“El, kenapa diam saja?” mama mengguncang bahuku membuatku sedikit tersentak dan kembali tersadar dari lamunanku mengingat kejadian satu bulan lalu.
“Tidak apa-apa, Ma. Kita akan pulang sekarang?”Mama mengangguk dan merapikan bajunya. Aku membawa barang mama yang tidak terlalu banyak, mama memakai cadar untuk menutup wajahnya. Aku akan mengatakan semuanya nanti, menunggu waktu yang pas, mengingat keadaan mama belum pulih sepenuhnya.“Apa Daren masih di Paris? Mama rindu, sepertinya Mama udah tidur lama sekali.”“Kita akan mengunjunginya kalau Mama udah baikan.”Ah, aku sampai lupa memberitahu bocah tengil itu jika mama sudah sadar, dia pasti akan melonjak girang. Masih kuingat dia menangis seperti bayi saat datang tiga bulan lalu melihat mama terbaring dengan luka bakar di sebagian wajahnya. Berhari-hari Daren tak ingin makan dan hanya duduk di samping mama, padahal saat SMA dia merupakan bocah tengil yang membuat papa dan mama kewalahan dengan segala tingkah nakalnya. Namun, aku tahu adikku itu berhati hello kitty, ia sangat manja dengan mama atau aku.Kami berpapasan dengan Dokter Sean di tempat parkir, sepertinya dia baru saja keluar untuk makan siang.“Sudah mau pulang, sampai jumpa Nyonya Hanum,” sapanya dengan senyuman. Aku selalu suka senyum manisnya.“Terima kasih Dokter,” jawab mama ramah. Kami berpamitan dengan Dokter Sean, kuucapkan banyak terima kasih kepadanya karena dia sudah membantuku menjaga mama selama di rumah sakit.Perjalanan menuju rumah kuhabiskan untuk bercerita dengan mama. Mama bertanya apa yang aku dan papa lakukan selama ia dalam keadaan koma, keadaan perusahaan dan juga kuliahku. Terpaksa aku berbohong dan menjawab semuanya baik-baik saja. Aku tidak ingin melihat mama kembali sakit, bagiku sekarang kesehatan mama lebih penting dari apapun.Kami sampai di rumah, mobil papa terparkir di halaman, semoga saja tak ada wanita itu di rumah. Aku menggandeng mama, menuntun tubuh kurusnya perlahan. Dulu mama gemuk, semenjak koma tubuhnya berangsur menyusut. Pun selama mama koma Tante Mayang atau Citra sama sekali tak pernah menjenguknya. Aku bukan mengharap ia menjenguk mama, sebenarnya itu lebih baik.Bibi membuka pintu setelah beberapa kali kuketuk dan mengucap salam.“Ibu, ya Allah, Ibu udah pulang.” Bibi melonjak girang, histeris sekali menggambarkan kegembiraan.“Di mana Papa, Bik?” tanyaku.“Ada di belakang Non, sedang berenang, tapi—” Bibi tak melanjutkan ucapannya dan menatap mama bergantian denganku.“Ada apa, Bik?” tanya mama penasaran.Aku menatap Bi Sri dalam, semoga saja dia tak mengatakan apapun.“Sudah pasti Papa hanya berenang, sebaiknya Mama istirahat saja, nanti El panggil Papa.”Mama tak menghiraukan ucapanku, ia berjalan sedikit tertatih menuju belakang, aku hanya bisa mengikutinya. Sampai di depan kolam renang mama berdiri mematung melihat papa hanya menggunakan celana pendek duduk memangku Tante Mayang sambil bersuap buah. Sementara Citra masih asyik berenang di dalam kolam. Air mata jatuh di pipi mama, tubuhnya gemetar dan hampir saja terjatuh.Aku berjalan cepat mengambil air yang ada dalam teko di meja teras belakang, menghampiri papa dan Tante Mayang, melempar air yang ada dalam teko tersebut ke wajah keduanya.“Tidak tahu diri, sudah kukatakan jangan datang kesini jika ingin melakukan ini, apa kalian gak dengar!” Kulempar teko kaca hingga pecah berkeping.“Elsha, Hanum.” Papa terkejut melihat mama sudah berdiri di sampingku.“Mas, apa yang kalian lakukan?” tanya mama dengan suara parau.“Aku sama Mas Cakra sudah menikah siri,” jawab Tante Mayang menyela.Mama memegang kepalanya, tubuhnya terjatuh dalam pelukan Bibi Sri.“Mama!”“Hanum.” Papa meraih tubuh mama dan membawanya masuk.“Jika sampai sesuatu yang buruk terjadi dengan Mama, akan kupastikan Tante membayar semuanya,” ucapku menunjuk Tante Mayang.Tante Mayang tersenyum sinis. ”Apa yang akan kamu lakukan? Sebentar lagi aku akan menjadi nyonya di rumah ini, berbuat baik saja denganku agar kamu tetap tinggal disini.”“Heh, cuih.” Kubuang ludah tepat di depan Tante Mayang.Berbuat baik dengannya? Jangan bermimpi, dia telah mengibarkan bendera perang ketika merebut papa dari mama.Seperti malam sebelumnya Aksa kembali dalam keadaan mabuk, dua orang yang mengantarkannya gegas keluar setelah membaringkan tubuh Aksa di atas dipan. Aku menghela nafas berat, kenapa dia harus melakukan ini setiap malam? Apa bebannya lebih berat dariku? Rasanya tidak mungkin karena dia memiliki apapun yang dia punya dan dia bisa melakukan apapun yang dia mau.“Cassandra, aku sangat merindukanmu,” lirihnya. Aku tak menghiraukan ucapan Aksa dan terus membuka satu persatu atribut lengkapnya, ya atribut ngantor maksudnya.“Casandra, kenapa kamu ninggalin aku,” ucapnya lagi.Ah, itu rupanya alasan dia mabuk karena kekasihnya meninggalkannya, kasihan sekali tetapi aku justru ingin tertawa.“Cassandra apa kamu lupa apa yang telah kita janjikan.” Kali ini Aksa menarik kuat tanganku hingga aku terjatuh dalam pelukannya.“Lepaskan Tuan,” lirihku sembari mengalihkan tangannya yang melingkar di pinggangku.Aksa membuka mata perlahan mungkin dia masih sedikit sadar. “Kamu rupanya.” Dia mendorong
“Besok malam aku tidak akan menundanya lagi,” ucap Aksa sebelum pergi meninggalkanku.Aku beringsut mundur dengan tubuh gemetar, takut itu yang kurasakan saat ini, sebenarnya memberikan keturununan untuk Diamond Group bukanlah perkara buruk, tetapi aku tidak ingin melakukan hal itu dengan orang yang seperti Aksa. Aku ingin melayani orang yang aku cintai. Tangisku pecah begitu saja.Kurapikan kembali baju yang sudah berserakan, mengenakan dengan cepat takut jika pemuda itu kembali masuk dan berubah pikiran. Aku harus mencari cara agar bisa menolak Aksa, atau mungkin aku bisa kabur dari sini. Aku berlari cepat menuju pintu, sialnya pintu terkunci dari luar, aku benar-benar seperti tawanan di sini. Tubuhku luruh ke lantai, bagaimana aku akan membawa mama pergi jika aku keluar dari sini saja aku tidak bisa.Kutatap jendela kaca. Mungkin aku bisa keluar dari sana. Namun, saat memandang tingginya jendela nyaliku menciut, itu terlalu tinggi. Jika aku jatuh bukannya bisa membawa mama keluar
“Ngapain berdiri di situ kayak orang enggak berguna, cepat bantu aku.” Aksa menatapku yang berdiri melipat tangan di dada tak jauh darinya. Kuhampiri cepat dirinya dan membantu dia naik ke atas kursi roda. Dasar sombong, apa salahnya minta bantuan baik-baik.Tanpa ucapan terima kasih ia meninggalkan aku ke kamar mandi untuk membasuh diri. Seharusnya ini bisa digunakan untuk kabur. Sedikit berjinjit kuhampiri pintu, secepat kilat aku sudah berdiri di depan pintu dan menyentuh handle pintu tersebut.“Jangan coba-coba untuk kabur, atau orang tuamu akan merasakan akibatnya,” ucap Aksara dari dalam kamar mandi.Astaga, apa dia punya indra ke tujuh? Padahal aku sudah berusaha tak membuat suara. Bagaimana dia bisa tahu? Terpaksa aku kembali duduk di atas ranjang karena takut dengan ancamannya. Jujur saja aku tak punya nyali untuk melawannya, aku bukan gadis kuat nan tangguh. Aku dibesarkan bagai putri sejak kecil walau akhirnya aku harus berada di sangkar neraka seperti ini.“Berikan bajuk
Berdiri seorang diri menatap cakrawala malam bertabur bintang. Kudekap tubuh yang dingin karena dersik angin malam membelai begitu kencang. Kulirik jam yang ada di pergelangan tangan, sudah hampir tengah malam tetapi Aksa belum juga kembali, entah kemana perginya lelaki itu.Kenapa aku memikirkannya? Bukankah lebih bagus jika dia tidak di sini, aku lebih leluasa merenda nasib yang tak berpihak kepadaku ini. Kembali kutengadahkan wajah menatap bintang yang berkelip. Bayang-bayang mama menari indah di mata, sedang apa wanitaku itu? Apakah dia baik-baik saja? Aku bahkan tak punya ponsel sekedar untuk menghubunginya. Kuseka air mata yang sudah memenuhi kelopak mata.“Jangan menangis Elsha, kamu sekarang harus menjadi wanita yang kuat.” Kutepuk dada berkali-kali, dada yang terasa amat sesak. Sesak dan sakit sekali, bahkan cintaku masih berlabuh untuk seorang lelaki yang telah menjalin cinta denganku lebih dari tiga tahun. Entah bagaimana perasaannya setelah tahu aku menikah dengan orang y
“Kenapa Mama enggak pernah jujur sama Elsha? Kenapa Mama simpan semuanya sendiri?” tanyaku, kuhapus air mata yang membasahi pipi mama.“Mama tidak bisa sayang, Mama takut Els akan membenci Mama.”Aku memeluk tubuh mama.“Elsha akan selalu sama Mama, Elsha akan selalu bersama Mama membalas Mayang dan Cakra atas semuanya penderitaan Mama. Tak akan sedikitpun kulepaskan mereka.” Tanganku mengepal kuat. Akan kulakukan berbagai cara untuk menghancurkan mereka satu persatu.“Maaf Sayang, maaf Mama harus menyeret dalam situasi ini.”Mama memelukku dengan erat sebelum ia dibawa keluar oleh seorang pelayan.Aku menatap punggung yang mulai menjauh tersebut. Tekad untuk membawanya pergi dari rumah itu, akan kulakukan apapun untuk menghukum mereka.Setelah ijab kabul terdengar, aku dibawa keluar oleh pelayan berjalan diatas altar menghampiri suamiku yang terduduk di atas kursi roda, aku tak ingin melihat lelaki itu, hatiku dipenuhi dendam.Pernikahan kami berjalan lancar, kulihat senyum sumringah
“Hanum, itu anakku, kan!” seru Mas Dimas, ia mencekal erat tanganku.“Bukan, ini bukan anakmu, Mas.” Aku mencoba mengelak tapi ia bersikeras untuk melakukan tes DNA. Aku tak ingin bersama lelaki itu lagi. Aku tak ingin menderita bersamanya lagiAyah melakukan berbagai cara agar Mas Dimas tak datang ke rumah, hingga harus meminta kepada Mas Cakra untuk mengaku menjadi ayah dari anakku. Sejak setahun bersama keluarga kami ayah melihat Mas Cakra begitu baik, ia juga bertanggung jawab kepada ibunya, terlebih ia mampu mengembangkan perusahaan ayah yang hampir bangkrut. Mas Cakra menerima keinginan ayah karena merasa berhutang budi, dan akhirnya ia mengakui di depan Mas Dimas bahwa anak yang baru saja lahir tersebut adalah anaknya. Ia sendiri yang memberi nama Elshanum Cakrawinata. Kami belum menikah, aku masih ingin sendiri, aku masih ingin sendiri, hingga Elsha menginjak usia dua tahun ayah meminta Mas Cakra untuk menikahiku. Tidak dipungkiri kasih sayangnya kepada Elsha sudah seperti ana