini. Tempat di mana hatinya pernah tenang.“Selamat datang! Ya Tuhan... Liora!” seru Ibu Panti begitu melihat mereka dari ambang pintu.Liora melepas diri dari rangkulan Adrian. Ia berlari kecil ke arah Ibu Panti dan langsung m